Sesampainya di mobilku, Bang Zamy langsung membuka sendiri sliding door yang sudah terbuka sesikit, dan duduk di kursi sebelah kanan sembari memejamkan mata. Kedua tangannya terjalin di atas kepala. Sementara kedua lututnya yang basah digoyang-goyangkan ke kiri dan ke kanan. Irwan menyuruhku duduk di depan karena tadi dia diacuhkan saat membukakan pintu buat Bang Zamy. Namun aku malah masuk dan duduk di kursi sebelah kiri, dekat Bang Zamy. Irwan menahan perasaan sambil menutup pintu. Seperti seorang sopir, dia menyetir dan duduk sendiri di depan. Bang Zamy mengeluarkan segala pernak-pernik di saku baju dan celananya. Handphone, dompet, headset, kaca mata, beberapa lembar kertas penting. Ia meletakkannya di dalam laci tengah mobilku. Aku mengambilnya dan mengelap satu persatu dengan tisu.
"Biarkan saja, nanti sampai di rumah abang bisa keringkan dek." Begitu kata Bang Zamy sambil tangannya kembali diletakkan di atas kepala. Kakinya masih bergoyang-goyang dengan mata sedikit terpejam melihat ke atas. Aku terus saja mengelap-ngelap barang-barang itu. Saat mengelap hp, beberapa kali kelihatan di layar orang menelpon. Salah satunya temanku. Tersimpan dengan nama, Maya teman Naura. Ah, Maya belum patah semangat rupanya, dia masih berusaha menggaet hati kakakku, aku membatin. Sementara bunyi pemberitahuan lainnya di hp tiada berhenti. Dokter ini memang super sibuk.
Setelah mobil berjalan dan aku selesai mengelap barang-barang Bang Zamy, perlahan kutarik koperku di kursi belakang dari tempatku duduk, kuletakkan di pangkuan lalu kukeluarkan gulungan handuk dan sweater rajut beserta kantong obat-obatan.
"Lepaskan bajumu Bang, kelamaan basah nanti OF." Aku bicara dengan bahasa medis sambil menepuk bahu kirinya. Bang Zamy menurunkan tangannya. Perlahan matapun membuka, dia menatapku sambil tersenyum.
"Nggak usahlah Bee, sebentar lagi juga sampai ke rumah. Oh ya tolong antar aku ke klinik saja." Begitu jawab Bang Zamy. Mendengar itu aku langsung cemberut.
"Tidak ada nanti-nanti, buka bajunya sekarang Bang Zamy. " Aku memaksa. Irwan melirik melalui spion depan melihat tingkah kami. Ada tatapan kurang senang di sana. Aku tidak peduli, toh dia bukan siapa-siapaku.
"Hadeeeh.... Bee... Bee...., maksa banget ya Allah ni anaaakkk..., hanya jatuh sedikit doang kok tadi, nggak bakalan OF juga kali...." Bang Zamy melepas baju dan singletnya sambil ngedumel. Aku memasukkan baju basah itu ke dalam kantong merah yang juga kuambil dari koper. Dokter ganteng ini, selalu kalah jika berargumen denganku, adiknya yang usil namun perhatian. Dokter Naura! Naura Ghe Divanka. Putri bungsu dari pasangan ayah Rey Fardan, Kepala Cabang bank plat merah di kota Muntok dengan ibuku Yuni Archania, ASN yang menjabat Kepala Dinas di salah satu OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang ada di Bangka Barat. Kusiram kepala Bang Zamy dengan air mineral yang ada di belakang jok mobilku. Melanjutkan kebiasaan ibu sejak kami kecil. Rambut yang basah karena hujan 'wajib' dicuci dengan air bersih agar tidak membawa penyakit. Selesai menyiram rambut dan badannya, aku mengelap badan bang Zamy dengan handuk. Baru saja aku membuka tutup minyak telon, Bang Zamy tiba-tiba merebutnya.
"Ah, sini biar abang balur sendiri badan dengan minyak telon." Aku tersenyum menatap ke arahnya. Teringat olehku, dulu sekali, dari balita sampai dia duduk di bangku SMA, dia selalu minta dioles minyak telon bagian belakang tubuhnya sehabis kena hujan.
"Ini pakai sweater." Kemudian aku memberikan gulungan sweater ungu kepada Bang Zamy. Kulihat sekali lagi Irwan menatap tak suka kepada kami. Tetapi aku tidak peduli, yang kupedulikan adalah kesehatan abangku.
"Apa? Abang kau suruh memakai sweater ini? Sweater ungu?" Bang Zamy protes.
"Biarlah Abang berbalut handuk ini saja, sebentar lagi sampai." Lanjutnya sambil memberikan sweaterku kembali.
"Apa salahnya memakai sweater ungu sih Bang? Toh kita di dalam mobil juga, nanti langsung turun di rumah. Apa masalahnya?" Aku memberikan kembali sweaterku kepada Bang Zamy.
"Malas ah, simpan saja...." katanya sambil membenarkan posisi handuk di pundaknya. Aku diam memegang baju yang diberikan Bang Zamy kembali.
Bang Zamy dan Irwan sama-sama melirikku. Aku acuh dan diam. Mobil masih melaju perlahan. Cuaca yang buruk membuat kami hampir satu jam setengah dalam perjalanan. Aku membuka tasku, kuambil handphone dan menjelajah alam maya. Tak ada lagi suara guntur, aku bisa bermain handphone ditengah derasnya hujan. Facebook. Aku tidak membukanya sejak kemarin.
"Bee..., Bee.... Lho kok diam?" Bang Zamy menggangguku bermain hp. Aku tetap acuh, tak memedulikan gangguannya.
"Haduuuhhh, sini mana sweaternya tadi, biar Abang pakai. Begitu saja jadi ngambek." Bang Zamy menarik kembali sweater di tanganku. Aku menoleh padanya lalu tersenyum puas penuh kemenangan.
"Atau carikan abang baju panjang saja dek." bang Zamy ragu kembali memakai sweater ungu milikku.
"Oke!" Ringkas saja jawabanku sambil kembali menarik koper ke pangkuan. Kuambil sebuah gamis berwarna ping dan kurentangkan ke atas.
"Ini Bang baju panjangku." Aku menatapnya sambil menahan senyum.
"Ahhhh.... sudahlah ini saja." dalam hitungan detik sweater itu sudah dikenakannya. Lalu kuberikan lagi sebuah sarung sholatku. Tanpa diperintah, dia memasangkan sarung sholatku kemudian melepaskan celana jeans dan underwarenya yang basah. Kembali kupungut dan kuletakkan di kantong tadi. Lalu aku menunduk memungut dan meremas beberapa koran yang basah karena tetesan pakaian bang Zamy. Koran yang sengaja kuletakkan saat naik bersama bang Zamy tadi. Kuletakkan koran itu di kantong lainnya untuk dibuang sesampainya di rumah nanti.
"Ke klinik apa Jalan Baru bang?" tiba-tiba Irwan bertanya. Maksudnya Bang Zamy mau diantar ke rumahku di Jalan Baru atau ke klinik tempat bang Zamy tinggal, di Jalan Bangka.
"Langsung ke Jalan Baru!"
"Ke Klinik saja."
Kami menjawab berbarengan.
"Hemzzz.... jadi...?" Irwan memastikan sambil melihat ke spion depan lagi.
"Ke Jalan Baru!"
"Ke Klinik!"
Lagi-lagi kami menjawab bersamaan. Bang Zamy pura-pura mau mencekikku. Dia kemudian berkata.
"Ikuti perintah tuan putri saja. Bahaya jika tidak dituruti kemauannya nanti ngambeknya bisa tujuh hari tujuh malam tujuh jam tujuh menit...."
"Tujuh detik!" Aku memotong ucapan bang Zamy yang menyindirku. Dia hanya tersenyum. Ah dia ganteng sekali.
"Oke!" Irwan tancap gas, mencari 'jalan tikus' menghindari lampu merah agar lebih cepat sampai. Kemudian aku kembali terkikik saat melihat pakaian abangku. Atasnya sweater ungu, bawahannya sarung sholatku. Aduh bang dokter..., bang dokter....
***
kletuk! Saat terkikik tiba-tiba aku merasakan ada yang memukul kepalaku dengan genggaman jari tengahnya.
"Awwhhh sakit baaanggg!" Aku menggerutu, sementara Bang Zamy tertawa lepas. Irwan hanya mencoba tersenyum menyesuaikan suasana. Namun dia sepertinya cemburu melihat keakraban kami. Keakraban kakak adik yang sudah terjalin 28 tahun lamanya.
*****bersambung***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mega Wati
seru ni......penulisan ny ok enak di baca
2021-02-24
2
Uvie El Feyza
bagus crita nya
2021-01-17
1
ummu reyhan
Sepertinya seruuu.. lanjuut membaca
2020-08-17
1