Aku terbangun saat mendengar suara 'ping' yang mengganggu berkali-kali berasal dari ponselku. Aku mengerang dan berguling hingga membenamkan wajahku pada permukaan bantal yang lembut dan halus. Kepalaku terasa berdenyut-denyut karena alkohol yang mematikan semalam.
Aku memejamkan mata kuat-kuat untuk mengurangi terpaan cahaya layar ponselku yang menusuk mata di tengah-tengah ruangan kamarku yang gelap. Namun, itu sama sekali tidak berhasil. Aku mengumpat kesal lalu meraih ponselku dan buru-buru mengurangi kecerahan layarnya sebelum memeriksa pesan masuk.
From: Nomor Tak Dikenal: Hey, how are you? Ini aku, Paul Klug.
Oh, Ya Tuhan.
Kilasan kejadian semalam mulai melintas di kepalaku, dan aku mengingat dengan jelas Paul dan aku mengobrol cukup lama tadi malam.
To: Paul: Hai, Paul. Aku hampir mati, bagaimana denganmu?
Ini belum jam sembilan, dan dia mengirimi pesan sepagi ini? Terbuat dari apa tubuhnya itu?
From: Paul: Aku yakin seorang perawat bisa mengatasi efek mabuk, bukan? Aku baik-baik saja, Bianka.
To: Paul: Aku hanya mahasiswa keperawatan, belum lulus, ingat?
Aku heran bagaimana bisa dia bangun sepagi ini pada hari libur, dan mengirimi pesan untukku padahal seingatku semalam dia juga mabuk berat.
Paul pria yang sangat menawan sekaligus menyenangkan, dan aku tahu banyak gadis yang mengikuti perkembangan sepak bola hanya untuk melihatnya bermain. Persis seperti yang dikatakan Camille padanya tadi malam.
Aku baru saja hendak menjauhkan ponsel dan ingin melanjutkan tidur selama beberapa jam lagi, tapi pesan masuk dari Paul menggagalkan rencana itu.
From: Paul: Hm, Bianka... apa kau mau makan siang bersamaku?
To: Paul: Tidak hari ini. Aku akan tenggelam di kamarku sampai malam nanti.
From: Paul: Apa maksudmu di kamarku?
Alisku berkerut dan langsung melempar pandangan melihat meja yang biasanya berada di samping ranjangku. Tapi meja itu tidak berada disana. Ya Tuhan...
Dengan perasaan was-was, kunyalakan senter di ponselku dan mengamati ruangan. Seketika jantungku terpilin saat aku menyadari ini bukan kamarku. Aku pasti tidur di rumah Paul setelah kemarin...
Aku memandangi sekeliling ruangan yang begitu besar dan mewah, tentu saja... dia terkenal dan karirnya juga cemerlang sebagai atlet sepak bola, jadi seharusnya ini bukan kejutan. Paul Klug bisa dengan mudah mendapatkan semua ini, semudah membalikkan telapak tangan.
Aku berdiri lalu mengamati tubuhku, dan aku bersyukur setidaknya pakaianku masih utuh. Rambut dan wajahku jelas berantakan, membayangkan seseorang melihatku saat ini merupakan hal terakhir yang kuinginkan terjadi.
To: Paul: Oh, gosh! Maafkan aku. Aku akan pergi beberapa menit lagi.
From: Paul: No, love. Tidak perlu buru-buru. Temani aku makan malam nanti, oke? Lagi pula, kau berhutang banyak padaku. Aku tidak pergi berlatih hari ini karena mencemaskanmu, dan juga semalam aku sudah mentraktirmu dan teman-temanmu.
Ya ampun, tidak perlu diingatkan lagi! Aku mengerang seraya meremas ponsel kuat-kuat, berharap sesuatu menelanku sekarang hingga menghilang dan kabur dari situasi ini.
To: Paul: Fine, alright. Hanya sekali kencan.
Aku terlalu mabuk untuk menyadari apa yang sudah kuketik dan kukirim kepada Paul. Sampai aku melihat pesan itu lagi dan langsung meringis akibat kebodohanku.
From: Paul: Kencan? Hm, itu bagus, Rapunzel! Bersantailah di rumahku selama yang kau inginkan, dan jangan lupa kirim alamat rumahmu. Aku akan menjemputmu jam tujuh malam.
Aku termenung selama beberapa saat sebelum mengirim alamatku padanya. Jika Paul memang berniat melakukan sesuatu padaku, maka kupastikan dia akan menyesal.
Aku harus segera keluar dari tempat ini. Rasanya aneh berada disini sementara pemiliknya entah dimana. Aku mengumpat ketika telapak kakiku menyentuh lantai yang dingin lalu melangkah dan seketika meringis saat tanpa sengaja menendang salah satu kaki meja.
"Enyahlah, meja sialan!" Dengan kesal aku menajamkan penglihatan sambil berjalan pelan menuju kamar mandi.
Aku menarik napas dalam, mempersiapkan diri sebelum menekan saklar pada salah satu dinding. Ketika lampu sudah menyala, kupandangi lagi sekeliling kamar mandi mewah milik Paul. Hm, benar-benar berbanding terbalik dengan kamar mandi di rumahku.
Paul Klug, si atlet tampan itu tampak hidup dalam kemewahan, dan aku masih tidak percaya semalam kami mengobrol begitu lama, bahkan aku terbangun di rumahnya. Aku tidak tahu apakah ini keberuntungan atau hanya akan menjadi mimpi buruk.
Kuamati penampilanku melalui pantulan cermin di kamar mandi, bersyukur karena setidaknya aku masih mengenakan pakaian yang lengkap, itu berarti tidak terjadi apa-apa antara Paul dan aku semalam.
Namun, beberapa detik kemudian aku sadar, yang kukenakan sekarang... bukan gaunku?!
***
Setelah menghabiskan setengah botol obat penghilang rasa sakit ditambah segelas kopi, aku memutuskan pulang ke rumah. Perasaanku sudah lebih baik berkat obat dan kopi itu.
To: Paul: Aku akan pulang sekarang, terima kasih sudah menyiapkan obat. Oh, aku mencuri kopimu segelas.
Paul membalas pesanku beberapa menit kemudian, tepat saat aku sedang menunggu taksi di depan gedung apartemennya.
From: Paul: Sama-sama, Bianka. Kau kelihatan sangat mabuk.
Taksi pesananku datang lebih cepat dari yang kuduga, dan aku langsung melesak masuk. Aku mengembuskan napas lega karena akhirnya bisa pulang ke rumahku dalam keadaan baik-baik saja. Terima kasih, Tuhan...
To: Paul: Tunggu, apa maksudmu? Apa kau bisa melihatku?
From: Paul: Oh, ada kamera CCTV di depan kamarku. Hanya untuk memastikan kau tidak mencuri mesin penggiling kopi atau benda berharga lainnya...
To: Paul: Umm... itu agak menyeramkan. Percayalah, aku tidak akan mencuri apapun. Terbangun di rumahmu saja sudah cukup memalukan, Paul.
**From: Paul: Love, aku hanya bercanda. Jangan terlalu serius, oke?
To: Paul: Yep. Jadi, kita akan bertemu lagi malam ini**?
Tanpa terasa taksi yang kutumpangi telah tiba di depan rumahku. Aku mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkannya kepada si sopir lalu keluar.
"Hey, baby." gumamku menyapa Frosty, kucing peliharaanku yang berumur dua tahun. Dia mengeong pelan selagi berjalan mendekatiku dari arah dapur.
Kulepaskan hak tinggiku, kemudian aku melangkah melewati Frosty, memeriksa mangkuk air minumnya yang ternyata masih terisi setengah. Aku mengganti air minumnya dan menuang makanan kucing ke dalam mangkuk di sebelah mangkuk air.
"There you go," kataku, dengan lembut menyusurkan jemariku mengusap bulunya yang putih dan halus begitu dia duduk di dekatku.
Ketika Frosty mulai makan, aku meninggalkannya ke dapur. Aku membutuhkan lebih banyak kopi untuk mengatasi sisa mabuk semalam. Rumahku memang tidak semewah milik Paul, tapi aku merasa nyaman berada disini. Dan ya... aku bersyukur setidaknya tempat tinggalku masih layak huni dan aku cukup bangga karena bisa membelinya dengan hasil kerja kerasku selama di Indonesia.
Satu-satunya yang menggangguku saat ini hanya masalah kuliah dan pinjaman yang harus kulunasi.
Awalnya aku berpikir dengan ilmu yang kupelajari di Indonesia, aku akan bekerja dengan mudah di Jerman, namun ternyata aku salah. Karena sistem yang berbeda, mau tidak mau aku harus mengulang kembali pendidikanku selama dua tahun. Untuk itulah aku berhutang di bank, dan aku harus bekerja lebih keras agar bisa menyelesaikan semuanya.
Aku menarik napas dalam. "Semangat, Bianka! Kau bisa melakukannya." kataku menyemangati diri sendiri.
From: Paul: Aku akan menjemputmu menggunakan Ferrari, bukan Lambo. Sampai jumpa, Rapunzel!
Aku tertawa membaca pesannya. Dia sombong dengan cara yang aneh. Paul Klug... Hm...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments