NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta : A Cup Of Revenge

Bab 1 The Wedding

Seorang gadis berusia 29 tahun seperti Thalia Wijaya dan gadis lain yang akan menikah pada umumnya, akan terlihat bahagia menuju hari pernikahannya. Namun hal itu tidak berlaku bagi Thalia. Pernikahannya bukan pernikahan atas dasar cinta. Ia dijodohkan orangtuanya. Dan Thalia juga tahu, ikatan yang akan terjadi hari ini, berdasarkan hutang orangtuanya pada salah satu partner bisnis mereka. Hutang orangtuanya akan dianggap lunas, jika Thalia mau menikahi putra pemberi hutang tersebut.

Keluarga Wijaya dulu berjaya. Bisnis dan aset mereka ada dimana-mana dan berkembang pesat. Keluarga Wijaya bisa memiliki hutang yang bertumpuk karena pada suatu hari, Ayah Thalia telah ditipu. Hal itu menyebabkan orangtuanya harus menjual aset-aset mereka dan mengalami kebangkrutan dalam bisnis.

Thalia tidak marah pada orangtuanya. Tepatnya, ia tidak bisa marah. Ia mati rasa. Setidaknya ia bersyukur masih bisa menikah dengan seseorang di kala keluarganya sedang berada di roda terbawah dalam siklus kehidupan mereka. Ia juga tidak bisa menuntut atau tidak bisa menolak pernikahan ini. Entah ia suka atau tidak dengan mempelai pria. Thalia akan menikah. Harus.

“Thalia,” panggil Ibunda Thalia yang menghampiri Thalia yang sedang mengamati keramaian dari teras kediaman keluarga Wijaya itu. Wajah cantik Ibunda Thalia terlihat sedikit pucat, pupil matanya ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Beliau tidak menatap Thalia, malah seolah menghindari bertemu mata dengan Thalia.

“Ada apa Bunda?” tanya Thalia datar. Hal apa yang bisa membuat Ibundanya terlihat panik dan tidak tenang itu, Thalia ingin tahu. Namun tidak terlalu peduli dengan apa yang akan ia dengar.

“Nak, Bunda harap kamu tidak kecewa,” Ibunda Thalia memulai. Beliau terlihat sangat berpikir sekali untuk mencari kata-kata yang tepat agar bisa disampaikan pada Thalia dengan baik. Gadis itu penasaran. Tubuhnya sedikit miring menghadap Ibundanya, tanda tertarik dengan topik yang diangkat Ibundanya. Kira-kira, hal apa yang bisa membuat Thalia kecewa?

“Kenapa Bunda?” tanya Thalia. Tangan kurus gadis itu menggenggam tangan kurus Ibundanya. Pupil mata Ibundanya mulai menatap Thalia. Ada tekad yang bulat di sana. Beliau harus menyampaikan kabar ini pada Thalia.

“Nak, calon mempelai priamu, meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan kemari,” Ibundanya mengambil jeda sebelum melanjutkan. “Bunda harap, kamu tidak sedih.”

Apakah ini kabar yang harus disedihkan oleh Thalia? Hati kecilnya menjawab : tidak. Kecewa? Tidak juga. Namun kabar ini juga bukan kabar yang menggembirakan. Thalia terlihat biasa saja. Pupil matanya sempat membesar karena terkejut. Malaikat maut ternyata tidak peduli kalau Thalia butuh menikah hari ini. Tepatnya, keluarganya membutuhkannya.

“Terus hutang Ayah bagaimana?” itulah kalimat pertama yang diucapkan Thalia setelah kabar itu. Hatinya benar-benar mati rasa.

“Nak, kamu tidak kecewa?” tanya Ibunda Thalia heran.

“Kecewa sih, tapi mau gimana lagi kan, Bunda?” ucap Thalia berbohong. “Terus hutang Ayah bagaimana?” ulang Thalia.

Respon Thalia sungguh diluar dugaan. Thalia anak yang cukup peka. Tidak seharusnya Thalia lebih mementingkan hutang keluarganya daripada pernikahannya sendiri. Seharusnya Thalia sedih, karena ia akan batal menikah. Ada apa dengan Thalia? Ibundanya khawatir. Namun pertanyaan itu belum terjawab karena Ayah Thalia menginterupsi percakapan mereka.

“Hutang Ayah dianggap belum lunas. Baru saja Ayah ditelpon kerabatnya,” keluh Ayah Thalia. Alis Ayah Thalia bertaut ketika menyampaikan kabar itu. Kepanikan sedikit menghiasi wajah tampannya. “Ayo ke ruang keluarga, kita bahas ini bersama-sama,” lanjut Ayah Thalia.

Thalia menurut. Ia melangkahkan kaki masuk ke rumah untuk menuju ruang keluarga dimana kakak-kakaknya telah menunggu. Ibundanya memilih duduk di samping Thalia dan menggenggam tangannya. Ibundanya berpikir, Thalia membutuhkan perhatian kecil itu dari Ibundanya untuk bersikap tetap tenang. Sebenarnya, siapa yang sedang menenangkan siapa?

Thalia mempunyai satu kakak laki-laki, dan satu kakak perempuan. Kakak perempuannya sudah menikah, dijodohkan juga seperti Thalia. Namun kakak perempuannya terlihat hidup bahagia karena ia mencintai suaminya.

Sedangkan kakak laki-laki Thalia belum menikah. Ia menjadi pewaris bisnis keluarga Wijaya, otomatis juga mewarisi hutang-hutang mereka. Hal itulah yang menjadikan kakak laki-lakinya takut menikah.

“Mari kita bahas satu per satu. Kita mulai dari hutang dulu atau pernikahan Thalia dulu?” tawar Ayah Thalia. Matanya menatap Thalia, meminta persetujuan.

“Hutang dulu saja,” jawab Thalia. Ayahnya terlihat puas dengan jawaban Thalia. Thalia merasakan telapak tangannya semakin digenggam erat Ibundanya. Sepertinya Ibundanya tidak setuju karena Thalia memilih mengabaikan perasaannya sendiri demi keluarga. Namun Ibundanya tidak mengatakan apapun.

Kakak laki-laki Thalia pun memimpin rapat keluarga Wijaya. Ia menjelaskan berapa jumlah kerugian keluarga Wijaya dari gagalnya pernikahan Thalia. Jumlah itupun ditambahkan dengan biaya menggelar pernikahan Thalia yang tidak mungkin dibatalkan lagi. Tamu undangan yang sudah datang, juga tidak mungkin diminta pulang.

“Sebenarnya, aku ada calon mempelai untuk Thalia. Partner bisnis kita juga. Dia pernah bilang sedang mencari istri waktu kami selesai meeting. Tapi Thalia mau nggak?” tawar kakak laki-laki Thalia. Seluruh anggota keluarganya pun menatap Thalia. Ah, Thalia tidak suka jika ditatap ramai-ramai seperti itu. Ia sedikit nervous. Ada beban yang harus ia tanggung dari keputusannya. Ia berpikir, kalau pernikahannya akan ditunda atau dibatalkan. Ia tidak mengira kakak laki-lakinya akan menawarkan mempelai pria untuk menghindari menambah kerugian keluarga Wijaya.

Ibunda Thalia terlihat tidak setuju. Tatapan matanya terlihat khawatir. Genggaman tangan beliau juga semakin erat. Thalia ingin mengeluh. Ia ingin menunda pernikahannya, paling tidak ia ingin mengenal calon suaminya terlebih dahulu. Namun di sisi lain, Thalia juga tidak ingin menambah beban keluarga Wijaya.

“Nggak apa-apa Mas, aku mau,” ucap Thalia dengan suara sedikit bergetar. Ayah Thalia dan kakak laki-lakinya terlihat puas dengan jawaban Thalia. Sementara kakak perempuannya dan Ibunda Thalia terlihat khawatir namun lega juga. Ekspresi mereka terlihat rumit. Mau menentang, Thalia sudah memutuskan. Mau menerima, Thalia juga tidak menolak.

Setelah rapat kecil itu, kakak laki-laki Thalia dan Ayahnya terlihat sibuk menelepon partner bisnis yang akan menjadi mempelai pria Thalia. Pembicaraan mereka tidak menyangkut hutang keluarga Wijaya. Topik pembicaraan mereka hanya sebatas pernikahan Thalia. Setidaknya, keluarga Wijaya tidak mengalami kerugian akibat kegagalan menggelar pesta pernikahan Thalia. Dan wajah keluarga Wijaya tidak malu karena pernikahan akan tetap digelar meskipun dengan mempelai pria yang berbeda.

Thalia bangkit dari duduknya. Ia memilih menuju kamarnya dan meninggalkan rapat kecil yang telah usai itu. Thalia merasa dijual keluarganya, ia ingin menangis. Namun ia juga tidak kuasa menolak. Pernikahan ini, juga tidak lepas dari keputusannya untuk menerima tawaran kakak laki-lakinya. Ia tidak menyalahkan keluarganya, namun lebih menyalahkan takdir buruk yang sedang menimpanya.

Thalia pun menghapus air mata yang mengalir di saat ia sendirian di kamarnya itu. Ada tekad yang bulat di matanya. Thalia harus kuat demi keluarganya dan dirinya sendiri. Ia belum kenal calon mempelai prianya, tapi dari percakapan telepon yang Thalia dengar, setidaknya Thalia tahu bahwa calon suaminya bernama Arka. Thalia berharap, meskipun mereka tidak saling mencintai, setidaknya mereka bisa bekerjasama. Semoga.

Bab 2 The Second Wife

Akad pun terlaksana. Thalia sudah sah menjadi istri Arka, CEO perusahaan Bimantara Corp. Thalia melirik Arka diam-diam saat mereka berdiri berdampingan di pelaminan. Dan Thalia seperti mendapatkan jackpot. Sudah tampan, gagah, berwibawa, kaya pula. Dan kalau senyum, urgh... Thalia merasakan hatinya berdesir. Tak sengaja, senyum juga ikut mengembang di bibir Thalia. What will be, will be.

Thalia dan Arka menyalami semua tamu mereka. Semuanya mengucapkan selamat dan turut berdukacita cita untuk calon mempelai pria yang meninggal dalam kecelakaan. Kehebohan sempat terjadi, namun semuanya kembali tenang saat Arka datang dan mengucapkan janji suci. Thalia yang semula sedih, cukup terhibur dengan ucapan para tamu undangan.

Selesai acara, Thalia termenung sendirian di kamarnya. Inilah malam pengantinnya! Thalia menunggu dengan berdebar-debar. Apa yang akan dilakukannya bersama Arka? Kita semua tahu jawabannya.

Thalia mengipas-ngipaskan tangannya ke wajahnya yang memanas. Ia baru melihat Arka hari ini. Kenal saja belum, dan mereka harus menikah. Seharian ini Arka tersenyum ramah dan beberapa kali mengobrol dengan tamu undangan mereka, tapi Thalia dan Arka tidak sempat hanya mengobrol berdua untuk sekedar saling mengenal.

Thalia mengembuskan nafas keras. Ia belum siap untuk menghadapi malam pengantin. Thalia pun bangkit dari duduknya dan menuju almari di kamarnya. Ia memilih daster nyaman yang sudah agak bulukan untuk dipakai sebagai ganti baju pengantinnya. Setidaknya ia ingin mengenal Arka terlebih dahulu. Thalia memutuskan kalau malam pengantin Thalia dan Arka akan mereka lalui dengan mengobrol saja. Tidak lebih.

Selesai berganti, Thalia kembali menunggu. Malam sudah semakin larut dan Arka tak kunjung datang mengetuk pintu kamarnya. Rasa lelah karena pesta seharian pun mulai mengakumulasi di tubuh Thalia. Ia merasa mulai mengantuk.

Tok. Tok. Tok.

Akhirnya pintu kamar Thalia diketuk. Thalia tidak segera bangkit, ia tidak yakin sudah mendengar suara ketukan pintu. Ia khawatir ia bermimpi.

“Thalia, ini Arka. Kamu sudah tidur?” tanya suara bariton itu dari luar kamar Thalia. Thalia segera bangkit. Ia suka mendengar Arka menyebut namanya dengan suaranya yang khas. Ah, Thalia jatuh cinta pada pendengaran pertama. Ya, hanya mendengar namanya disebut saja hatinya sudah berdebar.

Ketika membuka pintu, Arka berdiri dibaliknya dengan senyum ramah namun alisnya berkerut. Kedua tangannya membawa berkas dan laptop. Thalia cemberut. Sepertinya Arka tidak akan melalui malam ini dengan mengobrol santai atau apapun, namun dengan bekerja.

“Daster?” gumam Arka.

“Apa Mas?” tanya Thalia meminta pengulangan. Thalia tidak mendengar apa yang Arka ucapkan. Arka mendengus. Apa yang ia harapkan dari gadis yang baru saja menikah seperti Thalia? Seharusnya ia tidak berharap banyak.

“Nggak, nggak ada,” balas Arka menggeleng. “Boleh masuk?”

Thalia tidak menjawab, namun ia mempersilakan Arka masuk kamarnya dengan menggeser tubuhnya dari pintu. Arka bingung karena Thalia terlihat kecewa. Namun pemuda itu pura-pura tidak tahu. Senyum kecil mengembang di wajahnya.

“Mau aku buatkan kopi?” tawar Thalia saat Arka meletakkan berkas dan laptopnya di meja di dalam kamar Thalia. Gadis itu menguap kecil. Arka tersenyum, siapa yang paling butuh kopi saat ini? Batinnya.

“Sudah ngantuk? Ada hal penting yang harus kita diskusikan. Aku juga membutuhkan bantuanmu. Tapi pekerjaanku juga harus segera selesai, aku tidak mengira akan menikah hari ini, jadi aku tidak siap. Maaf,” terang Arka. Thalia memandang pemuda itu dengan tatapan bertanya-tanya. Kepalanya sedikit miring ketika berpikir. Mereka tidak hanya perlu berdiskusi, mereka perlu saling mengenal. Namun di luar dugaan, Thalia sudah mengantuk.

“Tentang apa Mas?” tanya Thalia. Meskipun ia sudah mengantuk, ia penasaran juga dengan apa yang ingin disampaikan Arka.

Arka bangkit dari duduknya di depan meja dan berjalan menuju ranjang Thalia, pemuda itu duduk di tepi ranjang dan memberikan isyarat pada Thalia untuk duduk di sampingnya. Senyum mengembang di bibir Thalia, gadis itu menurut dan duduk di tempat yang sudah disediakan Arka. Jantungnya berdegup kencang. Ah, cinta.

“Thalia, aku mau minta maaf sekali lagi. Karena semuanya sangat mendadak, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Tapi setidaknya kamu harus tahu,” Arka mengambil jeda dan menatap mata Thalia lamat-lamat. Ia menemukan ketulusan di mata Thalia. Hal ini membuat Arka sedikit berat mengatakannya.

“Ini... Bukan pernikahan pertamaku,” ucap Arka. Tangannya menggenggam tangan Thalia lembut. Pemuda itu mengamati segala respon kecil yang tampak di wajah Thalia. Dari pupil matanya yang membesar karena terkejut, dan air mata yang mengambang di pelupuk matanya.

“Maksudnya, Mas sudah punya istri?” tanya Thalia dengan suara bergetar.

“Ya. Namanya Elva,” terang Arka. Jemarinya menjalin dengan jemari Thalia. Thalia tidak menepisnya. Gadis itu berusaha terlihat tenang dan senyaman mungkin berada di dekat Arka, seperti tadi sebelum Thalia mengetahui kenyataannya.

“Lalu, kenapa Mas mencari istri lagi?” tanya Thalia. Suaranya terdengar lebih mantap. Namun air mata mengalir dari pelupuk matanya.

“Ups, sayang... Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku juga tidak mengira pernikahan keduaku akan berjalan seperti ini. Aku kira kakakmu sudah tau kalau aku pria beristri,” terang Arka. Ia membantu Thalia menghapus air matanya. “Aku belum memberitahu keluargamu, tadi kami hanya membahas masalah bisnis. Tapi aku ingin kamu lah orang pertama yang harus tau karena ini melibatkanmu.”

“Apa istrimu tidak sakit hati, Mas?” tanya Thalia lugas.

“Elva selingkuh,” jawab Arka singkat. Thalia terkejut. Tangisnya terhenti. Thalia mengira ia salah dengar. Namun dari ekspresi Arka yang menegang ketika mengucapkannya, Thalia menjadi yakin ia tidak salah. Senyum kaku mengembang di bibir Arka. Arka merasa ia menjadi laki-laki payah karena ia menyalahkan dirinya sendiri atas perselingkuhan istrinya.

“Lalu, apa hubungannya denganku, Mas?” tanya Thalia bingung. Arka pun menjelaskan pada Thalia bahwa Arka ingin membuat Elva kembali padanya dengan membuatnya cemburu dengan pernikahan keduanya. Untuk itu Thalia perlu berperan sebagai istri kedua dengan baik.

“Nah, ada kah syarat dan kondisi yang perlu aku lakukan sebagai balasan untukmu? Kita belum saling mengenal, pasti ada syarat yang ingin kamu ajukan kan? Katakanlah,” pinta Arka. Thalia terlihat berpikir sejenak. Hal pertama yang ada di pikirannya adalah hutang keluarganya. Thalia pun menjelaskan bagaimana Thalia bisa menggelar pernikahan hari ini, dengan tujuan apa, dan kondisi bagaimana. Arka mendengarkan dengan khidmat.

Mereka berdua pun mulai berdiskusi untuk mencari solusi bagaimana bisa membantu masing-masing dari mereka keluar dari situasi pelik yang sedang mereka hadapi. Kantuk Thalia sudah menghilang dan berganti dengan wajahnya yang terlihat antusias karena Arka mengijinkannya mengajukan perceraian apabila Elva sudah kembali ke dalam pelukan Arka. Dan Arka berjanji akan melunasi sisa hutang orangtua Thalia yang jumlahnya tidak sedikit itu.

“Baik, sepertinya kita sudah sepakat. Perlu kah kita membuat kontrak?” tawar Arka bercanda.

“Mas saja yang buat. Aku mau tidur duluan,” ucap Thalia mengakhiri pembicaraan mereka.

Bab 3 Masa Lalu Arka

Jam satu dini hari akhirnya Arka dapat menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah membuat kontrak untuk disepakati Arka dan Thalia. Tinggal menunggu tanda tangan Thalia saja. Pemuda itu menguap lebar. Setelah ini, ia ingin tidur dengan nyaman.

Arka pun bangkit dari duduknya dan menuju ranjang dimana Thalia sudah berada di alam mimpi dari tadi. Arka tersenyum memandang Thalia yang terlelap. Tak sengaja, batinnya membandingkan Thalia dan Elva.

Pada malam pengantinnya dengan Elva dulu, Elva menyambutnya dengan mengenakan lingerie. Pria mana yang gairahnya tidak bangkit memandang istri sahnya memakai pakaian sexy seperti itu. Dan lagi, lingerie itu terasa pas untuk melekat di tubuh Elva dan untuk mendukung wajahnya yang cantik. Malam pengantin mereka pun dilalui dengan panas.

Berbeda sekali dengan Thalia yang menyambutnya dengan daster lusuh. Dan anehnya, Thalia kelihatan kecewa Arka tidak melakukan apa-apa pada Thalia. Arka sendiri bingung dengan Thalia. Sebenarnya, Thalia berharap apa dengan menyambutnya seperti itu. Thalia terlihat sekali belum berpengalaman dengan pria. Andaikan Elva bisa sedikit mengajari Thalia, tentu Arka akan senang sekali.

Arka menepis bayangan Thalia yang memakai baju sexy dari angannya. Kenyataan tidak semanis itu bung. Kembali, Arka memandang Thalia dan daster lusuhnya. Hasratnya tidak bangkit juga. Baginya, Thalia lebih menawarkan kenyamanan daripada gairah. Dan Arka tidak akan mengajari Thalia bagaimana memuaskan hasratnya karena Arka masih ingin Elva kembali ke pelukannya.

Elva tidak meninggalkannya, belum. Tapi nyaris saja akan begitu jika Arka tidak menyadari perubahan sikap Elva. Arka pun mengenang hubungannya dengan Elva dulu. Meskipun gadis secantik Thalia tidur di sebelahnya, pikiran Arka melalang buana entah kemana.

Elvara Devita adalah primadona kampus Arka dulu. Untuk sekedar menyapa Elva, dibutuhkan usaha yang lebih agar Elva menyadari keberadaanmu. Sebagian besar pemuda di kampus Arka dan Elva, dapat dipastikan minimal pernah mendengar nama Elva. Begitu pula Arka. Namun bagi Arka, awalnya Elva bukanlah keberadaan yang penting karena Arka sibuk membangun rintisan bisnisnya.

Meskipun mereka sering kebetulan berada di dalam bus jurusan yang sama, karena rumah Arka dan Elva satu arah. Mereka tidak pernah saling menyapa. Sampai pada suatu hari, ketika Arka mengagumi kecantikan wajah Elva dan menikmatinya dalam diam di dalam bus yang penuh sesak, wajah Elva kelihatan memerah dan tidak nyaman. Penasaran, Arka pun bergeser dari tempatnya berdiri dan mendekati Elva. Ternyata tubuh Elva sedang digerayangi oleh salah seorang penumpang bus yang kebetulan ada di belakang Elva. Spontan, Arka menangkap tangan penumpang itu yang ternyata ingin mengambil dompet Elva.

Penumpang yang lain pun heboh dengan adegan itu dan kondektur bus pun memutuskan untuk menurunkan penumpang nakal itu di tengah jalan. Seluruh penumpang pun tersenyum pada Arka karena ia lah hero pada hari itu. Tak terkecuali Elva. Gadis itu tersenyum sangat manis pada Arka karena telah menyelamatkan tubuhnya sekaligus dompetnya. Elva pun berterimakasih pada Arka. Yang disambut dengan canggung oleh Arka karena awalnya Arka hanya mengira kalau Elva sedang sakit.

Sejak hari itu, Elva menganggap Arka lebih dari sekedar mahasiswa yang berada di kampus yang sama. Frekuensi Arka dan Elva untuk mengobrol berdua di dalam bus pun menjadi lebih sering. Topik pembicaraan mereka beragam. Dari obrolan mereka lah Arka tahu, bahwa Elva belum punya pacar. Meskipun Elva terkenal karena kecantikannya, tidak ada pemuda yang benar-benar berani mendekatinya. Karena konon, cantik itu mahal bung. Tentu saja kantong mahasiswa biasa tidak akan bisa memenuhi kebutuhan Elva.

Stigma itu tidak berlaku untuk Arka. Ia bisa mengajak Elva bersenang-senang dari hasil bisnis yang ia rintis. Dan ternyata, menjalin hubungan dengan Elva tidak lah mahal seperti stigma yang selama ini terpatri dalam benak pemuda-pemuda di kampus Arka dan Elva. Elva benar-benar tahu bagaimana cara menghargai uang yang dihasilkan dari kerja keras. Karena ternyata, Elva lahir dan tumbuh besar dari keluarga yang bersahaja.

Setelah lulus, Arka dan Elva masih sering menjalin komunikasi. Mereka tidak berpacaran, hanya menjadi teman dekat. Sampai pada suatu hari, Arka memutuskan untuk menikahi Elva dan Elva setuju.

Pernikahan mereka pun berlangsung sederhana. Meskipun Arka sudah punya dana untuk menggelar pesta yang mewah, namun Elva menolak. Gadis itu benar-benar menghargai kerja keras Arka. Maka dana yang sudah dialokasikan Arka untuk menggelar pesta yang mewah berubah menjadi untuk membeli sebuah rumah. Dan Arka menjadi lebih puas karena bisa menikmati hasil kerja kerasnya.

Di dalam perjalanan pernikahan mereka, bisnis Arka terus meroket. Elva terus mendampinginya dalam suka maupun duka. Sayangnya, mereka belum dikaruniai buah hati. Tetap berpikir positif, mereka menganggap bulan madu mereka hanya sedang diperpanjang oleh Yang Maha Kuasa, dan menjalani semuanya dengan bahagia.

Arka mendengus. Raut wajahnya menegang. Ia kembali teringat saat pertama kalinya Elva meminta tidur di ruangan terpisah. Dan Arka menyadari, mungkin Arka terlalu sibuk dengan pertumbuhan bisnisnya dan jadi mengabaikan Elva sehingga Elva merajuk.

Arka pun mulai mengurangi kepadatan jadwalnya dan mulai lebih banyak meluangkan waktu dengan Elva sebagai istrinya, namun Elva lebih sering tidak berada di rumah. Ketika Arka bertanya, Elva menjawab kalau orangtuanya sedang sakit sehingga Elva sering mengunjungi orangtuanya dan Arka awalnya percaya.

Sampai pada suatu hari, Arka selesai meeting dengan salah satu kliennya di sebuah restoran, dan Arka melihat Elva bersama pria lain di sana. Arka marah, namun tidak ia perlihatkan. Arka juga tidak langsung menghampiri Elva karena ia masih bersama dengan kliennya. Arka lebih memilih untuk memendamnya dan bertekad membalas perlakuan Elva padanya.

Dan di sini lah Arka. Tidur berdampingan bersama Thalia sebagai istri keduanya. Arka pun memiringkan tubuhnya menghadap Thalia. Diperhatikannya wajah ayu Thalia. Thalia tak kalah cantik dengan Elva. Hanya saja kecantikan Thalia lebih sederhana dan terasa tulus.

Di dalam hatinya, Arka meminta maaf pada Thalia karena melibatkannya dalam persoalan rumah tangganya. Arka berjanji akan membuat kebersamaannya bersama Thalia terasa menyenangkan sehingga gadis itu tidak perlu berwajah masam karena memikirkan hal yang tidak perlu ia risaukan seperti hutang keluarganya. Kakak laki-laki Thalia sudah memikirkan solusinya bersama Arka, sehingga Thalia tinggal menikmati kehidupan barunya saja.

SRET

Tubuh Thalia bergeser dan tak sengaja mendekap tubuh Arka. Arka pun dapat merasakan lekuk tubuh Thalia yang menempel di tubuhnya. Mau tidak mau, hasratnya bangkit. Tubuh Arka pun menegang. Ia ingin menggeser tubuh Thalia menjauh, namun takut gadis itu terbangun. Arka pun bersusah payah menelan ludahnya. Sepertinya, Arka tidak akan bisa tidur dengan nyaman malam ini. Ia pun mulai menghitung domba.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!