NovelToon NovelToon

Dokter Naura

Bab 1 Grup Whatapp Keluarga

Berkali-kali kubaca whatapp grup keluargaku. Grup yang hanya beranggotakan tujuh orang saja. Aku, tiga orang kakak laki-lakiku, satu iparku, ayah dan ibu. Melalui grup bernama 'Baiti Jannati' yang dibuat ibu ini, setiap hari kami berkomunikasi walaupun hanya sekedar menanyakan sudah makan atau belum.

"Bismillah..., selamat pagi anak-anak ibu yang tersayang. Apa kabar kalian Subuh ini?" begitu percakapan pembuka whatapp di subuh ini. Ibuku, Yuni Archania, dia ibu kami berempat yang senantiasa setiap hari membangunkan kami melalui pesan-pesannya. Biasanya pesan ibu baru akan berhenti jika semua anaknya sudah merespon. Padahal usia kami tidaklah muda lagi.

"Alhamdulillah luar biasa ibu, berkat doa ayah ibu abang Fathur sehat dan semangat," Bang Fathur, kakak tertuaku yang pertama menimpali pesan ibu Subuh ini. Sepintas sebelum mengetik aku melihat ibu sedang mengetik pesan. Belum selesai aku mengetik, pesan ibu sudah masuk kembali.

"Hamdulillah sayang kalau kamu sehat, bagaimana perkuliahanmu? Apakah dosen juga diliburkan karena virus corona ini?" pesan ibu kembali masuk.

"Tidak bu, perkuliahan memang tidak libur, hanya saja dialihkan tanpa tatap muka, jadi semua perkuliahan menjadi online. Beruntungnya mahasiswa-mahasiswaku sudah terbiasa dengan metode daring," Bang Fathur langsung menjawab, sementara aku belum juga mengenter ketikanku.

Bang Fathur adalah seorang dosen di kampus terkenal nomor satu di Yogyakarta. Sebagai salah seorang alumni terbaik S1 dan S2 di kampus tersebut, bang Fathur tidak menganggur sedikitpun sehabis wisuda. Dia langsung diangkat menjadi dosen dengan perjanjian kerja atau dosen kontrak dan mengajar di Fakultas Biologi. Belum setahun menjadi dosen kak Fathur menemukan tambatan hati seorang dosen di kampus yang sama, seorang wanita cantik berasal dari Palembang, Vioni namanya, dan saat ini sedang hamil besar anak pertama mereka.

***

Aku kembali melihat ketikanku, sepintas tulisan hijau mulai menampilkan bang Zamy sedang mengetik. Tumben kakakku yang nomor dua ini baru terbangun, biasanya dia mewakili ibu membangunkan kami agar segera sholat Subuh.

"Hai ibu, hai bang Fathur, alhamdulillah sehat, agak lelah karena jam 12 malam tadi Zamy habis tindakan seorang pasien dengan bayi lehernya terlilit tali pusar." Bang Zamy membalas pesan.

"Tapi sehat kan nak? Pasienmu tidak kenapa-kenapa kan? Lancar semua kan?" seperti robot tangan ibuku begitu cepatnya mengetik.

"Iya ibu alhamdulillah semuanya berjalan lancar," jawab Bang Zamy. Dialah kakak keduaku yang sedari kecil selalu menjagaku. Dia selalu rela mengalah demi aku. Kecerdasannya memang dari kecil sudah luar biasa, begitu cerita ibu. Dari SD sampai SMA tidak pernah keluar dari juara 3 besar. Hobinya pelajaran Kimia, Biologi, Fisika, Matematika. Dia menamatkan S1 Kedokteran selama tujuh semester, co *** tiga semester dan setelah mendapat sertifikat profesi mengambil spesialis kebidanan dan kandungan. Dia menjadi residen selama sembilan semester.

Sekarang bang Zamy sudah memiliki izin praktik sendiri di kota Pangkalpinang dan tercatat sebagai Wakil Direktur dan sekaligus dokter tetap pada sebuah rumah sakit milik PT. Timah, tbk. Usia bang Zamy sekarang sudah tiga puluh dua tahun, namun dia belum menikah. Dia baru sukses di karir saja, namun belum di dunia rumah tangga.

Hampir setiap malam pasien yang datang ke tempat praktiknya lebih dari dua puluh orang. Tidak butuh waktu lama, dia terkenal di kota berpasir hitam ini. Hal utama penyebab dia disukai selain karena keramahannya, juga karena wajahnya yang tampan, body atletis dengan senyum kharismatik.

Bang Zamy sudah berkali-kali hampir menikah namun hubungannya selalu kandas. Rata-rata orang yang pernah dekat dengannya adalah dari kalangan medis juga, rekan seprofesi. Namun entah apa penyebabnya sehingga sampai kini dia masih melajang dan hubungannya selalu kandas. Ibupun seperti tak menghiraukannya. Sangat berbeda ketika Bang Fathur belum menikah dulu, ibu sibuk mencarikan calon menantu. Berkali-kali ibu mengirimkan foto anak gadis teman-temannya melalui grup whatapp keluarga untuk bang Fathur, semua ditolak dengan segala alasan. Namun petualangan ibu mencarikan menantu untuk bang Fathur berhenti sendiri ketika tiba-tiba bang Fathur mengirimkan sebuah foto dengan caption 'Apakah dosen cantik ini diterima masuk grup?' Ibu langsung merepet bertanya-tanya dan menjadwalkan untuk bertemu dengan wanita dan keluarga wanita yang dimaksud bang Fathur. Walaupun awalnya sempat agak keberatan, namun akhirnya ibu dan ayah merestui hubungan bang Fathur dan Vioni.

***

"Tingtong-tingtong," sedikit kaget aku kembali membaca pesan yang masuk di grup whatapp keluargaku.

"Syukurlah, eh anak gadis Ibu mana ini? Belum bangun ya sayang? Masih capek nak?" Ibu kembali merepet lewat tulisan. Aku hanya tersenyum. Terbayang-bayang wajahnya yang sedikit keras karena telah menempa ke-empat anaknya menjadi orang sukses. Wajah yang seperti copy dan paste dengan wajah bang Zamy. Persis! Wajah putih sedikit runcing dengan hidung mancung menjadikan bang Zamy semakin tampan dan berwibawa. Bicaranya selalu disertai senyum tipis, suaranya lemah lembut menenangkan. Makanya tak heran jika Maya, sahabatku dari TK, anak teman ibu yang sama-sama ASN di kota kecil, kota bersejarah dengan warisan seribu kue, kota tempat Bung Karno Hatta pernah diasingkan yaitu kota Muntok, kota yang terletak di sebelah Barat propinsi Bangka Belitung, selalu mencari-cari alasan agar bisa menemui bang Zamy. Sejak masa puber duduk di bangku SMP hingga sekarang sudah menjadi karyawan tetap bank plat merah, Maya masih terus berusaha mendapatkan bang Zamy.

"Baik Ibu yang bawel, Naura sehat-sehat di sini. Tapi bete bu, beneran deh. Panitianya nggak banget pokoknya. Masa habis acaranya dibuka, langsung ditutup dengan tandatangan administrasi, alasannya virus corona. Kenapa tidak kemarin saja dicancel acaranya. Jadi nggak ngerepotin orang banyak. Sebel deh bu...," giliranku yang mengetik panjang lebar ditambah emoticon kesedihan bermacam-macam.

"Sabar Bee, orang sabar badannya suburrrr...." tiba-tiba saja masuk pesan dari kakak ketigaku. Bang Rahman, sepertinya dia baru selesai sholat Subuh.

Oke, Naura namaku, panggilan sayang ketiga kakakku adalah Bee, kenapa Bee? Kata mereka pipiku yang sedikit menul ini pernah digigit lebah saat mengikuti mereka bermain di atas pohon. Kejadian saat SD itu tidak terlupakan. Pipiku benjol, sakit dan gatal hingga tidak masuk sekolah selama seminggu. Waktu itu, ibu marah besar kepada ketiga kakakku karena membawaku bermain di atas pohon. Nah saat disengat lebah itulah aku mengikrarkan diri jika sudah besar ingin menjadi seorang dokter. Dan sekarang, setelah puluhan tahun berlalu, akulah Dokter Naura, dokter spesialis anak di kota Pangkalpinang yang terkenal bukan hanya karena kecantikannya namun kelembutannya melayani pasien. Mereka bilang, kulitku yang putih berhidung mancung dengan mata besar berbulu lentik, bibir bangir dan pipi sedikit menul seperti boneka nampak sempurna untuk kecantikan wanita Asia. Aku berhijab, namun tak urung banyak yang mengomentariku Dokter Turki. Kata orang-orang, wajahku sedikit mirip dengan bang Fathur yang tinggi putih hidung mancung. Pekerjaanku sama dengan kakak keduaku, bang Zamy. Kami dibuatkan oleh ayah dan ibu sebuah klinik untuk dikelola bersama, 'Klinik Honey Bee' namanya. Hanya saja, saya seorang Dokter ASN, dokter tetap di Rumah Sakit Umum Depati Hamzah, sedangkan kakakku bukan ASN, dia Wakil Direktur termuda Rumah Sakit Bakti Timah milik PT. Timah, tbk.

"Halo Bee? Kemana sih nih anak kok gak ada lagi?" kulihat layar handphone ku kembali masuk pesan dari bang Rahman.

"Hey Bee..., Naura adikku sayang, dirimu sudah tidurkah?" Lagi-lagi balasan bang Rahman menggodaku.

"Iiihhh..., bang Rahman, mana mungkin adikmu ini tidur lagi pagi-pagi habis Subuh, tak sudi tau! Ntar rejeki dipatok ayam jago!" Aku pun membalas pesan whatapp grup keluarga penuh cinta ini.

"Sudah dulu ya Ibu, abang-abang sayang, eh, ayah mana sih kok gak nimbrung?" Aku kembali mengirim chat. Kulihat ibu langsung mengetik pesan. Selang beberapa detik kemudian muncullah sebuah gambar dan sebuah video, ayah sedang menjentik-jentikkan jari telunjuk dan jempol kanan ke arah burung kacer di dalam sangkar emasnya. Captionnya begini 'ini ayahmu sedang bercinta dengan selingkuhannya. Anggi. Kacer barunya itu dikasih nama Anggi. Ibu suruh ganti saja mbak Yem atau Lek Ti gitu, dia nggak mau. Ibu akan cari tahu siapa nama Anggi di masa lalu ayahmu."

"Hahaha..., ayolah ayah, mengakulah...." pesan Mbak Vioni masuk disertai emoticon ketawa terpingkal-pingkal.

"Ayo bubar bakalan ada perang dunia ke ke-empat nih," Bang Zamy mewhatapp lagi.

"lha perang dunia ke-tiganya mana?" Bang Rahman menimpali.

"Ini si corona ini, musuh dunia. Inilah perang dunia ketiga." Bang Zamy pamit dan kasih emot dada bye -bye.

***

Sedangkan aku? Aku kembali melihat koperku sambil menarik charger hp yang masih menempel di colokan kamar hotel. Kemarin disuruh Direktur Utama Rumah Sakit Umum berangkat mengikuti Forum Grup Diskusi bersama 200 Dokter Anak di Indonesia. Sesuai Surat Tugas, rencananya acara berlangsung selama 4 hari, namun kemarin sore kami check in, registrasi, jam 9 malam pembukaan dilanjutkan sedikit diskusi dengan jarak per satu kursi dikosongkan, social distancing dan jam 12 malam penutupan. Acara diselesaikan secara kekeluargaan. Itulah yang membuatku kesal.

"Adek, nanti dijemput siapa?" tiba-tiba masuk lagi pesan melalui jalur pribadi ibu.

"Adek bawa mobil ke bandara Ibu, kemarin dititip di parkiran VVIP." Aku membalasnya.

"Oh ya ampun naaakkk-naaaakkk..., cobalah minta antar Abangmu," (maksudnya Bang Zamy)

"Kemarin abang kelihatan sibuk bu, lagian adek kan bisa nyetir sendiri kok." Aku membalas pesan ibu.

"Iya bisa nyetir sendiri, tapi penjagaanmu itu lho..., zaman sekarang ini, mata laki-laki ya Allah..., lihat cewek cantik langsung cengar-cengir-cengar-cengir menjijikkan...." balas ibu lagi.

"Bismillah ibu, insyaAllah semua aman." Aku meyakinkan ibu.

"Iyalah nak, hati-hati sayang ya, jangan lupa pakai masker. Adek naik Garuda kan?"

"Iya ibu."

"Besok ayah sama ibu akan ke Pangkalpinang, ibu ikut ayahmu, katanya ada rapat bersama Pinca bank plat merah."

"Baiklah. Ibu ke rumah di klinik apa ke rumah di Jalan Baru?" maksudku kalau di klinik itu tempatnya bang Zamy. Di jalan baru, aku beli sebuah rumah jadi dua bangunan. Satu rumah besar dan satu villa agak menjorok ke atas dari rumah induk. Karena sungkan walaupun dua beradik tinggal serumah dengan saudara saat sama-sama belum ada yang menikah. Sedangkan orang tua kami tinggal bersama bang Rahman di kota Muntok, berjarak dua jam lebih dari tempat domisili kami.

"Lihat sikonlah nanti nak. Nanti ibu kabarkan."

"Oceee bu...."

***

Beberapa menit kemudian grup keluarga sudah sepi, aku menggeser-geserkan layar membaca pesan whatapp yang masuk. Dan kembali tersenyum simpul saat membaca pesan dari Irwan, seorang polisi yang beberapa minggu ini baru mendekatiku.

"Kapan pulang Dok? Hatiku sakit minta diobati. Melihat meja praktikmu kosong semalam saja, nafsu makanku menghilang seketika."

"Otw bandara yang sepi karena corona."

"Tapi bandara tidak sesepi hatiku yang jauh darimu."

Aku tersenyum dan mengiriminya emoticon mengoloknya. Polisi ini memang pantang mundur, batinku sambil duduk di kursi grab yang kupesan Subuh tadi.

"Soeta buk?"

"Iya pak."

Mobil pun melaju. Aku kembali membaca pesan-pesan manis di grup keluargaku. Diselingi membalas beberapa pesan yang tadi belum sempat kubaca termasuk pesan seorang polisi ganteng yang usianya jauh dibawahku, Irwan.

*****bersambung*****

Bab 2 Kecelakaan

Tepat jam satu siang setelah satu jam lamanya di penerbangan, akhirnya pesawat yang kutumpangi mendarat di Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Cuaca sudah mendung, langit sedikit gelap, sepertinya hari akan turun hujan. Aku bergegas menuruni tangga pesawat dengan tetap menjaga jarak dengan penumpang lainnya. Ada beberapa penumpang yang mengenaliku menyapa. Aku membalas mereka dengan senyum termanisku meski tertutupi masker.

Tak menunggu lama setelah selesai mengambil bagasi, aku menuju pintu keluar sehabis melewati pemeriksaan bagasi oleh petugas bandara. Seperti dugaanku, dari arah pintu keluar sudah terlihat sosok polisi ganteng yang usianya tujuh tahun lebih muda dariku. Dia datang lengkap dengan seragamnya. Mungkin dia izin, batinku. Dalam pesannya tadi Irwan bilang ingin menjemputku. Sebenarnya tadi sudah beberapa kali kutolak keinginannya menjemput, namun dia tak menyerah memberikan alasan kenapa harus menjemputku, cuaca buruklah, takut orang jahatlah, dan segudang alasan lainnya. Sehingga karena merasa percuma menolak permintaannya akupun membaca saja pesan itu tanpa membalasnya lagi. Dalam hati kecilku berbisik, seandainya aku ingin dijemput maka ada orang yang paling pantas kumintai tolong, bang Zamy, dia kakakku yang sangat menyayangiku sedari kecil. Aku insyaAllah selalu aman di dekatnya.

"Hai dokter cantik, apakah perjalananmu menyenangkan?" Pria itu langsung menyapaku sok akrab.

"Hemmm..., " Aku hanya menggumam dan sedikit mengangguk sambil memberikan kunci mobilku. Senyumku sedikit tertahan. Aku lelah dan ingin segera beristirahat di rumah. Namun sebelum istirahat, aku ingin membereskan kamarku yang agak berantakan.

Aku, Dokter Naura. Selain bekerja sebagai dokter ASN dan praktik di klinik Honey Bee, aku juga hobi menulis. Maka tak heran meja kerjaku sedikit berhamburan dengan beberapa perlengkapan menulis. Laptop bahkan ada dua buah di meja. Ditambah satu PC dengan printer di bawah meja, beberapa buah buku medis, novel dan agenda. Tisu, kertas, stabilo dan segala jenis pena juga ada di sana. Kupakai saat mencorat-coret membuat kerangka tulisan. Kemarin karena Direktur mendadak memberikan Surat Perintah Tugas, aku buru-buru berkemas dan tidak sempat membereskannya lagi. Sedangkan yuk Mairoh, pembantu rumahku yang berusia hampir sepantaranku, sudah kupesankan agar tidak mengutak-atik area itu, meja kerjaku.

"Hey Bee..., sungguh sangat istimewah membawa mobilmu. Halus lembut dan sangaaattt..., nyaman. Kau tau Bee? Ini pertama kalinya aku menyetir mobil mewah yang elegant." Irwan bicara sambil menyetir. Sesekali dia menoleh ke arahku yang menyibukkan diri bermain handphone.

"Apa sih kamu Wan, ngeyel banget dibilangin, namaku Naura, eN a u eR a, Naura bukan Honey Bee atau Bee bagimu, karena yang boleh memanggilku dengan nama Honey Bee atau Bee itu hanya lima orang, yaitu tiga orang saudaraku, ayah dan ibu. Tidak dengan orang asing!" Aku menatap Irwan sesaat. Bicaraku sangat serius. Aku sungguh tidak menyukai orang yang sok akrab keterlaluan. Irwan menatapku lagi sepintas.

Mungkin dia sadar bahwa dia bukan siapa-siapaku hingga saat ini.

Aku hanya merasa berhutang budi karena dia pernah menangkap langsung Andre, seorang mantanku yang pernah membuat keributan di klinik saat aku memutuskan hubungan dengannya. Waktu itu kebetulan Irwan ada di sana. Hanya itu. Soal rasa di hatiku untuk Irwan? Tidak ada sama sekali hingga saat ini.

"Iyaaa-iyaaa, maaf bu Dokter Naura yang cantik." Irwan mencoba mengalah, namun aku malah tidak menggubrisnya.

"Apa sebaiknya mulai saat ini aku memanggilmu Nancy saja kalau begitu. Kau tau apa artinya Nancy?" Irwan mencoba menetralkan emosiku.

"Apa?"

"Nauraku yang cantik dan seksi, Nency, pas banget," Irwan terkekeh sendiri.

"Nauraku? Apaan sih? Gak lucu tau." Aku menggumam kesal sambil memalingkan muka ke arah kaca jendela mobilku yang bermerk bintang paling terang di rasi bintang Hydra ini. Dan betapa kagetnya aku saat melihat ke spion, kulihat seseorang yang sangat aku kenal bahkan melebihi aku mengenal diriku sendiri, naik motor bersewa dengan warna khas hijaunya. Dia diboncengkan seorang ojol. Spontan aku menurunkan kaca, menoleh ke belakang dan mencoba memanggilnya. Namun keburu lampu merah di Semabung berganti hijau. Mobilku harus melaju atau suara klakson di belakang akan semakin ramai seperti malam pergantian tahun baru.

Aku masih celingukan mencari, sementara motor yang ditumpanginya telah hilang dari pandanganku.

"Siapa sih?" Irwan yang memerhatikanku dari tadi bertanya. Aku hanya mendesah panjang sambil kembali menutup kaca. Gerimis mulai berganti hujan.

"Sepertinya aku melihat seseorang yang sangat kukenal. Tapi rasanya tidak mungkin...."

"Siapa? Atau mungkin hanya mirip." Irwan memotong ucapanku.

"Iya mungkin saja hanya mirip, soalnya tidak mungkin dia naik motor berbayar begitu, apalagi dalam cuaca begini." Aku mencoba menjawab kegalauanku sendiri.

Irwan kemudian menambah volume musik, mencoba mengalihkan suasana sambil sesekali mengikuti alunan penyanyinya.

"Sementara teduhlah hatiku...." lagu Float berjudul Sementara sedang diputar. Irwan mengulang-ulang lagu itu. Aku hampir bosan mendengarnya walaupun memang syahdu mendengarkan lagu itu dikala hujan. Tapi kalau diputar berulang-ulang selama perjalanan pulang? Membosankan!

Aku kembali menunduk melihat pesan dari sekretarisku di klinik. Perawat itu mengatakan kalau hari ini pasien mendaftar melalui whatapp sudah lebih dari dua puluh orang. Kubalas pesan agar dia membatasi cukup dua puluh orang saja karena kondisiku yang masih lelah. Kubilang juga agar mulainya dimundurkan menjadi jam 7 malam. Dia membalas mengiyakan.

***

Langit semakin gelap, hujanpun semakin menjadi. Sesekali terdengar suara guntur yang menggelegar. Mobil terus melaju perlahan. Namun tiba-tiba di dekat Hotel Puncak Pangkalpinang, Irwan mendadak menghentikan laju mobil. Kulihat antrian kendaraan kembali padat merayap, bukan hanya karena lampu merah dengan jalanan sempit, tetapi rupanya di depan ada kecelakaan bermotor. Aku membuka kaca dan melongok ke depan. Kubiarkan kepalaku terkena air hujan. Dan aku sangat kaget melihat beberapa orang sedang menggotong tubuh seseorang yang kukenal menuju ke atas trotoar.

"Bang Zamy!"

Aku membuka pintu, langsung turun dan berlari menuju ke arah kakakku dibopong. Kulihat di kepala bang Zamy masih melekat helm ojol. Rupanya tadi aku tak salah melihat bang Zamy naik ojol di saat cuaca buruk. Untuk apa? Aku menjadi penasaran.

"Ayo-ayo tolong kasih tempat buat mengistirahatkan Bapak ini sebentar. Ini orang kecelakaan naik ojol." Seorang bapak yang ikut menggotong bang Zamy menyibak-nyibakkan tangan di trotoar. Para pemotor yang singgah berteduh pun perlahan menyingkirkan diri, manjauh untuk memberi ruang. Social Distancing yang digaungkan pemerintah belum berlaku di kotaku. Bagi sebagian orang, mati karena corona tak ada bedanya dengan mati karena kedinginan, maka berdempetanlah manusia, berteduh di bawah bangunan menghindari lebatnya hujan.

"Bukankah itu Dokter Zamy? Kok bisa naik ojol?" Seorang wanita keturunan Cina yang sedang hamil tua keluar dari dalam toko sepatu Franky. Dia bicara sambil mendekat dengan logat Cina Melayu.

"Iya benar. Ini dokter Zamy wo...! Ya Tuhan Doookkk..., kok bisa-bisanya naik ojol. Mobil dokter yang mahal itu kemana wo?" Si ibu hamil masih sempat nyerocos bicara sambil ikut duduk di dekat kakakku didudukkan.

"Heheee...." Bang Zamy mengangguk sambil terkekeh rendah. Dia hanya tersenyum meringis.

"Tadi abang ojolnya tidak sengaja melewati lubang di jalan yang tertutupi air menggenang. Makanya motor kehilangan keseimbangan di jalan yang licin. Tetapi tidak apa-apa kok, saya hanya luka sedikit di telapak tangan kiri." Bang Zamy memperlihatkan tangannya kepada orang-orang di sana, lalu perlahan membuka helm. Lalu baru nampak jelas wajah tampannya yang kuyup karena hujan.

"Bee?" Tiba-tiba Bang Zamy menatapku yang kebingungan dan tak mampu berkata-kata sepatah pun. Lama mematung kemudian aku duduk berhadapan dengannya.

"Kenapa bisa begini bang?" Aku mencium tangan kanannya. Pucat dan keriput karena kedinginan. Dia bahkan tidak mengenakan jaket. Bang Zamy bukannya langsung menjawab, dia malah menggosok-gosokkan tangan kirinya yang luka ke kepalaku.

"Hehe nanti abang ceritakan. Sekarang mana mobilmu?" Diapun melihat-lihat ke arah kerumunan mobil yang sudah berganti lampu merah dua kali. Akupun ikut mencari. Tak lama kemudian di kejauhan, dengan posisi mobil naik di setengah trotoar dekat lampu merah, kulihat Irwan melambaikan tangan.

"Ayo Bee, abang menumpang ikut mobilmu." Bang Zamy menarik tanganku setelah pamitan dan berterima kasih kepada beberapa orang yang masih bergerombol di trotoar. Tak lupa bang Zamy menyelipkan uang 300 ribu buat Kang Ojol yang malah menangis karena merasa bersalah. Dia menolak uang itu.

"Tidak pak, seharusnya aku yang kasih uang ke Bapak Dokter, bapak terluka karenaku." Begitu kata Kang Ojol yang mungkin sepantaran dengan Bang Zamy. Dia mencoba menolak uang pemberian itu.

"Sudahlah, namanya musibah kita kan tidak tau. Ini sedikit uang untuk sekedar membantu membawa motormu ke bengkel. Gantilah bemper depanmu yang pecah." Bang Zamy tetap menyelipkan uang itu ke saku jaket Kang Ojol.

"Terima kasih banyak Pak Dokter, maafkan aku." Kang Ojol menangis, sementara Bang Zamy tersenyum dan menggandengku menuju mobil. Setelah berada di dekat mobil, baik Bang Zamy maupun Irwan memasang muka sama-sama terkejut dan bingung. Aku? Pastinya, akulah yang paling bingung. Apakah mereka saling mengenal? Entahlah.

***Bersambung***

Bab 3 Sweater Ungu

Sesampainya di mobilku, Bang Zamy langsung membuka sendiri sliding door yang sudah terbuka sesikit, dan duduk di kursi sebelah kanan sembari memejamkan mata. Kedua tangannya terjalin di atas kepala. Sementara kedua lututnya yang basah digoyang-goyangkan ke kiri dan ke kanan. Irwan menyuruhku duduk di depan karena tadi dia diacuhkan saat membukakan pintu buat Bang Zamy. Namun aku malah masuk dan duduk di kursi sebelah kiri, dekat Bang Zamy. Irwan menahan perasaan sambil menutup pintu. Seperti seorang sopir, dia menyetir dan duduk sendiri di depan. Bang Zamy mengeluarkan segala pernak-pernik di saku baju dan celananya. Handphone, dompet, headset, kaca mata, beberapa lembar kertas penting. Ia meletakkannya di dalam laci tengah mobilku. Aku mengambilnya dan mengelap satu persatu dengan tisu.

"Biarkan saja, nanti sampai di rumah abang bisa keringkan dek." Begitu kata Bang Zamy sambil tangannya kembali diletakkan di atas kepala. Kakinya masih bergoyang-goyang dengan mata sedikit terpejam melihat ke atas. Aku terus saja mengelap-ngelap barang-barang itu. Saat mengelap hp, beberapa kali kelihatan di layar orang menelpon. Salah satunya temanku. Tersimpan dengan nama, Maya teman Naura. Ah, Maya belum patah semangat rupanya, dia masih berusaha menggaet hati kakakku, aku membatin. Sementara bunyi pemberitahuan lainnya di hp tiada berhenti. Dokter ini memang super sibuk.

Setelah mobil berjalan dan aku selesai mengelap barang-barang Bang Zamy, perlahan kutarik koperku di kursi belakang dari tempatku duduk, kuletakkan di pangkuan lalu kukeluarkan gulungan handuk dan sweater rajut beserta kantong obat-obatan.

"Lepaskan bajumu Bang, kelamaan basah nanti OF." Aku bicara dengan bahasa medis sambil menepuk bahu kirinya. Bang Zamy menurunkan tangannya. Perlahan matapun membuka, dia menatapku sambil tersenyum.

"Nggak usahlah Bee, sebentar lagi juga sampai ke rumah. Oh ya tolong antar aku ke klinik saja." Begitu jawab Bang Zamy. Mendengar itu aku langsung cemberut.

"Tidak ada nanti-nanti, buka bajunya sekarang Bang Zamy. " Aku memaksa. Irwan melirik melalui spion depan melihat tingkah kami. Ada tatapan kurang senang di sana. Aku tidak peduli, toh dia bukan siapa-siapaku.

"Hadeeeh.... Bee... Bee...., maksa banget ya Allah ni anaaakkk..., hanya jatuh sedikit doang kok tadi, nggak bakalan OF juga kali...." Bang Zamy melepas baju dan singletnya sambil ngedumel. Aku memasukkan baju basah itu ke dalam kantong merah yang juga kuambil dari koper. Dokter ganteng ini, selalu kalah jika berargumen denganku, adiknya yang usil namun perhatian. Dokter Naura! Naura Ghe Divanka. Putri bungsu dari pasangan ayah Rey Fardan, Kepala Cabang bank plat merah di kota Muntok dengan ibuku Yuni Archania, ASN yang menjabat Kepala Dinas di salah satu OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang ada di Bangka Barat. Kusiram kepala Bang Zamy dengan air mineral yang ada di belakang jok mobilku. Melanjutkan kebiasaan ibu sejak kami kecil. Rambut yang basah karena hujan 'wajib' dicuci dengan air bersih agar tidak membawa penyakit. Selesai menyiram rambut dan badannya, aku mengelap badan bang Zamy dengan handuk. Baru saja aku membuka tutup minyak telon, Bang Zamy tiba-tiba merebutnya.

"Ah, sini biar abang balur sendiri badan dengan minyak telon." Aku tersenyum menatap ke arahnya. Teringat olehku, dulu sekali, dari balita sampai dia duduk di bangku SMA, dia selalu minta dioles minyak telon bagian belakang tubuhnya sehabis kena hujan.

"Ini pakai sweater." Kemudian aku memberikan gulungan sweater ungu kepada Bang Zamy. Kulihat sekali lagi Irwan menatap tak suka kepada kami. Tetapi aku tidak peduli, yang kupedulikan adalah kesehatan abangku.

"Apa? Abang kau suruh memakai sweater ini? Sweater ungu?" Bang Zamy protes.

"Biarlah Abang berbalut handuk ini saja, sebentar lagi sampai." Lanjutnya sambil memberikan sweaterku kembali.

"Apa salahnya memakai sweater ungu sih Bang? Toh kita di dalam mobil juga, nanti langsung turun di rumah. Apa masalahnya?" Aku memberikan kembali sweaterku kepada Bang Zamy.

"Malas ah, simpan saja...." katanya sambil membenarkan posisi handuk di pundaknya. Aku diam memegang baju yang diberikan Bang Zamy kembali.

Bang Zamy dan Irwan sama-sama melirikku. Aku acuh dan diam. Mobil masih melaju perlahan. Cuaca yang buruk membuat kami hampir satu jam setengah dalam perjalanan. Aku membuka tasku, kuambil handphone dan menjelajah alam maya. Tak ada lagi suara guntur, aku bisa bermain handphone ditengah derasnya hujan. Facebook. Aku tidak membukanya sejak kemarin.

"Bee..., Bee.... Lho kok diam?" Bang Zamy menggangguku bermain hp. Aku tetap acuh, tak memedulikan gangguannya.

"Haduuuhhh, sini mana sweaternya tadi, biar Abang pakai. Begitu saja jadi ngambek." Bang Zamy menarik kembali sweater di tanganku. Aku menoleh padanya lalu tersenyum puas penuh kemenangan.

"Atau carikan abang baju panjang saja dek." bang Zamy ragu kembali memakai sweater ungu milikku.

"Oke!" Ringkas saja jawabanku sambil kembali menarik koper ke pangkuan. Kuambil sebuah gamis berwarna ping dan kurentangkan ke atas.

"Ini Bang baju panjangku." Aku menatapnya sambil menahan senyum.

"Ahhhh.... sudahlah ini saja." dalam hitungan detik sweater itu sudah dikenakannya. Lalu kuberikan lagi sebuah sarung sholatku. Tanpa diperintah, dia memasangkan sarung sholatku kemudian melepaskan celana jeans dan underwarenya yang basah. Kembali kupungut dan kuletakkan di kantong tadi. Lalu aku menunduk memungut dan meremas beberapa koran yang basah karena tetesan pakaian bang Zamy. Koran yang sengaja kuletakkan saat naik bersama bang Zamy tadi. Kuletakkan koran itu di kantong lainnya untuk dibuang sesampainya di rumah nanti.

"Ke klinik apa Jalan Baru bang?" tiba-tiba Irwan bertanya. Maksudnya Bang Zamy mau diantar ke rumahku di Jalan Baru atau ke klinik tempat bang Zamy tinggal, di Jalan Bangka.

"Langsung ke Jalan Baru!"

"Ke Klinik saja."

Kami menjawab berbarengan.

"Hemzzz.... jadi...?" Irwan memastikan sambil melihat ke spion depan lagi.

"Ke Jalan Baru!"

"Ke Klinik!"

Lagi-lagi kami menjawab bersamaan. Bang Zamy pura-pura mau mencekikku. Dia kemudian berkata.

"Ikuti perintah tuan putri saja. Bahaya jika tidak dituruti kemauannya nanti ngambeknya bisa tujuh hari tujuh malam tujuh jam tujuh menit...."

"Tujuh detik!" Aku memotong ucapan bang Zamy yang menyindirku. Dia hanya tersenyum. Ah dia ganteng sekali.

"Oke!" Irwan tancap gas, mencari 'jalan tikus' menghindari lampu merah agar lebih cepat sampai. Kemudian aku kembali terkikik saat melihat pakaian abangku. Atasnya sweater ungu, bawahannya sarung sholatku. Aduh bang dokter..., bang dokter....

***

kletuk! Saat terkikik tiba-tiba aku merasakan ada yang memukul kepalaku dengan genggaman jari tengahnya.

"Awwhhh sakit baaanggg!" Aku menggerutu, sementara Bang Zamy tertawa lepas. Irwan hanya mencoba tersenyum menyesuaikan suasana. Namun dia sepertinya cemburu melihat keakraban kami. Keakraban kakak adik yang sudah terjalin 28 tahun lamanya.

*****bersambung***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!