"Omong kosong! Ini hanya cedera ringan, jadi bisakah kau membiarkanku pergi?"
Itu adalah hal pertama yang kudengar begitu memasuki sebuah ruang perawatan di rumah sakit tempatku bekerja. Dokter yang bertanggung jawab memintaku mengatasi sedikit kekacauan disini.
Aku berderap menghampiri dr. Grey yang tampak gagah dalam balutan jas putih kebanggaannya sambil memegang papan klip. Di hadapannya, duduk seorang pria berambut gelap, dengan memar yang sangat jelas di tulang pipinya. Tampak janggut tipis menghiasi sepanjang rahangnya.
Dr. Grey menoleh menyadari kedatanganku. "Akhirnya kau datang juga," gumamnya ringan.
Tatapan pasien itu mengarah padaku dan seketika sikap protesnya menguap begitu saja.
Sebagai informasi, saat ini aku sedang menjalani tahun pertamaku dalam program dua tahun untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan di Jerman. Hal ini membuatku terlibat dalam serangkaian kegiatan medis, yang berarti aku harus mempraktikkan semua hal yang telah kupelajari di lingkungan rumah sakit, dan sebagian besarnya di bawah pengawasan langsung para dokter.
Dr. Grey menyerahkan papan klip di tangannya padaku agar aku bisa melihat data hasil pemeriksaan pasien itu, dan aku mendapati informasi yang menyatakan dia mengalami gegar otak ringan. Cederanya tidak terlalu serius, tapi dia tetap harus istirahat total selama beberapa hari jika ingin mengembalikan kondisinya.
"Bagaimana?" tanya Dr. Grey, tampak agak gelisah, kemungkinan besar dia sedang mengalami hari yang buruk seperti yang sering terjadi padanya.
Aku berdeham dan menoleh padanya. "Acetaminophen dan istirahat selama beberapa hari, maka dia akan baik-baik saja."
Dr. Grey menganggukkan kepala disertai senyum bangga yang terlintas di bibirnya meski hanya sekilas. "Bagus, Bianka. Aku..."
"Acetamin, sialan, apa itu? Dengar, aku harus berlatih besok, dan aku tidak bisa melakukan 'Istirahat Selama Beberapa Hari'," kata Pasien itu memotong ucapan Dr. Grey. Suaranya terdengar frustasi.
Dr. Grey dan aku menunduk menatap pasien itu dan mendapati raut tak senang terpancar di wajahnya yang terpahat sempurna selagi dia memandangi kami dengan tatapan tak sabar.
Dr. Grey menarik napas setelah melirik pager-nya yang berbunyi. "Bisakah kau menyiapkan parasetamol dan mengurusnya? Aku masih harus mengecek pasien lain." katanya.
Aku mengangguk. "Ya, dok." Aku berusaha terlihat bersemangat untuk menyenangkannya. Suatu hal yang selalu kulakukan untuk melancarkan upayaku mendapat lisensi dalam bekerja sebagai perawat. Menjilat para dokter.
Dr Grey bergegas meninggalkan ruangan sementara aku bergerak meletakkan papan klip pada bagian bawah sisi ranjang pasien.
Aku mengalihkan pandangan pada pria yang duduk di ranjang, yang dengan cermat mengawasi setiap gerak-gerikku. "Acetaminophen sama dengan paracetamol." kataku menjelaskan. "Kau membutuhkan istirahat setidaknya selama dua hari, Sir."
Dia menggelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, Rapunzel. Piala Dunia akan di gelar kurang dari dua bulan, dan aku harus berlatih." gumamnya dengan raut putus asa, jelas tak senang berada di ruangan ini.
"Oh, kau pemain bola?" tanyaku terkejut, semakin menyadari dia sangat membutuhkan istirahat setelah cedera yang menghantamnya.
Pria itu memperhatikanku dengan raut aneh, seolah aku benar-benar sudah gila. Kemudian dia tertawa halus seraya menggoyangkan kepala tak percaya. "Tentu saja. Namamu Bianka, bukan?" dengkurnya sinis, menyombongkan diri. Tapi apa yang bisa kulakukan? Keadaan memang tidak berpihak padanya saat ini.
"Ya. Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan paracetamol untukmu, oke?" Aku menaikkan alis sembari tersenyum ramah, menunggu jawabannya.
Dia membuang napas kasar dan menyusurkan jemari ke rambutnya yang tebal, lalu mengalihkan tatapan dariku dan mengangguk pasrah. Kemudian aku langsung keluar dari ruang perawatan.
"Apakah ini untukmu?" tanya Stacey, salah satu temanku, setelah menyerahkan sebotol pil berisi paracetamol kepadaku. "Apa kau mulai merasa lelah bekerja sebagai perawat?"
Aku tergelak dan menggeleng. Seberat apapun tugas yang di limpahkan para dokter selama aku bekerja di rumah sakit, aku tidak pernah menganggap itu sebagai sesuatu yang serius. Bekerja sebagai perawat adalah satu-satunya hal yang paling kuinginkan dalam hidup, dan aku menyukai setiap prosesnya. "Seorang pemain bola mengalami gegar otak." ujarku menjelaskan.
Mendadak alis Stacey terangkat. "Tampan?" tanyanya, mengundang tatapan penasaran dari staf medis yang berjalan di sepanjang lorong.
"Sampai jumpa saat makan siang, say." balasku sambil mengedipkan mata, membiarkan rasa penasaran berkelebat di kepalanya. Aku terkekeh mendengar dia mengumpat pelan selagi aku berjalan menjauhinya.
Begitu kembali ke ruang perawatan pemain dimana bola itu berada, aku melihat dia sedang mencoba berdiri dari atas ranjang. "Sir, tolong jangan bergerak." Dengan cepat aku mendekatinya. Dia mengangkat wajah, menatapku dengan kedua matanya yang gelap. Senyum tipis tampak di sudut bibirnya. "Aku membawakan paracetamol untukmu, ini akan meringankan sakit kepalamu..."
"Aku baik-baik saja." Dia mendengus dan mengangkat tubuhnya dengan kedua tangan ke sisi tempat tidur, berusaha menegakkan tubuh di hadapanku. "Aku tidak butuh obat sialan itu."
"Tolong dengarkan aku, kubilang duduk." ucapku tegas, membuatnya terpaksa menurut karena mataku yang tajam menatapnya. Sambil menggerutu, dia melakukan apa yang kuperintahkan dan kembali ke posisi semula seperti saat aku meninggalkannya. "Ini paracetamol-nya." Aku menyodorkan botol pil itu beserta segelas air padanya.
Dia memandangi pil itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menyerah dan dengan terpaksa meraihnya dari tanganku. Aku berbalik untuk mencatat ini di papan klip sementara dia menelan obat. Aku baru saja hendak membaca namanya saat mendengar suara dua orang pria memasuki ruangan.
Aku menoleh ke samping secara langsung mengenali salah satu dari dua pria itu. Dia Carl Austerlitz, sang kapten tim sepak bola nasional Jerman. Aku tidak tahu banyak tentang sepak bola, tetapi ayahku adalah salah satu penggemar olahraga itu, dan seringkali mengagungkan nama Carl Austerlitz setiap kali ada kesempatan.
Seorang pria lainnya menyeringai. "Bagaimana keadaanmu? Kelihatannya cukup parah, ya." Dia bertanya pada temannya yang duduk di ranjang pasien sementara aku kembali menoleh ke papan klip.
Paul Klug tertera pada bagian atas kertas catatan medis, dan aku langsung mengenali nama itu. Aku sudah sering melihat dan mendengar namanya dimana-mana selama hampir enam bulan tinggal di Jerman.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Kita bisa pergi sekarang." dengkur Paul, mulai berdiri lagi.
"Apa kondisinya memungkinkan untuk latihan?" Sebuah suara dalam dan serak memaksaku melihat. Itu suara si seksi Carl.
Meskipun aku tidak begitu tertarik pada sesuatu yang berbau olahraga, namun Cristiano Ronaldo sudah mencuri hatiku sejak aku remaja. Dia idolaku dan membayangkan Carl Austerlitz yang pernah bertemu dengannya, cukup membangunkan naluri fans yang liar dalam diriku. "Setelah beberapa hari istirahat total, ya, dia akan baik-baik saja." jawabku seraya menganggukkan kepala.
Aku mengalihkan pandangan pada pria satunya, yang duduk menggantungkan kaki pada tepian ranjang di samping Paul Klug. Dia tertawa halus, mata biru mudanya bersinar berkat pantulan cahaya yang masuk melalui jendela. "Kepalanya sekeras batu, Nona Perawat. Tidak ada yang bisa membuatnya berhenti menendang bola." gumamnya padaku.
Aku tidak mau repot-repot membantah perkataannya karena aku juga bukan perawat yang bertanggung jawab untuk ini. "Dua puluh empat jam pertama setelah cedera merupakan masa-masa rentan. Dia perlu istirahat dan meminimalisir kegiatan yang mungkin bisa menyebabkan hal yang tidak kita inginkan." jelasku, memasukkan kembali papan klip ke dalam penyangga. "Saranku, Mr. Klug sebaiknya tidak melakukan aktivitas berat setidaknya sampai besok."
"Coach jelas akan mengamuk." Pria yang satunya bersiul meledek Paul.
Paul melayangkan tatapan mematikan padanya. "Kau yang mengacaukan semuanya dengan tendanganmu, bodoh!" gerutunya frustasi.
Carl memperhatikan dua pria yang saling menyalahkan itu sebelum kembali menatapku dengan senyum kecil di bibirnya. "Aku akan memperhatikannya selama kami berada di lapangan. Terima kasih sudah membantu."
Aku membalas senyumnya. "Sama-sama." Kemudian aku mengamati Paul yang sedang berusaha berdiri, dengan satu tangan menyusir rambutnya. Secara perlahan dan hati-hati, dia mulai berjalan ke arah pintu tanpa menoleh padaku atau teman-temannya.
"Sampai jumpa lagi, Rapunzel." kata Paul sebelum menghilang di balik pintu.
***
Penting untuk pembaca! Buku ini akan mengandung cukup banyak konten vulgar karena setting lokasinya di Jerman, dan budayanya berbeda dengan Indonesia. Well, Bianka punya dua kewarganegaraan karena ayahnya orang Jerman dan ibunya orang Indonesia, dia bebas mau tinggal di dua negara itu.
So, buat yang alim-alim dan gak suka konten dewasa, jangan di teruskan bacanya dari pada nanti komen: "Kok isinya adegan ranjang terus sih."😤😤😤
Dah ya, udah kuingatkan dari awal.
Aku nyaris menjatuhkan kartu kredit dan ponsel dari tanganku saat mendengar suara serak yang mengejutkan tepat di belakangku. Aku memutar kepala untuk melihat seorang pemain bola yang sempat kurawat kemarin, dan jelas aku masih ingat seharusnya dia beristirahat selama dua hari.
Dan sekarang dia disini, di klub malam...
"Kau mengejutkanku!" kataku dengan suara keras untuk mengatasi dentuman musik yang membahana sambil tertawa, tidak tahu harus mengatakan apa tentang pertemuan tak terduga ini.
Dia menyeringai. "Sama, aku juga ketakutan melihatmu," Kemudian dia melangkah maju agar bisa bersandar di meja bar. "Apa yang kau lakukan disini, Bianka?" Tatapannya beralih dari seorang bartender yang tampak sibuk menyiapkan pesanan, dia memandangku yang kini sudah agak mabuk.
Aku meniru gaya berdirinya. "Ini hari jumat dan aku sedang beruntung karena mendapatkan libur di akhir pekan." sahutku santai lalu menggoyangkan kepala. "Dau kau... kenapa kau berada disini? Bukankah sudah kubilang kau perlu istirahat selama beberapa hari? Klub jelas-jelas bukan tempat yang pantas kau datangi sekarang, Mister...."
Dia tampak terhibur selagi memandangiku dengan mata gelapnya. Aku baru tahu dia memiliki tato di lengannya, tapi tidak cukup jelas untuk memastikan gambarnya.
Dia terkekeh halus. "Kau tidak mabuk, kan?" gumamnya, lalu memanggil bartender.
Aku mengangkat bahu. "Aku masih sadar, tenang saja." Alisku berkerut karena aku sudah menunggu disini selama berabad-abad, dan pria ini berhasil mendapatkan perhatian si bartender hanya dengan anggukan kecil.
"Kuanggap itu sebagai tidak," Dia tersenyum padaku sementara aku menatapnya.
"Apa yang bisa kuberikan padamu, Klug?" Bartender itu meninggalkan pelanggan yang lain, yang dengan sabar mengantre di belakang pria yang entah siapa namanya.
"Tiga Corona, dan bawa secepatnya," katanya sebelum kembali menatapku. "Apa yang kau butuhkan, Rapunzel?"
Aku menyisir rambutku dengan tangan dan mengulurkan lenganku yang lain lebih jauh ke meja, telapak tangan menghadap ke bawah. "Empat koktail Malibu, terima kasih..." Si bartender mengangguk dan bergegas untuk menyiapkannya.
Aku berbalik menghadap ke sisi pria itu sementara dia masih menyandarkan tangannya di konter, memberiku pemandangan yang sangat indah. Aku melihat saat dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, dan seketika alisku berkerut.
Uang yang dikeluarkannya terlalu banyak kalau hanya untuk membayar tiga botol Corona.
"Oh, tidak," Aku cepat-cepat menggelengkan kepala, membuatnya melihat ke arahku saat aku mulai melambaikan kartu kreditku di depan wajahnya. "Aku akan membayar sendiri minumanku."
Dia terkekeh dan menggelengkan kepala. "Kau menyelamatkan hidupku kemarin. Aku yang akan membayar."
"Aku hanya memberimu parasetamol," gumamku beralasan, mulai merasa tidak nyaman dengan tatapan aneh dari beberapa pria di bagian ujung meja bar.
"Dan sekarang aku berterima kasih padamu untuk itu," Dia mengerdipkan mata sekilas, sudut bibirnya tertarik membentuk seringai kecil.
"Kau tahu, kau tidak boleh minum alkohol setelah mengalami cedera otak," Kemudian aku mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat hingga dia bisa mendengar ucapanku di sela-sela musik yang berdentum keras. "Itu bisa meningkatkan risiko depresi."
"Ini bukan gegar otak pertamaku, Birdie. Setelah seseorang memberi tahu rekan setim-ku kalau aku tidak bisa ikut bermain dalam latihan malam ini, pelatih memaksaku untuk beristirahat," jelasnya, dengan nada menggoda dalam suaranya, "Secara otomatis kau memaksaku untuk pergi untuk clubbing."
Aku mendengus. "Kau bisa saja tinggal di rumah untuk beristirahat ..."
T-shirt hitam yang dikenakannya, bersama dengan skinny jeans hitam, jelas menggambarkan tubuhnya yang keras. Tanpa malu-malu aku memandanginya, dan dia tampaknya sangat menyadari tatapan mataku yang liar memeriksa setiap inci tubuhnya.
"Apa yang menyenangkan dalam hal itu? Aku tidak akan bisa melihatmu jika dirumah, kan?"
Aku memberinya senyum kecil ketika tiga Corona pesanannya tiba di depannya. Lalu pria itu mengangguk pada bartender dan menyerahkan uang kepadanya, kemudian memperhatikan ketika si bartender pergi untuk menyiapkan pesananku.
"Maaf, siapa namamu?" tanyaku seraya tertawa canggung ketika dia kembali menatapku. Keadaanku yang cukup mabuk membuatku mengoceh tanpa sadar.
"Kau tidak tahu namaku?" Dia mengangkat alisnya ke arahku sedikit sebelum berdeham dan menggelengkan kepalanya. "Maaf, abaikan itu. Itu adalah satu-satunya hal paling sombong yang pernah kukatakan."
Aku menyeringai lembut dan menunggu dia melanjutkan.
"Aku Paul Klug. Apa kau punya nama belakang, Bianka?"
"Bianca Becker," kataku padanya dengan anggukan kecil sebelum ponselku tiba-tiba bergetar hebat di tanganku, hampir membuatku melompat. Kami berdua melihat ke bawah. Teman-temanku sengaja mengirimi pesan spam, bertanya apakah aku tersesat dan baik-baik saja.
"Apa itu kekasihmu?" Paul berdeham, membalikkan tubuh kekarnya menghadapku. Aku menggelengkan kepala sambil tertawa, lalu mengirim balasan untuk memberi tahu teman-temanku bahwa aku akan kembali ke meja kami dalam beberapa menit.
"Tidak, aku masih sendiri. Teman-temanku agak khawatir karena aku terlalu lama." Aku menatapnya dan melihat seringai nakal terbentuk di bibirnya.
"Kau bisa saja memberi tahu mereka kalau kau bertemu dengan pemain sepak bola terkeren, aku yakin mereka akan mengerti." cetusnya bercanda, dan aku tertawa lagi. Dengan lembut aku mengulurkan tanganku di sepanjang lengannya, dengan cara yang nyaris genit, karena jarak kami sangat dekat.
"Ini dia," Aku tidak punya waktu untuk menatap lebih lama ke matanya, karena si bartender sudah mendorong empat koktail di atas meja ke arahku.
Aku mengucapkan terima kasih kepada bartender itu sebelum kembali menghadap pria mengagumkan yang ada di hadapanku.
"Kau sangat cantik," gumamnya padaku, kemudian dengan mudah meraih tiga botol corona di atas meja sementara aku berjuang membawa pesananku.
Aku terkekeh. "Aku merupakan penciptaan terburuk yang pernah ada," gumamku, memandang bingung kepada segelas cocktail yang tidak bisa kubawa.
Paul menyeringai senang. "Biar kubantu, Rapunzel." Aku mengangguk lalu berbalik menembus kerumunan menuju ke meja dimana Stacey, Camille dan Elise sedang menunggu.
Mereka memekik ketika melihatku, tampak sama mabuknya denganku. Aku merasa lega setelah meletakkan ketiga cocktail yang kubawa ke atas meja tanpa menumpahkan isinya sedikitpun, sementara Paul mengikuti di belakang dan meletakkan cocktail ke empat.
Aku memandangi raut teman-temanku selagi mereka memperhatikan Paul lekat-lekat, dan mendadak tubuhku gemetar halus ketika dada Paul yang keras menyapu bagian punggungku.
Aku tahu jika sampai Stacey membuka mulut dan mengatakan sesuatu kepada Paul, maka sudah dipastikan dia akan membuatku malu. Dan sebelum itu terjadi, aku berbalik menghadap Paul yang tampak keren dengan setelan casual sera hitamnya. "Terima kasih." gumamku seraya tersenyum.
Dia mengangguk lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Boleh aku menyimpan kontakmu? Siapa tahu aku butuh parasetamol lagi suatu hari nanti." Dia menyeringai setelah melihatku tertawa.
Aku meraih ponselnya dan dengan cepat mengetik nomor kontakku disana, lalu memastikan nomor itu sudah benar dan mengembalikan ponselnya. "Mau bergabung bersama kami?" tanyaku kemudian.
Ketiga temanku sudah turun ke lantai dansa dan berjoget sambil menggoda sedikitnya tiga pria yang berbeda sejak pertama kami masuk ke tempat ini. Sementara aku, sejauh ini hanya berbicara pada Paul Klug, si pemain sepak bola seksi.
"Teman-temanku sedang menunggu." Paul mendorong dagunya ke salah satu meja di sudut ruangan yang lebih gelap. Tapi aku masih bisa melihat... wow, okay. Tiga pelayan yang hanya mengenakan pakaian dalam, dan salah satunya sedang berciuman dengan teman Paul yang menjemputnya di rumah sakit kemarin. "Nikmati sisa malammu bersama teman-temanmu, aku akan menghubungimu nanti." katanya sambil tersenyum lalu menghilang di balik kerumunan.
Ketika aku kembali memutar kepala, Elise mulai menyerangku dengan pertanyaan anehnya. "Apa kau tahu dia Leo?" Dia memulai, ramalan zodiak akan terdengar mulai saat ini. Terima kasih cocktail yang sudah membuatnya mabuk.
"Kutebak ini tidak berakhir cepat jika kau mengetahui itu." sahutku sambil tertawa.
Elise hanya mengedikkan bahu, menyesap minumannya. "Tentu saja aku tahu zodiaknya, dia wakil kapten tim nasional sepak bola Jerman," katanya beralasan. "Kau perlu waspada terhadap Leo, mereka bisa menjadi..."
"Apa dia yang membutuhkan parasetamol kemarin?" Camille tiba-tiba memotong ucapan Elise dan langsung menarik kesimpulan.
Aku menggeleng. "Ganti topik!" seruku sebelum pembicaraan kami berlanjut kemana-mana. "Ini sama sekali tidak penting. Dia hanya membelikan minuman sebagai ungkapan terima kasih karena aku membantunya kemarin. Dan mungkin tanpa sadar aku sudah mempermalukan diriku di hadapannya. Well, ini cocktail ketigaku, jadi..."
"Oh, Lord!" Camille memekik. "Paul Klug yang membeli minuman ini?" katanya seraya mendesah penuh hasrat, aku merasa seakan dia bisa mencapai puncak di tempat duduknya.
"Oh, Camille. Kumohon... enyahkan pikiran kotormu itu!"
Aku seseorang yang sangat sulit bersosialisasi. Yah, aku memiliki masalah yang luar biasa jika menyangkut keterbukaan pada orang lain, sekalipun aku berada dalam kondisi setengah sadar. Semua itu disebabkan oleh kekhawatiranku pada pendidikan, pekerjaan, hutang biaya kuliah yang harus kulunasi, dan masih banyak yang lagi masalah lainnya. Karena itulah aku jarang berhubungan dengan pria.
Latar belakang keluargaku yang berantakan perlahan memaksaku menjadi seorang penyendiri, dan aku sudah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri.
Ketika Camille dan Elise menari di lantai dansa yang penuh dengan segerombolan orang, Stacey dan aku memilih tetap duduk di meja kami. Kesadaranku bisa di bilang sudah hilang setengah mengingat aku sudah menghabiskan beberapa gelas cocktail selama dua jam terakhir.
"Holy cow!" Mendadak Stacey bergumam pelan, matanya melebar memandangi sesuatu di balik bahuku setelah dia menyesap minumannya.
"Apa kau bilang?" kataku pura-pura tersinggung seraya menyusurkan jemari ke rambut dan memilinnya.
Stacey menatapku dengan seringai jahil di mulutnya lalu meletakkan gelasnya ke permukaan meja kayu. "Kau berhutang banyak padaku, Bitches!" Alisku terangkat heran ketika Stacey buru-buru meraih tasnya, lalu mengerdip padaku dan tanpa mengatakan apapun lagi dia melangkah meninggalkanku.
Belum sempat aku menangkap maksud ucapannya yang aneh, Paul Klug, si pesepak bola tampan nan seksi itu menarik kursi di sampingku dan dengan santai duduk disana. "Sepertinya kau sedang bosan, Bianka." katanya dengan suara sedikit keras.
Alisku terangkat naik saat menatapnya, suara tawa terkejut keluar begitu saja dari mulutku, dan dia tampak terhibur dengan sikapku. Paul duduk menghadap ke arahku, sebelah tangannya bertumpu pada bagian atas sandaran kursi. Sama sepertiku, dia juga terlihat agak mabuk. Tapi kami belum benar-benar mabuk, lho.
"Itu bukan cara yang baik untuk memulai percakapan, Sir." kataku serak. "Aku yakin kau bisa lebih baik daripada itu."
"Maaf, tapi aku memang tidak begitu pandai merayu, Ms. Becker. Bagaimana jika aku mengundangmu ke rumahku malam ini?" Dia tersenyum ketika aku tertawa menanggapi sikap terus terangnya.
Aku menegakkan tubuh dan berputar sedikit agar menghadapnya. "Hanya karena aku menyelamatkan hidupmu sekali, bukan berarti aku tidak sanggup mencabut nyawamu, Paul."
"Wow," desahnya sembari memandangku dengan tatapan panas dan menggoda. "Kukira perawat punya sumpah tertentu yang harus di ikuti."
"Hm.. sekalipun aku sudah bekerja sebagai perawat terdaftar, aku tidak akan menggunakan sumpah itu. Ada sumpah lain yang lebih tinggi di atas itu." balasku dan dia mengangguk. "Jadi, kau tidak akan selamat dengan mudah jika kau membuatku berada dalam bahaya."
Paul mengangkat kedua tangan tanda menyerah, senyum menggoda tampak menghiasi sudut bibirnya. "Sama sekali tidak bermaksud membahayakanmu, love... Lagi pula, aku sudah berusaha menunjukkan kebaikan dengan membelikan minuman untukmu dan teman-temanmu."
"Oh, ya... omong-omong, terima kasih untuk itu. Mereka tidak mengira kau akan melakukannya." ucapku sambil tersenyum, dengan santai menyandarkan punggungku pada sandaran kursi lalu menunduk ketika dia menatapku. Tatapannya terlalu berbahaya.
Paul terkekeh seraya menggoyangkan kepala. "Tentu saja mereka tidak mengira itu, kupikir kau satu-satunya orang yang tidak mengenalku disini." balasnya bercanda. "Boleh aku membelikan minumanmu lagi?"
Sejujurnya itu bukan ide yang bagus mengingat keadaanku sudah mulai kacau, tapi kurasa tidak ada salahnya. Ini kesempatan besar bisa mengobrol bersama pria tampan, dan persis seperti yang dikatakan Elise, Paul memiliki sisi yang menyenangkan. Disamping itu, ini merupakan libur akhir pekan pertama yang kudapatkan dalam beberapa waktu belakangan, jadi aku ingin benar-benar menikmatinya.
Paul sudah berjalan ke arah meja bartender untuk memesan minuman kami dan kembali beberapa saat kemudian. Entah karena semua orang mengenalnya atau karena tampangnya yang keren, dia langsung mendapatkan pesanannya tanpa membuat seorangpun marah karena telah memotong antrean.
"Mm, apa ini? Aku suka," kataku setelah menyesap cocktail berwarna oren kemerahan dari sedotan yang juga berwarna merah.
Paul berdeham. "Siapa yang tidak menyukai 'S-e-x on the Beach', love?" gumamnya, membuatku tertawa, entah untuk yang keberapa kalinya malam ini. Aku memainkan sedotan selagi dia maju lebih dekat dan bertumpu pada pegangan kursiku. "Terutama denganku."
Aku terkikik dan mendorong lengannya dengan lembut seraya menikmati keindahan pada wajahnya. Paul menyeringai, jelas bangga pada keberhasilannya menggodaku. "Aku suka melihatmu tertawa. Manis sekali." katanya padaku.
"Tunggu sampai aku menghabiskan beberapa gelas lagi, dan kau akan melihat lebih banyak." balasku, perlahan tersenyum. Dia mengangguk lalu menyesap bir di tangannya sebelum memanggil si bartender ke meja kami.
Lagi-lagi aku terperangah saat melihat si bartender langsung meninggalkan tempatnya begitu Paul mengangkat tangan, bahkan tanpa menatapnya. Dengan canggung aku menghabiskan sisa cocktail di gelasku sementara Paul mengatakan pada si bartender agar terus mengisi gelasku.
Aku bukan tipikal gadis pemalu, tapi sekarang kemampuanku untuk mengatakan sesuatu seakan menghilang begitu saja. Pikiranku seketika kosong tiap kali aku beradu pandang dengan Paul. Pria ini memang berbahaya. Pesonanya sedikit mengancam kepercayaan diriku.
"Apa kau senang?" Paul bertanya sesaat setelah bartender itu melangkah.
"Hm?" gumamku, tidak mendengar apa yang dikatakannya dengan jelas. Well, suara musik menggema di seluruh ruangan.
Paul tersenyum lalu menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. Satu tangannya menumpang di sandaran kursiku sementara satu tangannya yang lain memegang bir.
Setelah dia mengulangi pertanyaannya, aku pun menjawab. "Ya, cukup menyenangkan malam ini. Kau tahu, kuliah dan bekerja... aku butuh hiburan sejenak dari dua kegiatan itu, meskipun sebenarnya aku agak lelah." Paul mendengarkan. "Bagaimana denganmu? Apa kau begitu menyukai sesi latihanmu? Karena kelihatannya kau sangat kecewa saat cedera kemarin."
Paul mengedikkan bahu sekilas, matanya turun menatap bibirku selama beberapa saat. Ketika pandangan kami bertemu lagi, entah sengaja atau tidak dia menjilat bibirnya dengan cara yang amat menggoda. Membuat sekujur tubuhku mendadak terbakar.
"Tentu saja aku menyukainya. Aku agak bersyukur karena cedera itu kita bisa bertemu dan mengobrol."
"Ya, benar." Aku tersenyum senang, kemudian mengucapkan terima kasih pada bartender yang baru saja menukar gelas kosong milikku dengan yang baru.
"Tapi..." Paul melanjutkan. "Terlalu banyak tekanan belakangan ini, dan bolos saat latihan bukan sesuatu yang menguntungkan untuk karirku. Itu kenapa aku sangat marah kemarin."
"Tekanan seperti apa?" tanyaku penasaran.
"Sebentar lagi Piala Dunia akan digelar, love. Aku yakin kau pasti tahu itu." Paul tampak senang mendapati pengetahuanku yang minim soal sepakbola.
Aku tertawa pelan seraya menggelengkan kepala, lalu mengangkat gelasku dan menyeruput isinya sedikit. "Aku tidak terlalu paham soal olahraga. Nyaris tidak mengetahui apapun, terutama tentang sepak bola." kataku menjelaskan sementara Paul tersenyum geli. "Tapi ayahku fans keras tim nasional Jerman, dan dia sering membicarakanmu."
"Oh, ya? Kalau begitu, apa kau mulai tertarik sekarang?" tanyanya, tampak antusias dan aku menyukai percakapan ini.
"Ya Tuhan! Hai!" Aku hampir melompat saat mendengar suara yang kukenali berseru dari belakang. Aku menoleh Camille yang menepuk pundakku, dia sedang mengamati Paul dengan senyum lebar hingga aku yakin mulutnya akan terkoyak sebentar lagi.
"Hai," balas Paul, lalu meneguk birnya.
"Dengar, aku tidak tahu apakah temanku sudah mengatakan ini atau belum... Paul, kau benar-benar tampan." Camille mengoceh, dan aku meringis. Dia amat sangat mabuk. "Kau satu-satunya alasanku mengikuti berita tentang sepak bola. Oh, dan juga Carl Austerlitz... tentu saja."
"Terima kasih. Carl juga alasanku bermain sepak bola, kurasa kita sepakat soal itu." balas Paul.
Camille mengikik senang, terima kasih kepada alkohol yang sudah mengubah sikap malu-malunya. "Omong-omong, Bianka, say..." Dia berbicara sambil menghadapku hingga napasnya yang panas menyapu kulit wajahku.
"Ya?"
"Aku akan pulang bersama Aaron." katanya.
Aku mengerutkan dahi. "Kukira hubungan kalian sudah berakhir lagi?" gumamku pelan. Aku menoleh ke belakang Camille dan melihat Aaron disana. Mantan kekasihnya. Dia tersenyum padaku seraya menganggukkan kepala, terlihat santai di tempatnya berdiri.
Camille mencium pipiku. "Besok kujelaskan, babe."
"Okay, hati-hati. Kabari aku jika terjadi sesuatu." sahutku. Camille menggangguk.
Alasan kenapa hubungan Camille dan Aaron sering putus-nyambung disebabkan oleh Camille yang sulit menjaga hubungan jangka panjang. Dia berkali-kali mengkhianati Aaron, tapi si Aaron yang bodoh itu terlalu mencintainya dan tidak bisa melupakannya. Mereka akan selalu kembali bersama setelah Camille menyelesaikan permainannya dengan pria lain.
"Apa kau baik-baik saja, love?" suara Paul menarik pikiranku kembali, dan aku baru menyadari dia sedang memilin rambutku dengan jemarinya.
"Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih." balasku sambil tersenyum. Aku mengamati gerak-geriknya yang anggun saat perlahan dia menyentuh pahaku yang terbuka, membuat darahku berdesir halus.
"Ceritakan padaku lebih banyak tentang dirimu."
Aku mengobrol bersama Paul sepanjang sisa malam itu dan kurasa dia cukup asyik untuk dijadikan teman bersantai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!