YD 9 August
...Tomboi [tom·boi] Kata nomina (kata benda)....
...Arti: sifat atau tipe aktif, penuh petualangan dan sebagainya anak laki-laki, sifat kelaki-lakian (tentang anak perempuan)....
Tidak semua orang bisa bersikap seperti layaknya seorang perempuan, bukan karena kesalahan gender, tapi itu mungkin sudah bawaannya dari kecil atau mungkin kebiasaan.
Sifat ini pula cenderung menawan bagi orang-orang yang melihatnya, ya, sebagian. Bagaimana tidak? Mereka lebih supel dalam pertemanan dan tidak memilih-milih teman. Bawaan cara bicaranya pun mungkin bisa blak-blakan, jujur dan penuh aksi. Oh iya satu lagi, dia tidak suka menggosip seperti perempuan lain. Itulah sedikit tentang perempuan bersikap yang dominan seperti laki-laki.
Gadis itu bernama Aruna ....
Hari sudah beranjak sore, namun gadis itu masih belum mau pulang ke rumahnya. Selain penampilannya yang tampak awut-awutan, ia juga tidak betah berada di rumah karena ia merasa lebih bebasnya saat berada di dunia luar. Freedom adalah jiwa yang diimpikannya sepanjang masa.
Satu jam telah berlalu dan suatu tragedi terjadi tanpa aba-aba yang memaksanya untuk bergabung dengan anak sekolah lain tengah mengadakan tawuran dadakan, karena itulah Aruna jadi ikut terjebak di kerumunan para cowok saat ia hendak keluar dari sebuah warung.
Harus melawan satu persatu mereka jika ingin tahniah dari serangan yang sungguh tidak main-main, mau tidak mau Aruna harus membelasah dan menendang siswa-siswa yang datang menyerangnya tanpa berpikir mana cowok mana yang cewek.
Untungnya gadis tomboi berambut pirang itu masih bisa membela diri dan memutuskan untuk keluar dari kerumunan karena ia sudah kelelahan merespons serangan mereka.
Sudah lama ia tidak nge-gym lagi semenjak satu bulan yang lalu. Melawan anak-anak cowok sekarang bukanlah suatu perencanaan yang matang terlebih lagi mereka juga cukup kuat untuk dilawan, akhir-akhir ini Aruna memang malas sekali mengeluarkan tenaganya untuk hal yang tidak berguna seperti itu.
Setidaknya ilmu bela dirinya untuk melindungi dari kejahatan dan bukan untuk memanfaatkan kekuatan dengan menjahati orang lain.
Dengan berat melangkah, ia berjalan ke pergola kemudian masuk ke sebuah kafe. Itu adalah caranya mengistirahatkan diri setelah tawuran terjadi, tempat itu cukup ramai dikunjungi. Aruna memilih duduk di salah bangku yang mejanya bersampingan dengan jalan raya, menikmati interior design setiap sudut ruang adalah hobinya dalam menilai. Setelah kedua netranya puas menjelajahi setiap sudut kafe itu ditatapnya suasana luar yang penuh dengan suara kendaraan-kendaraan tengah berlalu-lalang.
Sekali lagi Aruna mengembuskan napasnya, melipat tangannya di atas meja menatap gawai yang diletakkannya di atas meja hadapannya.
Ia sedang menonton film kartun budaya barat untuk melupakan momen yang tidak disukainya hari ini, jika tidak melakukan hal demikian mood-nya pasti benar-benar hancur sampai esok hari.
“Permisi, Mbak. Ada yang mau dipesan?” tanya seseorang yang Aruna ketahui.
Yang Aruna tahu dia salah satu karyawan di kafe itu, menghampiri untuk melayani pengunjung yang datang. Aruna menghela napas lalu menjawab, “Cappuccino satu.”
Netra biru mudanya tetap terfokus ke layar gawainya tanpa melirik karyawan itu yang rupanya sedang mengulas senyum kecil menanggapinya, tak lama setelah itu dia pergi sebelum berucap:
“Baik Mbak, silakan tunggu beberapa menit lagi. Permisi.” tutur katanya sangat lembut dan sopan, salah satu ciri karyawan yang cukup terampil dalam berbicara kepada orang banyak. Bukan seperti dirinya yang tidak ada manis-manisnya.
Oke, Aruna memang cukup buruk untuk berbicara soal keramahtamahan.
Tanpa sadar seorang cewek berambut panjang yang bergelombang di ujungnya tampak sedang berkumpul bersama teman-temannya di dekat situ, terpesona melihat cowok pemakai apron hitam berjalan kembali ke meja meracik kopi, raut muka begitu tegas untuk wajahnya yang tampan. Mengulas senyum lalu berbisik-bisik kepada teman-temannya yang juga ikut tersenyum semringah.
“Ganteng ya?” kira-kira begitulah percakapan di mulai dengan ditemani minuman serta camilan yang sudah tersedia di meja bundar tepat di tengah-tengah mereka.
Aruna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya acuh tak acuh, begitu bosannya pikiran mereka yang terlalu banyak mendambakan seorang cowok tampan, apa bagusnya mereka? Kemudian matanya beralih ke kanan. Meski ia tidak menoleh ke kumpulan cewek-cewek kemayu tadi tapi suaranya cukup bisa didengar olehnya.
Lebih tertarik menatap luar kaca melihat jalanan kota Jakarta yang ramai ketimbang penasaran ke cowok tampan yang tengah mereka bicarakan.
Semenjana karyawan berkulit kuning langsat yang diketahui bernama Yudha itu hanya tersenyum kecil di saat pikirannya tiba-tiba melayang ke suatu perihal.
Ia tahu gadis itu tidak masuk sekolah karena bolos, bukan karena alasan lain sebab jarang telinganya mendengar kata keterangan sakit.
Aruna memang memakai seragam khusus SMA Gradien tapi penampilannya cukup berantakan. Di bahunya ada sedikit noda bercak darah yang telah mengering, ia pun cukup hafal sekiranya perempuan itu sedang melatih diri dengan melawan orang yang hebat dalam berkelahi hari ini.
Yudha masih terfokus dengan kegiatan meracik kopi, membuatkan cappuccino sesuai pesanan. Diliriknya jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, dia tidak akan pulang sampai jam 10 malam karena harus bekerja untuk mengumpulkan uang, membiayai sekolahnya. Prinsipnya ada lah mandiri setelah genap berusia 18 tahun.
Yudha cukup pintar, berprestasi dan memiliki tujuan hidup yang cerah. Hari-harinya disibukkan dengan kerja sambilan di sebuah kafe yang cukup ramai dan populer di kalangan anak remaja maupun orang dewasa. Karena tempatnya tepat pada selingkung yang ramai dan nyaman, dekorasi setiap ruang kafe itu siap menjadi latar potret diri mereka.
Setelah selesai Yudha membawa nampan yang di atasnya tersedia secangkir cappuccino. Didekatinya meja gadis itu dan meletakkan pesanannya dengan hati-hati.
“Ini Mbak pesanannya,” ucapnya dengan ramah. Masih dengan menahan senyum, bagaimana mungkin gadis itu masih dalam keadaan yang sama?
“Ya,” jawab Aruna dengan cueknya. Ditatapnya cappuccino itu sejenak lalu berpaling ke gawainya, ia sama sekali tidak tertarik untuk melihat cowok yang kini sudah beranjak pergi meninggalkan meja yang sedari tadi ditempatinya.
Sementara Yudha sudah kembali ke tempat barista, meracik kopi untuk pesanan pelanggan lain yang sudah menunggu di meja pilihannya. Ia cukup senang melakukan hal yang positif macam ini meski lelah.
Yudha tiba-tiba memikirkan gadis itu. Benar dia nggak kenal suaraku? Atau mungkin dia cuma pura-pura nggak tahu?
Pada kenyataannya Yudha Alashka adalah ketua dari kelas XII IPS 1 dan Aruna adalah salah satu anggota dari kelas tersebut. Lebih tepatnya mereka adalah teman satu kelas, meskipun begitu mereka tipikal orang yang sikapnya bertolak belakang.
Yudha orang yang dingin, selalu sibuk dengan dirinya. Semenjana Aruna, keberadaan dia di kelas hanya sebagai pajangan saja, tidak mengeluarkan suaranya kecuali itu dianggap penting. Kerjaannya di kelas hanya tidur, bermelankolis dan menunggu jam waktunya pulang. Setelah itu dia baru seperti menemukan kebebasan, berlari-larian keluar dari gerbang Gradien seperti anak SD yang baru saja pulang dari sekolah.
Cowok berambut hitam legam dengan style undercut itu sedikit melirik ke tempat kasir, di mana gadis yang suka ia pandang secara diam-diam itu sedang melakukan transaksi untuk minuman yang dipesannya tadi.
Setelah usai membayar dia pun keluar dari kafe, melangkah dengan penuh arogan yang terus fokus pada satu titik yaitu pergi yang hanya membuat dirinya kecewa.
Di sepanjang perjalanan gadis angkuh itu hanya melakukan apa yang dia suka, seperti melompat-lompat sebagaimana anak kecil. Menghirup udara dengan mendongakkan kepalanya lalu berteriak kencang dengan bebas enggan memedulikan sekelilingnya di mana orang-orang melihatnya dengan heran.
Tersenyum smirk, Aruna bahkan terus melakukan apa yang dia inginkan. Kebebasan adalah hidupnya, kebebasan itulah yang membuatnya melakukan apa saja yang disukai tanpa ada yang bisa menghentikannya.
Tanpa sadar dua sudut bibir Yudha sedikit terangkat, dia gadis yang unik. Tapi dirinya tak ada cara untuk menyapa gadis tomboi itu, karena dia terkesan arogan dan cuek. Ia yakin dirinya akan diabaikan olehnya, meski dengan modal parasnya yang tampan dan maskulin tidak membuat cewek itu tergiur seperti cewek pada umumnya.
Yudha masih menatap luar kaca transparan, padahal perempuan itu sudah lama menghilang sejak beberapa menit yang lalu.
Padahal tiap pagi ia selalu datang untuk melakukan sesuatu agar murid-murid lain tidak tahu, dan itu juga dilakukannya pagi tadi di sekolah.
Pagi-pagi buta ....
Ah, ia malah tersenyum lagi. Yudha mengusap tengkuknya dengan perasaan yang berkecamuk.
Sedetik kemudian Yudha kembali fokus bekerja, pengunjung semakin banyak yang datang. Waiters yang lain pun segera bergegas menyambut mereka.
...🍓 🍓 🍓...
"Love you zindagi!"
"Love you zindagi!"
Aruna berjoget-joget ria di atas dermaga laut, saat ini ia sendirian di sana di kala ombak laut menari-nari dengan ambisius, air laut seakan-akan ingin memanjat ingin menyentuhnya namun dermaga yang terlalu tinggi tidak bisa menggapainya.
Ia masih belum ingin pulang, ia masih asyik-asyiknya menikmati suasana sejuk di pantai. Lama-kelamaan ia menghentikan aksinya, ia duduk di tepi dermaga sembari melamun.
Aruna menggaruk-garuk pipi kirinya lalu menatap polos ke hamparan laut seperti sedang memikirkan sesuatu hal, ia baru tahu laki-laki itu bekerja di sana. Iya, sebenarnya ia tahu seseorang yang tengah melayaninya tadi itu adalah Yudha.
Tapi kenapa hari aku memikirkan dia begitu telaten? Tanpa diketahui Yudha, ia diam-diam memerhatikan cowok itu yang tengah fokus meracik kopi untuk pelanggan lain, ia juga menyadari banyak cewek yang suka memerhatikannya karena wajahnya yang tampan.
Aruna cukup tahu bagaimana Yudha, seorang cowok yang memiliki alis mata yang tebal sehingga terkesan seperti orang dewasa dan tegas, pipi tirus, kepalanya yang kecil. Tungkai kakinya yang panjang serta bentuk tubuhnya yang ideal, dia berkulit kuning langsat dan rambut hitam yang tersisir rapi.
Aruna tersenyum kecut, ia hanya sedang berpura-pura untuk tidak melihat Yudha. Namun cowok itu tidak begitu memedulikan keberadaannya. "Memangnya dia menganggapku ada?" selama ini ia cukup tahu cowok itu terlalu cuek menyadari kehadiran dirinya di kelas.
Tapi hari ini Aruna merasakan aneh di dalam dadanya, degupan kencang yang menganggu konsentrasinya di kala diam merenung, ini salahnya yang terlalu suka memerhatikan Yudha diam-diam, melihat setiap lekuk wajahnya dan memuji ketampanannya adalah hal yang salah untuk dilakukan.
Pada tanggal 9 Agustus ini aku jadi bingung dengan perasaanku, kenapa dulu aku begitu cuek padanya tapi sekarang aku malah memikirkannya hanya karena diam-diam aku memerhatikan lekuk wajahnya yang ganteng.
...-YD 9 August-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
R Ni
kuy semangat😎😎
Jangan lupa feedback ke "Wanita Taruhan Elvan"
Makasih😊😊😊
2020-11-26
1
Caramelatte
dan ku hadirrr membawa like dan comment
2020-11-24
1
Rich One
mulai membaca kisahmu, sementara like dulu
2020-11-24
1