...-YD 9 August-...
“Perubahan itu cuma membuat mereka berpikir kalau lo bukanlah orang yang baik padahal dengan cara lo diam seperti ini hanya untuk menutupi luka dan menyembunyikan setiap derita yang lo tanggung agar mereka nggak merasa kasihan sama lo.”
...🍓 🍓 🍓...
Kesunyian akan terus menemani harinya tanpa adanya canda dan tawa, sudah terbiasa bahkan sangat mustahil jika senyum itu ada di wajahnya yang datar ini. Cukup menorehkan luka di hati maupun secara fisik, semuanya sama saja. Ia sudah kebal dengan semua itu, maka terciptalah dirinya yang suka memberontak.
Di meja makan sudah dihidangkan beberapa makanan, namun kedua manusia yang duduk berjauhan di bangku meja makan cukup menikmati sarapan dalam diam seperti robot, sungguh gerakan yang membosankan.
Helaan napas Aruna terdengar panjang, menyudahi sarapannya dengan meminum segelas susu yang telah dihidangkan di atas meja.
“Berani sekali kau bernapas seperti itu di depanku!” teriakan dengan suara berat itu membuat Aruna menatapnya datar.
“Cuma bernapas aja kok salah Yah? Kalau nggak napas mati dong?” ujarnya dengan berani. Memang betul apa yang di katakannya, bernapas panjang itu ketika ia menghirup udara gratis dengan panjang. Untungnya saja tidak ada gas beracun ataupun kentut yang ikut dihirupnya.
Aryo menggebrak meja dengan kasar, menimbulkan bunyi yang cukup keras hingga Riana yang tadinya berada di dapur spontan menoleh waspada ke meja makan.
Tanpa berucap kata apa pun itu langkah besar Aryo berjalan mendekati Aruna yang sudah berdiri mencangklong tasnya, sementara Riana membulatkan matanya. Ia tahu apa yang terjadi setelahnya maka dengan gesit segera berlari ke arah mereka.
Namun terlambat, satu gamparan keras telah mendarat dengan kasar di pipi mulus Aruna. Meninggalkan bekas merah di sana yang terasa berdenyut-denyut perih.
Degupan kencang serta tegukan salivanya masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Bisakah ia mendapat siksaan lain daripada ini? Atau semacam yang tertuju pada kematian? Aruna mau langsung mati saja daripada disiksa.
Ini sangat mengganggu proses perkembangan otaknya, kalau begini caranya ia memang tidak bisa menganggap pria itu baik. Karena sederet kisah luka sudah digoreskan semasa hidupnya, sikap temperamental yang membuatnya muak ketika memori itu kembali diingat dan nahasnya sikap jelek itu masih tetap ada sampai sekarang.
Riana menangis dan memeluk Aruna yang masih diam mematung. Enggan juga berekspresi karena masih syok untuk ke sekian kalinya, meski wajahnya begitu datar tapi tidak dengan hatinya yang tengah bermuram durja.
“Itu buat kamu yang nggak sopan sama ayah kamu sendiri!” bentak Aryo.
“Udah cukup! Jangan kau sakiti Aruna lagi!" teriak wanita itu frustrasi. Matanya kemudian memandang anak satu-satunya itu. "Na, kamu nggak apa-apa kan Nak?” dengan detak jantung yang tak keruan, Riana selalu khawatir pada anak satu-satunya yang kini masih terdiam dengan tangan terkepal kuat.
Ingin membalas tapi takut dosa, masih ingat akhirat maka dia urung untuk tidak memukul pria yang bahkan tak pantas disebut sebagai ayah.
“Mau apa kamu? Melawan?!” bentakan kasar sudah begitu familier baginya.
Ini bukanlah kali pertama Aruna mendapatkan perlakuan kasar dari Aryo, dan ini adalah ke sekian puluh kalinya mendapat tamparan, pukulan serta lecutan yang meninggalkan bilur pedih di memorinya yang sampai mati pun dia tak akan pernah lupa.
Inilah yang terjadi pada Aruna, ada apa-apa yang rusak di rumah itu selalu dimarahi dan akhirnya dipukul hingga menangis tersedu-sedu, tidak ada yang menenangkannya kecuali ia lelah dan berhenti dengan sendirinya.
Sangat ingat saat bagaimana perkataan kasar itu dilontarkan kepada anak perempuan berumur sembilan tahun yang mulai memiliki ketakutan yang luar biasa dalam dirinya. Saat barang-barang berharga milik Aryo pun jatuh atau retak, tangan besar itu mulai ringan mengayun ke pipinya, memukulnya hingga tak ada lagi pekikan yang terdengar keras. Masa lalu membuatnya lelah untuk bertahan hidup dan menangis dalam diam.
Sikap murung dan apatis itu berasal dari sana, saat dia takut dalam bertingkah, takut dalam mengeluarkan suara yang terlontar sering kali salah. Takut berbuat banyak karena tidak ingin lagi ada luka yang membeludak di otaknya, pikirannya, hatinya, dirinya yang sudah terlampau sakit.
Bahkan air mata pun telah mengering dan kini tinggallah hati yang penuh dendam. Dendam yang ingin dia balas suatu hari nanti ketika besar, ketika dia punya pemikiran yang luas, dengan begitu lebih mudah untuk meninggalkan semuanya yang berhubungan dengan luka di masa lalu.
Tapi rasanya tidak mungkin, jika menjadi pintar dan menjadi orang, sadar akan hidup tidaklah kekal, ia ingin memperbaiki semua itu dengan memulai kehidupan baru. Kalau umur masih panjang, aku nggak bakal mau punya suami kayak orang itu. Aku mau anak-anakku nanti tumbuh menjadi anak yang periang dan penuh kebahagiaan seperti anak-anak pada umumnya. Kini semuanya dirasa jauh, ingin tetap hidup rasanya terlalu banyak luka yang menancap di hatinya.
“Aku bilang cukup ya! Jangan sakiti Aruna lagi, mau sampai kapan kamu terus menyakiti anak kamu? Ada saatnya kamu membutuhkan Aruna tapi nggak sekarang karena kamu masih kuat! Kalau kamu memukulnya lagi, ingat saat kamu sudah tua siapa yang akan merawatmu?!” Riana meneriaki Aryo meluapkan semua kekesalannya, permasalahan kecil yang terlalu suka dibesar-besarkan.
“Dia yang cari masalah, asal kamu tau aja dia baru melawan ucapanku!”
“Tapi nggak harus kamu emosi duluan tanpa bertanya? Ini yang nggak aku suka dari kamu, permasalahan kecil selalu dibesar-besarkan.” muak rasanya hidup di keluarga ini, berumah tangga seperti mengumpulkan para musuh dalam satu rumah. Hancur berantakan di kala anjing bertemu kucing dalam satu ruangan.
Aryo menyapu semua barang yang ada di meja dengan kasar, hingga membunyikan dentingan pecahan kaca begitu nyaring. Ruangan itu dalam keadaan acakadut, emosi yang kembali membeludak.
“Kalian berdua emang berengsek!”
Lo! Dengan sinisnya Aruna memandang pria itu dengan tatapan benci. Riana mendekapnya berjaga-jaga barangkali Aryo kembali maju berniat memukulnya.
Dengusan kasar terdengar sebelum Aryo benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. Sungguh permasalahan rumah tangga yang rumit, Aruna jadi terheran-heran. Entah kenapa Riana masih saja mau mempertahankan pria paruh baya itu padahal sikapnya jauh dari kata suami idaman.
Dia suami berengsek yang sama sekali nggak punya etika, hanya pria berengsek juga yang sudah berani buat air mata Mama jatuh!
Setelah suasana kembali tenang walau keadaan ruangan itu amburadul, Aruna menghela napas. Setidaknya Aryo sudah pergi dari rumah, lalu menatap ibunya dengan tatapan sayu.
“Ma ....”
“Nggak apa-apa sayang.” ujar Riana dengan suara serak-serak basah, diusapnya pipi bekas tamparan suaminya tadi. Ia seperti gagal menjadi ibu yang baik karena tak pernah bisa menghalangi agar tamparan itu tidak pernah terjadi. “Maafin Mama ya sayang ....”
“Bukan salah Mama kok.” potong Aruna sembari mengulas senyum tipis, lalu mencium punggung tangan ibunya.
“Aku berangkat ke sekolah dulu ya Ma. Assalamualaikum.”
“Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan Na.” Aruna mengangguk mengerti, tatapan mata Riana tak lepas dari kepergian sang anak untuk menimba ilmu di sekolahnya.
Ditutupnya pintu rumah, kembali berjalan ke meja makan yang dalam keadaan slebor. Segera dia membereskan semua peralatan yang jatuh dan ada juga yang pecah hingga tak berbentuk lagi.
...🍓 🍓 🍓...
"Bolos lagi?"
Gadis berambut panjang itu hanya mengangguk mantap saat ditanya seorang cowok yang terpaut usia kira-kira dua tahun lebih tua darinya. Mendapat kunjungan dari Aruna, dia berpikir pasti alasannya sama. Bolos.
Ini adalah untuk ke sekian kalinya dia bolos sekolah dan ke sekian kalinya hilang berita dari Gradien. Baginya sekolah itu benar-benar membosankan. Duduk di kelas menunggu guru dan belajar, ke kantin dan mendengar keributan di kelas yang hanya menggosip berita yang menurutnya tak penting. Terakhir, pulang dengan bahagia dengan penuh kelegaan.
Rion menghela napas pelan lalu menggelengkan kepalanya. Tidak setuju dengan hal yang dilakukan Aruna sekarang. "Sekolah yang bisa mengubah hidup lo jadi lebih baik, lo mau jadi kayak gue? Jadi tukang tambal ban."
Aruna memiringkan kepalanya, mengamati setiap gerak-gerik Rion yang tengah berkutat dengan kegiatannya menambal ban motor. Aruna memilih untuk duduk di salah satu kursi panjang seraya memperhatikan cara kerja lelaki itu.
"Kenapa kita nggak tukar posisi aja? Gue mau kok, berada di posisi lo dan lo mau jadi cowok, soalnya dunia cowok itu lebih bebas. Nah, cewek? Apa-apa dilarang, ini nggak boleh itu juga nggak," ocehnya.
"Bersyukurlah Na, lo tercipta sebagai cewek yang terlahir dari keluarga mapan." Rion berucap demikian, matanya tetap terfokus pada apa yang dikerjakannya.
Satu hal yang Aruna suka dari Rion yaitu pemikirannya. Dia mampu mengeluarkan kalimat yang sungguh bijaksana, memotivasi serta menginspirasinya meski Rion tidak lagi melanjutkan pendidikannya karena kendala dalam segi ekonomi.
Rion orang yang pintar, dia selalu meraih juara 1 di kelas. Intinya dia itu bisa mengharumkan nama sekolah, Aruna tahu karena mereka pernah satu sekolah sewaktu SMP.
Rion adalah kakak kelas yang ramah. Aruna tahu penyebab berhentinya Rion melanjutkan pendidikannya, itu karena masalah ekonomi dan konflik keluarga. Klandestin Aruna menaruh hati pada lelaki itu meski entah kapan dia kan menyadari perasaannya. Tapi sekarang sudah tidak lagi, tahu kan? Dirinya hanya seorang cewek labil. Kadang iya dan terkadang sudah mudah melupakan.
"Bukannya gue nggak bersyukur Ri, tapi gue baru aja ditampar sama ayah gue sendiri untuk ke sekian puluh kalinya," keluhnya, “mau balas dendam tapi sadar surga terlalu aneh ada di telapak kakinya juga.”
Lelaki berambut acak-acakan itu termangu mendengarnya yang masih dengan alasan serupa. Rion cukup tahu permasalahan yang dihadapi Aruna, tapi setidaknya dia masih tetap melanjutkan pendidikannya dan menghiraukan konflik yang terjadi di rumahnya.
Rion paham, Aruna seketika berubah badgirl karena pengaruh orang tuanya.
"Gue paham masalah lo, Na, tapi seenggaknya lo harus tetap sekolah kan? Hanya pendidikan tinggi yang bisa mengubah semua keadaan, dan seenggaknya lo jangan jadi badgirl cuma melampiaskan masalah lo ke orang lain, mereka nggak akan ngerti. Justru mereka bakal melihat lo itu kayak cewek yang nggak baik.”
"Huft ... jadi orang dewasa memang menyusahkan." tak habis pikir, entah sampai kapan hidupnya akan terus-menerus terjebak dalam bundaran konflik keluarga.
Rion tak menjawab lagi. Berkutat dengan pekerjaannya yang hampir selesai, bekerja memang melelahkan. Tapi begitulah caranya untuk menghidupi keluarganya, kadang kala orang lain hidup dengan serba kecukupan harus banyak bersyukur karena di luar sana masih banyak orang yang sulit mencari uang hanya untuk membeli sesuap nasi.
Rion menyeka keringatnya yang membuat mata Aruna terkesima dengan perjuangannya dalam menghidupi keluarga. Gue tau kok apa yang gue lakuin sekarang salah, tapi gue benar-benar nggak bisa maksa buat belajar karena pikiran gue masih kalut oleh mereka.
Perubahan pada diri untuk menjadi baik itu bisa saja terjadi, tapi bukankah sebuah perubahan tidak ada yang instan? Semuanya kembali berawal dari nol dan memiliki waktu untuk menjalani sebuah proses.
Sudut pandang dari seorang Rion mengatakan, kalau gue berubah cuma karena pengaruh orang tua. Permasalahan hidup yang benar-benar membuat gue lelah, ditambah lagi dengan permasalahan seorang teman yang tidak mengerti dengan keadaan diri gue justru mereka malah menghakimi seolah-olah gue ini tidak punya masa depan. Padahal gue cuma butuh pengertian dan rangkulan dari mereka.
Aruna masih ingin tahu bagaimana sudut pandang orang lain terhadap dirinya yang terkenal membosankan dan apatis ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
W_Yaya
mampir lagi
2020-11-26
0
📚 Inem tak di anggap (HIATUS)
Nyicil like 🤭🤧🤧
2020-11-23
1
IntanhayadiPutri
Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku
TERJEBAK PERNIKAHAN SMA
makasih 🙏🙏
2020-11-14
1