“Ini wilayah kami,” tegas Syarif di hadapan Maimunah dan Anastasia. Setelah beberapa hari ribut, akhirnya mereka bisa membuat kesepakatan. Anastasia mulai terbiasa dengan gangguan dan kenakalan kedua bocah kembar itu. Ia pun bisa memaklumi sikap mereka yang selalu bersikeras mengklaim Joglo Barat sebagai asetnya.
“Hah … baiklah, Anak-anak. Kamar ini milik kalian,” Anastasia juga sudah berani menanggapi perkataan Hanif dan Syarif dengan lembut tentunya. Ia tak perlu terlalu tegang dengan mereka. Tangannya tidak gemetaran lagi seperti dulu. Gadis itu bahkan bisa membalas tatapan ngeri mereka dengan senyuman yang cantik. Ia sudah memutuskan untuk berdamai dengan semua orang di sini dan langkah pertama yang diambilnya adalah mangambil hati kedua bocah itu.
“Hmp!” Hanif berpaling dan membanting pintu kamarnya keras-keras. Maimunah pun memperingatkan mereka untuk bersikap lebih sopan dan berhati-hati. Mereka tidak akan punya ‘gerbang markas’ lagi kalau sampai pintu kamar itu rusak.
“Anak-anak itu tumbuh dengan cepat. Apa mereka sedang dalam fase memberontak? Padahal mereka sangat penurut dulu,” keluh Maimunah heran. Wanita tua itu mengelus-elus dada yang seakan tersakiti dan merasa gagal. Ia pun berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, “Duh, Gusti. Mohon hidayah-Mu, Gusti.”
Setelah menyelesaikan beberapa urusan lagi, Maimunah pamit untuk pulang. Sekarang, Ia berani menitipkan Hanif dan Syarif kepada Anastasia yang cukup membaik dari traumanya. Ia amat berharap kedua cucunya itu dapat tumbuh dengan sopan santun dan adab yang baik.
“Mereka baru main apa, sih? Tumben banget nggak berisik,” gumam Anastasia begitu masuk ke dalam rumah. Ia sudah membuat rencana untuk memperlancar proses perdamaiannya dengan Hanif dan Syarif. Rencana itu ia sebut makanan manis.
Yah, makanan manis. Anak-anak pasti suka yang manis-manis. Jika mereka dimanjakan dengan gula-gula yang enak dan lembut, mereka akan bersikap lebih lunak kan? Siapa yang tahu kalau tidak coba? Anastasia hanya berharap dapat segera akrab dengan mereka.
Putri semata wayang Kapten Peter de Raiziger itu sudah berjuang keras untuk belajar membuat makanan-makanan manis bersama Maimunah selama beberapa hari ini. Selain memasak, ia juga belajar banyak kemampuan rumah tangga lainnya seperti menjahit dan menyulam. Kegiatan-kegiatan ringan seperti itu membuatnya merasa lebih rileks dan nyaman sebagai wanita. Di masa lalu, ia tumbuh sebagai gadis yang tomboi dan lebih suka seni pedang seperti kakak laki-lakinya.
Bahan-bahan di dapur masih lengkap. Ada banyak sisa dari bahan yang Maimunah bawa kemarin. Anastasia bisa memanfaatkan bahan-bahan itu dengan baik. Masalahnya hanya ada pada air. Sumur untuk mengambilnya ada di bawah, sedangkan Joglo Barat terdapat di sebuah puncak bukit. Anastasia harus berjuang keras mengangkat seember air dari sana.
“Yah … apa mau dikata? Aku bakal cepat terbiasa sama ini,” batin Anastasia enteng. Ia pun menenteng sebuah ember di tangannya. Kepalanya sudah dibalut kain sesuai yang Maimunah ajarkan. Itu menjadi kewajiban baginya sebagai salah satu wanita di Kediaman Tumenggung Tasik. Untuk yang satu ini, ia masih merasa keberatan dan gerah.
Komplek Kediaman Tumenggung Tasik sangat asri. Pohon-pohon tumbuh subur di sana-sini. Pada dasarnya, Wilayah Tasik masihlah kota baru yang diberikan oleh Kesultanan Bintara dan Pangeran Cakrabuana untuk masyarakat Melayu yang mengungsi dari Malaka. Mereka diberi kebebasan untuk mengembangkan wilayah ini dengan Amirdiningrat Malaka sebagai pemimpinnya.
Amir adalah putra Sultan Bintara dari generasi sebelumnya. Ia mendapat perlindungan dari seorang putri berpengaruh di Bintara agar tidak terseret dengan perebutan suksesi. Ayahnya meninggal dalam ekspedisi. Malaka di belakang namanya adalah gelar yang disematkan padanya karena pernah ikut dalam ekspedisi Armada Laut Jawa dalam misi menyelamatkan jazirah dan Kesultanan Malaka.
“Dia ke tempatku malam ini … kan? Apakah dia …?” gumam Anastasia begitu mengingat Amirdiningrat yang telah menjadi suaminya. Hatinya pun jadi berdebar dan gugup karena membayangkan hal itu. Asya segera membuang pikiran yang terbesit dibenaknya jauh-jauh. Ia menegaskan posisinya sebagai istri kedua atau tawanan lebih tepatnya untuk mengubur pikiran itu.
Amir tidak pernah menyentuh Anastasia sama sekali walaupun mereka sudah menikah di awal bulan ini. Entah apa alasan panglima muda itu. Bisa jadi ia tidak tertarik pada Asya atau memang ia peka dengan kondisinya yang kurang stabil kala itu.
“Putra Lojie itu sungguh keterlaluan. Ada yang bilang, setelah kabur dari jeruji besi, ia membakar lumbung padi penduduk,” ucap seorang prajurit yang tengah beristirahat di pelataran aula. Ia adalah wira yang mengawal utusan Ki Fadil. Mulutnya bak ember bocor yang lupa diri. Ia seperti wanita yang suka bergosip, “Siapa namanya, ya? Kalau nggak salah Sekelut. Pokoknya ada kelut-kelutnya gitu.”
“Hais, itu memang keterlaluan. Padahal dia sudah diberi amnesti dan dibebaskan karena adiknya menjadi istri Panglima Muda Tasik. Kasihan adiknya. Entah bagaimana nasibnya nanti,” balas seorang prajurit yang lain. Mereka terus menggunjing Schultz tanpa malu. Padahal itu bukan perbuatan yang baik sebagai pribadi muslim—Benarlah ketika para ulama berkata, "Keindahan Islam itu tertutupi oleh orang-orang Islam sendiri.”
Anastasia tertegun mendengar itu. Untung saja kepalanya dibalut kain sampai menutupi setengah wajah. Jadi, tak ada seorang pun yang mengenalinya. Ia mungkin akan menjadi olok-olokan jika orang-orang itu tahu bahwa dirinyalah adik Putra Lojie yang mereka panggil Sekelut itu.
Asya pun bergegas menimba airnya. Gadis itu tak ingin mendengar lebih banyak lagi olok-olokan tentang kakaknya. Ia berjalan sambil menunduk dan mencenkeram erat ember airnya yang penuh. Untuk menghibur lara hatinya yang kembali sakit, ia mengalihkan perhatiannya pada gula-gula yang hendak ia buat.
Begitu selesai membuatnya, Anastasia menaruh gula-gula itu di atas meja makan dan meninggalkannya begitu saja. Jika ia menyerahkannya langsung seperti kemarin, Hanif dan Syarif pasti menolaknya. Padahal mereka mau menerimanya kalau yang memberikan gula-gula itu Maimunah. Mereka bahkan menyukainya tanpa tahu bahwa itu buatan Asya.
Harum gula-gula semerbak tercium sampai ke markas Hanif dan Syarif. Bau sedapnya menantang gengsi kedua bocah yang tak mau menerima kehadiran Anastasia itu. Asya sendiri pura-pura membaca buku di kursi teras. Sesekali ia mengamati gula-gulanya yang ditaruh sedekat mungkin dengan kamar Hanif dan Syarif.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Pintu kamar Hanif dan Syarif perlahan terbuka. Suaranya nyaris tak ada saking pelannya. Asya buru-buru menutup wajahnya dengan buku begitu kepala salah seorang bocah itu muncul dari balik pintu. Saat suara langkah kaki terdengar, Asya kembali menurunkan bukunya dan mengamati bocah yang ternyata adalah Syarif itu.
Tingkahnya yang berjalan mengendap-endap membuat Anastasia yang masih berusia 18 tahun gemas sampai nyaris tertawa. Bocah itu langsung mencomot dua buah gula-gula di meja dan berlari secepat mungkin begitu mendapatkannya. Asya tersenyum puas melihatnya.
Di sore hari, Hanif dan Syarif pulang tanpa menyentuh sisa gula-gulanya. Walau begitu, Anastasia sudah merasa cukup dengan hasilnya. Dengan begini, satu langkah menuju perdamaian dengan mereka terlewati. Entah berapa langkah lagi yang harus dilaluinya.
Ketika hari mulai temaram dan mentari pun kembali keperaduannya, Anastasia menyalakan lilin-lilin di halaman dan teras rumahnya. Malam ini mungkin menjadi malam pertamanya sebagai seorang istri. Namun, daripada mencemaskan nasibnya malam ini, Asya malah lebih sibuk mengkhatirkan kakaknya, Schultz.
Jika kondisi yang dialami kakak bodohnya itu benar, Anastasia yang mungkin akan mendapat batunya. Entah nasib buruk apa yang menantinya malam ini, ia hanya bisa bersabar dan menahan derita itu seorang diri. Asya hanya berharap ia bisa melalui malam ini dengan baik.
“Kamu merawat tempat ini dengan baik,” suara seorang pria yang Anastasia kenal terdengar. Ia pun menoleh ke halaman dan mendapati Amir yang tengah berjalan ke arahnya. Gadis itu spontan menunduk dan mencium punggung tangan suaminya begitu sampai di teras. Dengan suara yang bergetar dan terkesan gugup, ia mempersilakan Amirdiningrat untuk masuk.
Kecanggungan menyeruak bak angin musim dingin yang meniup pegunungan. Tak ada percakapan lebih lanjut sejak pertanyaan Amir di halaman tadi. Anastasia hanya dapat mengeluarkan makan malam yang disiapkannya sambil tertunduk. Rasanya akan gawat kalau sampai ia salah berbicara walau satu patah kata saja.
“Kakakmu dilaporkan menghilang beberapa hari lalu,” akhirnya Amir yang berinisiatif memulai percakapan setelah menyesaikan makan malamnya. Nadanya dingin dan mencekam di telinga Asya. Aura yang mengerikan seolah terpancar darinya, “Tak hanya itu, beberapa saksi melihatnya muncul di tempat-tempat terjadinya kecelakaan. Terakhir kali terlihat, ia masuk ke Lembah Kedok. Itu adalah tempat yang diduga sebagai sarang Penyamun Kumuning.”
“Apa kalian sedang memburunya?” pertanyaan Anastasia terdengar bergetar. Ia memaksakan diri untuk bertanya, padahal hati kecilnya takut untuk mendengar jawaban Amir. Jawabannya sudah jelas sekalipun tidak ditanyakan.
“Tentu, kami harus memeriksa dan membawanya ke pengadilan. Jika ia terbukti bersalah, ia akan dihukum sesuai undang-undang yang berlaku,” jelas Amir kompleks. Ia bisa melihat rona khawatir di wajah istri mudanya. Apalagi saat Asya menanyakan pertanyaan selanjutnya, “Bagaimana dengan ayah?”
“Kami sudah memeriksa Kapten Peter. Beliau terbukti tidak terlibat dengan kasus kakakmu. Kami tidak akan menghukum pihak yang tidak bersalah,” jawaban Amir membuat Asya sedikit lega. Setidaknya ia tahu bahwa Ki Fadil telah menepati janjinya untuk menjamin keselamatan Kapten Peter de Raiziger. Itu sudah cukup baginya walaupun ia masih menolak untuk percaya dengan berita tentang kakaknya.
Anastasia terlalu larut dalam pikirannya. Ia sampai tak sadar bahwa suaminya telah bangkit dari meja makan dan berjalan mendekatinya. Gadis itu pun terkesiap saat tiba-tiba kepalanya diusap. Dilihatnya Amir menunjukkan wajah ramahnya yang jauh dari bayangan Asya. Pria itu pun berkata dengan lemah dan lembut, “Tenang saja. Jaminan atas keluargamu akan tetap berlaku walaupun kakakmu telah terlibat dalam kasus-kasus itu.”
Asya tertegun. Hatinya seakan terguncang oleh sesuatu. Entah mengapa yang pertama terbesit dalam benaknya adalah masa lalu paling buruk semasa hidupnya. Masa kecil yang mencekam sebagai seorang gadis, diskriminasi, dan perlakuan semena-mena terhadap wanita, serta peristiwa yang membuat ibunya tewas begitu saja. Ingatan-ingatan itu bermunculan seolah menusuk matanya. Betapa menyakitkannya sampai hati ini seakan ditikam seribu pedang.
“Aku juga mau minta maaf,” lanjut Amir membuat Anastasia terbebas dari mimpi buruknya seketika, "Harusnya mulai malam ini kita bisa saling mengenal lebih jauh dan mengakrabkan diri. Namun, aku tidak bisa melakukannya karena harus bersiap untuk ekspedisi peninjauan besok. Lagi pula, kamu kelihatan belum mau membuka diri sepenuhnya. Aku tidak akan memaksamu.”
Amir pun pergi untuk sembahyang setelah itu. Ditinggalkannya Asya agar dapat menenangkan diri dan pikiran. Ia pun menetap di surau sembari menunggu Isya. Semoga saja gadis itu jadi lebih baikan saat ia kembali nanti.
Waktu berlalu dan malam pun jadilah larut. Angin bertiup semilir nan dingin, tapi tak kuasa memadamkan lampu-lampu yang tergantung dengan naungan di teras Joglo Barat. Saat sampai di sana, Amir sungguh tak mengira bahwa istrinya akan benar-benar berubah secepat itu.
Anastasia duduk sendirian di ruang tamu hanya bertemankan lilin yang menari-nari bersama angin. Matanya dingin menatap Amir. Ia pun berdiri dan menyambut suaminya sesopan mungkin. Dengan hati yang teguh, ia pun memohon, “Tuan, tolong izinkan saya menyertai Anda. Saya yakin ekspedisi itu berkaitan dengan kakak saya. Biarkan saya sendiri yang mengonfirmasinya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
EuRo
sepertinya Anastasia mulai tersentuh hatinya oleh Amir..
2021-12-13
0
Sanjani
semangat kk
2021-12-03
0