Berbagi Cinta: Puspita Timur & Barat
Kabar kembalinya pasukan Tumenggung Tasik telah tersiar ke penjuru kota. Para penduduk pun berbondong-bondong membuat pagar betis di jalan raya. Mereka menyambut kedatangan sang panglima muda dan pasukannya dengan gembira. Sorak-sorai ria membumbung tinggi ke langit-langit kota.
Aminah sangat senang mendengar kabar bahagia itu. Setelah sebulan lebih berpisah dengan suami, pastilah ia rindunya menumpuk bak pegunungan seribu. Bibirnya senantiasa tersenyum dan basah oleh zikir. Tasbih dan syukur tak lepas dari hatinya. Namun, dibalik segala kegembiraannya itu, ia tengah berusaha memendam sebuah rasa yang pedih dalam hati.
"Umma, Umma, kapan Abah pulang?" tanya seorang anak yang usianya masih sekitar enam tahun. Anak itu berambut hitam legam. Kilauan merah akan memancar dari rambut halusnya jika tersiram sinar mentari. Matanya gelap dan jernih seperti malam yang diterangi cahaya bulan dan pernak-pernik bintang. Tangannya diangkat ke atas, memberi Aminah ruang untuk memakaikannya pakaian bagus bak baju raya.
"Hanif, doanya gimana kalau sedang bercermin?" Aminah balik bertanya dengan nada lembut sambil menghadapkan putranya ke kaca. Hanif sudah rapi sekarang. Parasnya yang tampan terlihat imut dengan pipi yang sedikit tembam. Itu membuat hati Aminah terhibur. Ia mungkin bisa lebih tegar saat suaminya datang nanti.
"Hm?" Hanif diam tak menjawab. Ia sering lupa kalau sendirian. Sebagai seorang ibu dan madrasah pertama, Aminah pun menuntunnya dengan sabar, "Alhamdulillah ...,"
"Alhamdulillah ...," ucap seorang bocah sebelum Hanif menirukan. Bocah itu sangat mirip dengan Hanif. Mereka bagai pinang dibelah dua. Namanya Syarif. Kelahirannya hanya berselang satu menit setelah Hanif. Ia sudah selesai dan menunggu sejak tadi.
Hanif tidak menghiraukan interupsi adiknya dan tetap menirukan sang umma. Aminah pun tersenyum takzim dan melanjutkan diktenya, "Ya Allah, Sebagaimana … Engkau … baguskan penciptaanku…, maka … baguskanlah akhlakku."
"Umma, Umma, Syarif udah hafal," Syarif mengangkat tangannya dengan bangga setelah melafalkan doa itu. Si bungsu tengah mencari perhatian. Puas dengan pujian, Ia pun melanjutkan pertanyaan kakaknya, "Abah mana? Abah senang kan kalau kita tambah pintar?"
"Iya, Syarif. Pasti abah senang ... sekali. Sebentar lagi, abah sampai di rumah," jawab Aminah dengan helaian nada yang lembut. Senyum manisnya ayu menghias wajah. Bunga-bunga di taman pun sampai iri dengan kecantikannya. Namun, dibalik topeng anggunnya itu, ia menyembunyikan sedih yang teramat dalam.
"Ayo keluar. Hanif mau lihat kuda banyak sama abah," ajak Hanif dengan tata kalimat yang belepotan. Jari-jemari mungilnya menarik-narik lengan Aminah, mengajaknya ke luar. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu sang abah.
"Tunggu di sini aja, ya," tahan Aminah. Sebenarnya, ia juga ingin menyambut langsung suaminya di halaman rumah. Namun, sepucuk surat yang diterimanya kemarin membuat ia merasa was-was. Ia takut untuk berharap bahwa surat resmi itu hanyalah kepalsuan.
"Umma, ayo ...," ajak Hanif memaksa. Syarif pun terlihat ingin keluar juga. Mata jernih kedua anak itu memohon pada Aminah untuk mengantar mereka pergi. Saat mereka tersenyum, bunga-bunga seakan bermekaran dengan cantik di belakangnya. Keimutan mereka membuat hati Aminah tak tega menghalanginya.
"Anak-anak, dengarkan saja cakap Umma," seorang wanita beraksen Melayu masuk ke kamar mereka. Wanita itu adalah bibi Aminah yang merupakan seorang putri dari Malaka. Namanya Putri Maimunah. Setelah Lojie menguasai tanah airnya, ia bersama sebagian keluarganya ikut dengan Armada Laut Jawa untuk mengungsi. Mereka tinggal di sebuah desa yang dekat dengan danau sekarang. Sejak suami Aminah memimpinnya, desa itu semakin berkembang sehingga nyaris sebesar kota kecil pada umumnya.
"Opah?" Hanif dan Syarif menoleh kompak. Mereka sangat suka mendengar cerita dari Sang Putri Malaka itu. Apalagi tentang kehidupannya sebelum Lojie datang membawa bencana. Jika sang opah sudah membantu umma begini, keduanya pun tak dapat banyak berkata-kata lagi. Namun, Syarif tetap berusaha merayu dan meminta, "Tapi ... tapi, Opah. Di luar sudah ramai. Syarif mau ikut juga."
"Umma kalian tengah mengandung. Kasian umma dan adik kalian itu kalau kecapean nanti," balas Maimunah serius. Parasnya yang mulai berkeriput tampak tegas. Syarif jadi tertunduk dan berwajah manyun karena itu.
"Dahlah, Rif. Yuk main di halaman aja," ajak Hanif. Syarif mengangguk cepat. Kedua bocah kembar itu langsung berhambur keluar tanpa peduli dengan baju rapi yang sudah mereka kenakan. Aminah hanya dapat menggeleng maklum melihatnya. Itu lebih baik daripada mereka terus menuntut untuk ke luar. Setidaknya, mereka tidak merengek karena hal kecil ini.
"Aminah, aku tahu perasaan kau. Kau tak perlu bersedih sangat begitu," hibur Maimunah lantas mengajak Aminah duduk di ruang tengah. Jari-jemarinya yang kasar oleh kerasnya hidup membelai punggung tangan Aminah dengan lembut. Ia yang sudah merasakan sepat manisnya kehidupan hanya dapat menasihati putri kakaknya agar tetap bersabar. "Aku pun pernah merasakannya. Jika kau bersabar, kau kan temukan suatu yang tak kau duga setelah itu."
Aminah tidak begitu mengerti, tapi ia terus mendengarkan cerita pengalaman bibinya semasa muda dulu. Putri Malaka itu menikah dengan seorang Pangeran Pasai. Saat ia telah berputra 3, suaminya kembali menikah sehingga ia pun merasa cemburu. Sangat cemburu malah. Namun, ia hanya dapat bersikap objektif dan menjaga hubungan baik dengan madunya yang jauh lebih muda.
Saat Lojie datang menyerang, suaminya berjuang dengan para ulama, tapi pengkhianatan dan kolusi dari internal Pasai membuat segalanya kacau. Tak lama kemudian, Pasai ditaklukkan. Putri Maimunah pun diungsikan ke Malaka, kembali ke keluarganya.
"Masa-masa itu, kami tak mungkin lagi berselisih. Jika tak bersatu, tak mungkin kami selamat. Aku ingat betul...," Maimunah berhenti dan terdiam. Matanya seolah menembus ke horizon masa lalu. Kenangan lampau itu nyaris menjebol bendungan di matanya. Ia masih tak percaya bahwa dirinya akan sesedih ini mengingat wanita yang sangat dibencinya dulu.
"Dia ... dia adalah wanita yang tegar," lanjut Maimunah dengan suara bergetar. Ia ingat bagaimana madunya turut berjuang bersama Pangeran Pasai, suaminya saat itu, "Kalau bukan karena keberaniannya yang meneguhkan iman kami, entah bagaimana kami bertahan."
Maimunah terus bercerita dan bercerita. Air matanya pun tumpah juga pada akhirnya. Ia menangis ketika menceritakan runtuhnya Malaka. Saat itu, anak-anak dan suaminya telah tiada. Madunya bahkan meninggal karena berusaha melindunginya. Hanya tinggal ia seorang yang mulai menua. Dijemputlah ia oleh keponakannya untuk mengungsi ke Jawa.
"Umma, Umma ...!" teriakan Syarif mengagetkan Aminah dan Maimunah. Air mukanya keruh menunjukkan rona yang kacau. Itu adalah ekspresi khawatir yang bercampur bingung dan marah. Kata-kata yang ia ucapkan setelah itu membuat Aminah ikut gelisah, "Abah, Abah!"
"Sya, Syarif, kenapa, Nak? Abah kenapa?" tanya Aminah dengan hati yang berdebar takut. Syarif segera menariknya ke luar. Saat sampai di daun pintu, Hanif datang dengan ekspresi yang sama. Si sulung langsung memeluk Aminah dengan kuat. Jelas itu membuat sang umma sangat terkejut.
"Ami ...," panggilan yang selama ini Aminah rindukan pun terdengar. Panggilan dari suaminya tercinta, Amirdiningrat Malaka yang turut berjuang mempertahankan tanah air dari intervensi asing yang berusaha memonopoli segalanya.
Aminah tertegun. Bukan karena kedatangan suaminya yang membuat anak-anak sampai ribut, tapi karena seorang gadis muda yang tertunduk dengan kerudung melilit di kepalanya. Rasa cemburu pun menyala di hatinya. Gadis itu pasti madunya. Ia merasa dikhianati. Ternyata surat resmi itu benar adanya. Walaupun sudah mempersiapkan diri, ia masih merasa tersakiti rupanya.
Gadis itu memiliki kulit yang putih dan cerah. Hidungnya mancung dan matanya biru secerah laut. Usianya terlihat seperti gadis muda berusia lima belas sampai delapan belas tahun. Ia terdiam seribu bahasa dan hanya mengikuti Amir yang kini telah menjadi suaminya.
"Namanya Anastasia," Amir memperkenalkan gadis itu pada keluarganya setelah memberi salam singkat. Dengan nada lembut yang seolah hendak menjaga perasaan, ia menjelaskan, "Dia berasal dari Barat. Dia masih belum terbiasa dengan lingkungan di sini. Kuharap, kalian dapat segera akrab dengannya."
Aminah terdiam untuk sesaat. Tangannya yang mengepal ia sembunyikan di balik punggung kedua putranya. Jika ia berpikir hanya dengan nafsu dan egonya, ia pasti akan sangat marah sekarang. Dengan hati yang kecewa dan bersedih, ia pun memaksakan dirinya untuk tersenyum dan membalas, "Ya, selamat datang, Suamiku."
"Te, terima kasih, Ami ...," Amir tersenyum dna merasa lega dengan jawaban istrinya. Namun, ia masih gelisah dengan kekagetan kedua anaknya. Mereka berdua terlihat sangat syok sampai mencengkeram erat tunik panjang Aminah. Sebelum Amir melanjutkan kata-katanya, Syarif sudah lebih dulu berteriak membentak, "Nggak mau! Umma cuma Umma! Nggak mau!"
Anastasia terkejut oleh teriakan itu. Ia jelas sekali ditolak mentah-mentah. Sejak awal, kehadirannya di sini tidak akan diterima. Ia bahkan tidak pernah menginginkannya. Sekalipun statusnya adalah istri kedua, ia tetap hanyalah seorang sandera yang rendah untuk menjamin keselamatan keluarganya yang tertangkap ddi medan perang. Ia tak lebih dari sekadar boneka yang dihadiahkan untuk melembutkan hati seorang penguasa.
Entah bagaimana hidupnya akan berlalu setelah ini. Ia hanya bisa berusaha untuk bertahan hidup. Selama keluarganya selamat dan sehat sentosa, ia tidak akan menyesali keputusannya. Bahkan walau ia akan tersiksa selama sisa hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Erni Fitriana
mampir
2021-12-28
0
EuRo
aku mampir thor, baru baca ceritanya menarik , bikin penasaran .
2021-12-08
0
Marhamah Nurbadriah
😍😍😍
2021-12-08
0