Surga Yang Tertukar

Surga Yang Tertukar

Rindi

Aku adalah anak semata wayang dari orang tuaku. Dulu waktu awal aku menikah dengan pria yang sangat aku cintai, sempat menjadi suatu perdebatan antara mereka dengan suamiku. Untung saja orang tuaku mengenal ajaran islam dengan kental. Sehingga mereka mengalah karena di dalam ajaran Islam mengajarkan bahwa setelah menikah seorang suamilah yang lebih berhak atas kehidupan istrinya. Dari situlah awal aku menjalin rumah tangga dengan suamiku. Mas Syafron adalah suami yang sangat baik dia setia juga taat beribadah. Aku tinggal bersamanya dengan seorang adiknya Gufron. Dan juga kedua mertuaku yang juga sangat menyayangiku. Mereka memang tidak mempunyai anak wanita sehingga mereka sangat menyayangiku lebih dari anaknya sendiri. Aku beruntung memiliki mertua yang sangat menyayangiku seperti kedua orang tuaku sendiri.

"Assalamualaikum." terdengar salam dari luar.

"Waalaikumsallam." akupun menjawabnya dengan setengah berlari melihat ke arah depan. Kulihat Mas Syafron datang dengan membawa buket bunga berada di tangannya. Aku yang tersipu malu menghampirinya dengan tersenyum manja.

"Ngapain kok senyum-senyum?" tanya Mas Syafron sembari menyembunyikan buket bunga tersebut.

"Ehm, Mas bawa bunga buat siapa?" tanyaku.

"Enaknya buat siapa ya?"

"Buat siapa Mas tumben sekali?" aku yang masih dibuatnya penasaran merajuk.

"Buat kamulah sayang." bisiknya di telingaku. Akupun tersenyum dan mencium tangannya. Dia mencium keningku dan segera kusiapkan makanan untuknya.

Hari ini kedua mertuaku sedang tidak ada di rumah. Mereka ada urusan di salah satu pesantren di luar kota. Semua tugas di rumah diserahkan ke aku dibantu dengan Bi Ratih yang selalu setia menemaniku dikala aku di rumah sendirian. Satu tahun adalah waktu yang menurutku tidak mudah untuk menyandang status seorang istri. Belum lagi yang sampai saat ini kita masih belum dikaruniai seorang anak. Setiap hari kita selalu berdoa kepada Allah SWT agar bisa menitipkan kepada kita seorang anak di tengah-tengah rumah tangga kita. Mungkin sampai saat ini Allah masih belum menitipkannya, dan kita tidak pernah berputus asa untuk itu semua. Syukurlah Mas Syafron mengerti akan hal ini semua. Dia selalu menghiburku dengan hal-hal yang membuatku lupa akan hal ini.

"Assalamualaikum." terdengar salam dari arah depan. Akupun segera menjawabnya dengan menengokkan kepalaku

"Allohuakbar Allohuakbar." Gufron datang dengan teriak-teriak dengan keras.

"Gufronnnn?? Apa yang kau lakukan?." tanya Mas Syafron panik dengan nada sebal.

"Kalian ini kenapa sih? sudah kayak anak kembar tapi gak pernah akur." ledekku.

Mereka adalah dua lelaki yang sudah layaknya seperti saudara kembar. Watak dan wajahnyapun juga hampir mirip. Mas Syafron dan adiknya Gufron adalah dua saudara yang mempunyai kepribadian yang sangat baik. Mereka sama-sama pekerja keras dan teguh dalam ibadahnya. Tidak mustahil karena mereka terlahir dari pasangan yang juga berkepribadian yang sangat baik.

"Rindi? kamu baik-baik saja kan?" tiba-tiba saja Mas Syafron membuyarkan lamunanku. Sejenak aku segera melepaskan lamunan-lamunanku yang baru saja aku renungi.

"I i iya Mas aku tidak apa-apa." jawabku sambil tersenyum. Mas Syafron menggenggam tanganku dengan membalas senyumanku. Kulirik mata Gufron yang tersenyum menyindirku.

"Cie cie yang asyik bermesraan, haram lho hukumnya bermesraan di depan umum!." ledek Gufron sambil menyunggingkan bibirnya.

"Kamu kan adik sendiri Fron, bukan orang lain kan dan ini juga bukan tempat umum tapi di dalam rumah sendiri." Jelas Mas Syafron yang masih tetap menggenggam tanganku.

"Iya iya Kak, tapii..."

Gufron menghentikan ucapannya,

"Kenapa Fron kok gak dilanjutin?"

"Ehm enggak jadi deh." Jawabnya sambil meninggalkan kita berdua.

Aku dengan Mas Syafron segera masuk ke dalam kamar. Aku menyiapkan baju untuknya dan segera berangkat ke masjid. Sesampainya di halaman rumah aku melihat Gufron sudah berjalan dengan cepat menuju masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah. Gufron adalah muadzin sedangkan Mas Syafron adalah imam. Hampir setiap hari setelah pulang kerja mereka selalu menyempatkan diri untuk mengisi waktunya ke masjid. Masjid ini memang sengaja dibangun oleh Ayah mertuaku dulu sehingga ini menjadi masjid keluarga. Tetapi alhamdulillah warga setempat juga sering ikut berjamaah di masjid ini. Sehingga masjid ini tidak terlihat sepi. Tak jarang anak-anak kecil yang bermain di dalamnya. Walaupun mereka membuat sedikit bising dan agak mengganggu tapi inilah rasa bahagia yang sebenarnya. Tawa dan canda mereka memang sering mengganggu ketika kita sholat. Tapi kami tak pernah melarangnya karena mereka sedang tengah belajar mengenal lingkungan ibadah di usia dini. Mereka adalah calon penghuni surga.

Sepulang dari masjid kita segera melaksanakan kegiatan yang sudah rutin kita lakukan setelah sholat isya, yaitu mengaji bersama di rumah. Kita saling bergantian untuk mengaji sampai jam 9. Setelah itu kita beristirahat masing-masing.

"Dreeeeett dreeettttt." terdengar getaran ponselku yang kuletakkan di dekat meja riasku. Aku segera mengambil ponsel tersebut dan melihat siapa yang sedang meneleponku.

"Assalamuallaikum Bu."

"Waalaikum salam sayang." terdengar lirih suara Ibuku disana.

"Bagaimana kabarmu sayang? Ayah sama Ibu disini sangat kangen sekali sama kamu nak."

"Alhamdulillah baik Ibu."

"Syukurlah Rindi kalau kamu baik-baik saja."

"Ibu lusa Rindi sama Mas Syafron akan pergi ke Pesantren di luar kota untuk mengunjungi kesana."

"Kamu hati-hati Sayang."

"Iya Ibu rencananya aku sama Mas Syafron akan tinggal beberapa hari disana karena ada acara disana."

"Ibu akan selalu mendoakan keselamatan kamu nak. Kamu jaga diri baik-baik disana ya, kamu juga harus patuh sama suami kamu. Oh iya jangan lupa kamu juga harus nurut sama mertua kamu."

"Iya Ibu Rindi sudah berusaha untuk jadi yang terbaik buat mereka Bu, seperti apa yang sudah Ibu ajarkan kepada Rindi waktu itu."

"Alhamdulillah Sayang kamu sekarang sudah menjadi seorang istri. Jadi istri sholehah ya nak biar nanti bisa jadi panutan untuk anak kalian nanti." ucapan Ibu kali ini benar-benar membuatku sejenak merenungkannya. Kata-kata yang menyangkutkan seorang anak ini membuatku sedikit merasa bersedih karena sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa aku akan mempunyai seorang anak.

"Halo Rindi kamu masih ada disana kan?"

"Iya Bu Rindi masih disini."

"Kamu kenapa Sayang Ibu salah ngomong ya?" tanya Ibu merasa sedikit bersalah.

"Tidak Bu Ibu tidak salah apa-apa. Bu boleh Rindi meminta satu doa untukku?"

"InsyaAllah boleh Sayang. Rindi minta doa apa dari Ibu?"

"Rindi pengen Ibu mendoakan Rindi supaya cepat punya momongan Bu. Rindi takut Bu kalau Rindi tidak bisa memberikan anak buat Mas Syafron." ucapku terisak air mataku sudah mulai terbendung.

"Astafirughllah nak istigfar nak jangan pernah kamu bersuudhzon kepada Allah. Allah itu tidak akan pernah mungkin menguji umatnya diluar batas kemampuannya. Kamu harus berkhusnudhzon kepada-Nya."

"Astafirughllah Bu Rindi takut Bu, hiks hiks ."

"InsyaAllah kalau sudah tepat waktunya kamu pasti akan diberikan momongan nak, Ibu dulu juga begitu sayang jadi jangan takut ya, semua pasti akan baik-baik saja."

Mendengar ucapan Ibu membuatku sedikit lega. Memang kalau seorang wanita masih belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya mereka pasti akan sangat sedih. Mungkin saat ini suamiku tidak pernah membahas masalah ini denganku. Tapi tetap saja sebagai wanita aku merasakan kesedihan yang sangat dalam. Rasa ingin yang masih menyelimuti naluriku ini masih sangat dalam. Setiap malam aku selalu berdoa untuk segera diberikan anak di dalam keluargaku. Mungkin saja saat ini doaku masih belum dikabulkan oleh-Nya, tapi aku harap suatu saat Dia segera mengabulkan doaku ini. Doa terdalam wanita setelah menjadi seorang istri.

"Sayang kamu istirahat ya jangan kamu pikirkan masalah ini. Ibu tutup ya teleponnya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah menutup telepon dari Ibuku segera mendekati Mas Syafron yang tengah asyik bermain ponselnya.

"Mas belum ngantuk?" tanyaku.

"Ehm masih belum berat banget kamu mau tidur?" tanya Mas Syafron padaku.

"Belum aku masih belum ngantuk Mas."

"Ambil air wudhlu sana biar kamu bisa tenang, aku tau kamu masih gelisah soal ...." Mas Syaron tidak melanjutkan ucapannya tapi setidaknya aku mengerti maksudnya. Mungkin saja dia mendengar percakapanku dengan Ibu tadi.

Aku segera turun dari tempat tidur dan segera mengambil air wudhlu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!