Kami sudah berkumpul di meja makan. Ibu sibuk melayani. Sudah menjadi kebiasaannya walaupun ada yuk Mairoh tetapi untuk perkara makan ibulah yang sibuk. Berkali-kali dia duduk berdiri hanya untuk menyiapkan keperluan kami.
"Ini diminum nak, ibu membuatkanmu minuman air jahe madu hangat." Ibu meletakkan segelas minuman segar di samping kanan bang Zamy duduk.
"Apa yang lain ada yang mau? Naura Mau?" Ibu bertanya kepada kami yang semuanya hanya menggeleng.
"Makanya Zamy, kalau ibu minta tolong menjemput adikmu Naura kau harus melakukannya. Jadi tidak kehujanan seperti ini. Lha ini malah keluyuran tidak jelas. Kamu itu dokter. Dokter itu tidak boleh sakit karena akan banyak pasien terkena imbasnya jika sang dokter sakit. Sudah tahu mau hujan malah pergi ke rumah teman yang tidak jelas. Pakain motor lagi." Ibu mengomel panjang pendek sambil kembali duduk. Kulihat bang Zamy hanya menunduk sambil menelan makanan. Aku bingung. Entah apa yang sedang ibu bicarakan. Apakah tadi bang Zamy tidak terlihat oleh ibu turun dari mobilku? Apakah tadi bang Zamy pulang diam-diam tanpa ketahuan sama ibu? Mengapa tiba-tiba ibu mengomelinya.
"Maafkan Zamy bu." Hanya itu yang diucapkan bang Zamy. Dia tidak pernah menjawab apalagi membantah omongan ibu.
"Naura bingung, maksud ibu tadi ibu menyuruh bang Zamy menjemputku di bandara?" Aku tak urung bertanya. Kuletakkan sendok dan garpuku di piring. Sepintas kulihat semuanya bergantian. Tangan kananku menopang dagu ke pipi kanan menunggu jawaban.
"Iya, bahkan dari kemarin ibu sudah ingatkan. Tetapi dia malah pergi menemui teman lamanya. Hampir berbarengan denganmu, tadi dia malah pulang berpakaian aneh." Ibu menjawab sedikit ketus. Tangannya kembali menuang sepotong sambel ikan gerut-gerut ke piring bang Rahman.
"Sudahlah ibu, Zamy habis kehujanan, janganlah disesalkan lagi." Bang Fathur menengahi. Aku melihat ke arah bang Fathur sembari mengernyitkan dahi. Aku dibingungkan dengan drama ibu mengomeli kakak kesayanganku.
"Ayo-ayo lanjutkan makannya nak, jangan diperbesar masalah sepele." Ayah bicara sambil melirik ibu. Kode itu memberi pertanda agar ibu berhenti menggerutu. Ibu ikut mendelik memberi kode ke ayah. Ayah melanjutkan menyuap nasi.
"Gara-gara Zamy tidak menjemput, malah Naura dijemput laki-laki tidak karuan itu." Ibu kembali mengoceh sambil bergantian melihat kami. Ayah kembali mendelik memberikan kode, dan ibu seperti tak peduli.
"Naura juga sudah pandai berbohong kepada ibu, katanya tidak mau dijemput kemarin, eh malah disopirin polisi tak berguna itu...." Ibu melanjutkan omelannya. Aku terkesiap. Saat ini amarah ibu tertuju kepadaku. Aku tidak mengerti sebenarnya point yang membuat ibu marah itu apa? Bang Zamy tidak menjemput? Atau Kehadiran Irwan yang memaksa menjemputku?"
"Maafkan adek ibu...." Aku merengek dan spontan berdiri memeluk ibu dari belakang. Air mataku langsung jatuh. Aku tak pernah melihat ibu mengomel terus saat makan begini. Apalagi ini karena kesalahanku. Aku pulang dengan Irwan. Tetapi bang Zamy? Kenapa dia? Mengapa ibu memarahinya juga. Kami seperti anak kecil lagi. Diam dan saling berpandangan.
"Sudahlah Nia, jangan mengomel lagi." Kali ini terdengar suara ayah meninggi. Dia berdiri setelah meneguk habis segelas air putih. Ayah meninggalkan ruang makan. Jarang sekali dia menyebut nama panggilan ibuku.
"Baiklah, silahkan lanjutkan makan kalian nak. Ibu berdiri melepaskan pegangan tanganku di bahunya. Tanpa memperhatikan kami, ibu bicara lagi sambil berjalan menyusul ayah.
"Jangan lupa habis sholat Magrib nanti, semua berkumpul di ruang keluarga. Ada hal penting yang ingin ibu sampaikan. Naura dan Zamy mungkin nanti akan telat ke tempat praktik. Silahkan kalau mau nginformasikan ke perawat di sana." Ibupun bicara sambil berlalu. Aku terpaku, mencoba mencari jawab dengan menatap ketiga kakakku bergantian. Namun mereka hanya mengangkat bahu pertanda tak mengerti juga dengan apa yang sedang terjadi.
"Abang duluan Naura...." bang Zamy berdiri meninggalkan ruang makan. Kulihat datar saja wajahnya. Mungkin menahan hati agar tidak kecewa atas oerlakuan ibu barusan.
"Abang juga sudah selesai makannya." Giliran bang Fathur mengikuti bang Zamy. Mataku memicing mengiringi langkah mereka menuju ruang tengah. Kemudian aku menoleh bang Rahman yang juga sudah berdiri.
"Dek, abang tinggalkan tidak apa-apa? Atau mau abang temani?"
"Adek bisa sendiri." Aku menghela nafas dalam. Berat sekali rasanya keakraban keluarga seakan terhalang hanya karena kesalahanku. Mengapa aku mengizinkan Irwan menyopiri kepulanganku dari bandara tadi. Seharusnya aku menyetir sendiri. Mungkin ibu tidak akan marah. Aku kembali mendesah lalu membereskan semua bekas makan di meja. Yuk Mairoh sudah pulang, karena memang dia hanya datang di siang hari sebagai pembantu di rumahku. Tetapi mungkin karena di telpon ibu makanya tadi dia datang membantu menyiapkan makanan.
"Beresss....!" Aku meletakkan serbet bekas mengelap meja ke meja keramik. Lalu berjalan menuju kamar. Tetapi tiba-tiba aku mendengar suara serius dari arah kamar bang Zamy. Aku menguping sambil perlahan membuka-buka kalender di depan pintu kamarnya. Agar jika nanti ketahuan menguping aku punya alibi sedang melihata tanggal untuk jadwal temu dengan dokter co *** di rumah sakit tempatku bekerja. Aku akan menilai mereka.
"Kenapa kau tadi tidak bilang ke ibu Zamy? Kalau sebenarnya kau sudah datang ke bandara buat menjemput Naura." Terdengar suara bang Fathur menyesalkan.
"Bang Fathur..., jika kubilang yang sebenarnya, ibu malah akan memarahi Naura. Aku paling tidak suka melihat dia kena marah. Abang kan tahu betul si Naura itu. Dia hanya gagah kepada orang lain, tetapi air matanya begitu cepat tumpah saat kita yang memarahinya." Lembut sekali suara itu. Suara bang Zamy yang selalu ada di sampingku sejak aku kecil. Dia begitu penyabar dan pengertian.
"Tapi tetap saja hasilnya kacau. Ibu malah marah-marah gak jelas ke semuanya." Bang Rahman ikut berkomentar. Aku hapal sudah dengan ketiga suara itu. Mereka sudah ada di sampingku sejak puluhan tahun lalu. Sejak aku mampu mengingat. Nada bicara mereka sudah lekat di hati dan pendengaranku.
"Kenapa kau tidak langsung memanggil Naura?" Kembali terdengar bang Fathur bertanya.
"Aku sudah melambaikan tangan tadi bang, tetapi Naura malah melihat ke arah si Irwan. Saat melihat mereka sudah saling bicara, aku memanggil ojol yang kebetulan habis mengantar orang ke bandara."
"Sudahlah, ayo kita bersiap ke masjid, sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang." Bang Rahman mengakhiri. Aku buru-buru berlalu dari tempat menguping, lalu masuk ke kamarku. Kututup pintu kamarku dengan perlahan sekali. Sesaat kemudian terdengar suara bang Rahman memanggil ayah mengajak pergi ke masjid bersama. Aku merebahkan badan di kasur. Mengambil hp, dan menulis pesan ke sekretarisku di klinik.
"Dyah, nanti aku datang terlambat ke klinik, kamu tensi saja semua pasien yang sudah datang."
"Baik dok." Aku membaca balasan dari sekretarisku, kemudian melemparkan hp ke arah ujung kakiku. Aku menutup belakang kepalaku dengan bantal. Terlungkup, menahan isak tangis. Tiba-tiba saja ada perasaan sesak dan kesedihan di hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Juju Siti Julaeha
kasian juga sama dokter Naura itu😭😭
2022-10-11
1
Lusiana Ouw
np ga TLP 🙄
2021-07-30
1
Dhy_Ayu
Seruu
2020-07-03
3