Sesampainya di depan rumahku, aku langsung membangunkan bang Zamy yang tertidur pulas di mobil setelah memakai sweater unguku.
"Bang bangun, kita sudah sampai." Aku menarik-narik sweater yang dipakai bang Zamy. Kemudian dia menggeliat dan seketika membuka mata perlahan.
"Lho? Kok bukan di klinik?" Dia membuka mata lebih lebar lagi. Sepintas dia melihat jam tangannya.
"Terus baju abang bagaimana? Nanti ke klinik bagaimana?" Kakakku ini kembali bertanya. Sedikit mengigau, dia lupa kalau sebelum tidur dia sudah setuju pulang ke rumahku.
"Haduuuhhh..., bang Zamy ini bagaimana sih bang? Bukankah di rumah ini juga ada kamarmu? Bukankah di lemari kamarmu juga lengkap pakaiannya abang. Ayo-ayo turun.!" Aku sedikit menarik lengan bang Zamy.
"Ah sudahlah, tolong parkir ke garasi dalam ya." Dia memerintah kepada Irwan. Heran, mengapa kedua mahkluk ini tidak ada basa basinya. Bukankah seharusnya pertemuan pertama harus lebih banyak saling membuka diri biar akrab. Entahlah.
"Siap bang!" Irwan menjawab sambil kembali membawa mobil menuju garasi di dekat teras samping rumahku. Setelah selesai parkir, Irwan langsung memberikan kunci mobil kepadaku. Kemudian dia pamit karena sudah ada temannya berseragam polisi menunggunya di atas motor di luar pagar rumah.
"Eh Irwan beneran gak mampir dulu, Ayo masuk saja sebentar, biar kubuatkan kopi susu hangat sambil berkenalan dengan bang Zamy." Aku bicara bukan sekedar basa-basi. Namun Irwan benar-benar menolak, dia ingin pulang.
"Lain kali saja dok, baru dapat informasi, saya kebagian piket mendampingi tim penyemprotan disinfektan di wilayah Taman Sari, mohon pamit...." Begitu katanya sambil menangkuplan kedua telapak tangan di depan dada.
"Baiklah kalau begitu, terima kasih atas waktumu Irwan...." Aku masih berdiri di teras depan. Mataku mengiringi kepergiannya hingga hilang dalam pandangan. Kemudian aku memutar badan mau masuk ke dalam rumah. Namun begitu kaget melihat ibu sudah ada di belakangku. Berkacak pinggang tangan kiri berdiri persis di tengah pintu. sementara tangan kanannya sudah memegang koperku. Entah kapan dan bagaimana koperku sudah ada di sana.
"Ibuuuu...., kapan ibu datang? Mana mobil ibu kok tidak ada." Aku baru saja akan mencium dan memeluknya. Tiba-tiba....
"Husttt husttt husttt.... cuci tangan dulu pakai sabun, lalu mandi, ibu sudah buatkan sambel goreng cumi asin petai cabe ijo kesukaanmu." Ibu mengusirku dengan menyibak-nyibakkan belakang telapak tangannya.
"Aayiiikkk, ada menu favoriteku...." Aku bergumam menuju kamar. Tak terpikirkan sama sekali kalau ibu sudah sampai di rumah tanpa memberi tahu. Biasanya ayah ibu datangnya sore hari.
Saat melewati ruang keluarga, aku yang berjalan sambil bersenandung ria bertambah kaget melihat ada bang Fathur dan bang Rahman di sana. Kok? Mengapa mereka pada berkumpul di sini? Bukankah di grup whatapp bang Fathur bilang tidak akan pulang ke Bangka? Aneh, pikirku.
"Ehhh kok pada hadir ni abang-abangku yang kece. Selamat datang abang Fathur sang penjagaku yang tampan. Alooowww..., abang Rahman, penjagaku yang sok romantis, bagaimana dengan gadis yang kau incar kemarin? Sudah taklukkah dia? Atau sudah dicampakkannya?" Aku bicara dan kembali ingin memeluk mereka, namun lagi-lagi mendapatkan pengusiran berupa lambaian punggung tangan.
"Cepat mandi sana! Tidak ada salam dan peluk kalau belum steril. Masa dokter jorok begitu...." Bang Fathur mengocehku. Dia melirik bang Rahman, lalu keduanya tos sambil cekikikan.
"Hadeeehhh , lagi-lagi masa dokter begitu, masa dokter begitu. Dokter juga manusia tau!" Aku menjulurkan lidah ke arah mereka sambil berjalan menuju kamarku.
"Kena usir juga nona cantik?" Tiba-tiba bang Zamy keluar dari kamarnya dengan rambut basah. Dia sudah berganti pakaiam, tidak lagi dengan atasan sweater ungu dan sarung sholatku.
"Huh!" Aku berlalu masuk kamar. Dari belakang pintu kudengar mereka kompak menertawakanku. Dan tiba-tiba kubuka lagi pintuku sambil melongok dari dalam.
"Ibuuuuu....!!!"
"Iya mandi sana gih!" Terdengar suara ibu menjawab dari ruang makan. Suara dentingan piring dan sendok beradu mengiringi.
"Ayah mana? Mana ayahnya? Kok mobilnya gak ada?"
"Sudah mandi sana! Idih gadis ibu ya ampuuunnn.... Mandi saja dulu, nanti tanya-tanyanya."
"Iya adek mandi. Tapi ayah mana?"
"Ayah kalian sebentar lagi pulang. Dia ada acara di kantor wilayah...." Ibu kembali menjawab.
"Okeeee....!" Aku menutup pintu dan bersiap mandi. Sementara ketiga kakakku sudah saling menggoda saat bertemu.
.
*15 menit kemudian
Tiba-tiba ibu masuk ke kamarku yang tidak terkunci.
"Sudah mandinya sayang?"
Dia merentangkan kedua belah tangannya ke arahku. Sudah menjadi kebiasaan sejak usiaku mulai mampu mengingat, begitulah ibu memperlakukanku. Memelukku erat dan membisikkan 'lop yu sayang ibu....' Perlakuannya berlanjut bahkan hingga aku sudah dewasa, di usiaku yang sudah 28 tahun lebih ini, masih saja beliau memelukku seperti anak kecil. Kehangatan dan kelembutan sentuhannya begitu kurindukan. Bahagia rasanya. Aku full bersama ayah dan ibu hingga tamat SMA, karena aku menamatkan SMA di SMANSA Muntok, Sejak kuliah di Universitas Padjajaran kami hanya bertemu pada momen-momen spesial saja seperti lebaran, libur semester, syukuran pernikahan bang Fathur atau saat mereka kebetulan dinas luar ke kota tempatku kuliah. Dan setelah bekerja kamipun tidak berada di kota yang sama. Ayah, ibu dan bang Rahman tinggal di Mentok. Bang Rahman mengelola sebuah restoran sea food. Sebuah restoran mewah yang menjadi tempat favorite orang-orang kantor pemda merayakan beberapa acara, seperti traktiran ulang tahun. Membawa makan nara sumber kegiatan yang berasal dari luar wilayah.
Ayah dan ibu masih aktif bekerja. Ayah di perbankan, sedangkan ibuku ASN. Bang Fathur menetap di Jogja dan sudah menjadi dosen tetap di sana, sedangkan aku dan bang Zamy tinggal di Pangkalpinang. Sekitar 3 jam perjalanan naik mobil pribadi dari kota Muntok, tempat ayah dan ibuku berdomisili.
"Adek kaget ya, kok abang-abangnya pada hadir di sini?" Ibu melepas pelukannya seraya bicara.
"Iya bu, kalau kasih kejutan, ini bukan tanggal kelahiranku." Aku menimpali sambil duduk di pinggir sofaku yang empuk. Ibu menatapku dalam. Dia mengambil alih sisir yang kupegang. Lalu seperti memperlakukan anak kecilnya dulu, dia mulai menyisir rambutku. Naura! Dokter Naura Ghe Divanka. Seorang dokter spesialis anak yang begitu disayang dan dimanja.
"Ada hutang ibu yang belum lunas kepada kalian sayang...." Tiba-tiba ibu menghentikan menyisir rambutku. Dia malah memegang kedua bahuku.
"Maksud ibu? Ibu punya hutang? Berapa bu? Kepada siapa? Kenapa ibu tidak bilang dari dulu? Berkali-kali ibu menolak kartu ATM tabunganku. Kenapa ibu baru...."
"Tidak sayang. Bukan hutang uang. Tetapi...." Ibu menghentikan bicaranya. Matanya lekat menatap mataku. Perlahan kristal bening itu mengumpul, satu dua butir mulai berjatuhan. Aku memeluknya.
"Ada apa bu? Apa yang terjadi?" Aku semakin penasaran.
"Ah sudahlah nanti saja kita lanjutkan. Kamu pasti lapar. Ayo sayang ajak abang-abangmu, kita bersiap makan. Sepertinya ayahmu sudah pulang. Ibu mendengar suara mobilnya." Ibu berdiri lalu keluar kamar meninggalkan aku yang semakin bingung. Hutang apa? Aku menguncir rambutku, lalu beranjak menyusul ibu ke ruang makan. Sesampainya di sana hanya kudapati yuk Mairoh di ruang makan sedang menata hidangan. Kuintip melalui tirai, rupanya ibu sudah bersama ayah di teras depan. Mereka bicara serius sekali. Entahlah, apa yang sedang mereka bicarakan. Namun kulihat perlahan ayah menepuk-nepuk pundak ibu dengan lembut. Sepertinya ibu menangis, entahlah, aku selalu tidak tahan melihat air mata ibu. Kelemahanku, melihat ibu yang menyayangiku menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Dhy_Ayu
Menarik...
2020-07-03
3
Chika Riki
next..
2020-06-28
3