"Pergi! Pergi dari sini!" bentak Hanif keras. Matanya tajam menatap Anastasia penuh amarah. Jemarinya semakin erat mencengkeram tunik panjang Aminah. Ia menolak tegas kedatangan gadis asing itu di rumahnya. Satu-satunya yang akan ia anggap ibu hanyalah Aminah seorang.
Semua yang ada di halaman terkejut seketika. Maimunah bahkan sampai tersentak saking kagetnya. Aminah menutup mulutnya tak percaya. Amir tercengang tak menyangka. Anastasia merinding walau sudah menduga bahwa ia akan mendapat diskriminasi semacam ini.
"Pergi!" Syarif ikut-ikutan mengusir. Ia tak ingin ibunya diduakan. Suaranya yang cempreng memekik di telinga orang-orang. Tangannya yang mencengkeram tunik panjang Aminah gemetaran saking marahnya. Ia kembali membentak dengan lantang, “Kamu nggak boleh di sini! Pergi! Jangan di sini!”
Aminah langsung berlutut dan memeluk kedua putranya. Ia mengarahkan kepala mereka berdua padanya agar tenang. Hatinya berdegup kencang sampai kedua bocah itu dapat mendengarnya. Ia amat terguncang. Air matanya menetes sehingga membuat Hanif dan Syarif terdiam.
Kemarahan anak-anak itu telah meluapkan isi hati yang tersimpan dalam kalbu Aminah. Rasa cemburu dan kepedihan yang tadinya melanda, kini tergantikan oleh kesedihan dan penyesalan yang tiada tara. Aminah tidak menyangka kalau anak-anaknya akan bereaksi sekeras ini. Isak tangis pun mengalun dari bibirnya. Derita yang mengiris hatinya bertubi-tubi menimpa. Belum habis kecemburuannya karena cinta, kini ia merasa gagal sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab mendidik kedua putranya.
"Hanif ... Syarif ...," panggil Aminah dengan isak tangis yang semakin menjadi. Hatinya seakan tercabik-cabik. Fakta gagalnya ia dalam mendidik buah hati itu lebih pedih daripada mendengar bertubi-tubi surat resmi yang diterimanya kemarin. Putri keturunan Malaka itu tak pernah mengajari kedua anaknya untuk bersikap nakal, lantas dari mana mereka belajar begitu?
"Ami ...!" Amir segera berlutut di hadapan istrinya. Niatnya hanya ingin memperkenalkan Anastasia agar tidak timbul kesalahpahaman. Bupati Tasik itu tak pernah mengira bahwa penolakan paling besar justru datang dari anak-anaknya. Ia tak bisa membiarkan istrinya yang tengah hamil muda terus terguncang dan bersedih hati seperti ini. Dengan cepat, ia pun mengambil keputusan, "Opah, tolong antarkan dia ke joglo di Barat. Harusnya tempat itu sudah selesai dibereskan sekarang."
"Aku mengerti," Maimunah mengangguk. Matanya menatap dingin Amirdiningrat. Walaupun merasa kurang suka, ia pikir keputusan pria itu sudah tepat. Pandangannya pun terangkat ke Anastasia yang masih gemetaran, "Nona, ikutlah denganku."
Anastasia terkesiap. Ia mengangguk cepat dan mengikuti wanita tua itu. Akhirnya, ia dapat pergi dari situasi yang kusut ini. Gadis itu sudah menyiapkan diri sebagai boneka yang pasrah ditaruh di mana saja. Hidupnya mungkin akan menderita dan terasing setelah ini. Mungkin ia tak akan dipedulikan lagi. Ia hanya sandera yang tahu diri. Jelas sekali pria yang kini menjadi suaminya itu sangat mencintai istri pertamanya. Tak ada harap cinta dari pernikahannya yang terpaksa.
"Nona, aku sudah mendengar cerita tentangmu. Aku tak nak ada masalah yang tak perlu. Jadi, jagalah diri dan sikapmu," ujar Maimunah dengan nada yang dingin, "Ini hanyalah nasihat dariku pribadi. Malaka telah sengsara sejak Lojie mengintervensi dan menginvasi pemerintahan kami. Aku tidak membenci orang-orang sebangsamu, tapi aku benci sifat yang semena-mena di muka bumi ini. Baik dari bangsaku maupun bangsamu."
"Saya ... mengerti," jawab Anastasia lirih. Mereka sampai di sebuah joglo tak lama kemudian. Joglo itu berdiri kokoh dengan pilar-pilar kayu yang menyangganya. Ukurannya tak terlalu besar, tapi akan terasa luas jika ditinggali seorang saja. Jika dipikir dengan prasangka positif, tempat ini tidak buruk juga.
"Ini tempatmu. Kami sudah siapkan semua kebutuhanmu di sana. Tanyakan saja kalau ada yang nak kau tanyakan," Maimunah mengajak Anastasia untuk masuk. Wanita tua itu menunjukkan setiap ruang yang ada, juga tugas-tugas Anastasia di sana, "Joglo ini menjadi tanggung jawabmu. Aku ada di kesepuhan kalau kau nak bercerita."
"Terima kasih, Nyonya," Anastasia menunduk hormat. Ia sangat yakin bahwa wanita tua yang tegas itu bukan orang sembarangan. Apalagi saat nama Lojie dan Malaka disinggung. Ia bisa langsung menebak hanya dengan mendengarnya. Dari fakta yang tak disangkanya itu, ia lekas mengira bahwa setiap orang Melayu akan memandang benci dirinya.
Anastasia berjalan masuk ke rumah begitu Maimunah hilang dari pandangannya. Ia melepas kerudung yang melilit di kepalanya. Rasa gerah seakan hilang seketika. Rambut pirangnya langsung tergerai bebas. Sekali lagi ia mengelilingi seisi rumah. Setelah puas memeriksanya, ia pun pergi ke kamar dan berlutut di sana. Kedua tangannya disatukan. Ia memohon pada Tuhan dengan bahasa ibunya. Dikeluhkannya semua derita yang selama ini ia alami.
Tanpa terasa malam berlalu. Anastasia tidur secepatnya begitu hari menjadi gelap. Ia bangun saat mentari sempurna menampakkan dirinya. Gadis itu langsung terduduk. Hal pertama yang merasuk ke pikirannya adalah kehidupan yang kini ia jalani sebagai sandera yang tak jauh berbeda dengan budak.
“Tok, tok!”
Suara ketukan pintu yang disusul panggilan dari Maimunah membuat Anastasia langsung menoleh. Ia pun beranjak dari kasurnya dan segera membukakan pintu. Saat pintu kamarnya sempurna terbuka, gadis itu lekas menunduk karena tak kuasa melihat wajah Maimunah yang mungkin akan marah padanya sekarang karena bangun kesiangan.
“Kau baru bangun?” tanya Maimunah sambil melihat kamar Anastasia yang masih berantakan. Seperti yang Amirdiningrat katakan kemarin, gadis itu belum terbiasa dengan kehidupan di sini. Maimunah pun berdecak dan menghela napas heran. Ia harus mengajari gadis itu agar cepat terbiasa tinggal mandiri di sini.
“Saya minta maaf,” ucap Anastasia lirih. Sudah ia duga, wanita tua itu pasti akan marah. Itu wajar karena ia tak lebih dari sekadar budak yang hina. Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Walaupun ia memiliki kemampuan berpedang yang diasah sejak kecil, ia tak bisa sembarangan menggunakannya. Apalagi dengan status rendahnya sekarang. Begitulah pikirnya.
“Rapikan saja kamarmu. Bantu aku memasak di dapur kemudian,” ucap Maimunah yang heran karena Anastasia malah meminta maaf. Padahal ia tak sedikit pun menyalahkannya. Ekspresinya juga biasa saja. Apa wajahnya yang tua ini terlihat galak di mata gadis itu? Ia sudah mendengar bahwa gadis itu sempat terkana serangan mental karena perang di laut. Mungkin itu yang membuat ia sangat takut. Hanya itulah yang dapat Maimunah tebak.
Anastasia lebih kebingungan setelah Maimunah meninggalkannya begitu saja tanpa banyak berkata-kata lagi. Ia segera melaksanakan perintah wanita tua itu untuk merapikan kamarnya. Mungkin ia sedang diuji. Tak lama kemudian, ia bergegas ke dapur dan mendapati Maimunah sedang menyalakan perapian.
Begitu melihatnya, Maimunah langsung memberi perintah pada Anastasia. Intinya, ia mengajari gadis itu cara memasak khas orang-orang Jawa. Sayangnya, kemampuan Anastasia dalam memasak nyaris menyentuh angka nol selain teknik memotongnya. Maimunah benar-benar dibuat repot oleh gadis pengantin baru itu.
“Makanlah! Aku sudah sarapan duluan sebelum kemari,” ujar Maimunah sembari menata hasil masakan mereka berdua. Tugasnya di sini sudah selesai. Saatnya ia kembali ke tempatnya di kesepuhan. Walaupun sudah tua, ia masih giat mempelajari literatur yang ada. Wanita berwajah keriput itu memanfaatkan masa hidupnya yang tersisa dengan baik.
“Nyonya, bolehkah saya menanyakan satu hal?” tanya Anastasia dengan wajah yang masih sungkan menatap langsung Maimunah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Semuanya dilakukan wanita tua itu pagi ini hanyalah kebaikan. Jauh dari apa yang Anastasia persangkakan.
“Nak, kami diajarkan untuk berbuat baik pada tetangga, sedangkan kamu bukan sekadar tetangga lagi bagi kami. Kamu adalah keluarga yang sekarang turut menjadi tanggung jawab Raden Malaka,” jawab Maimunah panjang lebar yang kemudian ditutup dengan seulas nasihat, “Selama kamu bersikap baik, kami pun akan bersikap baik.”
Anastasia tidak begitu mengerti, apalagi percaya. Di tempat asalnya, ada doktrin yang menyatakan bahwa wanita adalah sumber dari segala dosa. Karena itu, wanita dipandang rendah di sana. Situasi itu tidak membaik walaupun para cendekiawan mengkritiknya. Pada akhirnya, muncul sekte baru yang menentang doktrin itu. Namun, sekte itu dianggap sesat oleh pusat. Para menganutnya pun harus berjuang sembunyi-sembunyi sampai mereka tumbuh lebih kuat dan melancarkan perlawanan.
Semilir angin berhembus halus membawakan udara yang sejuk. Anastasia termenung sendiri dalam keterasingannya. Seperti yang ia duga, dirinya benar-benar dilupakan mulai sekarang. Sikap Maimunah itu mungkin hanya simpati yang sementara. Tak ada yang dapat ia lakukan selain mengenang masa lalunya yang lebih indah dari sekarang. Ia kesepian, duduk dalam diam, dan menikmati kesunyian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
EuRo
ceritanya unik tema berbagi cinta tapi ala penjajahan gitu ya .. imajinasimu keren thor
2021-12-08
0
SyaSyi
ceritanya berbeda dr yg lain...
semangat
2021-11-24
0
Mamie Sekar (AsK)
cerita nya menarik thor
ini cerita unik dari yang terunik
🤭
masih nyimak...
baru pertama kali bacanya...
agak asing😁
2021-11-23
0