My Love Journey'S
"Omong kosong! Ini hanya cedera ringan, jadi bisakah kau membiarkanku pergi?"
Itu adalah hal pertama yang kudengar begitu memasuki sebuah ruang perawatan di rumah sakit tempatku bekerja. Dokter yang bertanggung jawab memintaku mengatasi sedikit kekacauan disini.
Aku berderap menghampiri dr. Grey yang tampak gagah dalam balutan jas putih kebanggaannya sambil memegang papan klip. Di hadapannya, duduk seorang pria berambut gelap, dengan memar yang sangat jelas di tulang pipinya. Tampak janggut tipis menghiasi sepanjang rahangnya.
Dr. Grey menoleh menyadari kedatanganku. "Akhirnya kau datang juga," gumamnya ringan.
Tatapan pasien itu mengarah padaku dan seketika sikap protesnya menguap begitu saja.
Sebagai informasi, saat ini aku sedang menjalani tahun pertamaku dalam program dua tahun untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan di Jerman. Hal ini membuatku terlibat dalam serangkaian kegiatan medis, yang berarti aku harus mempraktikkan semua hal yang telah kupelajari di lingkungan rumah sakit, dan sebagian besarnya di bawah pengawasan langsung para dokter.
Dr. Grey menyerahkan papan klip di tangannya padaku agar aku bisa melihat data hasil pemeriksaan pasien itu, dan aku mendapati informasi yang menyatakan dia mengalami gegar otak ringan. Cederanya tidak terlalu serius, tapi dia tetap harus istirahat total selama beberapa hari jika ingin mengembalikan kondisinya.
"Bagaimana?" tanya Dr. Grey, tampak agak gelisah, kemungkinan besar dia sedang mengalami hari yang buruk seperti yang sering terjadi padanya.
Aku berdeham dan menoleh padanya. "Acetaminophen dan istirahat selama beberapa hari, maka dia akan baik-baik saja."
Dr. Grey menganggukkan kepala disertai senyum bangga yang terlintas di bibirnya meski hanya sekilas. "Bagus, Bianka. Aku..."
"Acetamin, sialan, apa itu? Dengar, aku harus berlatih besok, dan aku tidak bisa melakukan 'Istirahat Selama Beberapa Hari'," kata Pasien itu memotong ucapan Dr. Grey. Suaranya terdengar frustasi.
Dr. Grey dan aku menunduk menatap pasien itu dan mendapati raut tak senang terpancar di wajahnya yang terpahat sempurna selagi dia memandangi kami dengan tatapan tak sabar.
Dr. Grey menarik napas setelah melirik pager-nya yang berbunyi. "Bisakah kau menyiapkan parasetamol dan mengurusnya? Aku masih harus mengecek pasien lain." katanya.
Aku mengangguk. "Ya, dok." Aku berusaha terlihat bersemangat untuk menyenangkannya. Suatu hal yang selalu kulakukan untuk melancarkan upayaku mendapat lisensi dalam bekerja sebagai perawat. Menjilat para dokter.
Dr Grey bergegas meninggalkan ruangan sementara aku bergerak meletakkan papan klip pada bagian bawah sisi ranjang pasien.
Aku mengalihkan pandangan pada pria yang duduk di ranjang, yang dengan cermat mengawasi setiap gerak-gerikku. "Acetaminophen sama dengan paracetamol." kataku menjelaskan. "Kau membutuhkan istirahat setidaknya selama dua hari, Sir."
Dia menggelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, Rapunzel. Piala Dunia akan di gelar kurang dari dua bulan, dan aku harus berlatih." gumamnya dengan raut putus asa, jelas tak senang berada di ruangan ini.
"Oh, kau pemain bola?" tanyaku terkejut, semakin menyadari dia sangat membutuhkan istirahat setelah cedera yang menghantamnya.
Pria itu memperhatikanku dengan raut aneh, seolah aku benar-benar sudah gila. Kemudian dia tertawa halus seraya menggoyangkan kepala tak percaya. "Tentu saja. Namamu Bianka, bukan?" dengkurnya sinis, menyombongkan diri. Tapi apa yang bisa kulakukan? Keadaan memang tidak berpihak padanya saat ini.
"Ya. Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan paracetamol untukmu, oke?" Aku menaikkan alis sembari tersenyum ramah, menunggu jawabannya.
Dia membuang napas kasar dan menyusurkan jemari ke rambutnya yang tebal, lalu mengalihkan tatapan dariku dan mengangguk pasrah. Kemudian aku langsung keluar dari ruang perawatan.
"Apakah ini untukmu?" tanya Stacey, salah satu temanku, setelah menyerahkan sebotol pil berisi paracetamol kepadaku. "Apa kau mulai merasa lelah bekerja sebagai perawat?"
Aku tergelak dan menggeleng. Seberat apapun tugas yang di limpahkan para dokter selama aku bekerja di rumah sakit, aku tidak pernah menganggap itu sebagai sesuatu yang serius. Bekerja sebagai perawat adalah satu-satunya hal yang paling kuinginkan dalam hidup, dan aku menyukai setiap prosesnya. "Seorang pemain bola mengalami gegar otak." ujarku menjelaskan.
Mendadak alis Stacey terangkat. "Tampan?" tanyanya, mengundang tatapan penasaran dari staf medis yang berjalan di sepanjang lorong.
"Sampai jumpa saat makan siang, say." balasku sambil mengedipkan mata, membiarkan rasa penasaran berkelebat di kepalanya. Aku terkekeh mendengar dia mengumpat pelan selagi aku berjalan menjauhinya.
Begitu kembali ke ruang perawatan pemain dimana bola itu berada, aku melihat dia sedang mencoba berdiri dari atas ranjang. "Sir, tolong jangan bergerak." Dengan cepat aku mendekatinya. Dia mengangkat wajah, menatapku dengan kedua matanya yang gelap. Senyum tipis tampak di sudut bibirnya. "Aku membawakan paracetamol untukmu, ini akan meringankan sakit kepalamu..."
"Aku baik-baik saja." Dia mendengus dan mengangkat tubuhnya dengan kedua tangan ke sisi tempat tidur, berusaha menegakkan tubuh di hadapanku. "Aku tidak butuh obat sialan itu."
"Tolong dengarkan aku, kubilang duduk." ucapku tegas, membuatnya terpaksa menurut karena mataku yang tajam menatapnya. Sambil menggerutu, dia melakukan apa yang kuperintahkan dan kembali ke posisi semula seperti saat aku meninggalkannya. "Ini paracetamol-nya." Aku menyodorkan botol pil itu beserta segelas air padanya.
Dia memandangi pil itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menyerah dan dengan terpaksa meraihnya dari tanganku. Aku berbalik untuk mencatat ini di papan klip sementara dia menelan obat. Aku baru saja hendak membaca namanya saat mendengar suara dua orang pria memasuki ruangan.
Aku menoleh ke samping secara langsung mengenali salah satu dari dua pria itu. Dia Carl Austerlitz, sang kapten tim sepak bola nasional Jerman. Aku tidak tahu banyak tentang sepak bola, tetapi ayahku adalah salah satu penggemar olahraga itu, dan seringkali mengagungkan nama Carl Austerlitz setiap kali ada kesempatan.
Seorang pria lainnya menyeringai. "Bagaimana keadaanmu? Kelihatannya cukup parah, ya." Dia bertanya pada temannya yang duduk di ranjang pasien sementara aku kembali menoleh ke papan klip.
Paul Klug tertera pada bagian atas kertas catatan medis, dan aku langsung mengenali nama itu. Aku sudah sering melihat dan mendengar namanya dimana-mana selama hampir enam bulan tinggal di Jerman.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Kita bisa pergi sekarang." dengkur Paul, mulai berdiri lagi.
"Apa kondisinya memungkinkan untuk latihan?" Sebuah suara dalam dan serak memaksaku melihat. Itu suara si seksi Carl.
Meskipun aku tidak begitu tertarik pada sesuatu yang berbau olahraga, namun Cristiano Ronaldo sudah mencuri hatiku sejak aku remaja. Dia idolaku dan membayangkan Carl Austerlitz yang pernah bertemu dengannya, cukup membangunkan naluri fans yang liar dalam diriku. "Setelah beberapa hari istirahat total, ya, dia akan baik-baik saja." jawabku seraya menganggukkan kepala.
Aku mengalihkan pandangan pada pria satunya, yang duduk menggantungkan kaki pada tepian ranjang di samping Paul Klug. Dia tertawa halus, mata biru mudanya bersinar berkat pantulan cahaya yang masuk melalui jendela. "Kepalanya sekeras batu, Nona Perawat. Tidak ada yang bisa membuatnya berhenti menendang bola." gumamnya padaku.
Aku tidak mau repot-repot membantah perkataannya karena aku juga bukan perawat yang bertanggung jawab untuk ini. "Dua puluh empat jam pertama setelah cedera merupakan masa-masa rentan. Dia perlu istirahat dan meminimalisir kegiatan yang mungkin bisa menyebabkan hal yang tidak kita inginkan." jelasku, memasukkan kembali papan klip ke dalam penyangga. "Saranku, Mr. Klug sebaiknya tidak melakukan aktivitas berat setidaknya sampai besok."
"Coach jelas akan mengamuk." Pria yang satunya bersiul meledek Paul.
Paul melayangkan tatapan mematikan padanya. "Kau yang mengacaukan semuanya dengan tendanganmu, bodoh!" gerutunya frustasi.
Carl memperhatikan dua pria yang saling menyalahkan itu sebelum kembali menatapku dengan senyum kecil di bibirnya. "Aku akan memperhatikannya selama kami berada di lapangan. Terima kasih sudah membantu."
Aku membalas senyumnya. "Sama-sama." Kemudian aku mengamati Paul yang sedang berusaha berdiri, dengan satu tangan menyusir rambutnya. Secara perlahan dan hati-hati, dia mulai berjalan ke arah pintu tanpa menoleh padaku atau teman-temannya.
"Sampai jumpa lagi, Rapunzel." kata Paul sebelum menghilang di balik pintu.
***
Penting untuk pembaca! Buku ini akan mengandung cukup banyak konten vulgar karena setting lokasinya di Jerman, dan budayanya berbeda dengan Indonesia. Well, Bianka punya dua kewarganegaraan karena ayahnya orang Jerman dan ibunya orang Indonesia, dia bebas mau tinggal di dua negara itu.
So, buat yang alim-alim dan gak suka konten dewasa, jangan di teruskan bacanya dari pada nanti komen: "Kok isinya adegan ranjang terus sih."😤😤😤
Dah ya, udah kuingatkan dari awal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Ira
.
2024-07-06
0