“Kenapa kamu di sini!?” seru Hanif saat pertama kali melihat Anastasia di Joglo Barat. Wajah imut bocah itu berubah galak karena melihat ibu tiri yang tak mau diakuinya. Syarif yang datang bersamanya pun tak jauh berbeda. Mereka berdua amat kesal dengan kehadiran Anastasia di sana.
“Ini markas kami! Kenapa kamu di sini?” Syarif mengulang pertanyaan kakaknya. Tangan mungilnya memegang sebatang ranting yang hendak ia gunakan untuk bermain pedang-pedangan bersama Hanif. Ia mungkin akan sembarangan memakai ranting itu untuk memukul Anastasia seandainya Maimunah tidak muncul dari dalam joglo.
“Anak-anak, ada apa ini?” tanya Maimunah heran. Ia keluar dengan seperangkat alat sulam dan beberapa lembar kain yang tergulung rapi di sebuah nampan. Hari itu, ia hendak mulai mengajari Anastasia cara menyulam.
“Dia! Opah, kenapa dia di sini?” tanya Hanif mengadu, “Ini markas kami. Kami sudah di sini lebih dulu.”
Anastasia kebingungan. Masalah itu terjadi sehari setelah ia ditempatkan di Joglo Barat. Pikirannya masih kacau dan tidak stabil. Ia masih belum terbiasa di sini. Apalagi dengan kedua anak suaminya yang terus membentak seperti itu. Gadis itu pun tertunduk pasrah menghadapi nasibnya.
“Rumah ini sudah diberikan padanya. Dia yang bertanggung jawab di sini,” jelas Maimunah objektif. Ia pun duduk di samping Anastasia yang tengah menyembunyikan ketakutannya. Dengan lembut, wanita tua itu menegur cucu-cucunya, “Anak-anak, kalau kalian mau bermain di sini, minta izin dulu pada Umma Asya.”
“Nggak mau! Dia bukan umma!” tolak Syarif tegas. Ia langsung memaling wajah. Hanif pun melanjutkan perkataan adiknya, “Opah, tempat ini markas kami. Buat apa minta izin padanya?”
Maimunah membuang napas dan menggelengkan kepalanya heran. Anak-anak itu terlalu polos dan egois, apalagi kasih sayang mereka terhadap Aminah sangat besar. Saking besarnya, mereka sampai ikut menggantikan sang umma dalam mengungkapkan kecemburuannya. Bagaimana anak-anak sekecil ini bisa memiliki peringai yang begitu keras, sedangkan mereka selalu dididik dengan lemah lembut oleh orang-orang di sekitarnya?
“Nyo, Nyonya, biarkan saja mereka bermain. Saya tak keberatan sama sekali,” Anastasia memberanikan diri untuk berkata. Toh, rumah ini memang benar bukan miliknya. Gadis itu hanya seorang sandera. Mungkin ia akan diusir dari sini suatu saat nanti.
“Baiklah, karena Umma Asya sudah mengizinkan, kalian bisa bermain di sini,” ucap Maimunah lega.
“Dia bukan umma!” Syarif bersikeras menolak dikte opahnya. Kedua tangannya mencengkeram ranting yang ia bawa sampai bengkok. Karena terlampau emosi, ranting itu pun patah seketika. Suara patahannya sampai membuat Anastasia yang merasa tegang terkesiap. Syarif langsung membanting kedua patahan ranting itu guna menunjukkan kalau ia benar-benar marah.
“Hah …, kalau bukan umma, kalian mau memanggilnya apa?” tanya Maimunah kemudian. Ia sudah mulai lelah dengan permainan kedua bocah itu. Mereka amat sulit dihadapi dalam situasi seperti ini. Kalau saja Aminah ada di sini, mungkin masalah dengan keduanya bisa lebih mudah teratasi. Namun, masa-masa awal ini masih kurang tepat untuk mempertemukan mereka. Anastasia masih dalam masa pemulihan mental, sedangkan Aminah sedang hamil muda.
“Umma hanya umma,” Syarif malah memberi jawaban yang tak jelas. Kedua tangan bocah itu disatukan ke dada. Ia terus menekankan penolakannya atas kehadiran Anastasia. Sedikit pun ia tak sudi menerima gadis itu sebagai ibunya.
“Nyo …,” Anastasia yang hendak memanggil Maimunah terhenti saat sebatang ranting menimpuk pergelangan tangannya. Segaris luka tergores di sana. Darah segar merembes perlahan. Anastasia reflek menutupinya dengan tangan kanan. Luka itu sama sekali tidak sakit, tapi sakit itu menyayat di hatinya.
“Hanif! Kenapa kamu melakukan itu?” bentak Maimunah dengan raut wajahnya yang galak. Rasa sayangnya kepada kedua bocah itu membuat ia bertindak spontan. Sebagai orang yang beriman, ia tidak bisa membiarkan cucu-cucunya tumbuh menjadi anak yang nakal dan zalim.
Hanif merinding begitu mendengar bentakan opahnya. Ia sangat terkejut dan terguncang. Namun, wajah kesalnya tak luntur seketika karena teguran keras itu. Kebenciannya pada Anastasia membuat ia tak gentar begitu saja. Dengan menahan air mata yang nyaris pecah, ia langsung berlari meninggalkan area Joglo Barat diikuti adiknya.
“Mereka masih kecil dan belum mengerti. Jangan ambil hati perbuatan mereka sekarang,” ujar Maimunah kemudian. Ia batal mengajarkan teknik menyulam pada Anastasia. Wanita tua itu harus mengejar kedua cucunya segera setelah mengobati pergelangan gadis yang menjadi istri baru junjungannya.
Anastasia tertegun. Tangannya mulai gemetar begitu Maimunah pergi. Sejak tadi, ia sudah berusaha menahannya. Ia pun mengigit bibir. Air matanya menetes pedih. Bayang-bayang kesengsaraan menyapa dirinya. Dalam kesendirian, ia menangis tersedu-sedu sambil menekan berat hati dalam kalbu. Ditutupinya sepasang mata yang berlinang air mata itu dengan kedua telapak tangannya. Ini demi keselamatan keluarganya. Begitulah masa-masa awal pernikahan Anastasia yang berlinang duka.
...***...
“Ami …,” panggil Amirdiningrat dengan nada yang lembut dan merayu. Wajahnya pucat dan terlihat gugup. Sejak semalam, ia terus berusaha untuk berdamai dengan istri pertamanya. Namun, sang kekasih masih belum mau membuka hati kembali untuknya.
“Hm,” hanya dehaman lirih itulah yang keluar dari bibir Aminah setiap kali Amir memanggilnya. Ia bahkan masih enggan memandang wajah suaminya kalau tidak di hadapan anak-anak. Sekali menatap, tilikannya amat dingin bagai fajar di puncak gunung. Jelas sekali ia sedang merajuk.
“Dinda, kamu masih marah?” tanya Amir berbasa-basi. Ia menggenggam lengan Aminah agar memperhatikannya baik-baik. Aminah malah mendengus kesal karena suaminya malah menanyakan hal itu. Padahal, ia sudah sangat totalitas menunjukkan kemarahannya.
“Hm,” jawab Aminah singkat, lantas menarik lengannya dari genggaman Amir. Ia pun mengambil tumpukan pakaian bersih yang baru dientas kemarin dari jemuran. Tanpa berkata satu patah pun, ia mulai melipat pakaian-pakaian yang ada di sana.
“Ami, mau dibantu?” kali ini, Amir berusaha membujuk istrinya dengan bekerja sama. Ia berlutut di samping Aminah dan menunjukkan ketulusan terbaiknya untuk meminta maaf. Aminah yang hampir menyelesaikan lipatan pertamanya pun terdiam. Ia menatap Amir dengan dingin. Tanpa berkata-kata, ia menyempurnakan lipatan pertamanya kemudian menyerahkan sekeranjang sisanya pada sang suami.
“Din, Dinda …?” walau merasa keberatan dalam hati, Amir tetap menerimanya. Kini Aminah sudah berdiri dan berkacak pinggang di hadapannya. Raut wajahnya masih terlihat marah. Untuk pertama kalinya sejak merajuk, sang istri berkata lebih dari satu dehaman, “Selasaiin secapatnya, terus beresin kamar ini sama kamarnya Hanif Syarif! Dinda buat sarapan dulu buat anak-anak.”
Angin musim semi seakan berhembus di hati Amir. Itu adalah tanda bahwa Aminah sudah mulai memaafkannya. Ia harus segera melipat sekeranjang pakaian ini, kemudian merapikan kamar—untung kamarnya sudah bersih—Hanif dan Syarif. Panglima itu sangat menanti sarapan perdamaian dengan sang istri pagi ini.
“Sayang, gimana makannya? Enak kan?” tanya Aminah kepada kedua putranya. Senyum di bibirnya mengembang cantik. Lauk yang ia buat adalah soto istimewa dengan perkedel sebagai lauknya. Hanif dan Syarif dengan kompak menjawab, “Enak, Umma!”
“Abah, sarapannya enak kan?” kali ini, Aminah menatap suaminya dengan senyum yang terlihat memaksakan. Karena di depan anak-anak, ia tak bisa menggunakan panggilan kanda-dinda atau nama secara langsung. Dengan seringai seram menguji, sang ratu rumah menanti jawaban suaminya yang tiba-tiba terkesiap.
“E, enak kok,” jawab Amir bohong. Lidahnya kebas lantaran terlalu banyak menelan makanan asin. Lauk dan sotonya dibuatkan terpisah oleh sang istri. Awalnya ia sangat senang. Namun, setelah mencicipi sesuap sarapannya, ia seratus persen yakin kalau Aminah tengah mengerjainya. Makanan istri kesayangannya itu tak akan seasin ini. Apalagi Hanif dan Syarif yang selalu jujur perihal makanan sudah mengonfirmasi bahwa sarapan mereka enak. Senyum di paras cantik sang ratu rumah mempertegas segalanya.
Apa mau dikata? Amir tidak boleh menjawab sejujurnya. Ia hanya berharap agar Aminah sudi memaafkannya setelah melakukan hal jahat ini.
“Bagus, Abah makan yang lahap, ya,” Aminah menambahkan sisa sarapan yang ia buatkan khusus ke mangkuk suaminya. Amir tertegun dan tak mampu merespon apa-apa. Ia pasrah menerima kelakuan jahil sang istri. Apalagi saat Aminah dengan paksa menyapinya.
Dari luar, mereka terlahat sangat romantis. Namun, saat itu Amir tengah berjuang menahan rasa asin dari makanan yang disuapkan istri. Melihat abahnya disuapi, Syarif berhambur ke kursi sang umma dan minta disuapi juga.
Aminah dengan senang hati melayani. Pagi itu, ia menikmati waktu dengan ceria sambil melupakan kecemburuan yang sejak kemarin berkobar di dadanya. Melihat Amir yang amat tunduk sampai sekarang, ia merasa lega dan amat bersyukur dengan nikmat yang Allah berikan.
“Asin! Umma, punya abah nggak enak,” seru Hanif sambil menutup mulutnya. Ia menatap tajam pada Amir, mengira bahwa sang abah memiliki selerea yang buruk. Reaksinya itu membuat Aminah dan Syarif tertawa bersama, sementara Amir lagi-lagi hanya bisa pasrah.
...***...
Saat Aminah tengah melebur rasa cemburunya, saat Amir sedang berjuang mempertahankan rumah tangganya, selagi Anastasia mengobati luka dalam hatinya, sebuah keributan terjadi di lapas tempat tawanan perang ditahan. Schultz, kakak Anastasia yang disiapkan untuk menjadi penerjemah atas pengorbanan Anastasia dilaporkan menghilang. Ki Fadil pun segera mengirim utusan untuk memberi tahu kabar ini kepada Amirdiningrat, Tumenggung Tasik sekaligus Jenderal Muda Angkatan Darat Aliansi Tanah Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Instagram @AlanaNourah
haloo Thor salam kenal dari Alana yg datang bawa boom like 🌺🌸🌺🌸 saling dukung yukkk 💗💗💗
2021-12-02
0
Sanjani
aku dukung karya kk
2021-11-28
0
Mamie Sekar (AsK)
lanjut kak
semangat
2021-11-27
0