Berbagi Cinta : A Cup Of Revenge
Seorang gadis berusia 29 tahun seperti Thalia Wijaya dan gadis lain yang akan menikah pada umumnya, akan terlihat bahagia menuju hari pernikahannya. Namun hal itu tidak berlaku bagi Thalia. Pernikahannya bukan pernikahan atas dasar cinta. Ia dijodohkan orangtuanya. Dan Thalia juga tahu, ikatan yang akan terjadi hari ini, berdasarkan hutang orangtuanya pada salah satu partner bisnis mereka. Hutang orangtuanya akan dianggap lunas, jika Thalia mau menikahi putra pemberi hutang tersebut.
Keluarga Wijaya dulu berjaya. Bisnis dan aset mereka ada dimana-mana dan berkembang pesat. Keluarga Wijaya bisa memiliki hutang yang bertumpuk karena pada suatu hari, Ayah Thalia telah ditipu. Hal itu menyebabkan orangtuanya harus menjual aset-aset mereka dan mengalami kebangkrutan dalam bisnis.
Thalia tidak marah pada orangtuanya. Tepatnya, ia tidak bisa marah. Ia mati rasa. Setidaknya ia bersyukur masih bisa menikah dengan seseorang di kala keluarganya sedang berada di roda terbawah dalam siklus kehidupan mereka. Ia juga tidak bisa menuntut atau tidak bisa menolak pernikahan ini. Entah ia suka atau tidak dengan mempelai pria. Thalia akan menikah. Harus.
“Thalia,” panggil Ibunda Thalia yang menghampiri Thalia yang sedang mengamati keramaian dari teras kediaman keluarga Wijaya itu. Wajah cantik Ibunda Thalia terlihat sedikit pucat, pupil matanya ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Beliau tidak menatap Thalia, malah seolah menghindari bertemu mata dengan Thalia.
“Ada apa Bunda?” tanya Thalia datar. Hal apa yang bisa membuat Ibundanya terlihat panik dan tidak tenang itu, Thalia ingin tahu. Namun tidak terlalu peduli dengan apa yang akan ia dengar.
“Nak, Bunda harap kamu tidak kecewa,” Ibunda Thalia memulai. Beliau terlihat sangat berpikir sekali untuk mencari kata-kata yang tepat agar bisa disampaikan pada Thalia dengan baik. Gadis itu penasaran. Tubuhnya sedikit miring menghadap Ibundanya, tanda tertarik dengan topik yang diangkat Ibundanya. Kira-kira, hal apa yang bisa membuat Thalia kecewa?
“Kenapa Bunda?” tanya Thalia. Tangan kurus gadis itu menggenggam tangan kurus Ibundanya. Pupil mata Ibundanya mulai menatap Thalia. Ada tekad yang bulat di sana. Beliau harus menyampaikan kabar ini pada Thalia.
“Nak, calon mempelai priamu, meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan kemari,” Ibundanya mengambil jeda sebelum melanjutkan. “Bunda harap, kamu tidak sedih.”
Apakah ini kabar yang harus disedihkan oleh Thalia? Hati kecilnya menjawab : tidak. Kecewa? Tidak juga. Namun kabar ini juga bukan kabar yang menggembirakan. Thalia terlihat biasa saja. Pupil matanya sempat membesar karena terkejut. Malaikat maut ternyata tidak peduli kalau Thalia butuh menikah hari ini. Tepatnya, keluarganya membutuhkannya.
“Terus hutang Ayah bagaimana?” itulah kalimat pertama yang diucapkan Thalia setelah kabar itu. Hatinya benar-benar mati rasa.
“Nak, kamu tidak kecewa?” tanya Ibunda Thalia heran.
“Kecewa sih, tapi mau gimana lagi kan, Bunda?” ucap Thalia berbohong. “Terus hutang Ayah bagaimana?” ulang Thalia.
Respon Thalia sungguh diluar dugaan. Thalia anak yang cukup peka. Tidak seharusnya Thalia lebih mementingkan hutang keluarganya daripada pernikahannya sendiri. Seharusnya Thalia sedih, karena ia akan batal menikah. Ada apa dengan Thalia? Ibundanya khawatir. Namun pertanyaan itu belum terjawab karena Ayah Thalia menginterupsi percakapan mereka.
“Hutang Ayah dianggap belum lunas. Baru saja Ayah ditelpon kerabatnya,” keluh Ayah Thalia. Alis Ayah Thalia bertaut ketika menyampaikan kabar itu. Kepanikan sedikit menghiasi wajah tampannya. “Ayo ke ruang keluarga, kita bahas ini bersama-sama,” lanjut Ayah Thalia.
Thalia menurut. Ia melangkahkan kaki masuk ke rumah untuk menuju ruang keluarga dimana kakak-kakaknya telah menunggu. Ibundanya memilih duduk di samping Thalia dan menggenggam tangannya. Ibundanya berpikir, Thalia membutuhkan perhatian kecil itu dari Ibundanya untuk bersikap tetap tenang. Sebenarnya, siapa yang sedang menenangkan siapa?
Thalia mempunyai satu kakak laki-laki, dan satu kakak perempuan. Kakak perempuannya sudah menikah, dijodohkan juga seperti Thalia. Namun kakak perempuannya terlihat hidup bahagia karena ia mencintai suaminya.
Sedangkan kakak laki-laki Thalia belum menikah. Ia menjadi pewaris bisnis keluarga Wijaya, otomatis juga mewarisi hutang-hutang mereka. Hal itulah yang menjadikan kakak laki-lakinya takut menikah.
“Mari kita bahas satu per satu. Kita mulai dari hutang dulu atau pernikahan Thalia dulu?” tawar Ayah Thalia. Matanya menatap Thalia, meminta persetujuan.
“Hutang dulu saja,” jawab Thalia. Ayahnya terlihat puas dengan jawaban Thalia. Thalia merasakan telapak tangannya semakin digenggam erat Ibundanya. Sepertinya Ibundanya tidak setuju karena Thalia memilih mengabaikan perasaannya sendiri demi keluarga. Namun Ibundanya tidak mengatakan apapun.
Kakak laki-laki Thalia pun memimpin rapat keluarga Wijaya. Ia menjelaskan berapa jumlah kerugian keluarga Wijaya dari gagalnya pernikahan Thalia. Jumlah itupun ditambahkan dengan biaya menggelar pernikahan Thalia yang tidak mungkin dibatalkan lagi. Tamu undangan yang sudah datang, juga tidak mungkin diminta pulang.
“Sebenarnya, aku ada calon mempelai untuk Thalia. Partner bisnis kita juga. Dia pernah bilang sedang mencari istri waktu kami selesai meeting. Tapi Thalia mau nggak?” tawar kakak laki-laki Thalia. Seluruh anggota keluarganya pun menatap Thalia. Ah, Thalia tidak suka jika ditatap ramai-ramai seperti itu. Ia sedikit nervous. Ada beban yang harus ia tanggung dari keputusannya. Ia berpikir, kalau pernikahannya akan ditunda atau dibatalkan. Ia tidak mengira kakak laki-lakinya akan menawarkan mempelai pria untuk menghindari menambah kerugian keluarga Wijaya.
Ibunda Thalia terlihat tidak setuju. Tatapan matanya terlihat khawatir. Genggaman tangan beliau juga semakin erat. Thalia ingin mengeluh. Ia ingin menunda pernikahannya, paling tidak ia ingin mengenal calon suaminya terlebih dahulu. Namun di sisi lain, Thalia juga tidak ingin menambah beban keluarga Wijaya.
“Nggak apa-apa Mas, aku mau,” ucap Thalia dengan suara sedikit bergetar. Ayah Thalia dan kakak laki-lakinya terlihat puas dengan jawaban Thalia. Sementara kakak perempuannya dan Ibunda Thalia terlihat khawatir namun lega juga. Ekspresi mereka terlihat rumit. Mau menentang, Thalia sudah memutuskan. Mau menerima, Thalia juga tidak menolak.
Setelah rapat kecil itu, kakak laki-laki Thalia dan Ayahnya terlihat sibuk menelepon partner bisnis yang akan menjadi mempelai pria Thalia. Pembicaraan mereka tidak menyangkut hutang keluarga Wijaya. Topik pembicaraan mereka hanya sebatas pernikahan Thalia. Setidaknya, keluarga Wijaya tidak mengalami kerugian akibat kegagalan menggelar pesta pernikahan Thalia. Dan wajah keluarga Wijaya tidak malu karena pernikahan akan tetap digelar meskipun dengan mempelai pria yang berbeda.
Thalia bangkit dari duduknya. Ia memilih menuju kamarnya dan meninggalkan rapat kecil yang telah usai itu. Thalia merasa dijual keluarganya, ia ingin menangis. Namun ia juga tidak kuasa menolak. Pernikahan ini, juga tidak lepas dari keputusannya untuk menerima tawaran kakak laki-lakinya. Ia tidak menyalahkan keluarganya, namun lebih menyalahkan takdir buruk yang sedang menimpanya.
Thalia pun menghapus air mata yang mengalir di saat ia sendirian di kamarnya itu. Ada tekad yang bulat di matanya. Thalia harus kuat demi keluarganya dan dirinya sendiri. Ia belum kenal calon mempelai prianya, tapi dari percakapan telepon yang Thalia dengar, setidaknya Thalia tahu bahwa calon suaminya bernama Arka. Thalia berharap, meskipun mereka tidak saling mencintai, setidaknya mereka bisa bekerjasama. Semoga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Reni giany
mampir thor
2021-12-12
1
Alwani Yunita
ini namanya lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya
2021-12-11
0
Paulina H. Alamsyah Asir
Maaf thor baru mampir.. dan maaf juga, nyicil bacanya ya.. lupyu😍😍😍
Semangat Thor.
Tetap sombong walau belum famous.
Mendadak Famous.
salam dari Sebuah hati ya.. ya...😂
2021-12-10
0