Bos Duda
"Sinta, ke ruangan saya sekarang!"
"Baik, Pak."
Menutup telepon dari pak Doni, aku bergegas menuju ruangannya.
Doni Hardian 28th, dia seorang duda yang ditinggal mati. Kudengar istrinya meninggal karena sakit dua tahun lalu. Tampan sih, dengan bentuk tubuh yang atletis. Rambutnya hitam legam, hidung mancung, alis tebal dan tidak lupa matanya yang tajam.
Aku baru bekerja disini sekitar enam bulan. Sebelumnya, aku hanya staf biasa. Dua bulan yang lalu, aku di angkat menjadi Sekretaris pak Doni, menggantikan posisi Sekretaris sebelumnya yang mengundurkan diri.
Dulu, sempat ikut mengagumi beliau sebelum aku menjadi Sekretarisnya. Lambat laun penilaianku salah, ternyata pak Doni orangnya menyebalkan. Sering membuat emosiku naik ke ubun-ubun. Seolah menguji kesabaran. Itu menjadi poin minus untukku.
Sebenarnya aku heran, kepada mereka yang setiap hari memuji pak Doni. Bahkan sering kudengar pembicaraan absurd mereka saat di kantin, yang membuat perutku mual.
"Gak kebayang, roti sobek dibalik kemeja, Pak Doni?"
"Ujan-ujan gini enak kali, 'ya, tidur dipeluk Pak Doni?"
"Ngebayangin dilamar, Pak Doni."
"Di gendong Pak Doni enak kali, 'ya?"
"Sin lu enak ya, tiap hari bisa ngliatin, Pak Doni."
Dan masih banyak lagi. Andai kalian tau, betapa menyebalkanya pak Doni, pasti kalian akan menarik kembali ucapan. Menguji kesabaranku sepertinya sudah menjadi hobi barunya. Kalau tidak berfikir karena gaji yang besar disini, mungkin aku sudah mengundurkan diri dari perusahaan. Ah sudahlah! Mari kita kembali ke dunia nyata.
Perlahan aku mengetuk pintu besar di depanku. Setelah menunggu isyrat masuk akhirnya, kulangkahkan kaki menuju ruangan direktur yang sangat menyebalkan.
Ruangan yang cukup besar didominasi dengan warna gelap. Disamping meja kerja terdapat rak buku. Di pojok kanan terdapat sofa panjang berwarna abu-abu. Dan terdapat jendela besar yang memberikan pemandangan indah.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Melihat pria itu hanya diam saja, membuatku bertambah kesal, setelah Sepuluh menit berdiri.
"Dia pikir, kakiku kayu!"
"Periksa berkas ini!" Pria itu memerintah dengan nada angkuh, "Selesaikan hari ini juga," lanjutnya lagi, membuatku menghela nafas geram.
Yang benar saja, berkas sebanyak ini harus selesai dalam waktu singkat.
Oh, Tuhan. Berilah hamba kesabaran yang luas.
"Jangan melamun, cepat kerjakan!"
Mengambil berkas dan bergegas keluar ruangan, adalah pilihan yang tepat.
'Sabar Sinta, ini ujian.' ucapku, dalam hati.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Setelah makan siang, akhirnya aku harus kembali berkutat didepan layar komputer dan setumpuk berkas yang masih banyak ini.
Tidak terasa, sudah empat jam aku berkutat dengan setumpuk kertas. Perutku sudah terasa lapar lagi. Setelah itu, aku meninggalkan meja kerja untuk ke kantin.
'Ini bisa dilanjutkan setelah sholat nanti.' Aku bergumam sambil menunjuk ke arah laporan.
Berjalan dengan tergesa karena melihat pintu lift yang akan tertutup, aku hampir saja tersungkur. Aku merasakan ada tangan yang menahan pinggangku. Dengan satu kali hentakan, aku berada dalam pelukan pria yang menolongku. Pelukanya sangat nyman dan harum, membuatku betah berada disana, sepertinya aku juga mengenal wangi parfum ini.
"Apakah kita harus pindah kekamar."
Suaranya memecah kesadaran. Suara yang setiap hari membuat emosiku naik.
'Dasar mesum.' Umpatku dalam hati, saat mengetahui si pemilik suara.
"Maaf, Pak. Saya tadi terburu-buru."
"Lain kali, pakailah kakimu dengan benar!"
Ah, dasar. Pak tua! Bisakah manis sedikit, saat berbicara dengan wanita?
"Aku tau, yang kau pikirkan. Kau sedang mengumpat, bukan?" Pria itu seolah tau, apa yang aku pikirkan.
"Tidak!" kilahku. Aku meremat tangan, untuk menupi rasa gugup.
Kantin terletak di lantai enam, berdekatan dengan musholah perusahaan ini. Saat jam makan atau sholat lift pasti akan terisi penuh. Seperti saat ini, penuh dan sesak.
Aku yang tadinya berdiri di depan pak Doni, kini harus menahan nafas. Karena, kami saat ini saling berhimpitan di dinding lift, dengan posisi pak Doni menghadap ke arahku.
'Tampan!' gumamku dalam hati, saat tak sengaja menatap wajahnya. Tapi sayang, menyebalkan. Tidak kusangka, ternyata pak Doni mengetahui aku sedang menatapnya. Ya, walaupun itu, tidak disengaja, sih!
"Aku tidak tanggung jawab, jika nanti kau jatuh cinta, karena terlalu lama menatap wajahku yang tampan."
Pak Doni berbisik, membuat aku bisa merasakan hangat nafasnya menerpa daun telinga. Seketika wajahku merona menahan malu. Ah, sial! Jika aku punya ilmu sihir, ingin rasanya aku menghilang.
Saat pintu lift terbuka, aku langsung keluar. Aku harus segera menjernihkan pikiranku. Tidak memperdulikan lagi Pak Doni yang sedang tersenyum mengejek ke arahku.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Setelah makan, aku membeli minuman dingin dan makanan ringan untuk persediaan saat lembur.
Tengah asik memilih makanan ringan, aku dikagetkan dengan tepukan dari belakang pundak.
"Astaghfirullah!" Ucapku reflek.
"Pulang jam berapa?" Tanya Gea, sahabatku.
"Nggak tau nih! Kayaknya, gue bakal lembur lagi deh, Ge."
"Lembur, mulu. Perasaan dari kemaren lu lembur. Nggak bosen apa, Neng?"
"Siapa bilang nggak bosen! Lu, tau sendiri, bos kita kayak mana?"
"Lagian heran deh gue, kok bos seneng banget nyuruh lu lembur. Jangan-jangan... Dia suka lagi sin ama, lu?"
"Dih! Gue mah ogah Kalu harus jadi pacar duda, yang menyebalkan itu. Bisa - bisa, makan ati gue ngadepin dia."
"Awas, Sin kualat ntar. Lu, taukan? benci ama cinta itu bedanya tipis. Setipis daleman." Gea tertawa keras, menertawakan ucapannya sendiri.
"Dasar sengklek. Dah, ah! Gue mau balik, kerjaan belum beres. Ketahuan si bos, bisa di telen hidup - hidup, gue."
🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Tinggal sedikit lagi, berkas yang ada di meja kerja, membuatku bisa merenggangkan otot. Melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan, membuatku tidak merasa, jika sekarang sudah Pukul 20.00
Saat mengalihkan pandangan, ruangan pak Doni ternyata lampunya masih menyala, berarti pria itu masih berada di tampat. Aku Harus menyelesaikan dan segera memberikan semua berkas ini.
Akhirnya selesai juga! Aku membereskan tumpukan kertas di atas meja dengan cepat. Aku, harus segera pulang, mataku sudah perih, karena terlalu lama didepan komputer. Badanku juga minta di istirahatkan, semua sendi terasa pegal. Untung besok akhir pekan, aku bisa bangun siang.
"Permisi, Pak!" Aku melangkah masuk, sambil memegang berkas yang sudah rapih.
"Ini berkasnya, sudah selesai saya cek."
"Letakkan di atas meja."
"Jika tidak ada lagi yang di perlukan, saya izin pamit."
"Hemm..." Hanya menjawab dengan deheman. Ah, dasar pria irit bicara!
'Kalau saja, bukan bos sudah aku maki! Tidak bisakah, dia berterimakasih atau apalah untuk berbasa basi'.
'Kenapa jadi berharap dia berbicara. Ah, sudah lupakan!'
Setelah mengambil tas dan hape aku turun menuju loby. Saat hendak memesan taxi online, tiba-tiba ferrari hitam berhenti.
"Masuklah!" Perintah suara berat di balik kemudi.
"Terima kasih, Pak. Saya, pesan taxi online saja." Aku menolak secara halus.
"Jangan membantah! Cepat masuk atau kupotong gajimu!"
Ternyata selain menyebalkan, dia juga pemaksa.
"Kau tinggal dimana?" Suara berat Pak Doni memecah kesunyian, setelah mobil melaju.
"Saya kost di Jalan Melati, Pak."
Tidak ada obrolan lagi antara aku dan pak Doni selama di perjalanan. Untung tidak macet, jadi hanya membutuhkan waktu Tigapuluh menit, untuk sampai di tempat kost.
Setelah sampai kamar, aku memilih membersihkan wajah dan badan agar tidurku lebih nyenyak. Jangan tanya pak Doni, tentu saja dia langsung pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Ifhon
lanjut
2021-08-19
1
Lina Budi
bagus ceritanya,tulisannya pun rapih tidak bertele² .
2021-03-09
0
Erlin Aang Kunaefi
Doni kyanya udah pnya rasa ya...
2020-10-09
1