Menjadi Tawanan

Suara-suara menggelegar terdengar beruntun bak guntur di siang bolong. Bola-bola logam yang memerah nan panas keluar dari moncong-moncong meriam. Kapal-kapal utusan Lojie yang hendak merapat pun terlunta-lunta di bibir bandar.

"Lindungi kapal utama!" seru Peter de Raiziger, kapten kapal brigantin yang ditugaskan untuk mengawal ekspedisi ke Kalapa. Situasi ini sungguh tidak terduga. Padahal mereka sudah melihat Pelabuhan Banten lepas dari kuasa Pakuan. Hanya karena Muara Cisadane masih selamat, mereka jadi lengah begini. Mereka kira, Negeri Pakuan masih berdaulat atasnya.

"Kapten, kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi," lapor seorang awak kapal.

Peter menggertakkan gigi-giginya geram. Ia menoleh ke samping, memastikan kapal utama masih bertahan. Kondisinya sungguh mengkhawatirkan. Hanya tersisa satu layar yang berdiri. Badannya pun sudah hancur di sana-sini.

"Cepat, Duarte! Cepat! Kau harus melaporkan situasi ini kepada Lojie di Malaka," batin Peter gelisah. Kapalnya harus bertahan sedikit lagi. Brigantin utama itu sudah hampir menjauh dari dermaga. Ia akan aman selama tak ada barikade yang menghadangnya.

Suara-suara meriam kembali terdengar. Peluru-pulurunya dengan telak mengenai kapal pengawal yang tersisa. Belum juga meriam-meriam itu berhenti menyerbu, anak-anak panah berdatangan mencari mangsa. Para kru yang tidak beruntung pun matilah seketika.

"Ayah!" panggilan seorang gadis muda membuyarkan konsentrasi Peter. Pria berkumis dan berjanggut tebal itu terkejut melihat anak gadisnya muncul di geladak kapal. Saking khawatirnya, ia pun berteriak lantang, "Anastasia! Kenapa kamu keluar kabin?"

"Aku akan mati kalau tetap di dalam. Kita harus segera menyelamatkan diri sekarang," balas Anastasia dengan berseru guna melawan hiruk-pikuk pertempuran, "Kapal ini sudah berlubang. Kita akan tenggelam kalau tidak bergegas. Ayah, cepat naik ke sekoci."

"Asya," seorang pemuda yang mengikuti Anastasia dari belakang berseru. Rona kegelisahan jelas terukir di wajahnya. Ia amat kaget saat tiba-tiba adiknya berlari ke tengah geladak brigantin, "Harusnya kamu yang segera naik sekoci. Kami akan bertahan sedikit lebih lama agar yang lainnya selamat."

Anastasia menatap kakaknya tajam. Di matan gadis itu seakan ada bara yang mengandung kemarahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik kerah pemuda itu sampai jatuh ke geladak. Suara benturannya terdengar amat keras sampai mengagetkan kru kapal di sekitarnya.

Brukk!!!

"Apa yang ...!?" pemuda itu terdiam begitu melihat sepucuk anak panah yang tertancap di depannya. Anastasia bernapas lega. Matanya menyapu sekitar dengan awas. Tidak ada sedikit pun kesempatan untuk menang. Kalau tidak kabur sekarang, mereka benar-benar akan binasa.

"Schultz, bawa adikmu ke sekoci sekarang juga!" seru Peter pada pemuda itu. Brigantinnya akan tenggelam sebentar lagi. Awak-awak kapalnya pun sudah banyak yang mati. Pria paruh baya itu tidak peduli walaupun harus mati asalkan kedua anaknya selamat.

"Ayah juga! Ayah juga harus segera ke sekoci!" ajak Anastasia yang sejak tadi mengkhawatirkan Peter. Padahal selama ini ia sudah bekerja keras untuk bisa tetap bersama keluarganya. Sejak ibunya meninggal, ia tak punya siapa-siapa lagi selain kakak dan ayahnya. Hidupnya di Barat amat sengsara, apalagi sebagai wanita. Kalau saja ayahnya tidak membelot ke sekte yang baru, ia pasti lebih menderita sekarang.

"Schultz, jangan buang-buang waktu! Cepat bawa Asya ke sekoci!" bentak Peter keras. Schultz segera menarik lengan kecil Anastasia. Gadis yang baru menginjak usia dewasa itu hendak melawan, tapi kekuatan sang kakak lebih besar darinya.

Sekoci di kapal hanya tersisa satu. Schultz pun memaksa Anastasia untuk naik ke sana dan segera menurunkannya ke air. Jika beruntung, mereka bisa bertemu dengan Laskar Pakuan di Muara Cisadane nanti. Mereka harus mendayung kabur secepat mungkin.

Peluru-peluru meriam menghujani kapal. Brigantin ini tak akan dapat dipertahankan lagi. Kapal utama sudah menjauh, tugas brigantin yang dipimpin Peter pun telah selesai. Peter memerintahkan awaknya yang tersisa untuk melompat ke laut. Ini akan jadi pertaruhan baginya nanti. Kalau beruntung, ia masih bisa hidup walaupun sebagai tawanan. Ditatapnya sekoci terakhir yang terjun dari kapal. Sekoci itu telah menjauh dari jarak tembak meriam. Mereka akan aman. Dengan seulas senyum kasih sayang di wajahnya, Peter melompat ke laut bersama awak kapalnya yang tersisa.

Anastasia berseru-seru memanggil sang ayah. Ia mendesak Schultz untuk mendekat ke tempat Peter terjun. Namun, kakaknya itu menolak. Kalau mereka mendekat, justru mereka akan ikut binasa. Schultz sangat tidak sudi membayangkan hal itu.

"Cepat! Ayah ada di sana," pinta Anastasia rewel. Schultz yang memegang dayung jadi kesulitan mengendalikan sekocinya. Ia sebal dengan tingkah adiknya yang lebih mementingkan perasaan daripada rasionalitas. Padahal bisa saja ia menyelamatkan sang ayah bersama Laskar Pakuan.

"Itu tidak mungkin! Kita akan tertangkap kalau ke sana," jelas Schultz dengan kesal. Adik perempuannya itu sangat sulit diatur. Anastasia masih saja cerewet minta ayahnya segera diselamatkan. Schultz hampir tidak tahan mendengarnya.

"Aku akan melompat dan menyelamatkan ayah kalau kamu tidak mau," ancam Anastasia membuat kakaknya semakin geram. Pemuda itu pun membentak, "Bagaimana kamu akan melakukannya? Kemampuan ayah bahkan lebih baik darimu. Kamu hanya akan menjadi beban yang menyusahkan ayah di kamp musuh!"

Seakan baru sadar dengan ketidakberdayaannya, Anastasia pun terdiam. Ia memandang kapal brigantin yang baru beberapa menit lalu masih Ia tumpangi, kini sudah tinggal bangkainya saja. Bagian-bagiannya tengelam dan tersebar di mana-mana. Awaknya yang berusaha lari dengan berenang pun sudah ditangkap oleh Aliansi Tanah Jawa. Tidak ada yang tersisa dari mereka.

Anastasia terluka oleh kata-kata Schultz. Namun, ia masih bisa paham kalau dirinya hanya akan menjadi beban di sana. Syukurlah sekocinya sudah menjauh dari bibir dermaga. Mereka akan aman setelah sampai ke Muara Cisadane.

"Sial!" umpat Schultz dongkol. Anastasia sampai kaget olehnya. Kakaknya itu pun berkata dengan lirih, "Asya, bersiaplah! Kita akan menembus barikade itu."

Anastasia segera melirik ke depan. Kapal-kapal besar Armada Laut Jawa ada di sana. Rasanya sangat bodoh untuk nekat menembusnya. Tidak mungkin sekoci kecil ini dapat menembus barikade kapal-kapal raksasa itu.

Sepucuk anak panah meluncur dan tepat mengenai ujung sekoci Anastasia. Schultz menggeram marah. Kedua tangannya yang memegang dayung merinding hebat. Matanya menyapu langit penuh amarah. Saat anak panah peringatan berikutnya diluncurkan, Schultz terjatuh karena mengira bahwa anak panah itu akan menembus kepalanya.

Anastasia menopang tubuh Schutlz yang gemetaran tak berdaya. Habislah sudah nasib sepasang kakak beradik itu. Dua jung kecil diturunkan dari kapal Armada Laut Jawa. Masing-masing ditumpangi dua orang bersenjatakan tombak dan pedang.

Kejadian itu berlalu dengan cepat. Anastasia dan Schultz ditaruh pada sel tahanan yang terpisah. Mereka telah menjadi tawanan perang sekarang. Nasib mereka bagai telur di ujung tanduk. Amat rentan terseret pada kematian. Hanya Tuhan yang dapat merubah takdir mereka sekarang.

Anastasia berteriak protes berkali-kali. Ia ditahan di sebuah ruang yang lebih mirip kamar daripada jeruji besi. Firasatnya jadi buruk karena itu. Mungkin ia akan dijadikan sebagai seorang gundik nanti. Diberantakkannya semua perkakas yang ada di ruang itu. Keributannya sampai membuat empu ruangan itu heran. Biarlah semua orang mengiranya sudah gila. Setelah kelelahan, barulah ia menjadi tenang.

“Dia satu-satunya wanita yang selamat?” suara-suara asing mengusik Anastasia yang tengah mendekap di pojok ruangan. Ia merinding takut. Apa usahanya untuk terlihat gila sia-sia saja? Bagaimana kondisi ayahnya? Bagaimana kondisi kakaknya? Pikiran-pikiran itu terngiang di benaknya.

“Benar, dia adalah putri Kapten Peter,” suara seorang wanita yang biasanya mengantarkan makan pada Anastasia menjawab, “Sungguh gadis yang malang. Sepertinya ia sangat syok. Kondisinya tidak membaik sejak kemarin.”

Anastasia tersenyum getir. Ia sudah dianggap gila rupanya. Usahanya membuahkan hasil. Tidak akan ada pria normal yang mau menerima gadis berpenyakit mental seperti dirinya. Ia tinggal menyusun rencana untuk kabur setelah ini.

“Kapten Peter ingin menemuinya sebelum dieksekusi. Ki Fadil mengizinkan ia bertemu dengan gadis itu untuk terakhir kalinya.”

Anastasia tertegun. Barusan orang itu bilang bahwa ayahnya akan dieksekusi? Ia bisa bertemu dengan sang ayah untuk terakhir kalinya? Apakah tidak ada pilihan lain? Apakah tidak ada cara untuk menyelamatkan ayahnya? Bagaimana dengan Schultz? Apakah ia juga akan segera dibunuh? Pikiran-pikiran itu meliputi hati Anastasia yang semakin gusar. Ia benar-benar syok sekarang.

“Nak, kamu bisa bertemu dengan ayahmu sekarang,” pintu kamar dibuka dan wanita yang selama ini mengantarkan keperluan Anastasia masuk ke dalam. Ia memandang gadis yang ketakutan itu penuh iba. Tak ada apa pun yang dapat ia lakukan untuk menghiburnya. Seakan dapat membaca pikiran Asya, wanita itu hanya dapat memberi saran, “Barangkali mereka memberi amnesti pada ayahmu. Cobalah membujuk dengan tulus agar mereka menerima permintaanmu.”

Sedikit harapan menyapa Anastasia. Mungkin cara itu bisa ia lakukan walaupun harus mengorbankan dirinya. Namun, ia tak akan bisa mengelak dari takdir setelah itu. Air matanya pun tumpah seketika. Senyum getir masih terulas di bibirnya. Dipandangnya langit-langit kamar yang putih. Dalam waktu yang singkat, ia meneguhkan hati untuk menyelamatkan ayah dan kakaknya.

Di tempat sang ayah ditahan, Asya tak dapat berhenti menangis. Ayahnya tidak mengatakan hal lain selain permintaan maaf dan ucapan kasih sayang yang tulus. Begitu keluar dari ruangan itu, Anastasia langsung memohon pada orang yang mengawalnya untuk dipertemukan dengan pemimpin tertinggi Aliansi Tanah Jawa.

“Kumohon. Ampuni ayah dan kakakku. Biar aku saja yang menggantikan mereka,” seru Anastasia dengan rona putus asa.

Ki Fadil yang merupakan panglima tertinggi kebetulan ada di sana. Pria paruh baya itu mau mendengarkan permintaan Asya dan mempertimbangkannya. Diskusi digelar. Peter bahkan diajak untuk ikut serta dalam diskusi itu. Entah bagaimana acara yang menegangkan itu berlalu. Anastasia hanya mendapat kabar bahwa proposal amnestinya diterima dan ia akan dinikahkan dengan seorang panglima muda dari Aliansi Tanah Jawa.

...***...

Angin berhembus halus mengajak rambut pirang Asya menari-nari. Ia duduk di teras joglo yang kini menjadi kediamannya. Tangannya lincah merajut dan menyulam kain. Sejak Maimunah mengajrinya, ia jadi senang menghabiskan waktu dengan hal itu.

Beberapa hari telah berlalu. Anastasia tidak yakin, mungkinkah ia mulai terbiasa dengan kehidupan ini? Tidak! Ini hanyalah awal dari lembaran hidupnya. Ia tak pernah tahu bagaimana masa depannya akan terukir. Tak terasa, ia sudah dapat menjenguk ayahnya untuk pertama kali bulan depan. Senyumnya yang kini mengembang adalah ekspresi kebahagiaan. Kesehariannya berjalan baik. Yah, benar-benar baik kecuali saat kedua putra tirinya datang berkunjung dan mengusik. Gangguan kedua bocah itu yang masih menjadi ujian terberat baginya sekarang. Entah bagaimana ia harus menanggapi kenakalan mereka.

Terpopuler

Comments

Lady Meilina (Ig:lady_meilina)

Lady Meilina (Ig:lady_meilina)

lanjut kk keren ceritanya

2021-12-20

0

EuRo

EuRo

Kasihan Anastasia...

2021-12-10

0

SyaSyi

SyaSyi

terus semangat

2021-11-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!