Because I Am Second Lead
**Solo, Tahun 2006
Aku adalah remaja putri yang telah lulus SMP. Beberapa hari lagi, sebelum liburan kenaikan kelas usai, aku akan menjadi seorang siswa SMA. Aku sudah mendaftar di salah satu SMA Negeri yang bagus di Kota Solo.
Ketika Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan tiga mata pelajaran yang diujikan yaitu Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yang kala itu memiliki standar nilai kelulusan minimal 4,25 aku menjadi salah satu lulusan terbaik di SMP ku yang juga merupakan sebuah SMP Negeri di pinggaran Kota Bengawan. Nilai UAN-ku mendapat rata-rata 9,4. Karena itu, aku mendaftar di salah satu SMA Negeri favorit di Solo. Waktu itu, belum ada sistem zonasi untuk memilih sekolah. Jadi semua siswa bisa memilih sendiri mau sekolah di mana saja, mau memilih ke SMA Negeri ataupun Swasta juga tidak masalah karena semua siswa bisa memilih sendiri mau sekolah di mana.
Berbekal hasil nilai UAN yang cukup tinggi, aku mendaftar di SMA Negeri yang bagus itu. SMA Negeri itu, selalu memiliki angka kelulusan 100% setiap tahunnya, SMA ini juga menjadi SMA pertama di Solo yang membuka jenjang akselerasi, jadi masa sekolah SMA yang seharusnya 3 tahun bisa ditempuh hanya dalam waktu 2 tahun. Beberapa finalis Putra dan Putri Solo juga berasal dari SMA ini. Jadi bisa dibayangkan bagaimana favoritnya SMA yang ingin kumasuki ini.
Eis, tapi aku tidak mendaftar di Program Akselerasi loh. Aku hanya mendaftar untuk Program Reguler saja. Walaupun nilai UAN dan UASku cukup bagus, tapi aku tidak mampu jika harus menempuh program Akselerasi yang hanya 2 tahun. Aku sadar diri, otakku gak akan mampu untuk menyelesaikannya. Jadi, lebih baik aku mendaftar program reguler, jadi masa SMA dapat berjalan normal. Aku bisa belajar rajin dan menikmati masa SMA yang kata orang adalah masa paling indah.
Sebenarnya kalau boleh bercerita, aku ini gadis yang memiliki keberuntungan. Bagaimana tidak? Aku hanya berasal dari keluarga yang sederhana, hanya Bapakku yang bekerja sebagai montir di bengkel. Sementara Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Aku memiliki dua orang Kakak perempuan yang keduanya sudah menikah di usia muda, mereka menikah di usia 18 tahun. Bagi orang Jawa waktu itu, memang seorang anak gadis apabila sudah berani membawa seorang pria ke rumah, maka harus segera menikah supaya tidak menjadi bahan pembicaraan tetangga. Nah, kedua Kakak perempuanku tidak memiliki masa pacaran yang lama, karena keduanya langsung menikah. Jarak usiaku dengan Kakak keduaku 11 tahun, cukup jauh untuk ukuran Kakak dan Adik. Karena jarak yang jauh itulah, aku seperti anak tunggal di rumah karena kedua kakakku sudah hidup bersama suami dan anak-anaknya. Keberuntungan yang kumiliki tentunya di bidang akademik, dari SD aku selalu mendapat peringkat kelas. Di SMPku rangkingku selalu masuk 3 besar. Lalu aku juga mendapat biaya pendidikan dari salah satu yayasan yang memberikan bantuan dana untuk uang SPP setiap bulannya. Karena nilaiku bagus, setiap akhir catur wulan aku mengumpulkan foto copy nilai raport, dan aku mendapat tambahan bantuan biaya pembelian buku pelajaran karena rangkingku yang bagus. Beruntung bukan, aku yang seharus kesusahan untuk sekolah, justru memperoleh bantuan dari Yayasan yang menolongku untuk biaya pendidikan walaupun tidak 100% pembiayaan. Bagiku bisa sekolah dengan sedikit meringankan beban kedua orang tuaku sudah merupakan anugerah yang sangat besar.
Gadis dari keluarga biasa yang akhirnya diterima sebagai salah satu siswa SMA Negeri favorit di kota ini membuatku beruntung bahkan tetanggaku sering berkata kepada Ibuku di rumah, “Clarissa bejo iso mlebu sekolah favorit.” (Clarissa beruntung bisa masuk sekolah favorit). Dan Ibuku yang rendah hati hanya menjawab, “Iyo, kebejan...” (Iya, mendapat keberuntungan). Mungkin Bapak dan Ibuku bangga kepadaku, karena anak bungsunya berhasil masuk SMA yang bagus, tetapi orang tuaku tidak pernah terang-terangan memuji-Ku atas prestasi yang kucapai. Ibuku selalu memberitahuku untuk sekolah yang pintar, karena mereka sebagai orang tua tidak pun ya cukup harta yang bisa diwariskan ke anaknya. Orang tuaku membekaliku dengan ilmu dan meminta anaknya rajin belajar, supaya ilmu yang di dapat bisa untuk bertahan hidup.
“Nduk Clarissa....” (Nduk sering kali menjadi nama sapaan untuk seorang anak perempuan dalam kebudayaan Jawa – red.)
“Nggih Bu....” (Iya Bu)
“Tulung tumbaske gula pasir dan teh tubruk Jenggot ke warung ya.” (Tolong belikan gula pasir dan teh tubruk Djenggot ke warung ya.)
“Nggih Bu....”
“Sekalian tuku samak yo, buku tulise disamaki ben rapi, sesuk wis mlebu sekolah anyar.” (Sekalian beli sampul ya, buku tulisnya disampul biar rapi, kan besok sudah masuk sekolah baru.)
“Nggih Bu....”
Dengan membawa uang di tanganku, aku bergegas pergi ke warung yang jaraknya tidak jauh dari rumahku. Aku membelikan pesanan Ibuku yaitu gula Jawa dan teh tubruk, selain itu aku juga membeli sampul untuk buku-bukuku untuk kelas 1 SMA. Sebagai anak bungsu dan anak yang satu-satunya di rumah, aku menjadi anak yang sering dimintain tolong Bapak dan Ibu untuk pergi ke warung. Dan, aku senang melakukan itu. Sebab kata Bapak dan Ibuku, menjadi orang itu harus mau menolong, jangan sukar membantu orang lain. Selama masih bisa menolong, tolonglah. Nasihat dari Bapak dan Ibu, aku dengar dan lakukan. Orang Jawa bilang “enteng bahu” (suka menolong) itu tindakan mulia. Jadi aku pun tumbuh menjadi anak yang suka menolong keluarga dan orang lain seperti nasihat yang selalu diberikan kedua orang tuaku.
Pulang dari warung, aku menyerahkan gula pasir dan teh tubruk pesanan Ibuku, setelah itu aku masuk ke kamarku untuk menyampuli buku-bukuku. Ku siapkan 5 buku tulis, aku tulis namaku “Clarissa Ferlita” di lembaran pertama, lalu aku sampuli dengan sampul kertas payung warna cokelat dan sampul plastik. Buku-bukuku telah rapi. Akan tetapi, karena besok adalah Masa Orientasi Sekolah dan belum ada pelajaran, jadi aku hanya membawa satu buku tulis dan satu buku binder yang saat itu sangat hits di kalangan anak-anak 90an. Ku masukkan buku itu ke dalam tas ranselku berwarna biru. Setelah itu, kusiapkan seragam SMP yang masih harus kukenakan selama Masa Orientasi Sekolah, sepatuku berwarna hitam putih yang waktu itu orang menyebutnya “sepatu warriors”, dan kaos kaki berwarna putih. Semuanya sudah aku siapkan di meja belajarku, sehingga besok aku tidak tergesa-gesa di pagi hari karena sudah kusiapkan hari ini.
Malam ini sehabis makan malam, aku berbincang-bincang dengan kedua orang tuaku di ruang tamu kami.
“Bagaimana Nak, besok sudah siap MOSnya? Anak Bapak akhirnya sudah SMA, sudah besar ya.” Kata Bapakku memulai pembicaraan.
“Nggih Pak, harus siap Pak.” Jawabku singkat.
“Besok mau dianter Bapak sekalian Bapak berangkat kerja atau mau naik angkot?”
“Besok saya naik angkot saja Pak biar Bapak enggak repot, lagipula Bapak kerjanya cukup jauh.”
“Ya udah, penting hati-hati ya. Sekolah yang rajin, yang pintar. Bapak dan Ibu gak bisa memberi harta kemewahan, tetapi Bapak Ibu menyekolahkanmu, memberimu ilmu untukmu hidup di masa depan ya Nak. Derajat, pangkat, dan harta bisa hilang, tetapi ilmu itu sifatnya tetap Nak. Bisa kamu pakai di mana saja dan bisa dikembangkan.”
“Nggih Pak, Clarissa bakalan sekolah yang rajin ya Pak. Doakan Clarissa bisa bertanggung jawab dan bisa menjaga nama baik Bapak dan Ibu. Amin.”
“Iya Nduk, Bapak dan Ibu selalu berdoa buatmu.”
Aku begitu terharu setiap kali mendengar nasihat-nasihat dari Bapak dan Ibuku. Nasihat mereka adalah pegangan bagiku untuk menjalani hidup sehari-hari. Nasihat mereka yang terus membuatku kuat dan semangat. Karena nasihat merekalah, aku belajar giat supaya aku selalu mendapatkan rangking yang baik, kiranya kedua orang tuaku diangkat derajatnya karena memiliki anak yang baik, rajin, dan hidup tidak aneh-aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Afternoon Honey
menyimak bacaan📖
2023-11-10
0
EuRo
halo kak aku mampir.. udah masuk list favoritku..nih ... tapi bacanya nyicil ya awal cerita udah menarik. 👍
2022-02-18
1