Aku nyaris menjatuhkan kartu kredit dan ponsel dari tanganku saat mendengar suara serak yang mengejutkan tepat di belakangku. Aku memutar kepala untuk melihat seorang pemain bola yang sempat kurawat kemarin, dan jelas aku masih ingat seharusnya dia beristirahat selama dua hari.
Dan sekarang dia disini, di klub malam...
"Kau mengejutkanku!" kataku dengan suara keras untuk mengatasi dentuman musik yang membahana sambil tertawa, tidak tahu harus mengatakan apa tentang pertemuan tak terduga ini.
Dia menyeringai. "Sama, aku juga ketakutan melihatmu," Kemudian dia melangkah maju agar bisa bersandar di meja bar. "Apa yang kau lakukan disini, Bianka?" Tatapannya beralih dari seorang bartender yang tampak sibuk menyiapkan pesanan, dia memandangku yang kini sudah agak mabuk.
Aku meniru gaya berdirinya. "Ini hari jumat dan aku sedang beruntung karena mendapatkan libur di akhir pekan." sahutku santai lalu menggoyangkan kepala. "Dau kau... kenapa kau berada disini? Bukankah sudah kubilang kau perlu istirahat selama beberapa hari? Klub jelas-jelas bukan tempat yang pantas kau datangi sekarang, Mister...."
Dia tampak terhibur selagi memandangiku dengan mata gelapnya. Aku baru tahu dia memiliki tato di lengannya, tapi tidak cukup jelas untuk memastikan gambarnya.
Dia terkekeh halus. "Kau tidak mabuk, kan?" gumamnya, lalu memanggil bartender.
Aku mengangkat bahu. "Aku masih sadar, tenang saja." Alisku berkerut karena aku sudah menunggu disini selama berabad-abad, dan pria ini berhasil mendapatkan perhatian si bartender hanya dengan anggukan kecil.
"Kuanggap itu sebagai tidak," Dia tersenyum padaku sementara aku menatapnya.
"Apa yang bisa kuberikan padamu, Klug?" Bartender itu meninggalkan pelanggan yang lain, yang dengan sabar mengantre di belakang pria yang entah siapa namanya.
"Tiga Corona, dan bawa secepatnya," katanya sebelum kembali menatapku. "Apa yang kau butuhkan, Rapunzel?"
Aku menyisir rambutku dengan tangan dan mengulurkan lenganku yang lain lebih jauh ke meja, telapak tangan menghadap ke bawah. "Empat koktail Malibu, terima kasih..." Si bartender mengangguk dan bergegas untuk menyiapkannya.
Aku berbalik menghadap ke sisi pria itu sementara dia masih menyandarkan tangannya di konter, memberiku pemandangan yang sangat indah. Aku melihat saat dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, dan seketika alisku berkerut.
Uang yang dikeluarkannya terlalu banyak kalau hanya untuk membayar tiga botol Corona.
"Oh, tidak," Aku cepat-cepat menggelengkan kepala, membuatnya melihat ke arahku saat aku mulai melambaikan kartu kreditku di depan wajahnya. "Aku akan membayar sendiri minumanku."
Dia terkekeh dan menggelengkan kepala. "Kau menyelamatkan hidupku kemarin. Aku yang akan membayar."
"Aku hanya memberimu parasetamol," gumamku beralasan, mulai merasa tidak nyaman dengan tatapan aneh dari beberapa pria di bagian ujung meja bar.
"Dan sekarang aku berterima kasih padamu untuk itu," Dia mengerdipkan mata sekilas, sudut bibirnya tertarik membentuk seringai kecil.
"Kau tahu, kau tidak boleh minum alkohol setelah mengalami cedera otak," Kemudian aku mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat hingga dia bisa mendengar ucapanku di sela-sela musik yang berdentum keras. "Itu bisa meningkatkan risiko depresi."
"Ini bukan gegar otak pertamaku, Birdie. Setelah seseorang memberi tahu rekan setim-ku kalau aku tidak bisa ikut bermain dalam latihan malam ini, pelatih memaksaku untuk beristirahat," jelasnya, dengan nada menggoda dalam suaranya, "Secara otomatis kau memaksaku untuk pergi untuk clubbing."
Aku mendengus. "Kau bisa saja tinggal di rumah untuk beristirahat ..."
T-shirt hitam yang dikenakannya, bersama dengan skinny jeans hitam, jelas menggambarkan tubuhnya yang keras. Tanpa malu-malu aku memandanginya, dan dia tampaknya sangat menyadari tatapan mataku yang liar memeriksa setiap inci tubuhnya.
"Apa yang menyenangkan dalam hal itu? Aku tidak akan bisa melihatmu jika dirumah, kan?"
Aku memberinya senyum kecil ketika tiga Corona pesanannya tiba di depannya. Lalu pria itu mengangguk pada bartender dan menyerahkan uang kepadanya, kemudian memperhatikan ketika si bartender pergi untuk menyiapkan pesananku.
"Maaf, siapa namamu?" tanyaku seraya tertawa canggung ketika dia kembali menatapku. Keadaanku yang cukup mabuk membuatku mengoceh tanpa sadar.
"Kau tidak tahu namaku?" Dia mengangkat alisnya ke arahku sedikit sebelum berdeham dan menggelengkan kepalanya. "Maaf, abaikan itu. Itu adalah satu-satunya hal paling sombong yang pernah kukatakan."
Aku menyeringai lembut dan menunggu dia melanjutkan.
"Aku Paul Klug. Apa kau punya nama belakang, Bianka?"
"Bianca Becker," kataku padanya dengan anggukan kecil sebelum ponselku tiba-tiba bergetar hebat di tanganku, hampir membuatku melompat. Kami berdua melihat ke bawah. Teman-temanku sengaja mengirimi pesan spam, bertanya apakah aku tersesat dan baik-baik saja.
"Apa itu kekasihmu?" Paul berdeham, membalikkan tubuh kekarnya menghadapku. Aku menggelengkan kepala sambil tertawa, lalu mengirim balasan untuk memberi tahu teman-temanku bahwa aku akan kembali ke meja kami dalam beberapa menit.
"Tidak, aku masih sendiri. Teman-temanku agak khawatir karena aku terlalu lama." Aku menatapnya dan melihat seringai nakal terbentuk di bibirnya.
"Kau bisa saja memberi tahu mereka kalau kau bertemu dengan pemain sepak bola terkeren, aku yakin mereka akan mengerti." cetusnya bercanda, dan aku tertawa lagi. Dengan lembut aku mengulurkan tanganku di sepanjang lengannya, dengan cara yang nyaris genit, karena jarak kami sangat dekat.
"Ini dia," Aku tidak punya waktu untuk menatap lebih lama ke matanya, karena si bartender sudah mendorong empat koktail di atas meja ke arahku.
Aku mengucapkan terima kasih kepada bartender itu sebelum kembali menghadap pria mengagumkan yang ada di hadapanku.
"Kau sangat cantik," gumamnya padaku, kemudian dengan mudah meraih tiga botol corona di atas meja sementara aku berjuang membawa pesananku.
Aku terkekeh. "Aku merupakan penciptaan terburuk yang pernah ada," gumamku, memandang bingung kepada segelas cocktail yang tidak bisa kubawa.
Paul menyeringai senang. "Biar kubantu, Rapunzel." Aku mengangguk lalu berbalik menembus kerumunan menuju ke meja dimana Stacey, Camille dan Elise sedang menunggu.
Mereka memekik ketika melihatku, tampak sama mabuknya denganku. Aku merasa lega setelah meletakkan ketiga cocktail yang kubawa ke atas meja tanpa menumpahkan isinya sedikitpun, sementara Paul mengikuti di belakang dan meletakkan cocktail ke empat.
Aku memandangi raut teman-temanku selagi mereka memperhatikan Paul lekat-lekat, dan mendadak tubuhku gemetar halus ketika dada Paul yang keras menyapu bagian punggungku.
Aku tahu jika sampai Stacey membuka mulut dan mengatakan sesuatu kepada Paul, maka sudah dipastikan dia akan membuatku malu. Dan sebelum itu terjadi, aku berbalik menghadap Paul yang tampak keren dengan setelan casual sera hitamnya. "Terima kasih." gumamku seraya tersenyum.
Dia mengangguk lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Boleh aku menyimpan kontakmu? Siapa tahu aku butuh parasetamol lagi suatu hari nanti." Dia menyeringai setelah melihatku tertawa.
Aku meraih ponselnya dan dengan cepat mengetik nomor kontakku disana, lalu memastikan nomor itu sudah benar dan mengembalikan ponselnya. "Mau bergabung bersama kami?" tanyaku kemudian.
Ketiga temanku sudah turun ke lantai dansa dan berjoget sambil menggoda sedikitnya tiga pria yang berbeda sejak pertama kami masuk ke tempat ini. Sementara aku, sejauh ini hanya berbicara pada Paul Klug, si pemain sepak bola seksi.
"Teman-temanku sedang menunggu." Paul mendorong dagunya ke salah satu meja di sudut ruangan yang lebih gelap. Tapi aku masih bisa melihat... wow, okay. Tiga pelayan yang hanya mengenakan pakaian dalam, dan salah satunya sedang berciuman dengan teman Paul yang menjemputnya di rumah sakit kemarin. "Nikmati sisa malammu bersama teman-temanmu, aku akan menghubungimu nanti." katanya sambil tersenyum lalu menghilang di balik kerumunan.
Ketika aku kembali memutar kepala, Elise mulai menyerangku dengan pertanyaan anehnya. "Apa kau tahu dia Leo?" Dia memulai, ramalan zodiak akan terdengar mulai saat ini. Terima kasih cocktail yang sudah membuatnya mabuk.
"Kutebak ini tidak berakhir cepat jika kau mengetahui itu." sahutku sambil tertawa.
Elise hanya mengedikkan bahu, menyesap minumannya. "Tentu saja aku tahu zodiaknya, dia wakil kapten tim nasional sepak bola Jerman," katanya beralasan. "Kau perlu waspada terhadap Leo, mereka bisa menjadi..."
"Apa dia yang membutuhkan parasetamol kemarin?" Camille tiba-tiba memotong ucapan Elise dan langsung menarik kesimpulan.
Aku menggeleng. "Ganti topik!" seruku sebelum pembicaraan kami berlanjut kemana-mana. "Ini sama sekali tidak penting. Dia hanya membelikan minuman sebagai ungkapan terima kasih karena aku membantunya kemarin. Dan mungkin tanpa sadar aku sudah mempermalukan diriku di hadapannya. Well, ini cocktail ketigaku, jadi..."
"Oh, Lord!" Camille memekik. "Paul Klug yang membeli minuman ini?" katanya seraya mendesah penuh hasrat, aku merasa seakan dia bisa mencapai puncak di tempat duduknya.
"Oh, Camille. Kumohon... enyahkan pikiran kotormu itu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments