NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta: Puspita Timur & Barat

Selamat Datang, Suamiku

Kabar kembalinya pasukan Tumenggung Tasik telah tersiar ke penjuru kota. Para penduduk pun berbondong-bondong membuat pagar betis di jalan raya. Mereka menyambut kedatangan sang panglima muda dan pasukannya dengan gembira. Sorak-sorai ria membumbung tinggi ke langit-langit kota.

Aminah sangat senang mendengar kabar bahagia itu. Setelah sebulan lebih berpisah dengan suami, pastilah ia rindunya menumpuk bak pegunungan seribu. Bibirnya senantiasa tersenyum dan basah oleh zikir. Tasbih dan syukur tak lepas dari hatinya. Namun, dibalik segala kegembiraannya itu, ia tengah berusaha memendam sebuah rasa yang pedih dalam hati.

"Umma, Umma, kapan Abah pulang?" tanya seorang anak yang usianya masih sekitar enam tahun. Anak itu berambut hitam legam. Kilauan merah akan memancar dari rambut halusnya jika tersiram sinar mentari. Matanya gelap dan jernih seperti malam yang diterangi cahaya bulan dan pernak-pernik bintang. Tangannya diangkat ke atas, memberi Aminah ruang untuk memakaikannya pakaian bagus bak baju raya.

"Hanif, doanya gimana kalau sedang bercermin?" Aminah balik bertanya dengan nada lembut sambil menghadapkan putranya ke kaca. Hanif sudah rapi sekarang. Parasnya yang tampan terlihat imut dengan pipi yang sedikit tembam. Itu membuat hati Aminah terhibur. Ia mungkin bisa lebih tegar saat suaminya datang nanti.

"Hm?" Hanif diam tak menjawab. Ia sering lupa kalau sendirian. Sebagai seorang ibu dan madrasah pertama, Aminah pun menuntunnya dengan sabar, "Alhamdulillah ...,"

"Alhamdulillah ...," ucap seorang bocah sebelum Hanif menirukan. Bocah itu sangat mirip dengan Hanif. Mereka bagai pinang dibelah dua. Namanya Syarif. Kelahirannya hanya berselang satu menit setelah Hanif. Ia sudah selesai dan menunggu sejak tadi.

Hanif tidak menghiraukan interupsi adiknya dan tetap menirukan sang umma. Aminah pun tersenyum takzim dan melanjutkan diktenya, "Ya Allah, Sebagaimana … Engkau … baguskan penciptaanku…, maka … baguskanlah akhlakku."

"Umma, Umma, Syarif udah hafal," Syarif mengangkat tangannya dengan bangga setelah melafalkan doa itu. Si bungsu tengah mencari perhatian. Puas dengan pujian, Ia pun melanjutkan pertanyaan kakaknya, "Abah mana? Abah senang kan kalau kita tambah pintar?"

"Iya, Syarif. Pasti abah senang ... sekali. Sebentar lagi, abah sampai di rumah," jawab Aminah dengan helaian nada yang lembut. Senyum manisnya ayu menghias wajah. Bunga-bunga di taman pun sampai iri dengan kecantikannya. Namun, dibalik topeng anggunnya itu, ia menyembunyikan sedih yang teramat dalam.

"Ayo keluar. Hanif mau lihat kuda banyak sama abah," ajak Hanif dengan tata kalimat yang belepotan. Jari-jemari mungilnya menarik-narik lengan Aminah, mengajaknya ke luar. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu sang abah.

"Tunggu di sini aja, ya," tahan Aminah. Sebenarnya, ia juga ingin menyambut langsung suaminya di halaman rumah. Namun, sepucuk surat yang diterimanya kemarin membuat ia merasa was-was. Ia takut untuk berharap bahwa surat resmi itu hanyalah kepalsuan.

"Umma, ayo ...," ajak Hanif memaksa. Syarif pun terlihat ingin keluar juga. Mata jernih kedua anak itu memohon pada Aminah untuk mengantar mereka pergi. Saat mereka tersenyum, bunga-bunga seakan bermekaran dengan cantik di belakangnya. Keimutan mereka membuat hati Aminah tak tega menghalanginya.

"Anak-anak, dengarkan saja cakap Umma," seorang wanita beraksen Melayu masuk ke kamar mereka. Wanita itu adalah bibi Aminah yang merupakan seorang putri dari Malaka. Namanya Putri Maimunah. Setelah Lojie menguasai tanah airnya, ia bersama sebagian keluarganya ikut dengan Armada Laut Jawa untuk mengungsi. Mereka tinggal di sebuah desa yang dekat dengan danau sekarang. Sejak suami Aminah memimpinnya, desa itu semakin berkembang sehingga nyaris sebesar kota kecil pada umumnya.

"Opah?" Hanif dan Syarif menoleh kompak. Mereka sangat suka mendengar cerita dari Sang Putri Malaka itu. Apalagi tentang kehidupannya sebelum Lojie datang membawa bencana. Jika sang opah sudah membantu umma begini, keduanya pun tak dapat banyak berkata-kata lagi. Namun, Syarif tetap berusaha merayu dan meminta, "Tapi ... tapi, Opah. Di luar sudah ramai. Syarif mau ikut juga."

"Umma kalian tengah mengandung. Kasian umma dan adik kalian itu kalau kecapean nanti," balas Maimunah serius. Parasnya yang mulai berkeriput tampak tegas. Syarif jadi tertunduk dan berwajah manyun karena itu.

"Dahlah, Rif. Yuk main di halaman aja," ajak Hanif. Syarif mengangguk cepat. Kedua bocah kembar itu langsung berhambur keluar tanpa peduli dengan baju rapi yang sudah mereka kenakan. Aminah hanya dapat menggeleng maklum melihatnya. Itu lebih baik daripada mereka terus menuntut untuk ke luar. Setidaknya, mereka tidak merengek karena hal kecil ini.

"Aminah, aku tahu perasaan kau. Kau tak perlu bersedih sangat begitu," hibur Maimunah lantas mengajak Aminah duduk di ruang tengah. Jari-jemarinya yang kasar oleh kerasnya hidup membelai punggung tangan Aminah dengan lembut. Ia yang sudah merasakan sepat manisnya kehidupan hanya dapat menasihati putri kakaknya agar tetap bersabar. "Aku pun pernah merasakannya. Jika kau bersabar, kau kan temukan suatu yang tak kau duga setelah itu."

Aminah tidak begitu mengerti, tapi ia terus mendengarkan cerita pengalaman bibinya semasa muda dulu. Putri Malaka itu menikah dengan seorang Pangeran Pasai. Saat ia telah berputra 3, suaminya kembali menikah sehingga ia pun merasa cemburu. Sangat cemburu malah. Namun, ia hanya dapat bersikap objektif dan menjaga hubungan baik dengan madunya yang jauh lebih muda.

Saat Lojie datang menyerang, suaminya berjuang dengan para ulama, tapi pengkhianatan dan kolusi dari internal Pasai membuat segalanya kacau. Tak lama kemudian, Pasai ditaklukkan. Putri Maimunah pun diungsikan ke Malaka, kembali ke keluarganya.

"Masa-masa itu, kami tak mungkin lagi berselisih. Jika tak bersatu, tak mungkin kami selamat. Aku ingat betul...," Maimunah berhenti dan terdiam. Matanya seolah menembus ke horizon masa lalu. Kenangan lampau itu nyaris menjebol bendungan di matanya. Ia masih tak percaya bahwa dirinya akan sesedih ini mengingat wanita yang sangat dibencinya dulu.

"Dia ... dia adalah wanita yang tegar," lanjut Maimunah dengan suara bergetar. Ia ingat bagaimana madunya turut berjuang bersama Pangeran Pasai, suaminya saat itu, "Kalau bukan karena keberaniannya yang meneguhkan iman kami, entah bagaimana kami bertahan."

Maimunah terus bercerita dan bercerita. Air matanya pun tumpah juga pada akhirnya. Ia menangis ketika menceritakan runtuhnya Malaka. Saat itu, anak-anak dan suaminya telah tiada. Madunya bahkan meninggal karena berusaha melindunginya. Hanya tinggal ia seorang yang mulai menua. Dijemputlah ia oleh keponakannya untuk mengungsi ke Jawa.

"Umma, Umma ...!" teriakan Syarif mengagetkan Aminah dan Maimunah. Air mukanya keruh menunjukkan rona yang kacau. Itu adalah ekspresi khawatir yang bercampur bingung dan marah. Kata-kata yang ia ucapkan setelah itu membuat Aminah ikut gelisah, "Abah, Abah!"

"Sya, Syarif, kenapa, Nak? Abah kenapa?" tanya Aminah dengan hati yang berdebar takut. Syarif segera menariknya ke luar. Saat sampai di daun pintu, Hanif datang dengan ekspresi yang sama. Si sulung langsung memeluk Aminah dengan kuat. Jelas itu membuat sang umma sangat terkejut.

"Ami ...," panggilan yang selama ini Aminah rindukan pun terdengar. Panggilan dari suaminya tercinta, Amirdiningrat Malaka yang turut berjuang mempertahankan tanah air dari intervensi asing yang berusaha memonopoli segalanya.

Aminah tertegun. Bukan karena kedatangan suaminya yang membuat anak-anak sampai ribut, tapi karena seorang gadis muda yang tertunduk dengan kerudung melilit di kepalanya. Rasa cemburu pun menyala di hatinya. Gadis itu pasti madunya. Ia merasa dikhianati. Ternyata surat resmi itu benar adanya. Walaupun sudah mempersiapkan diri, ia masih merasa tersakiti rupanya.

Gadis itu memiliki kulit yang putih dan cerah. Hidungnya mancung dan matanya biru secerah laut. Usianya terlihat seperti gadis muda berusia lima belas sampai delapan belas tahun. Ia terdiam seribu bahasa dan hanya mengikuti Amir yang kini telah menjadi suaminya.

"Namanya Anastasia," Amir memperkenalkan gadis itu pada keluarganya setelah memberi salam singkat. Dengan nada lembut yang seolah hendak menjaga perasaan, ia menjelaskan, "Dia berasal dari Barat. Dia masih belum terbiasa dengan lingkungan di sini. Kuharap, kalian dapat segera akrab dengannya."

Aminah terdiam untuk sesaat. Tangannya yang mengepal ia sembunyikan di balik punggung kedua putranya. Jika ia berpikir hanya dengan nafsu dan egonya, ia pasti akan sangat marah sekarang. Dengan hati yang kecewa dan bersedih, ia pun memaksakan dirinya untuk tersenyum dan membalas, "Ya, selamat datang, Suamiku."

"Te, terima kasih, Ami ...," Amir tersenyum dna merasa lega dengan jawaban istrinya. Namun, ia masih gelisah dengan kekagetan kedua anaknya. Mereka berdua terlihat sangat syok sampai mencengkeram erat tunik panjang Aminah. Sebelum Amir melanjutkan kata-katanya, Syarif sudah lebih dulu berteriak membentak, "Nggak mau! Umma cuma Umma! Nggak mau!"

Anastasia terkejut oleh teriakan itu. Ia jelas sekali ditolak mentah-mentah. Sejak awal, kehadirannya di sini tidak akan diterima. Ia bahkan tidak pernah menginginkannya. Sekalipun statusnya adalah istri kedua, ia tetap hanyalah seorang sandera yang rendah untuk menjamin keselamatan keluarganya yang tertangkap ddi medan perang. Ia tak lebih dari sekadar boneka yang dihadiahkan untuk melembutkan hati seorang penguasa.

Entah bagaimana hidupnya akan berlalu setelah ini. Ia hanya bisa berusaha untuk bertahan hidup. Selama keluarganya selamat dan sehat sentosa, ia tidak akan menyesali keputusannya. Bahkan walau ia akan tersiksa selama sisa hidupnya.

Terasing

"Pergi! Pergi dari sini!" bentak Hanif keras. Matanya tajam menatap Anastasia penuh amarah. Jemarinya semakin erat mencengkeram tunik panjang Aminah. Ia menolak tegas kedatangan gadis asing itu di rumahnya. Satu-satunya yang akan ia anggap ibu hanyalah Aminah seorang.

Semua yang ada di halaman terkejut seketika. Maimunah bahkan sampai tersentak saking kagetnya. Aminah menutup mulutnya tak percaya. Amir tercengang tak menyangka. Anastasia merinding walau sudah menduga bahwa ia akan mendapat diskriminasi semacam ini.

"Pergi!" Syarif ikut-ikutan mengusir. Ia tak ingin ibunya diduakan. Suaranya yang cempreng memekik di telinga orang-orang. Tangannya yang mencengkeram tunik panjang Aminah gemetaran saking marahnya. Ia kembali membentak dengan lantang, “Kamu nggak boleh di sini! Pergi! Jangan di sini!”

Aminah langsung berlutut dan memeluk kedua putranya. Ia mengarahkan kepala mereka berdua padanya agar tenang. Hatinya berdegup kencang sampai kedua bocah itu dapat mendengarnya. Ia amat terguncang. Air matanya menetes sehingga membuat Hanif dan Syarif terdiam.

Kemarahan anak-anak itu telah meluapkan isi hati yang tersimpan dalam kalbu Aminah. Rasa cemburu dan kepedihan yang tadinya melanda, kini tergantikan oleh kesedihan dan penyesalan yang tiada tara. Aminah tidak menyangka kalau anak-anaknya akan bereaksi sekeras ini. Isak tangis pun mengalun dari bibirnya. Derita yang mengiris hatinya bertubi-tubi menimpa. Belum habis kecemburuannya karena cinta, kini ia merasa gagal sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab mendidik kedua putranya.

"Hanif ... Syarif ...," panggil Aminah dengan isak tangis yang semakin menjadi. Hatinya seakan tercabik-cabik. Fakta gagalnya ia dalam mendidik buah hati itu lebih pedih daripada mendengar bertubi-tubi surat resmi yang diterimanya kemarin. Putri keturunan Malaka itu tak pernah mengajari kedua anaknya untuk bersikap nakal, lantas dari mana mereka belajar begitu?

"Ami ...!" Amir segera berlutut di hadapan istrinya. Niatnya hanya ingin memperkenalkan Anastasia agar tidak timbul kesalahpahaman. Bupati Tasik itu tak pernah mengira bahwa penolakan paling besar justru datang dari anak-anaknya. Ia tak bisa membiarkan istrinya yang tengah hamil muda terus terguncang dan bersedih hati seperti ini. Dengan cepat, ia pun mengambil keputusan, "Opah, tolong antarkan dia ke joglo di Barat. Harusnya tempat itu sudah selesai dibereskan sekarang."

"Aku mengerti," Maimunah mengangguk. Matanya menatap dingin Amirdiningrat. Walaupun merasa kurang suka, ia pikir keputusan pria itu sudah tepat. Pandangannya pun terangkat ke Anastasia yang masih gemetaran, "Nona, ikutlah denganku."

Anastasia terkesiap. Ia mengangguk cepat dan mengikuti wanita tua itu. Akhirnya, ia dapat pergi dari situasi yang kusut ini. Gadis itu sudah menyiapkan diri sebagai boneka yang pasrah ditaruh di mana saja. Hidupnya mungkin akan menderita dan terasing setelah ini. Mungkin ia tak akan dipedulikan lagi. Ia hanya sandera yang tahu diri. Jelas sekali pria yang kini menjadi suaminya itu sangat mencintai istri pertamanya. Tak ada harap cinta dari pernikahannya yang terpaksa.

"Nona, aku sudah mendengar cerita tentangmu. Aku tak nak ada masalah yang tak perlu. Jadi, jagalah diri dan sikapmu," ujar Maimunah dengan nada yang dingin, "Ini hanyalah nasihat dariku pribadi. Malaka telah sengsara sejak Lojie mengintervensi dan menginvasi pemerintahan kami. Aku tidak membenci orang-orang sebangsamu, tapi aku benci sifat yang semena-mena di muka bumi ini. Baik dari bangsaku maupun bangsamu."

"Saya ... mengerti," jawab Anastasia lirih. Mereka sampai di sebuah joglo tak lama kemudian. Joglo itu berdiri kokoh dengan pilar-pilar kayu yang menyangganya. Ukurannya tak terlalu besar, tapi akan terasa luas jika ditinggali seorang saja. Jika dipikir dengan prasangka positif, tempat ini tidak buruk juga.

"Ini tempatmu. Kami sudah siapkan semua kebutuhanmu di sana. Tanyakan saja kalau ada yang nak kau tanyakan," Maimunah mengajak Anastasia untuk masuk. Wanita tua itu menunjukkan setiap ruang yang ada, juga tugas-tugas Anastasia di sana, "Joglo ini menjadi tanggung jawabmu. Aku ada di kesepuhan kalau kau nak bercerita."

"Terima kasih, Nyonya," Anastasia menunduk hormat. Ia sangat yakin bahwa wanita tua yang tegas itu bukan orang sembarangan. Apalagi saat nama Lojie dan Malaka disinggung. Ia bisa langsung menebak hanya dengan mendengarnya. Dari fakta yang tak disangkanya itu, ia lekas mengira bahwa setiap orang Melayu akan memandang benci dirinya.

Anastasia berjalan masuk ke rumah begitu Maimunah hilang dari pandangannya. Ia melepas kerudung yang melilit di kepalanya. Rasa gerah seakan hilang seketika. Rambut pirangnya langsung tergerai bebas. Sekali lagi ia mengelilingi seisi rumah. Setelah puas memeriksanya, ia pun pergi ke kamar dan berlutut di sana. Kedua tangannya disatukan. Ia memohon pada Tuhan dengan bahasa ibunya. Dikeluhkannya semua derita yang selama ini ia alami.

Tanpa terasa malam berlalu. Anastasia tidur secepatnya begitu hari menjadi gelap. Ia bangun saat mentari sempurna menampakkan dirinya. Gadis itu langsung terduduk. Hal pertama yang merasuk ke pikirannya adalah kehidupan yang kini ia jalani sebagai sandera yang tak jauh berbeda dengan budak.

“Tok, tok!”

Suara ketukan pintu yang disusul panggilan dari Maimunah membuat Anastasia langsung menoleh. Ia pun beranjak dari kasurnya dan segera membukakan pintu. Saat pintu kamarnya sempurna terbuka, gadis itu lekas menunduk karena tak kuasa melihat wajah Maimunah yang mungkin akan marah padanya sekarang karena bangun kesiangan.

“Kau baru bangun?” tanya Maimunah sambil melihat kamar Anastasia yang masih berantakan. Seperti yang Amirdiningrat katakan kemarin, gadis itu belum terbiasa dengan kehidupan di sini. Maimunah pun berdecak dan menghela napas heran. Ia harus mengajari gadis itu agar cepat terbiasa tinggal mandiri di sini.

“Saya minta maaf,” ucap Anastasia lirih. Sudah ia duga, wanita tua itu pasti akan marah. Itu wajar karena ia tak lebih dari sekadar budak yang hina. Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Walaupun ia memiliki kemampuan berpedang yang diasah sejak kecil, ia tak bisa sembarangan menggunakannya. Apalagi dengan status rendahnya sekarang. Begitulah pikirnya.

“Rapikan saja kamarmu. Bantu aku memasak di dapur kemudian,” ucap Maimunah yang heran karena Anastasia malah meminta maaf. Padahal ia tak sedikit pun menyalahkannya. Ekspresinya juga biasa saja. Apa wajahnya yang tua ini terlihat galak di mata gadis itu? Ia sudah mendengar bahwa gadis itu sempat terkana serangan mental karena perang di laut. Mungkin itu yang membuat ia sangat takut. Hanya itulah yang dapat Maimunah tebak.

Anastasia lebih kebingungan setelah Maimunah meninggalkannya begitu saja tanpa banyak berkata-kata lagi. Ia segera melaksanakan perintah wanita tua itu untuk merapikan kamarnya. Mungkin ia sedang diuji. Tak lama kemudian, ia bergegas ke dapur dan mendapati Maimunah sedang menyalakan perapian.

Begitu melihatnya, Maimunah langsung memberi perintah pada Anastasia. Intinya, ia mengajari gadis itu cara memasak khas orang-orang Jawa. Sayangnya, kemampuan Anastasia dalam memasak nyaris menyentuh angka nol selain teknik memotongnya. Maimunah benar-benar dibuat repot oleh gadis pengantin baru itu.

“Makanlah! Aku sudah sarapan duluan sebelum kemari,” ujar Maimunah sembari menata hasil masakan mereka berdua. Tugasnya di sini sudah selesai. Saatnya ia kembali ke tempatnya di kesepuhan. Walaupun sudah tua, ia masih giat mempelajari literatur yang ada. Wanita berwajah keriput itu memanfaatkan masa hidupnya yang tersisa dengan baik.

“Nyonya, bolehkah saya menanyakan satu hal?” tanya Anastasia dengan wajah yang masih sungkan menatap langsung Maimunah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Semuanya dilakukan wanita tua itu pagi ini hanyalah kebaikan. Jauh dari apa yang Anastasia persangkakan.

“Nak, kami diajarkan untuk berbuat baik pada tetangga, sedangkan kamu bukan sekadar tetangga lagi bagi kami. Kamu adalah keluarga yang sekarang turut menjadi tanggung jawab Raden Malaka,” jawab Maimunah panjang lebar yang kemudian ditutup dengan seulas nasihat, “Selama kamu bersikap baik, kami pun akan bersikap baik.”

Anastasia tidak begitu mengerti, apalagi percaya. Di tempat asalnya, ada doktrin yang menyatakan bahwa wanita adalah sumber dari segala dosa. Karena itu, wanita dipandang rendah di sana. Situasi itu tidak membaik walaupun para cendekiawan mengkritiknya. Pada akhirnya, muncul sekte baru yang menentang doktrin itu. Namun, sekte itu dianggap sesat oleh pusat. Para menganutnya pun harus berjuang sembunyi-sembunyi sampai mereka tumbuh lebih kuat dan melancarkan perlawanan.

Semilir angin berhembus halus membawakan udara yang sejuk. Anastasia termenung sendiri dalam keterasingannya. Seperti yang ia duga, dirinya benar-benar dilupakan mulai sekarang. Sikap Maimunah itu mungkin hanya simpati yang sementara. Tak ada yang dapat ia lakukan selain mengenang masa lalunya yang lebih indah dari sekarang. Ia kesepian, duduk dalam diam, dan menikmati kesunyian.

Menjadi Tawanan

Suara-suara menggelegar terdengar beruntun bak guntur di siang bolong. Bola-bola logam yang memerah nan panas keluar dari moncong-moncong meriam. Kapal-kapal utusan Lojie yang hendak merapat pun terlunta-lunta di bibir bandar.

"Lindungi kapal utama!" seru Peter de Raiziger, kapten kapal brigantin yang ditugaskan untuk mengawal ekspedisi ke Kalapa. Situasi ini sungguh tidak terduga. Padahal mereka sudah melihat Pelabuhan Banten lepas dari kuasa Pakuan. Hanya karena Muara Cisadane masih selamat, mereka jadi lengah begini. Mereka kira, Negeri Pakuan masih berdaulat atasnya.

"Kapten, kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi," lapor seorang awak kapal.

Peter menggertakkan gigi-giginya geram. Ia menoleh ke samping, memastikan kapal utama masih bertahan. Kondisinya sungguh mengkhawatirkan. Hanya tersisa satu layar yang berdiri. Badannya pun sudah hancur di sana-sini.

"Cepat, Duarte! Cepat! Kau harus melaporkan situasi ini kepada Lojie di Malaka," batin Peter gelisah. Kapalnya harus bertahan sedikit lagi. Brigantin utama itu sudah hampir menjauh dari dermaga. Ia akan aman selama tak ada barikade yang menghadangnya.

Suara-suara meriam kembali terdengar. Peluru-pulurunya dengan telak mengenai kapal pengawal yang tersisa. Belum juga meriam-meriam itu berhenti menyerbu, anak-anak panah berdatangan mencari mangsa. Para kru yang tidak beruntung pun matilah seketika.

"Ayah!" panggilan seorang gadis muda membuyarkan konsentrasi Peter. Pria berkumis dan berjanggut tebal itu terkejut melihat anak gadisnya muncul di geladak kapal. Saking khawatirnya, ia pun berteriak lantang, "Anastasia! Kenapa kamu keluar kabin?"

"Aku akan mati kalau tetap di dalam. Kita harus segera menyelamatkan diri sekarang," balas Anastasia dengan berseru guna melawan hiruk-pikuk pertempuran, "Kapal ini sudah berlubang. Kita akan tenggelam kalau tidak bergegas. Ayah, cepat naik ke sekoci."

"Asya," seorang pemuda yang mengikuti Anastasia dari belakang berseru. Rona kegelisahan jelas terukir di wajahnya. Ia amat kaget saat tiba-tiba adiknya berlari ke tengah geladak brigantin, "Harusnya kamu yang segera naik sekoci. Kami akan bertahan sedikit lebih lama agar yang lainnya selamat."

Anastasia menatap kakaknya tajam. Di matan gadis itu seakan ada bara yang mengandung kemarahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik kerah pemuda itu sampai jatuh ke geladak. Suara benturannya terdengar amat keras sampai mengagetkan kru kapal di sekitarnya.

Brukk!!!

"Apa yang ...!?" pemuda itu terdiam begitu melihat sepucuk anak panah yang tertancap di depannya. Anastasia bernapas lega. Matanya menyapu sekitar dengan awas. Tidak ada sedikit pun kesempatan untuk menang. Kalau tidak kabur sekarang, mereka benar-benar akan binasa.

"Schultz, bawa adikmu ke sekoci sekarang juga!" seru Peter pada pemuda itu. Brigantinnya akan tenggelam sebentar lagi. Awak-awak kapalnya pun sudah banyak yang mati. Pria paruh baya itu tidak peduli walaupun harus mati asalkan kedua anaknya selamat.

"Ayah juga! Ayah juga harus segera ke sekoci!" ajak Anastasia yang sejak tadi mengkhawatirkan Peter. Padahal selama ini ia sudah bekerja keras untuk bisa tetap bersama keluarganya. Sejak ibunya meninggal, ia tak punya siapa-siapa lagi selain kakak dan ayahnya. Hidupnya di Barat amat sengsara, apalagi sebagai wanita. Kalau saja ayahnya tidak membelot ke sekte yang baru, ia pasti lebih menderita sekarang.

"Schultz, jangan buang-buang waktu! Cepat bawa Asya ke sekoci!" bentak Peter keras. Schultz segera menarik lengan kecil Anastasia. Gadis yang baru menginjak usia dewasa itu hendak melawan, tapi kekuatan sang kakak lebih besar darinya.

Sekoci di kapal hanya tersisa satu. Schultz pun memaksa Anastasia untuk naik ke sana dan segera menurunkannya ke air. Jika beruntung, mereka bisa bertemu dengan Laskar Pakuan di Muara Cisadane nanti. Mereka harus mendayung kabur secepat mungkin.

Peluru-peluru meriam menghujani kapal. Brigantin ini tak akan dapat dipertahankan lagi. Kapal utama sudah menjauh, tugas brigantin yang dipimpin Peter pun telah selesai. Peter memerintahkan awaknya yang tersisa untuk melompat ke laut. Ini akan jadi pertaruhan baginya nanti. Kalau beruntung, ia masih bisa hidup walaupun sebagai tawanan. Ditatapnya sekoci terakhir yang terjun dari kapal. Sekoci itu telah menjauh dari jarak tembak meriam. Mereka akan aman. Dengan seulas senyum kasih sayang di wajahnya, Peter melompat ke laut bersama awak kapalnya yang tersisa.

Anastasia berseru-seru memanggil sang ayah. Ia mendesak Schultz untuk mendekat ke tempat Peter terjun. Namun, kakaknya itu menolak. Kalau mereka mendekat, justru mereka akan ikut binasa. Schultz sangat tidak sudi membayangkan hal itu.

"Cepat! Ayah ada di sana," pinta Anastasia rewel. Schultz yang memegang dayung jadi kesulitan mengendalikan sekocinya. Ia sebal dengan tingkah adiknya yang lebih mementingkan perasaan daripada rasionalitas. Padahal bisa saja ia menyelamatkan sang ayah bersama Laskar Pakuan.

"Itu tidak mungkin! Kita akan tertangkap kalau ke sana," jelas Schultz dengan kesal. Adik perempuannya itu sangat sulit diatur. Anastasia masih saja cerewet minta ayahnya segera diselamatkan. Schultz hampir tidak tahan mendengarnya.

"Aku akan melompat dan menyelamatkan ayah kalau kamu tidak mau," ancam Anastasia membuat kakaknya semakin geram. Pemuda itu pun membentak, "Bagaimana kamu akan melakukannya? Kemampuan ayah bahkan lebih baik darimu. Kamu hanya akan menjadi beban yang menyusahkan ayah di kamp musuh!"

Seakan baru sadar dengan ketidakberdayaannya, Anastasia pun terdiam. Ia memandang kapal brigantin yang baru beberapa menit lalu masih Ia tumpangi, kini sudah tinggal bangkainya saja. Bagian-bagiannya tengelam dan tersebar di mana-mana. Awaknya yang berusaha lari dengan berenang pun sudah ditangkap oleh Aliansi Tanah Jawa. Tidak ada yang tersisa dari mereka.

Anastasia terluka oleh kata-kata Schultz. Namun, ia masih bisa paham kalau dirinya hanya akan menjadi beban di sana. Syukurlah sekocinya sudah menjauh dari bibir dermaga. Mereka akan aman setelah sampai ke Muara Cisadane.

"Sial!" umpat Schultz dongkol. Anastasia sampai kaget olehnya. Kakaknya itu pun berkata dengan lirih, "Asya, bersiaplah! Kita akan menembus barikade itu."

Anastasia segera melirik ke depan. Kapal-kapal besar Armada Laut Jawa ada di sana. Rasanya sangat bodoh untuk nekat menembusnya. Tidak mungkin sekoci kecil ini dapat menembus barikade kapal-kapal raksasa itu.

Sepucuk anak panah meluncur dan tepat mengenai ujung sekoci Anastasia. Schultz menggeram marah. Kedua tangannya yang memegang dayung merinding hebat. Matanya menyapu langit penuh amarah. Saat anak panah peringatan berikutnya diluncurkan, Schultz terjatuh karena mengira bahwa anak panah itu akan menembus kepalanya.

Anastasia menopang tubuh Schutlz yang gemetaran tak berdaya. Habislah sudah nasib sepasang kakak beradik itu. Dua jung kecil diturunkan dari kapal Armada Laut Jawa. Masing-masing ditumpangi dua orang bersenjatakan tombak dan pedang.

Kejadian itu berlalu dengan cepat. Anastasia dan Schultz ditaruh pada sel tahanan yang terpisah. Mereka telah menjadi tawanan perang sekarang. Nasib mereka bagai telur di ujung tanduk. Amat rentan terseret pada kematian. Hanya Tuhan yang dapat merubah takdir mereka sekarang.

Anastasia berteriak protes berkali-kali. Ia ditahan di sebuah ruang yang lebih mirip kamar daripada jeruji besi. Firasatnya jadi buruk karena itu. Mungkin ia akan dijadikan sebagai seorang gundik nanti. Diberantakkannya semua perkakas yang ada di ruang itu. Keributannya sampai membuat empu ruangan itu heran. Biarlah semua orang mengiranya sudah gila. Setelah kelelahan, barulah ia menjadi tenang.

“Dia satu-satunya wanita yang selamat?” suara-suara asing mengusik Anastasia yang tengah mendekap di pojok ruangan. Ia merinding takut. Apa usahanya untuk terlihat gila sia-sia saja? Bagaimana kondisi ayahnya? Bagaimana kondisi kakaknya? Pikiran-pikiran itu terngiang di benaknya.

“Benar, dia adalah putri Kapten Peter,” suara seorang wanita yang biasanya mengantarkan makan pada Anastasia menjawab, “Sungguh gadis yang malang. Sepertinya ia sangat syok. Kondisinya tidak membaik sejak kemarin.”

Anastasia tersenyum getir. Ia sudah dianggap gila rupanya. Usahanya membuahkan hasil. Tidak akan ada pria normal yang mau menerima gadis berpenyakit mental seperti dirinya. Ia tinggal menyusun rencana untuk kabur setelah ini.

“Kapten Peter ingin menemuinya sebelum dieksekusi. Ki Fadil mengizinkan ia bertemu dengan gadis itu untuk terakhir kalinya.”

Anastasia tertegun. Barusan orang itu bilang bahwa ayahnya akan dieksekusi? Ia bisa bertemu dengan sang ayah untuk terakhir kalinya? Apakah tidak ada pilihan lain? Apakah tidak ada cara untuk menyelamatkan ayahnya? Bagaimana dengan Schultz? Apakah ia juga akan segera dibunuh? Pikiran-pikiran itu meliputi hati Anastasia yang semakin gusar. Ia benar-benar syok sekarang.

“Nak, kamu bisa bertemu dengan ayahmu sekarang,” pintu kamar dibuka dan wanita yang selama ini mengantarkan keperluan Anastasia masuk ke dalam. Ia memandang gadis yang ketakutan itu penuh iba. Tak ada apa pun yang dapat ia lakukan untuk menghiburnya. Seakan dapat membaca pikiran Asya, wanita itu hanya dapat memberi saran, “Barangkali mereka memberi amnesti pada ayahmu. Cobalah membujuk dengan tulus agar mereka menerima permintaanmu.”

Sedikit harapan menyapa Anastasia. Mungkin cara itu bisa ia lakukan walaupun harus mengorbankan dirinya. Namun, ia tak akan bisa mengelak dari takdir setelah itu. Air matanya pun tumpah seketika. Senyum getir masih terulas di bibirnya. Dipandangnya langit-langit kamar yang putih. Dalam waktu yang singkat, ia meneguhkan hati untuk menyelamatkan ayah dan kakaknya.

Di tempat sang ayah ditahan, Asya tak dapat berhenti menangis. Ayahnya tidak mengatakan hal lain selain permintaan maaf dan ucapan kasih sayang yang tulus. Begitu keluar dari ruangan itu, Anastasia langsung memohon pada orang yang mengawalnya untuk dipertemukan dengan pemimpin tertinggi Aliansi Tanah Jawa.

“Kumohon. Ampuni ayah dan kakakku. Biar aku saja yang menggantikan mereka,” seru Anastasia dengan rona putus asa.

Ki Fadil yang merupakan panglima tertinggi kebetulan ada di sana. Pria paruh baya itu mau mendengarkan permintaan Asya dan mempertimbangkannya. Diskusi digelar. Peter bahkan diajak untuk ikut serta dalam diskusi itu. Entah bagaimana acara yang menegangkan itu berlalu. Anastasia hanya mendapat kabar bahwa proposal amnestinya diterima dan ia akan dinikahkan dengan seorang panglima muda dari Aliansi Tanah Jawa.

...***...

Angin berhembus halus mengajak rambut pirang Asya menari-nari. Ia duduk di teras joglo yang kini menjadi kediamannya. Tangannya lincah merajut dan menyulam kain. Sejak Maimunah mengajrinya, ia jadi senang menghabiskan waktu dengan hal itu.

Beberapa hari telah berlalu. Anastasia tidak yakin, mungkinkah ia mulai terbiasa dengan kehidupan ini? Tidak! Ini hanyalah awal dari lembaran hidupnya. Ia tak pernah tahu bagaimana masa depannya akan terukir. Tak terasa, ia sudah dapat menjenguk ayahnya untuk pertama kali bulan depan. Senyumnya yang kini mengembang adalah ekspresi kebahagiaan. Kesehariannya berjalan baik. Yah, benar-benar baik kecuali saat kedua putra tirinya datang berkunjung dan mengusik. Gangguan kedua bocah itu yang masih menjadi ujian terberat baginya sekarang. Entah bagaimana ia harus menanggapi kenakalan mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!