Atmosfer di ruang kantin tidak begitu panas, istirahat pertama sangat diminati oleh warga Gradien mengisi energi yang sempat terkuras hingga kantin di samping sekolah menjadi penuh dan ramai.
"Nama lo siapa?" tanya Aruna yang amarahnya sudah menghilang. Ia sedang berbaik hati bertanya hanya untuk kepentingan, barangkali ada sesuatu yang akan terjadi.
Dia harus bertanya karena anak baru itu masih mengikutinya sampai ke kantin. Entah kenapa dia itu merasa tertarik kepada dirinya yang tomboi ini.
"Gue Haris," jawabnya. Lalu tersenyum simpul.
Haris? Oh, si bledek ini namanya Haris. Aruna mengangguk kecil lalu kembali menyendokkan makanan ke dalam mulutnya yang sempat tertunda.
“Gila aja sih gue ngeliat lo tadi kayak orang lain. Kali aja gue lagi ngelihatin Chris John lagi gebukin rivalnya.” Haris mulai berkomentar saat Aruna enggan mengusirnya dari hadapannya.
“Anggap aja gue lagi make kekuatan supaya mereka makin segan sama gue, si genderuwo itu sih suka nyari masalah aja sama gue. Bingsit emang!” celetuk Aruna mengacungkan garpu ke udara setelah melahap roti bakar yang baru sampai di mejanya. Makan banyak adalah sumber kekuatannya agar bisa bertahan hidup sampai pulang nanti.
Kadang Haris suka bingung atau mungkin gadis itu memang suka labil. Tadi Aruna terlihat sangar dan sekarang malah tampak bersahabat, semakin ke sini dia jadi penasaran dengan gadis itu. Yang terpenting dirinya tidak berhenti mendekatinya meski hari ini adalah pertama kalinya memiliki mental untuk menelusuri kehidupan dari seorang gadis tomboi dan misterius itu.
“Na, gue suka gaya lo. Hampir mirip kayak setan—ngkai bunga mawar, hehe, iya.” Haris berhasil membias ucapannya membuat Aruna yang tadinya mendelik tajam.
Cantik tapi berduri. Memang benar, dia adalah setangkai mawar yang tampak menarik tapi apabila mencoba untuk mencoba menyentuhnya akan terluka.
Haris meneguk ludah, jika sampai garpu di tangan Aruna melekat di kedua netranya siap-siap saja dirinya mau masuk surga atau didepak ke neraka.
“Gue cuma mau hidup tenang tanpa parasit. Kalau orang itu mengacau kehidupan gue, ya nggak bisa tinggal diam dong, yang gue lakuin sama si tape gosong tadi adalah sebuah peringatan biar besok-besok dia nggak beneran niat buat jemput mautnya.” ujar Aruna sarkasme, perkataan yang semacam itu hanya membuat Haris meringis.
Kok gue bisa suka sih sama cewek kayak beginian? Membingungkan, sebuah kecantikan tidak bisa imbang dengan sikap. Dua hal yang berbeda tetapi hati seorang Haris sudah hilang kunci dan tidak bisa beralih lagi selain kepada si Devil.
Matilah sudah saya Mak! Haris menekan keningnya meredakan lengarnya yang tiba-tiba menghampiri.
...🍓 🍓 🍓...
“Haris! Kalau mau gabung ke kita aja main futsal ke lapangan. Ntar gue kirim alamatnya.” Andre menepuk pundak sang anak baru dengan nada bersahabat, meski baru kenal cukup membuat keduanya terlihat akrab.
Andre memang begitu, tidak rikuh dalam berkawan. Baginya berteman dengan banyak orang itu adalah suatu keberkahan serta menambah pengetahuan, meskipun temannya kebanyakan tengil semua tak membuat dirinya menjadi tipe pemilih dan setidaknya kehadiran mereka mampu mengundang tawa membuat dirinya terhibur dan tidak merasa sendiri lagi.
Haris tersenyum lebar. “Makasih ajakannya, tapi kayaknya sekarang nggak bisa deh. Lain kali aja ya?”
“Ya udah, nggak apa-apa. Woles,” sahut Nazih.
“Kalau gitu kita balik duluan ya, jangan sungkan sama kita-kita orang baik kok.” Duta meninju kepalan tangan Haris, begitu juga dengan yang lain.
“Hati-hati!”
“Sip!”
Satu hari di sekolah tidak membuat Haris sungkan berteman dengan orang baru, selain dirinya yang luwes dalam berteman, ketiga cowok tadi juga baik meski kocak tapi kehebohan dari mereka itulah yang membuat suasana kelas jadi hidup dan tidak sunyi seperti tempat pemakaman umum.
Sebenarnya ada beberapa anak-anak kelas lain yang sama asyiknya dengan Andre, Duta dan Nazih. Tapi untuk hari ini ia mesti hafal dan dekat dengan ketiga cowok itu dulu.
Haris berbalik arah ke kanan menuju parkir. Sebenarnya ada tempat yang harus dia kunjungi lebih tepatnya tujuan awal yang dia cari. Gadis itu. Ya, sempat tertarik untuk memperkenalkan diri meski ditolak cinta gilanya tapi tak mengapa, asalkan jangan ditolak untuk menjadi teman.
Bagi gue cinta pada pandangan pertama itu memang ada dan nyata meski beberapa dari mereka bilang cinta pada pandangan pertama itu banyol.
SMA Gradien lengang. Iya, lengang. Karena sebagian dari warga situ telah kembali ke peraduannya masing-masing dan besok baru datang lagi dengan suasana baru. Pergi secepat kilat tanpa disuruh pun jejak tak terlihat lagi di setiap sudut sekolah.
Kecuali kepada dua lawan jenis yang masih tawar-menawar di tempat parkir, tentu saja itu Aruna dengan si Haris, anak baru. Tempat itu sudah semakin sepi dan tampaknya mereka belum bisa meninggalkan lokasi karena lamanya bernegosiasi.
"Biar gue aja yang bawain sepeda lo." Haris masih kekeh berdiri sambil memegangi sepeda Aruna.
"Paan sih lo bledek!"
"Please ... ajak gue pulang ya? Apa lo nggak kasihan sama gue yang ganteng ini?" pintanya. Haris memasang mata puppy eyes andalannya yang justru membuat Aruna jijik.
Memang cowok itu tampan, namun yang namanya cewek tomboi insecure dalam segala hal seperti Aruna mana mungkin peduli soal tampan atau tidaknya seorang lelaki?
“Ogah, pulang aja sendiri sono! Nyusahin aja!”
Tatapan mereka sama-sama terkunci dengan pemikiran yang sibuk bergulat di atas kepala, suasana kelas terasa beda dan hening di kala diamnya dua orang ini. "*P*lease, gue nggak bawa kendaraan. Lagi di bengkel soalnya bannya bocor gara-gara paku, gimana gue bisa pulang?" katanya dengan nada lemas, berharap Aruna kasihan padanya.
“Eh, Suneo! Gue nggak peduli apa pun alasannya, mau motor lo dicuri kek, dimakan buaya kek, terserah! Gue mau balik, minggir sono!”
“Tolongin gue, Na, sekali ini aja, ya?” Haris memelas memohon dengan sangat. Jika orang lain yang ada di posisi Aruna, iba sekali jadinya. Apalagi wajahnya yang tampan tampak berseri seperti bidadara.
Aruna mengembuskan napas kesalnya, hatinya bukan terbuat dari batu tapi dari segumpal daging yang diberi perasaan oleh sang pencipta. Tetap saja ia bisa luluh dengan raut muka Haris seperti minta dipungut itu. Memangnya kucing jalanan!
"Emang rumah lo di mana sih?" tanya Aruna setengah kesal, tetapi pertanyaan semacam itu mampu membuat terbit senyum Haris.
"Dekat kok, di kompleks jalan Ganaconda!" jawabnya dengan semangat empat lima.
"Ya udah," Aruna mengedikkan bahu seolah tak peduli.
"Jadi lo mau ngantarin gue pulang?" tanya Haris penuh harap.
"Gak!" Aruna meninggalkannya tanpa belas kasihan. Karena mereka baru saja kenal. Bagaimana mungkin gadis itu mau mengabulkan permintaan itu, namun rupanya Aruna yang baik hati seperti malaikat Izrail kembali menjemputnya, entah naluri dari mana yang membuatnya tak tega meninggalkan cowok bernama Haris itu di sekolah. Gini-gini gue punya hati ya, jangan ngira gue emang 100% apatis.
Akhirnya Haris menggowes sepeda Aruna yang sudah berdiri di belakang dan memegangi pundaknya agar tidak jatuh.
Loh? Ini dia mau bawa gue ke mana? Bukannya jalan menuju pulang, Haris justru membawanya ke sebuah taman. Aruna berdesis sebal. "Kenapa jadi nyasar ke sini sih?"
Haris tersenyum. "Cuma refreshing," kemudian dia menatap langit cerah, "ayo ikut gue."
"Ke mana?" tanya Aruna menatap sekelilingnya yang ramai. Sejujurnya dia tak suka keramaian, tak suka dengan tatapan para pengunjung yang seolah-olah ingin mengintimidasinya.
Namanya juga punya mata gunanya untuk melihat, apalagi Haris yang tampannya bikin ingus meleleh. Tentu saja khusus pada kaum hawa sering curi-curi pandang melihat ketampanan sang pria pemilik hidung bangir itu.
"Ikut aja." jawab Haris dengan tersenyum penuh arti. Aruna terlihat tak suka dengan senyum itu, bukan karena gugup melainkan risi.
Sesampainya di tempat tujuan, sebuah pemandangan dari atas bukit menatap kota besar ternyata cukup indah. Apalagi di bukit itu dikelilingi oleh bunga yang beragam warna.
"Keren!" Aruna berkata dengan takjub. Tiba-tiba rasa kesalnya pada Haris hilang begitu saja.
Haris menoleh. "Gue mau bikin lo selalu betah di sekolah," ucapnya dengan yakin, “boleh ya?”
Termenung, Aruna hanya bingung. Entah kenapa cowok ini begitu suka mencampuri urusannya. "Jangan mimpi deh lo pikir gue luluh gitu sama lo? Nggak!”
"Gue bakal coba jadi realitas dan bukan cuma khayalan doang. Gue yakin, besok gue pasti bisa nemuin jawabannya sendiri,” katanya dengan yakin. Jawaban dari hati gue suka sama lo itu nggak cuma satu hari Na, tapi berlaku untuk seterusnya.
“Jawaban apa?” Aruna menaikkan sebelah alisnya. Entahlah, ia tidak mengerti dengan maksud perkataan Haris seperti ada maksud dari ungkapan yang lainnya.
“Bahwa suatu hari nanti lo pasti betah sama gue, seenggaknya jadi teman. Gue udah seneng.” jawab Haris sembari tersenyum manis, memperlihatkan deretan gigi yang tidak terlalu rapi namun terlihat cocok dengannya.
Aruna memutar bola matanya kesal. "Terserah lo aja, dari tadi lo ngomong yang aneh-aneh mulu. Padahal kita baru kenal.”
Haris menatapnya lekat. Matanya seperti tidak ingin lepas dari kedua penglihatan Aruna.
“Mau ngapain?” Aruna segera melengos dan enggan mau membalas tatapan cowok itu lagi.
“Ketemu sama lo itu adalah suatu keberuntungan,” ujarnya tampak serius. Tanpa ada ekspresi yang dibuat-buat.
Senyum sinis pun muncul. “Keberuntungan atau siap untuk disiksa?”
Haris tertawa kecil, menggelengkan kepalanya kecil. “Lo itu lucu juga ya."
“Nggak ada yang lucu di sini." Aruna hendak menggebuk bahu laki-laki itu yang dengan cepatnya dia menghindar.
Setelahnya Aruna dan Haris sama-sama terdiam menatap langit yang mulai menimbulkan semburat jingga dari balik gedung-gedung sana. Diliriknya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul lima sore? Benar-benar tak terasa hari sudah mulai senja.
"Ris, gue mau pulang." Aruna mengusap rambutnya dengan pelan kemudian bangkit dari duduknya.
Haris yang sepertinya masih tetap bertahan di tempat itu akhirnya hanya mengangguk kecil dan perlahan mulai bangkit dari duduknya.
"Lain kali gue mau ajak lo jalan-jalan lagi." ujar Haris mulai menggowes sepedanya. Aruna semata-mata tidak akan menanggapinya karena merasa tidak penting untuk dibahas.
Lima jam yang lalu Aruna sudah mulai akrab dengan si murid baru, Haris. Bukan apa-apa, hanya merasa nyaman saja. Setelah mengantar Haris pulang, Aruna pun segera pulang ke rumah karena hari sudah mulai menjelang malam. Dan di saat temaramnya yaum, langkahnya terhenti di sebuah warung untuk menghabiskan sisa uangnya dengan membeli makanan dan minuman sampai perutnya merasa senang.
🍓 🍓 🍓
Sayup-sayup terdengar perbincangan panjang di dalam sana, namun bukanlah perkataan hangat yang didengarnya melainkan sebaliknya.
Di mata para manusia pasti adanya perbedaan pendapat yang kuat. Sama-sama tidak bisa dijatuhkan dan mengalah, jika memang seperti itu adanya bagaimana sebuah permasalahan itu akan selesai?
Di dalam sebuah rumah yang cukup mewah dan megah terdengar suara perdebatan antara sepasang suami istri, mereka adalah Aryo dan Riana yang tidak lain adalah orang tua Aruna sendiri. Hampir setiap malamnya mereka tidak pernah akur ataupun bersikap humoris dalam berumah tangga dan akhir-akhir ini selalu terjadi perang dingin di antara keduanya.
Perlahan Aruna memutar knop pintu dengan penuh hati-hati, berharap masuk ke dalam kamar seperti layaknya maling namun harapannya tidak begitu terkabulkan dengan mudah. Detik itu juga perdebatan di ruang tengah terhenti saat kedua orang tuanya menoleh.
Hingga akhirnya Aruna kembali berdiri tegap yang semulanya membungkuk, ia enggan membalas tatapan keduanya kemudian tetap berjalan menaiki anak tangga. Saat kepergiannya bentakan itu kembali terdengar, Aryo memarahi ibunya. Lagi.
"Kamu lihat? Begitu caramu mendidik anak? Menjadi anak yang suka pulang malam dan nggak tau sopan santun?” tukasnya.
"Jangan salahkan aku, itu salah kamu sendiri. Kalau kamu nggak bermain wanita, nggak akan membuat anak kamu kayak gitu." bantah Riana dengan tegas, namun air mata tetap menggenang di pelupuk matanya.
Brak!
Aruna membanting pintu kamar, menenggelamkan wajahnya ke bantal. Kenapa sih kehidupanku buruk banget ya? Kenapa hidupku nggak kayak orang-orang yang selalu bahagia di luar sana. Kenapa? Apa kebahagiaan nggak mungkin ada sama diriku?
"Aku mau kita cerai!" teriak Riana dengan suara bergemetar.
"Aku nggak akan menceraikan kamu!"
Prang!
Aruna menutup telinganya sebisa mungkin, berharap tak mendengar suara apa pun. Namun nahas, suara itu selalu saja mengganggu pikirannya. Hampir setiap malam telinganya selalu mendengar suara yang sama.
Riana sudah lama ingin menggugat cerai, namun Aryo bersikeras untuk tidak mau menceraikannya. Memang Aryo sudah memberikan semua hartanya kepada Riana yang justru sama sekali tak membutuhkan itu karena harta tidak akan pernah bisa membahagiakannya. Justru yang Riana butuh kan adalah sebuah kesetiaan, itu sudah lebih dari cukup karena Aryo benar-benar sudah lupa dengan keluarganya sebab kekayaan.
Satu hal lagi yang selalu membekas di ingatan Riana dengan sang anak adalah kekerasan yang dilakukan sang suami, ia pun merasa bersalah karena sikap buruk dan ringan tangan Aryo yang sudah memperburuk kondisi hati seorang Aruna hingga tumbuh menjadi anak yang suka melamun dan cuek dengan sekitarnya.
Aruna sudah mengetahui semuanya tentang Aryo yang sering mengunjungi kelab malam, suka menghamburkan uang banyak ke wanita-wanita malam. Aruna sendiri pun juga sudah pernah melihat Aryo yang sering keluar masuk ke tempat maksiat itu. Ia sudah tak ingin lagi mendengar tentangnya sampai kapan pun, tempat itu juga sudah menjadi tempat yang sangat dibencinya karena sudah berani menyakiti wanita terhebat sepanjang hidupnya.
Menyatu bersama gelapnya malam dengan menutup kedua netranya sejemang demi melupakan beban pikiran yang sering datang tanpa permisi ketika sedang berada dalam kesendirian. Tak banyak yang diinginkannya, cukup kebahagiaan keluarga harmonis itu sudah lebih dari cukup baginya. Ia ingin senyuman tulus ditebarkan dengan ikhlas, bukan senyum yang sangat terpaksa sekali ditampilkan hingga luka itu kembali terasa.
Ia iri dengan kehidupan orang lain yang penuh suka, diperhatikan dan tersenyum ikhlas tanpa beban. Bagaimana cara mereka melakukannya? Bahkan dirinya tak bisa semudah itu untuk melupakan keberatan hatinya setiap mendapat masalah. Yang ingin diperbuatnya hanya dengan cara melampiaskan, mendongkol dan mengabaikan sekitarnya, begitu besarnya pengaruh yang terjadi pada Aruna.
Siapapun cinta yang datang, ia sudah tidak percaya karena cinta hanya melemahkan dan mendekati seseorang supaya sulit untuk melepaskan. Seperti mawar berduri, karena cantik mereka rela merawatnya tanpa memedulikan darah yang tanpa sadar sudah membasahi telapak tangannya.
Tapi apa mungkin aku bisa ngelakuin ini? Bagaimana kalau suatu hari aku jadi beneran jatuh cinta sama seseorang? Tapi siapa?
Sejenak Aruna termenung, memikirkan tentang cinta ... Aruna sudah pahit untuk memikirkannya.
🍓 🍓 🍓
"Pergi lo sana bangs*t!"
Aruna benar-benar kesal di pagi ini, mau saja tadi tidak usah masuk kelas. Atau laki-laki itu akan ia tenggelamkan ke laut paling dalan agar dia tak muncul lagi di kehidupannya.
"Gue cuma mau bantuin lo, Na."
Ini untuk kedua kalinya Haris menemani Aruna di kelas, pagi ini matanya sudah persis seperti panda. Akibat kurang tidur, karena memang tadi malam dia benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak karena pertengkaran kedua orang tuanya.
"Jangan buka suara lagi Haris, gue mau istirahat tenang hari ini." Aruna mengacungkan jari telunjuknya di depan Haris yang hanya menatapnya dengan mata bulatnya.
Meski guru sudah memasuki kelas, Aruna tak menghiraukan panggilan dari guru. Akibatnya guru itu mengusirnya dari kelas, Aruna menerima itu dan berjalan menuju gudang sekolah untuk melanjutkan tidurnya. Ah mereka selalu saja ingin marah-marah. Mungkin sudah bosan menjadi orang muda. Begitu pikirnya, langkahnya terus berjalan ke koridor sepi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
R Ni
Semangat😎😎
Jangan lupa feedback ke "Wanita Taruhan Elvan"
Makasih😎😎
2020-11-30
0
W_Yaya
udah mampir kak jgn lupa mampir ya aku kasih bom like buat karya kaka
2020-11-26
0
📚 Inem tak di anggap (HIATUS)
Semangat 💪
2020-11-22
0