...Tomboi [tom·boi] Kata nomina (kata benda)....
...Arti: sifat atau tipe aktif, penuh petualangan dan sebagainya anak laki-laki, sifat kelaki-lakian (tentang anak perempuan)....
Tidak semua orang bisa bersikap seperti layaknya seorang perempuan, bukan karena kesalahan gender, tapi itu mungkin sudah bawaannya dari kecil atau mungkin kebiasaan.
Sifat ini pula cenderung menawan bagi orang-orang yang melihatnya, ya, sebagian. Bagaimana tidak? Mereka lebih supel dalam pertemanan dan tidak memilih-milih teman. Bawaan cara bicaranya pun mungkin bisa blak-blakan, jujur dan penuh aksi. Oh iya satu lagi, dia tidak suka menggosip seperti perempuan lain. Itulah sedikit tentang perempuan bersikap yang dominan seperti laki-laki.
Gadis itu bernama Aruna ....
Hari sudah beranjak sore, namun gadis itu masih belum mau pulang ke rumahnya. Selain penampilannya yang tampak awut-awutan, ia juga tidak betah berada di rumah karena ia merasa lebih bebasnya saat berada di dunia luar. Freedom adalah jiwa yang diimpikannya sepanjang masa.
Satu jam telah berlalu dan suatu tragedi terjadi tanpa aba-aba yang memaksanya untuk bergabung dengan anak sekolah lain tengah mengadakan tawuran dadakan, karena itulah Aruna jadi ikut terjebak di kerumunan para cowok saat ia hendak keluar dari sebuah warung.
Harus melawan satu persatu mereka jika ingin tahniah dari serangan yang sungguh tidak main-main, mau tidak mau Aruna harus membelasah dan menendang siswa-siswa yang datang menyerangnya tanpa berpikir mana cowok mana yang cewek.
Untungnya gadis tomboi berambut pirang itu masih bisa membela diri dan memutuskan untuk keluar dari kerumunan karena ia sudah kelelahan merespons serangan mereka.
Sudah lama ia tidak nge-gym lagi semenjak satu bulan yang lalu. Melawan anak-anak cowok sekarang bukanlah suatu perencanaan yang matang terlebih lagi mereka juga cukup kuat untuk dilawan, akhir-akhir ini Aruna memang malas sekali mengeluarkan tenaganya untuk hal yang tidak berguna seperti itu.
Setidaknya ilmu bela dirinya untuk melindungi dari kejahatan dan bukan untuk memanfaatkan kekuatan dengan menjahati orang lain.
Dengan berat melangkah, ia berjalan ke pergola kemudian masuk ke sebuah kafe. Itu adalah caranya mengistirahatkan diri setelah tawuran terjadi, tempat itu cukup ramai dikunjungi. Aruna memilih duduk di salah bangku yang mejanya bersampingan dengan jalan raya, menikmati interior design setiap sudut ruang adalah hobinya dalam menilai. Setelah kedua netranya puas menjelajahi setiap sudut kafe itu ditatapnya suasana luar yang penuh dengan suara kendaraan-kendaraan tengah berlalu-lalang.
Sekali lagi Aruna mengembuskan napasnya, melipat tangannya di atas meja menatap gawai yang diletakkannya di atas meja hadapannya.
Ia sedang menonton film kartun budaya barat untuk melupakan momen yang tidak disukainya hari ini, jika tidak melakukan hal demikian mood-nya pasti benar-benar hancur sampai esok hari.
“Permisi, Mbak. Ada yang mau dipesan?” tanya seseorang yang Aruna ketahui.
Yang Aruna tahu dia salah satu karyawan di kafe itu, menghampiri untuk melayani pengunjung yang datang. Aruna menghela napas lalu menjawab, “Cappuccino satu.”
Netra biru mudanya tetap terfokus ke layar gawainya tanpa melirik karyawan itu yang rupanya sedang mengulas senyum kecil menanggapinya, tak lama setelah itu dia pergi sebelum berucap:
“Baik Mbak, silakan tunggu beberapa menit lagi. Permisi.” tutur katanya sangat lembut dan sopan, salah satu ciri karyawan yang cukup terampil dalam berbicara kepada orang banyak. Bukan seperti dirinya yang tidak ada manis-manisnya.
Oke, Aruna memang cukup buruk untuk berbicara soal keramahtamahan.
Tanpa sadar seorang cewek berambut panjang yang bergelombang di ujungnya tampak sedang berkumpul bersama teman-temannya di dekat situ, terpesona melihat cowok pemakai apron hitam berjalan kembali ke meja meracik kopi, raut muka begitu tegas untuk wajahnya yang tampan. Mengulas senyum lalu berbisik-bisik kepada teman-temannya yang juga ikut tersenyum semringah.
“Ganteng ya?” kira-kira begitulah percakapan di mulai dengan ditemani minuman serta camilan yang sudah tersedia di meja bundar tepat di tengah-tengah mereka.
Aruna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya acuh tak acuh, begitu bosannya pikiran mereka yang terlalu banyak mendambakan seorang cowok tampan, apa bagusnya mereka? Kemudian matanya beralih ke kanan. Meski ia tidak menoleh ke kumpulan cewek-cewek kemayu tadi tapi suaranya cukup bisa didengar olehnya.
Lebih tertarik menatap luar kaca melihat jalanan kota Jakarta yang ramai ketimbang penasaran ke cowok tampan yang tengah mereka bicarakan.
Semenjana karyawan berkulit kuning langsat yang diketahui bernama Yudha itu hanya tersenyum kecil di saat pikirannya tiba-tiba melayang ke suatu perihal.
Ia tahu gadis itu tidak masuk sekolah karena bolos, bukan karena alasan lain sebab jarang telinganya mendengar kata keterangan sakit.
Aruna memang memakai seragam khusus SMA Gradien tapi penampilannya cukup berantakan. Di bahunya ada sedikit noda bercak darah yang telah mengering, ia pun cukup hafal sekiranya perempuan itu sedang melatih diri dengan melawan orang yang hebat dalam berkelahi hari ini.
Yudha masih terfokus dengan kegiatan meracik kopi, membuatkan cappuccino sesuai pesanan. Diliriknya jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, dia tidak akan pulang sampai jam 10 malam karena harus bekerja untuk mengumpulkan uang, membiayai sekolahnya. Prinsipnya ada lah mandiri setelah genap berusia 18 tahun.
Yudha cukup pintar, berprestasi dan memiliki tujuan hidup yang cerah. Hari-harinya disibukkan dengan kerja sambilan di sebuah kafe yang cukup ramai dan populer di kalangan anak remaja maupun orang dewasa. Karena tempatnya tepat pada selingkung yang ramai dan nyaman, dekorasi setiap ruang kafe itu siap menjadi latar potret diri mereka.
Setelah selesai Yudha membawa nampan yang di atasnya tersedia secangkir cappuccino. Didekatinya meja gadis itu dan meletakkan pesanannya dengan hati-hati.
“Ini Mbak pesanannya,” ucapnya dengan ramah. Masih dengan menahan senyum, bagaimana mungkin gadis itu masih dalam keadaan yang sama?
“Ya,” jawab Aruna dengan cueknya. Ditatapnya cappuccino itu sejenak lalu berpaling ke gawainya, ia sama sekali tidak tertarik untuk melihat cowok yang kini sudah beranjak pergi meninggalkan meja yang sedari tadi ditempatinya.
Sementara Yudha sudah kembali ke tempat barista, meracik kopi untuk pesanan pelanggan lain yang sudah menunggu di meja pilihannya. Ia cukup senang melakukan hal yang positif macam ini meski lelah.
Yudha tiba-tiba memikirkan gadis itu. Benar dia nggak kenal suaraku? Atau mungkin dia cuma pura-pura nggak tahu?
Pada kenyataannya Yudha Alashka adalah ketua dari kelas XII IPS 1 dan Aruna adalah salah satu anggota dari kelas tersebut. Lebih tepatnya mereka adalah teman satu kelas, meskipun begitu mereka tipikal orang yang sikapnya bertolak belakang.
Yudha orang yang dingin, selalu sibuk dengan dirinya. Semenjana Aruna, keberadaan dia di kelas hanya sebagai pajangan saja, tidak mengeluarkan suaranya kecuali itu dianggap penting. Kerjaannya di kelas hanya tidur, bermelankolis dan menunggu jam waktunya pulang. Setelah itu dia baru seperti menemukan kebebasan, berlari-larian keluar dari gerbang Gradien seperti anak SD yang baru saja pulang dari sekolah.
Cowok berambut hitam legam dengan style undercut itu sedikit melirik ke tempat kasir, di mana gadis yang suka ia pandang secara diam-diam itu sedang melakukan transaksi untuk minuman yang dipesannya tadi.
Setelah usai membayar dia pun keluar dari kafe, melangkah dengan penuh arogan yang terus fokus pada satu titik yaitu pergi yang hanya membuat dirinya kecewa.
Di sepanjang perjalanan gadis angkuh itu hanya melakukan apa yang dia suka, seperti melompat-lompat sebagaimana anak kecil. Menghirup udara dengan mendongakkan kepalanya lalu berteriak kencang dengan bebas enggan memedulikan sekelilingnya di mana orang-orang melihatnya dengan heran.
Tersenyum smirk, Aruna bahkan terus melakukan apa yang dia inginkan. Kebebasan adalah hidupnya, kebebasan itulah yang membuatnya melakukan apa saja yang disukai tanpa ada yang bisa menghentikannya.
Tanpa sadar dua sudut bibir Yudha sedikit terangkat, dia gadis yang unik. Tapi dirinya tak ada cara untuk menyapa gadis tomboi itu, karena dia terkesan arogan dan cuek. Ia yakin dirinya akan diabaikan olehnya, meski dengan modal parasnya yang tampan dan maskulin tidak membuat cewek itu tergiur seperti cewek pada umumnya.
Yudha masih menatap luar kaca transparan, padahal perempuan itu sudah lama menghilang sejak beberapa menit yang lalu.
Padahal tiap pagi ia selalu datang untuk melakukan sesuatu agar murid-murid lain tidak tahu, dan itu juga dilakukannya pagi tadi di sekolah.
Pagi-pagi buta ....
Ah, ia malah tersenyum lagi. Yudha mengusap tengkuknya dengan perasaan yang berkecamuk.
Sedetik kemudian Yudha kembali fokus bekerja, pengunjung semakin banyak yang datang. Waiters yang lain pun segera bergegas menyambut mereka.
...🍓 🍓 🍓...
"Love you zindagi!"
"Love you zindagi!"
Aruna berjoget-joget ria di atas dermaga laut, saat ini ia sendirian di sana di kala ombak laut menari-nari dengan ambisius, air laut seakan-akan ingin memanjat ingin menyentuhnya namun dermaga yang terlalu tinggi tidak bisa menggapainya.
Ia masih belum ingin pulang, ia masih asyik-asyiknya menikmati suasana sejuk di pantai. Lama-kelamaan ia menghentikan aksinya, ia duduk di tepi dermaga sembari melamun.
Aruna menggaruk-garuk pipi kirinya lalu menatap polos ke hamparan laut seperti sedang memikirkan sesuatu hal, ia baru tahu laki-laki itu bekerja di sana. Iya, sebenarnya ia tahu seseorang yang tengah melayaninya tadi itu adalah Yudha.
Tapi kenapa hari aku memikirkan dia begitu telaten? Tanpa diketahui Yudha, ia diam-diam memerhatikan cowok itu yang tengah fokus meracik kopi untuk pelanggan lain, ia juga menyadari banyak cewek yang suka memerhatikannya karena wajahnya yang tampan.
Aruna cukup tahu bagaimana Yudha, seorang cowok yang memiliki alis mata yang tebal sehingga terkesan seperti orang dewasa dan tegas, pipi tirus, kepalanya yang kecil. Tungkai kakinya yang panjang serta bentuk tubuhnya yang ideal, dia berkulit kuning langsat dan rambut hitam yang tersisir rapi.
Aruna tersenyum kecut, ia hanya sedang berpura-pura untuk tidak melihat Yudha. Namun cowok itu tidak begitu memedulikan keberadaannya. "Memangnya dia menganggapku ada?" selama ini ia cukup tahu cowok itu terlalu cuek menyadari kehadiran dirinya di kelas.
Tapi hari ini Aruna merasakan aneh di dalam dadanya, degupan kencang yang menganggu konsentrasinya di kala diam merenung, ini salahnya yang terlalu suka memerhatikan Yudha diam-diam, melihat setiap lekuk wajahnya dan memuji ketampanannya adalah hal yang salah untuk dilakukan.
Pada tanggal 9 Agustus ini aku jadi bingung dengan perasaanku, kenapa dulu aku begitu cuek padanya tapi sekarang aku malah memikirkannya hanya karena diam-diam aku memerhatikan lekuk wajahnya yang ganteng.
...-YD 9 August-...
...“Kebebasan yang mereka ambil terlalu independen bisa mengancam masa depan dengan cara membolos.”...
...🍦 🍦🍦...
Cuaca di hari rabu minggu ke dua jelas sangat mendukung atmosfer yang tidak terlalu panas. Namun sebagian dari para siswa tetap memiliki dalih masing-masing untuk membolos saja di siang itu.
Aruna tertarik untuk melihat ke beberapa orang yang melakukan aksi kabur dari sekolah melalui jendela kelasnya, ia tersenyum kecil.
“Pak Kumar nanti masuk ya?” melelahkan. Begitu pikirnya.
Aruna juga berandai untuk bisa segera pergi dari sekolah, mencari kebebasan dan berhura-hura di luar sana. Diliriknya kaca jendela terbuka, merasakan angin yang berembus masuk menerpai langsung wajahnya.
Sebuah senyuman terukir ketika ide bermunculan di otaknya. Segera ia berdiri dan mencangklong tas ke pundaknya, mengabaikan beberapa teman sekelas yang mulai meliriknya dengan tatapan sinis, heran dan benci.
Tapi ia tidak peduli, ia hanya ingin segera mewujudkan keinginannya. Namun sebelum ia keluar kelas dengan selamat, seseorang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Raut muka yang selalu membuatnya malas.
"Ke mana?” tanyanya dengan suara tegas. Memang tegas, lihatlah bagaimana rahangnya yang terlihat kokoh.
“Minggir!”
“Lo mau cabut?” cowok itu menahan lengan Aruna dengan erat, bermaksud untuk mencegah gadis itu pergi.
“Situ siapa? Jangan ikut campur! Lepasin!” Aruna berusaha untuk melepas diri dari cowok jangkung itu.
Dengan sigapnya Aruna menendang perut cowok itu dengan keras menggunakan lututnya, ia sangat tidak suka melakukan ini tapi karena menginginkan freedom ia harus melakukannya. Maafin gua,Yu.
Aruna segera melarikan diri sebelum Yudha kembali mencengkeram lengannya.
“Aruna! Balik ke kelas!” sergah cowok itu yang membuat beberapa siswa di sekitar itu melihatnya dengan kaget. Yudha masih memegangi perutnya yang dirasakan ngilu akibat kelakuan gadis tomboi itu.
Namun sayang, cewek bernama Aruna Fea Andromeda itu sudah terlalu jauh dengan sang ketua. Ia tetap berlari keluar dari gedung sekolah menuju taman tepatnya di belakang gudang.
Yudha terdiam sesaat melepas emosi yang sempat memuncak, ia menghela napas lalu duduk di atas mejanya dengan bersedekap dada. Meski bergaya kaku seperti itu, rupa-rupanya banyak yang menyukai cowok itu terutama teman sekelasnya, Frivia.
“Hai, Yudha, kita kantin bareng yuk?” ajaknya dengan suara lemah lembut, sengaja mendesah kecil karena ingin menggoda cowok berseragam rapi itu.
“Pergi sana, mau gue tendang ha?!” bentak Yudha yang akhirnya melampiaskan kemarahannya kepada gadis itu.
Frivia mendengus sebal, ia beringsut pergi meski tak rela. Ia hanya tidak ingin mempermalukan dirinya di depan teman-temannya seperti di hari itu. Meski bermulut tajam, nyatanya ia masih tidak bisa melupakan si ketua yang tampan, ia merasa tidak rela jika ada cewek yang mampu mendapatkan Yudha dan itu bukanlah dirinya.
“Gue nggak rela itu terjadi.” umpatnya dengan suara kecil.
...🍦 🍦 🍦...
“Hati-hati, jangan sampai ketahuan Pak Kumar.” bisik seorang cowok berkulit sawo matang ke beberapa geng yang ikut mengendap di belakang. Dia berjalan tersuruk-suruk kemudian melompati pagar pembatas sekolah hingga berhasil berjejak di rerumputan yang mulai sedikit memanjang. Setelahnya diikuti oleh beberapa temannya dengan santainya melompati pagar sekolah.
Sekumpulan para geng yang suka bolos itu akhirnya dapat tersenyum puas, nyatanya setengah dari mereka sudah berhasil melompati tembok sekolah yang cukup menjulang tinggi, dan sebagiannya lagi masih mencari jalan lain lewat gedung belakang karena suara geraman Pak Kumar terdengar semakin mendekat ke pagar sekolah.
“Cepat woi! Jangan sampai ke tangkep.” lirih seorang laki-laki berbadan atletis berambut cepak, kemejanya sudah keluar dari lingkaran celana abu-abunya, sudah tidak rapi lagi. Tetapi dia lumayan keren. Namanya Zian, anak kelas XII IPS 5.
Dia menunggu beberapa teman lainnya berhasil memanjat pohon mangga yang cukup lebat daunnya hingga tidak bisa dilihat oleh Pak Kumar lantas pergi dari sana karena tidak menemukan siapa-siapa, selepas kepergiannya barulah dua cowok itu turun dan melompati pembatas sekolah.
Tujuan mereka saat ini yang tak lain adalah karena tawuran di persimpangan jalan sepi, tempat yang dirahasiakan.
Seorang gadis tomboi juga ikut membolos, eksklusif untuk dia yang tujuannya bukan karena ikut tawuran tetapi hanya malas mengikuti pelajaran hari ini. Percuma saja duduk di kelas cuma diam sampai pulang sekolah, ah, itu cukup membosankan baginya. Andaikan saja ibunya tahu dan memahami sikapnya yang sebenarnya lebih suka homeschooling daripada sekolah umum.
Di saat hendak memanjat tembok sekolah yang lumayan tinggi, kakinya sudah lebih dulu ditarik seseorang yang tangannya lebih kekar dari tangan teman laki-laki seusianya, terpaksa ia melihat apa yang terjadi di bawah.
Cukup mengesankan, sayang seribu sayang. Tak sesuai rencana pak guru BK dengan perut tambunnya menjewer telinganya tanpa ampun ia jadi terenyak ke rerumputan hijau muda yang mulai memanjang.
“Pak ... Pak! Ampun Pak, awss ....” Aruna meringis kesakitan. Sudah ditebak gadis tomboi ini sudah gagal minggat dari sekolah, komplotan siswa tadi sudah melarikan diri sejauh mungkin.
Barangkali saat ini mereka sudah dalam keadaan babak belur karena tawuran. Idiih, ngapain juga gue mikirin mereka? Nasib gue nih ... Aruna menggelengkan kepalanya, keadaannya sekarang sudah cukup meyakinkan kalau dirinya pasti dihukum setelah ini.
Diseret ke ruang BK, Aruna duduk berhadapan dengan guru BK yang kini tengah membelalangkan matanya, terlihat mengerikan. Ada apa gerangan? Sudahlah pasti ia dimarahi habis-habisan karena telah melanggar aturan sekolah, siapa yang peduli? Aruna sudah biasa di ruangan itu atau lebih tepatnya ia langganan dari guru tersebut.
"Kamu ini bagaimana Aruna? Kamu itu sudah kelas 3 dan sebentar lagi akan tamat, kamu masih saja sering bolos. Pikirkan kedua orang tuamu ...."
Inilah awal pagi dari seorang gadis tomboi namun memiliki daya tarik yang cukup memesona, dia bernama Aruna Fea Andromeda yang selalu mendapat kemarahan dari Pak Kumar, sang guru BK.
Pak Kumar selalu saja mengomel panjang lebar setiap harinya. Dan ya, Aruna memang suka bolos, pemalas dan tukang tidur di kelas menunggu pelajaran Pak Kumar selesai. Begitu pun setiap harinya tanpa ada semangat belajar, yang dia mau hanya kesenangan belaka.
"Sekarang kamu pergi mengelilingi lapangan sepuluh kali putaran," perintah Pak Kumar. Dia sudah kehilangan kesabaran karena sikap perempuan satu ini yang sungguh berbeda dengan siswi lain.
Aruna terlonjak kaget, sepuluh kali? satu kali putaran saja sudah membuat jantungnya berdebar tak keruan apa lagi sepuluh?
"Tapi Pak ...."
"Sekarang!" teriak Pak Kumar. Dia sudah tidak mau lagi mendengar alasannya.
Dengan berat melangkah Aruna keluar dari ruangan Pak Kumar dengan tatapan gelabah. Hidupku benar-benar miris banget, ya ampun ... bisa-bisanya aku mendongkol dalam hati.
"Halo, permisi?" seorang laki-laki yang tampaknya seperti murid baru mendekati Aruna.
"Alah berisik, lagi bad mood nih." ia mengabaikan lelaki itu yang tampak kaget mendengar perkataannya.
Tanpa menoleh sedikitpun, Aruna berlari ke lapangan. Laki-laki itu menatap kepergian Aruna, bingung.
"Cantik," ujarnya sekilas.
"Hai, anak baru ya?" tanya seorang gadis berhijab putih dengan tag bernama Silvina. Gadis itu tampak anggun, disertai senyuman yang mekar di wajahnya.
"Iya, kenalin gue Haris," cowok bernama Haris itu mengulurkan tangannya.
Cewek bernama Vina itu tersenyum sekilas, "Vina," jawabnya dengan kedua tangannya terkatup di depan dada. Haris tersenyum canggung.
"Lo tau di mana ruang guru?" tanyanya, Haris tersenyum simpul.
"Oh, dekat kok dari sini. Gue juga mau ke sana, ayo sekalian gue tunjukin jalannya." katanya dengan ramah.
"Makasih ya,"
"Sama-sama." jawab Vina dengan senyumannya yang manis.
Sementara di lapangan, Aruna masih mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Masih ada 5 putaran lagi. Sejenak dia mengerlingkan matanya, melihat betapa luasnya lapangan sekolah ini. Bagaimana bisa dia menyelesaikan hukuman ini?
"Semangat! Aruna nggak kenal lelah!" teriaknya dengan tangan kanan terkepal ke udara. Lalu berlari sekuat tenaga mengelilingi lapangan dengan napas yang memburu. Detak jantungnya kembali terpadu dengan cepat.
Tanpa disadarinya ada seseorang yang sejak tadi tengah memerhatikannya dengan tatapan datarnya.
Ya, dia adalah ketua kelas Aruna. Yudha Alashka. Dalam hati ia berkata ketus, gadis itu sama sekali tidak mau mendengarkannya.
"Bodoh ...."
Setengah jam sudah berlalu.
Hukuman Aruna pun sudah selesai dilaksanakan, buru-buru dia masuk ke kelas dengan langkah gontai. Menyelonong masuk padahal Pak Kumar sedang mengajar di kelas.
"Siapa yang menyuruhmu masuk?" suara yang membahana bak halilintar menyambar membuat suasana menjadi merinding, tapi Aruna membalasnya dengan cengiran, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Maaf Pak, saya lupa mengucapkan salam." katanya yang masih menyengir, lalu menyampirkan tas ransel ke pundak kirinya yang sempat melorot.
"Lupa-lupa! Memangnya badan saya yang sebesar ini kamu tidak lihat? Apa badan saya kurang besar?" sergah Pak Kumar.
Badan Pak Kumar hampir sebesar gajah hutan, mungkin. Belum lagi perutnya yang seperti bumil alias ibu-ibu bunting. Eh, hamil.
Suasana di kelas XII IPS 1 itu menjadi sedikit terhibur karena ucapan gadis cuek itu. Namun Yudha si ketua kelas hanya menatapnya datar bak tembok sekolah. Tak ada raut wajah untuk tertawa. Jangankan Tertawa, tersenyum sedikit saja tidak ada!
“Udah besar banget itu Pak, jangan ditambah lagi.” kata Aruna ngasal, tanpa sadar.
“Berani kamu ya,” Pak Kumar melotot ke arahnya.
“Ampun Pak.” Aruna menyatukan kedua tangannya, dia sungguh tak mau lagi berurusan dengan Pak Kumar.
Pak Kumar menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sudah, sana duduk!" dielusnya dadanya agar tidak meluapkan emosinya lagi, menghadapi Aruna dua kali dalam seminggu itu cukup membuatnya lekas tua, heran entah kenapa perempuan itu bisa bersikap seperti itu laki-laki. Lebih dari laki-laki!
Aruna berjalan ke bangku yang paling belakang ujung kanan dekat dengan jendela. Namun, bangku yang di sebelahnya terisi oleh sosok cowok yang tak dikenalnya. Seperti yang diduga, pasti dia anak baru.
Namun dia merasa risih dengan adanya murid baru di sebelahnya itu, karena selama ini Aruna selalu duduk sendiri.
Aruna berjalan santai menuju bangku yang paling belakang ujung kiri dekat jendela. Namun bangku yang di sebelahnya dihuni oleh sosok cowok tak kenal rupa di warna. Seperti yang ia duga pria itu pasti anak baru di SMA Gradien.
Namun keberadaan cowok satu itu hanya membuat Aruna merasa risi karena selama ini ia selalu duduk sendirian.
"Eh, lo! Ngapain duduk di sini? Pindah sono!" usir Aruna dengan nada tinggi, mendadak seisi kelas kembali hening dan berpindah arah ke kanan kursi nomor lima.
Namun Aruna tetaplah Aruna yang cuek bagai bebek sekalipun banyak mata yang melotot marah dan jengkel. Namun ia justru asyik berkutat dengan suara batinnya. Ngapain dia duduk di sini sih? Padahal di sebelah sana ada si Goon Dook yang juga duduk sendirian. Wah! Modus nih cowok.
Nama yang di maksud Aruna adalah cowok gendut berkulit lesi yang duduk di dekat jendela paling kanan pojok, sebenarnya namanya Delta Ferrien. Hidup gadis ini memang sesuka-sukanya memanggil nama orang pun sering asal-asalan dan tidak peduli dengan mereka yang akan memarahinya nanti.
Laki-laki dicap sebagai anak baru itu menatap Aruna sejenak seperti memikirkan sesuatu hal. Cewek ini bukannya yang ada di lapangan tadi ya?
Ratapan mereka sama-sama terkunci dengan pemikiran yang sibuk bergulat di atas kepala, suasana kelas terasa beda dan hening di kala diamnya dua orang ini.
Suasana kelas masih hening, menyaksikan dua orang yang sedang melakukan drama singkat yang kurang waktunya kurang tepat. Perkataan laki-laki itu membuat Aruna sontak menendang kursinya hingga terjatuh.
"Aruna!" Pak Kumar membentak, dia mendelik sembari berkacak pinggang. Dia sudah cukup membiarkan mereka terus berdebat di jam pelajaran berlangsung.
“Kamu ini ya, bisa tidak diam mendengarkan saya mengajar. Kamu tidak menghargai saja berada di kelas ini.” keluhnya, seperti sudah menyerah menghadapi Aruna. "Sekali lagi kamu berulah, kamu tak usah masuk di jam pelajaran saya lagi, atau Bapak yang tidak usah masuk lagi ke kelas ini." katanya terdengar mengancam.
Siswa-siswi di kelas seketika mendelik ke Aruna, tentu mereka tidak akan mau jika itu terjadi. Aruna menatap ke teman-teman sekelasnya yang masih melotot meminta pertanggungjawaban, dia mengembuskan napasnya pelan.
"Iya. Maaf Pak, saya tidak akan nakal lagi," kata Aruna.
Tidak ada jawaban dari Pak Kumar, dia kembali berjalan ke depan kelas dan mulai mengajar. Sementara anak-anak lain masih menyoroti Aruna.
"Dasar pembuat masalah." umpat salah satu dari mereka. Tapi sayangnya Aruna tidak mendengarnya.
Dia kembali sibuk dengan anak baru itu.
Saat pelajaran telah usai tak ada perkenalan ataupun saling menyapa. Perkataan si murid baru membuat Aruna mengamuk seperti banteng, ingin segera memangsanya hidup-hidup.
"Nama lo Aruna, kan? Lo mau nggak jadi pacar gue?" tanya cowok itu sambil tersenyum tanpa ada bimbang.
Pacar? Mengajak cewek yang baru saja dikenalnya pacaran? Bahkan Aruna pun belum tahu namanya siapa? Apakah ada orang seperti itu di dunia nyata atau dirinya yang sedang tidur?
"Sialan! Sekali lagi lo bilang hal bodoh itu lagi, jangan harap lo hidup aman damai di sekolah ini!" balasnya dengan kejam.
"Dasar cewek absurd!" teriak seseorang berhasil meluapkan kekesalannya yang sempat tertunda.
Bentakan itu cukup menyita perhatian sebagian teman-teman di kelas, begitu juga dengan Aruna dan murid baru itu sontak menoleh ke sumber suara bariton berat dari ujung kelas, dia lumayan rapi tapi cupu. Namanya Daron.
Laki-laki itu masih ingin menghujatnya dengan tatapan remeh, Aruna rasa cowok itu sedang mengajaknya pemanasan. "Lo mending keluar aja deh dari sekolah, percuma datang buat masalah. Tau nggak? Lo itu cuma sampah masyarakat, datang ke sekolah kayak setan dan lo sadar nggak? Lo itu baru aja buat kami bermasalah!”
Sementara anak-anak lain tidak ada yang berani berujar karena tahu konsekuensinya cukup berbahaya meski perempuan berparas cantik dengan mata indahnya itu namun ditakuti oleh warga di kelas XII IPS 1 tidak ada satu pun dari mereka yang berani mencari masalah dengannya atau pulang nanti bisa jadi kaki atau leher mereka yang bengkok.
Aruna menatapnya dengan tatapan tidak suka. Cowok itu berani mendekatinya dengan menantang saat sampai di depan wajahnya. Daron berkata:
“Dasar pembuat onar ....”
Brak!
“Hebat juga nyali lo bangs*t!”
Inilah alasannya mereka tidak mau cari masalah! Sekali tendang, laki-laki lembek macam tapai itu jatuh terpental ke marmer putih, punggungnya sampai menabrak banyak bangku dan kursi kayu hingga kini kondisinya amburadul, jangan salahkan siapapun. Itu hanya refleks kerja otak Aruna yang merespons hatinya yang memanas lalu saraf berjalan amat cepat ke tangannya untuk bertindak.
Keadaan justru semakin menegang, sebagian dari siswa-siswi terperangah kaget. beberapa para cowok-cowok termasuk anak baru ikut menahan Aruna yang hendak kembali mendekati Daron. Dia ibarat seperti sedang kesurupan tidak melihat ke sekitarnya.
“Udah nggak usah dengerin dia, Na.” Nazih selaku teman sekelas yang baik memegangi pergelangan tangan Aruna agar tetap tenang.
"Sekali lagi lo bilang kayak gitu, nyawa lu gue gantung ya. Jangan harap mati dengan damai sebelum itu gue bakal nyiksa lo lebih kejam lagi, ngerti nggak lo, monyet!" katanya dengan sadis. Meluapkan semua emosi. “Jangan main-main sama gue, kesabaran gue itu rata-rata cuma 70% dan selebihnya gue bakal ancang-ancang buat mecahin mulut selebar lubang tikus lu itu atau otak lo yang gue bakar tengah malam nanti!”
Daron berusaha bangkit dengan raut muka marah sebenarnya dia sudah menyerah tapi karena banyak pasang mata yang memerhatikan dia tanpa ada satu pun mau membantu karena takutnya mendapat sergapan dari Aruna maka dia berusaha kembali bangkit walau berkali-kali jatuh. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Benar-benar lembek.
"Jangan ada yang ngadu ke BK, kalian mau kelas jadi tercoreng? Tutup mulut kalian semua!"
Aruna pergi dengan angkuh, sebelum itu dia memukul dinding hingga bergetar membuat vas bunga di meja guru terjatuh. Semua murid-murid kelas XII IPS 1 menjadi termangu, masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Si iblis baru saja mengamuk untung saja mereka tidak dalam keadaan slebor dan anggota badan mereka masih utuh total plus nyawa.
Duta bernapas lega lalu meregangkan otot lengannya. “Gue kalah hebat dari dia, benar-benar keren tapi seram.”
Andre yang sedari tadi masih tetap tenang di antara dua temannya, ia menoleh ke sekeliling yang keadaannya acakadut. “Udah, bubar semua. Jangan ada yang lapor BK apalagi polisi, masih sayang nyawa diam adalah cara yang terbaik.”
Satu persatu dari sebagian teman-teman mereka keluar dari kelas dengan terheran-heran. Baru sekali itu mereka menyaksikan Aruna sebrutal itu dan semenjak kejadian di kelas, mereka benar-benar tidak ingin mengusik gadis tomboi itu yang ternyata memiliki kekuatan lebih dari laki-laki. Mungkin saja kekuatan galaksi yang dia dapat dari dewa Yunani.
Namanya aja Aruna, tapi sikapnya nauzubillah min dzalik. Ganti aja namanya jadi devil. Haris hanya terdiam tak tahu harus berbuat apa. Hari ini menempati kelas baru, namun kejadian mengejutkan sudah menjadi prasejarah baginya.
“Kalau lo nggak mau duduk bareng Aruna, mending pindah aja di sana.” Andre menunjuk meja nomor lima sebelah kanan dekat jendela, meja yang ditempati Delta Ferrien yang di bangku sebelahnya kosong.
“Nggak deh, gue tetap di awal aja. Ya udah gue pergi dulu ya, bye.” Haris Beranjak pergi dari kelas untuk pergi ke suatu tempat.
“Gila! Orang mau jauh-jauh tuh sama si iblis, nah, dia malah ngejar?” rasa penasaran Duta tidak sendiri, kedua temannya juga ikut memikirkan. Memang mereka bertiga bisa mengakui kalau gadis itu sangat cantik karena blasteran Irlandia, tapi sikapnya?
“Udahlah, yuk pergi.” ajak Duta segera berbalik keluar dari kelas menuju kantin belakang, tempat perkumpulan para cowok-cowok ganteng Gradien.
Sementara kelas mulai sepi, hanya tinggal beberapa orang yang mungkin membawa bekal atau semacamnya termasuk korban yang baru saja dihajar seorang gadis jutek.
Rinto selaku teman sebangku melirik ke Daron yang duduk kembali di bangkunya, mengambil tisu di dalam tas lalu menyumbat ke lubang hidung untuk menghentikan pendarahan.
“Lo sih Dar, nyari mati? Udah tau cewek itu absurd masih aja nyari masalah,” ucap Rinto keki, sungguh tidak bisa dibayangkan lagi entah apa yang terjadi kalau sempat Daron masih nekat untuk melawan. Kali aja patah pinggang, gue turut bersuka ngantar dia pulang pake gerobak segitiga.
“Psikopat itu harusnya berada di rumah sakit jiwa, mana ada cewek yang sikapnya kayak iblis?” Vano ikut bersuara. Dari pertama kali melihat Aruna dia memang tidak suka melihat tingkah laku gadis itu. Apatis tapi mengerikan. Cantik tapi iblis.
Yudha sedari tadi hanya diam mendengar beberapa dari mereka ikut mencercah gadis itu, sudahlah apatis, melawan guru, suka bolos pula. Tampaknya dari mata SMA Gradien sudah mengecap Aruna sebagai cewek yang tidak baik.
Yudha hanya bisa menghela napas dalam satu entakkan, lelah dengan tiap harinya mereka selalu saja membicarakan keburukan gadis itu. Memangnya mereka sudah sempurna hingga kerjaan saban harinya menggunjing orang lain?
Dari setiap koridor yang dilewati pun tidak seperti Aruna yang dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Justru Yudha disanjung seperti layaknya seorang artis. Dia disapa cewek-cewek, melambaikan tangan dan memberikan senyuman terbaiknya agar cowok itu merasa tertarik kepada mereka.
Nyatanya tidak ada yang membuatnya tertarik, cukup melelahkan mendengar sanjungan mereka. Padahal gue nggak sesempurna itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!