Aku seseorang yang sangat sulit bersosialisasi. Yah, aku memiliki masalah yang luar biasa jika menyangkut keterbukaan pada orang lain, sekalipun aku berada dalam kondisi setengah sadar. Semua itu disebabkan oleh kekhawatiranku pada pendidikan, pekerjaan, hutang biaya kuliah yang harus kulunasi, dan masih banyak yang lagi masalah lainnya. Karena itulah aku jarang berhubungan dengan pria.
Latar belakang keluargaku yang berantakan perlahan memaksaku menjadi seorang penyendiri, dan aku sudah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri.
Ketika Camille dan Elise menari di lantai dansa yang penuh dengan segerombolan orang, Stacey dan aku memilih tetap duduk di meja kami. Kesadaranku bisa di bilang sudah hilang setengah mengingat aku sudah menghabiskan beberapa gelas cocktail selama dua jam terakhir.
"Holy cow!" Mendadak Stacey bergumam pelan, matanya melebar memandangi sesuatu di balik bahuku setelah dia menyesap minumannya.
"Apa kau bilang?" kataku pura-pura tersinggung seraya menyusurkan jemari ke rambut dan memilinnya.
Stacey menatapku dengan seringai jahil di mulutnya lalu meletakkan gelasnya ke permukaan meja kayu. "Kau berhutang banyak padaku, Bitches!" Alisku terangkat heran ketika Stacey buru-buru meraih tasnya, lalu mengerdip padaku dan tanpa mengatakan apapun lagi dia melangkah meninggalkanku.
Belum sempat aku menangkap maksud ucapannya yang aneh, Paul Klug, si pesepak bola tampan nan seksi itu menarik kursi di sampingku dan dengan santai duduk disana. "Sepertinya kau sedang bosan, Bianka." katanya dengan suara sedikit keras.
Alisku terangkat naik saat menatapnya, suara tawa terkejut keluar begitu saja dari mulutku, dan dia tampak terhibur dengan sikapku. Paul duduk menghadap ke arahku, sebelah tangannya bertumpu pada bagian atas sandaran kursi. Sama sepertiku, dia juga terlihat agak mabuk. Tapi kami belum benar-benar mabuk, lho.
"Itu bukan cara yang baik untuk memulai percakapan, Sir." kataku serak. "Aku yakin kau bisa lebih baik daripada itu."
"Maaf, tapi aku memang tidak begitu pandai merayu, Ms. Becker. Bagaimana jika aku mengundangmu ke rumahku malam ini?" Dia tersenyum ketika aku tertawa menanggapi sikap terus terangnya.
Aku menegakkan tubuh dan berputar sedikit agar menghadapnya. "Hanya karena aku menyelamatkan hidupmu sekali, bukan berarti aku tidak sanggup mencabut nyawamu, Paul."
"Wow," desahnya sembari memandangku dengan tatapan panas dan menggoda. "Kukira perawat punya sumpah tertentu yang harus di ikuti."
"Hm.. sekalipun aku sudah bekerja sebagai perawat terdaftar, aku tidak akan menggunakan sumpah itu. Ada sumpah lain yang lebih tinggi di atas itu." balasku dan dia mengangguk. "Jadi, kau tidak akan selamat dengan mudah jika kau membuatku berada dalam bahaya."
Paul mengangkat kedua tangan tanda menyerah, senyum menggoda tampak menghiasi sudut bibirnya. "Sama sekali tidak bermaksud membahayakanmu, love... Lagi pula, aku sudah berusaha menunjukkan kebaikan dengan membelikan minuman untukmu dan teman-temanmu."
"Oh, ya... omong-omong, terima kasih untuk itu. Mereka tidak mengira kau akan melakukannya." ucapku sambil tersenyum, dengan santai menyandarkan punggungku pada sandaran kursi lalu menunduk ketika dia menatapku. Tatapannya terlalu berbahaya.
Paul terkekeh seraya menggoyangkan kepala. "Tentu saja mereka tidak mengira itu, kupikir kau satu-satunya orang yang tidak mengenalku disini." balasnya bercanda. "Boleh aku membelikan minumanmu lagi?"
Sejujurnya itu bukan ide yang bagus mengingat keadaanku sudah mulai kacau, tapi kurasa tidak ada salahnya. Ini kesempatan besar bisa mengobrol bersama pria tampan, dan persis seperti yang dikatakan Elise, Paul memiliki sisi yang menyenangkan. Disamping itu, ini merupakan libur akhir pekan pertama yang kudapatkan dalam beberapa waktu belakangan, jadi aku ingin benar-benar menikmatinya.
Paul sudah berjalan ke arah meja bartender untuk memesan minuman kami dan kembali beberapa saat kemudian. Entah karena semua orang mengenalnya atau karena tampangnya yang keren, dia langsung mendapatkan pesanannya tanpa membuat seorangpun marah karena telah memotong antrean.
"Mm, apa ini? Aku suka," kataku setelah menyesap cocktail berwarna oren kemerahan dari sedotan yang juga berwarna merah.
Paul berdeham. "Siapa yang tidak menyukai 'S-e-x on the Beach', love?" gumamnya, membuatku tertawa, entah untuk yang keberapa kalinya malam ini. Aku memainkan sedotan selagi dia maju lebih dekat dan bertumpu pada pegangan kursiku. "Terutama denganku."
Aku terkikik dan mendorong lengannya dengan lembut seraya menikmati keindahan pada wajahnya. Paul menyeringai, jelas bangga pada keberhasilannya menggodaku. "Aku suka melihatmu tertawa. Manis sekali." katanya padaku.
"Tunggu sampai aku menghabiskan beberapa gelas lagi, dan kau akan melihat lebih banyak." balasku, perlahan tersenyum. Dia mengangguk lalu menyesap bir di tangannya sebelum memanggil si bartender ke meja kami.
Lagi-lagi aku terperangah saat melihat si bartender langsung meninggalkan tempatnya begitu Paul mengangkat tangan, bahkan tanpa menatapnya. Dengan canggung aku menghabiskan sisa cocktail di gelasku sementara Paul mengatakan pada si bartender agar terus mengisi gelasku.
Aku bukan tipikal gadis pemalu, tapi sekarang kemampuanku untuk mengatakan sesuatu seakan menghilang begitu saja. Pikiranku seketika kosong tiap kali aku beradu pandang dengan Paul. Pria ini memang berbahaya. Pesonanya sedikit mengancam kepercayaan diriku.
"Apa kau senang?" Paul bertanya sesaat setelah bartender itu melangkah.
"Hm?" gumamku, tidak mendengar apa yang dikatakannya dengan jelas. Well, suara musik menggema di seluruh ruangan.
Paul tersenyum lalu menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. Satu tangannya menumpang di sandaran kursiku sementara satu tangannya yang lain memegang bir.
Setelah dia mengulangi pertanyaannya, aku pun menjawab. "Ya, cukup menyenangkan malam ini. Kau tahu, kuliah dan bekerja... aku butuh hiburan sejenak dari dua kegiatan itu, meskipun sebenarnya aku agak lelah." Paul mendengarkan. "Bagaimana denganmu? Apa kau begitu menyukai sesi latihanmu? Karena kelihatannya kau sangat kecewa saat cedera kemarin."
Paul mengedikkan bahu sekilas, matanya turun menatap bibirku selama beberapa saat. Ketika pandangan kami bertemu lagi, entah sengaja atau tidak dia menjilat bibirnya dengan cara yang amat menggoda. Membuat sekujur tubuhku mendadak terbakar.
"Tentu saja aku menyukainya. Aku agak bersyukur karena cedera itu kita bisa bertemu dan mengobrol."
"Ya, benar." Aku tersenyum senang, kemudian mengucapkan terima kasih pada bartender yang baru saja menukar gelas kosong milikku dengan yang baru.
"Tapi..." Paul melanjutkan. "Terlalu banyak tekanan belakangan ini, dan bolos saat latihan bukan sesuatu yang menguntungkan untuk karirku. Itu kenapa aku sangat marah kemarin."
"Tekanan seperti apa?" tanyaku penasaran.
"Sebentar lagi Piala Dunia akan digelar, love. Aku yakin kau pasti tahu itu." Paul tampak senang mendapati pengetahuanku yang minim soal sepakbola.
Aku tertawa pelan seraya menggelengkan kepala, lalu mengangkat gelasku dan menyeruput isinya sedikit. "Aku tidak terlalu paham soal olahraga. Nyaris tidak mengetahui apapun, terutama tentang sepak bola." kataku menjelaskan sementara Paul tersenyum geli. "Tapi ayahku fans keras tim nasional Jerman, dan dia sering membicarakanmu."
"Oh, ya? Kalau begitu, apa kau mulai tertarik sekarang?" tanyanya, tampak antusias dan aku menyukai percakapan ini.
"Ya Tuhan! Hai!" Aku hampir melompat saat mendengar suara yang kukenali berseru dari belakang. Aku menoleh Camille yang menepuk pundakku, dia sedang mengamati Paul dengan senyum lebar hingga aku yakin mulutnya akan terkoyak sebentar lagi.
"Hai," balas Paul, lalu meneguk birnya.
"Dengar, aku tidak tahu apakah temanku sudah mengatakan ini atau belum... Paul, kau benar-benar tampan." Camille mengoceh, dan aku meringis. Dia amat sangat mabuk. "Kau satu-satunya alasanku mengikuti berita tentang sepak bola. Oh, dan juga Carl Austerlitz... tentu saja."
"Terima kasih. Carl juga alasanku bermain sepak bola, kurasa kita sepakat soal itu." balas Paul.
Camille mengikik senang, terima kasih kepada alkohol yang sudah mengubah sikap malu-malunya. "Omong-omong, Bianka, say..." Dia berbicara sambil menghadapku hingga napasnya yang panas menyapu kulit wajahku.
"Ya?"
"Aku akan pulang bersama Aaron." katanya.
Aku mengerutkan dahi. "Kukira hubungan kalian sudah berakhir lagi?" gumamku pelan. Aku menoleh ke belakang Camille dan melihat Aaron disana. Mantan kekasihnya. Dia tersenyum padaku seraya menganggukkan kepala, terlihat santai di tempatnya berdiri.
Camille mencium pipiku. "Besok kujelaskan, babe."
"Okay, hati-hati. Kabari aku jika terjadi sesuatu." sahutku. Camille menggangguk.
Alasan kenapa hubungan Camille dan Aaron sering putus-nyambung disebabkan oleh Camille yang sulit menjaga hubungan jangka panjang. Dia berkali-kali mengkhianati Aaron, tapi si Aaron yang bodoh itu terlalu mencintainya dan tidak bisa melupakannya. Mereka akan selalu kembali bersama setelah Camille menyelesaikan permainannya dengan pria lain.
"Apa kau baik-baik saja, love?" suara Paul menarik pikiranku kembali, dan aku baru menyadari dia sedang memilin rambutku dengan jemarinya.
"Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih." balasku sambil tersenyum. Aku mengamati gerak-geriknya yang anggun saat perlahan dia menyentuh pahaku yang terbuka, membuat darahku berdesir halus.
"Ceritakan padaku lebih banyak tentang dirimu."
Aku mengobrol bersama Paul sepanjang sisa malam itu dan kurasa dia cukup asyik untuk dijadikan teman bersantai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments