**Solo, Tahun 2006
Aku adalah remaja putri yang telah lulus SMP. Beberapa hari lagi, sebelum liburan kenaikan kelas usai, aku akan menjadi seorang siswa SMA. Aku sudah mendaftar di salah satu SMA Negeri yang bagus di Kota Solo.
Ketika Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan tiga mata pelajaran yang diujikan yaitu Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yang kala itu memiliki standar nilai kelulusan minimal 4,25 aku menjadi salah satu lulusan terbaik di SMP ku yang juga merupakan sebuah SMP Negeri di pinggaran Kota Bengawan. Nilai UAN-ku mendapat rata-rata 9,4. Karena itu, aku mendaftar di salah satu SMA Negeri favorit di Solo. Waktu itu, belum ada sistem zonasi untuk memilih sekolah. Jadi semua siswa bisa memilih sendiri mau sekolah di mana saja, mau memilih ke SMA Negeri ataupun Swasta juga tidak masalah karena semua siswa bisa memilih sendiri mau sekolah di mana.
Berbekal hasil nilai UAN yang cukup tinggi, aku mendaftar di SMA Negeri yang bagus itu. SMA Negeri itu, selalu memiliki angka kelulusan 100% setiap tahunnya, SMA ini juga menjadi SMA pertama di Solo yang membuka jenjang akselerasi, jadi masa sekolah SMA yang seharusnya 3 tahun bisa ditempuh hanya dalam waktu 2 tahun. Beberapa finalis Putra dan Putri Solo juga berasal dari SMA ini. Jadi bisa dibayangkan bagaimana favoritnya SMA yang ingin kumasuki ini.
Eis, tapi aku tidak mendaftar di Program Akselerasi loh. Aku hanya mendaftar untuk Program Reguler saja. Walaupun nilai UAN dan UASku cukup bagus, tapi aku tidak mampu jika harus menempuh program Akselerasi yang hanya 2 tahun. Aku sadar diri, otakku gak akan mampu untuk menyelesaikannya. Jadi, lebih baik aku mendaftar program reguler, jadi masa SMA dapat berjalan normal. Aku bisa belajar rajin dan menikmati masa SMA yang kata orang adalah masa paling indah.
Sebenarnya kalau boleh bercerita, aku ini gadis yang memiliki keberuntungan. Bagaimana tidak? Aku hanya berasal dari keluarga yang sederhana, hanya Bapakku yang bekerja sebagai montir di bengkel. Sementara Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Aku memiliki dua orang Kakak perempuan yang keduanya sudah menikah di usia muda, mereka menikah di usia 18 tahun. Bagi orang Jawa waktu itu, memang seorang anak gadis apabila sudah berani membawa seorang pria ke rumah, maka harus segera menikah supaya tidak menjadi bahan pembicaraan tetangga. Nah, kedua Kakak perempuanku tidak memiliki masa pacaran yang lama, karena keduanya langsung menikah. Jarak usiaku dengan Kakak keduaku 11 tahun, cukup jauh untuk ukuran Kakak dan Adik. Karena jarak yang jauh itulah, aku seperti anak tunggal di rumah karena kedua kakakku sudah hidup bersama suami dan anak-anaknya. Keberuntungan yang kumiliki tentunya di bidang akademik, dari SD aku selalu mendapat peringkat kelas. Di SMPku rangkingku selalu masuk 3 besar. Lalu aku juga mendapat biaya pendidikan dari salah satu yayasan yang memberikan bantuan dana untuk uang SPP setiap bulannya. Karena nilaiku bagus, setiap akhir catur wulan aku mengumpulkan foto copy nilai raport, dan aku mendapat tambahan bantuan biaya pembelian buku pelajaran karena rangkingku yang bagus. Beruntung bukan, aku yang seharus kesusahan untuk sekolah, justru memperoleh bantuan dari Yayasan yang menolongku untuk biaya pendidikan walaupun tidak 100% pembiayaan. Bagiku bisa sekolah dengan sedikit meringankan beban kedua orang tuaku sudah merupakan anugerah yang sangat besar.
Gadis dari keluarga biasa yang akhirnya diterima sebagai salah satu siswa SMA Negeri favorit di kota ini membuatku beruntung bahkan tetanggaku sering berkata kepada Ibuku di rumah, “Clarissa bejo iso mlebu sekolah favorit.” (Clarissa beruntung bisa masuk sekolah favorit). Dan Ibuku yang rendah hati hanya menjawab, “Iyo, kebejan...” (Iya, mendapat keberuntungan). Mungkin Bapak dan Ibuku bangga kepadaku, karena anak bungsunya berhasil masuk SMA yang bagus, tetapi orang tuaku tidak pernah terang-terangan memuji-Ku atas prestasi yang kucapai. Ibuku selalu memberitahuku untuk sekolah yang pintar, karena mereka sebagai orang tua tidak pun ya cukup harta yang bisa diwariskan ke anaknya. Orang tuaku membekaliku dengan ilmu dan meminta anaknya rajin belajar, supaya ilmu yang di dapat bisa untuk bertahan hidup.
“Nduk Clarissa....” (Nduk sering kali menjadi nama sapaan untuk seorang anak perempuan dalam kebudayaan Jawa – red.)
“Nggih Bu....” (Iya Bu)
“Tulung tumbaske gula pasir dan teh tubruk Jenggot ke warung ya.” (Tolong belikan gula pasir dan teh tubruk Djenggot ke warung ya.)
“Nggih Bu....”
“Sekalian tuku samak yo, buku tulise disamaki ben rapi, sesuk wis mlebu sekolah anyar.” (Sekalian beli sampul ya, buku tulisnya disampul biar rapi, kan besok sudah masuk sekolah baru.)
“Nggih Bu....”
Dengan membawa uang di tanganku, aku bergegas pergi ke warung yang jaraknya tidak jauh dari rumahku. Aku membelikan pesanan Ibuku yaitu gula Jawa dan teh tubruk, selain itu aku juga membeli sampul untuk buku-bukuku untuk kelas 1 SMA. Sebagai anak bungsu dan anak yang satu-satunya di rumah, aku menjadi anak yang sering dimintain tolong Bapak dan Ibu untuk pergi ke warung. Dan, aku senang melakukan itu. Sebab kata Bapak dan Ibuku, menjadi orang itu harus mau menolong, jangan sukar membantu orang lain. Selama masih bisa menolong, tolonglah. Nasihat dari Bapak dan Ibu, aku dengar dan lakukan. Orang Jawa bilang “enteng bahu” (suka menolong) itu tindakan mulia. Jadi aku pun tumbuh menjadi anak yang suka menolong keluarga dan orang lain seperti nasihat yang selalu diberikan kedua orang tuaku.
Pulang dari warung, aku menyerahkan gula pasir dan teh tubruk pesanan Ibuku, setelah itu aku masuk ke kamarku untuk menyampuli buku-bukuku. Ku siapkan 5 buku tulis, aku tulis namaku “Clarissa Ferlita” di lembaran pertama, lalu aku sampuli dengan sampul kertas payung warna cokelat dan sampul plastik. Buku-bukuku telah rapi. Akan tetapi, karena besok adalah Masa Orientasi Sekolah dan belum ada pelajaran, jadi aku hanya membawa satu buku tulis dan satu buku binder yang saat itu sangat hits di kalangan anak-anak 90an. Ku masukkan buku itu ke dalam tas ranselku berwarna biru. Setelah itu, kusiapkan seragam SMP yang masih harus kukenakan selama Masa Orientasi Sekolah, sepatuku berwarna hitam putih yang waktu itu orang menyebutnya “sepatu warriors”, dan kaos kaki berwarna putih. Semuanya sudah aku siapkan di meja belajarku, sehingga besok aku tidak tergesa-gesa di pagi hari karena sudah kusiapkan hari ini.
Malam ini sehabis makan malam, aku berbincang-bincang dengan kedua orang tuaku di ruang tamu kami.
“Bagaimana Nak, besok sudah siap MOSnya? Anak Bapak akhirnya sudah SMA, sudah besar ya.” Kata Bapakku memulai pembicaraan.
“Nggih Pak, harus siap Pak.” Jawabku singkat.
“Besok mau dianter Bapak sekalian Bapak berangkat kerja atau mau naik angkot?”
“Besok saya naik angkot saja Pak biar Bapak enggak repot, lagipula Bapak kerjanya cukup jauh.”
“Ya udah, penting hati-hati ya. Sekolah yang rajin, yang pintar. Bapak dan Ibu gak bisa memberi harta kemewahan, tetapi Bapak Ibu menyekolahkanmu, memberimu ilmu untukmu hidup di masa depan ya Nak. Derajat, pangkat, dan harta bisa hilang, tetapi ilmu itu sifatnya tetap Nak. Bisa kamu pakai di mana saja dan bisa dikembangkan.”
“Nggih Pak, Clarissa bakalan sekolah yang rajin ya Pak. Doakan Clarissa bisa bertanggung jawab dan bisa menjaga nama baik Bapak dan Ibu. Amin.”
“Iya Nduk, Bapak dan Ibu selalu berdoa buatmu.”
Aku begitu terharu setiap kali mendengar nasihat-nasihat dari Bapak dan Ibuku. Nasihat mereka adalah pegangan bagiku untuk menjalani hidup sehari-hari. Nasihat mereka yang terus membuatku kuat dan semangat. Karena nasihat merekalah, aku belajar giat supaya aku selalu mendapatkan rangking yang baik, kiranya kedua orang tuaku diangkat derajatnya karena memiliki anak yang baik, rajin, dan hidup tidak aneh-aneh.
Bagi banyak orang masuk sekolah baru adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Apalagi ketika berpindah dari SMP ke SMA, tentu menjadi momen yang sangat membahagiakan. Begitu juga untukku. Aku sangat senang hari ini. Jam 5 pagi aku sudah bangun pagi, kurapikan tempat tidurku, aku membantu Ibuku menyiapkan sarapan berupa jenang (bubur) dan terik tahu dan ayam, setelah itu aku mandi dan mengenakan kembali seragam SMP yang masih harus kupakai selama mengikuti MOS 1 minggu ini.
Karena MOS dan aku berpikir akan ada upacara hingga kegiatan baris berbaris, aku memutuskan untuk menguncir rambutku yang sebahu dengan kunciran ponytail yang menyisakan sedikit pony di keningku. Aku bersemangat sekali mengikuti MOS kali ini, aku akan mendapatkan teman-teman baru, pengalaman yang baru di sekolah yang baru, dan kemungkinan bertemu teman-teman dari SMP ku dulu. Aku sangat bahagia!
Siap dengan seragam dan kunciranku yang rapi, aku segera mengikuti sarapan. Mengisi terlebih dahulu perutku, supaya aku bisa kuat saat upacara pembukaan nanti. Setelah sarapan, aku meminta izin kepada Bapak dan Ibu untuk berangkat ke sekolah.
“Bapak, Ibu, Clarissa berangkat ke sekolah dulu ya. Doakan MOS hari ini lancar.” Ucapku sambil menyium tangan Bapak dan Ibu yang berdiri di depan pintu.
“Iya Nak, Bapak dan Ibu doakan hari ini lancar. Sekolah yang rajin ya Nak. Semoga dapat teman-teman baru juga ya Nak..."
“Nggih.... Berangkat ya Pak, Bu.”
Ku telusuri jalanan di sekitar rumahku menunggu angkot kuning tiba. Angkot yang akan mengantarkanku ke sekolah baruku. Aku sengaja berangkat lebih pagi, karena biasanya pada jam anak-anak berangkat sekolah, angkot akan selalu penuh. Aku tidak ingin terlambat lantaran angkotnya penuh. Di hari pertamaku jadi siswa SMA, aku harus datang lebih pagi, jangan sampai terlambat, lebih-lebih nanti akan ada upacara bendera sekaligus pembukaan MOS.
Dengan menaikki angkotan umum aku menuju SMA ku. Sepanjang perjalanan, aku menenangkan diriku dan berharap MOS kali ini akan sangat menyenangkan, tidak ada kegiatan yang memberatkan atau ada hukuman fisik dari Kakak kelas.
Setibanya di sekolah, beberapa guru sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Dengan senyum manisnya Bapak dan Ibu guru menyalami satu per satu para murid yang datang.
“Selamat pagi, Bu... Selamat pagi, Pak...” Sapaku kepada guru-guru yang menyambut kedatangan para murid di depan pintu gerbang sekolah.
“Iya, selamat pagi. Murid baru ya?” Sapa seorang Ibu Guru yang masih cukup muda dengan mengenakan seragam guru PNS berwarna cokelat.
“Iya Bu, saya murid baru di sini.”
“Siswa yang hari ini MOS bisa langsung ke aula ya, kumpul di sana dulu.”
“Baik Bu, terima kasih.”
Aku melangkah dengan menggendong tas ranselku menuju ke aula. Sebagai siswa baru, belum banyak yang aku kenal di sana. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, kulayangkan pandanganku kepada siswa baru yang ada di sini, sapa tau ada murid dari SMP ku yang juga masuk ke SMA ini. Huhhh, tapi hasilnya nihil. Tidak ada wajah yang ku kenal. Semuanya wajah-wajah baru yang asing bagiku. Aku menghela nafas, menenangkan diriku, tidak masalah nanti bisa berkenalan dengan teman-teman baru.
Hingga akhirnya, upacara pembukaan MOS dimulai di kalangan sekolah. Kami semua di suruh berbaris. Kepala Sekolah akan membuka MOS untuk seminggu ini dengan memberikan pembukaan dan pembinaan. Usai acara pembinaan dari Kepala Sekolah, dilanjutkan dengan perwakilan penyerahan siswa baru, dipilihlah satu orang siswa dan satu orang siswi yang maju ke depan menerima kartu tanda MOS dari Kepala Sekolah.
Aku yang berbaris di deretan depan, bisa menyaksikan semua acara dari depan. Ketika perwakilan dari siswa baru disuruh maju ke depan, seketika mataku terbelalak, untuk pertama kalinya aku melihat cowok yang parasnya rupawan seperti Raden Arjuna.
Siswa itu berjalan ke depan dengan masih mengenakan topi SMP. Kulitnya yang bersih, hidungnya yang mancung, matanya bulat, dan perawakannya tinggi diiring tepuk tangan bergemuruh dari semua siswa baru. Aku sedikit terpesona dengan pria tampan sepertinya. Wajahnya memancarkan aura teduh. Andai Raden Arjuna dari kisah pewayangan Mahabarata hidup, kupikir akan seperti pria ini.
Beberapa siswi di belakangmu sontak memuja-muji siswa itu. “Wah, bener-bener cakep.” Sambil bertepuk tangan keras-keras.
Proookkkk..... Proookkkk..... Proookkkk.....
Beberapa siswi di sampingku juga mulai kepo, bertanya siapa nama pria rupawan itu. Sementara aku, hanya diam dan menikmati semua pemandangan yang ada di sekitarku.
Sekian menit, setelah siswa itu maju ke depan, masuklah seorang siswi dengan potongan rambut bob pendek dengan poni di keningnya. Siswi itu benar-benar cantik, dengan kulitnya yang berwarna sawo matang, hidungnya yang mancung, dalam bentuk tubuhnya yang proporsional. Saat siswi itu maju ke depan, giliran murid-murid cowok yang bertepuk tangan.
Aku melihat dua perwakilan siswa baru yang berada di depan ini adalah pasangan yang sempurna. Yang satu berparas rupawan, sementara yang cewek begitu manis wajahnya.
Usai acara selesai, mulailah setiap murid dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok berisi 10 orang. Kelompok ini sudah diatur sebelumnya guru yang menjadi panitia MOS. Mungkin kali ini aku kembali beruntung. Tanpa disangka-sangka, aku menjadi satu kelompok dengan Siswa cakep yang tadi menjadi perwakilan siswa baru. Wah, aku sangat senang sekali. Tapi, aku tetap bersikap sewajarnya. Aku memiliki kepribadian yang kalem (halus) khas Putri Solo, jadi walaupun hatiku bahagia, perilakuku tetap biasa-biasa saja.
Siswa tampan nan rupawan bak Raden Arjuna itu tiba-tiba duduk di sebelahku. Membuat aku menjadi canggung. Kami berkumpul membentuk lingkaran dan duduk di bawah pohon akasia yang rindang. Setiap kelompok mendapat tugas untuk persiapan MOS besok dengan berbagai atribut yang harus dibawa. Siswa tampan itu tiba-tiba mengajakku bicara dan mengenalkan namanya kepadaku.
“Hai, namamu siapa? Namaku Nathan...”
Aku sungguh kaget mendengarnya mengajakku berkenalan. Tanganku yang semula menulis, seolah menjadi kaku. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang saat dia mulai duduk di sampingku. Menurutku pria setampan dia yang bakalan langsung menjadi bintang SMA ini mau berkenalan denganku yang notabene hanyalah gadis sederhana biasa saja. Penampilanku memang tidak cupu, tapi aku cukup tau diri dengan diriku.
“Hemm, aku Clarissa.” Jawabku singkat.
“Boleh aku pinjam catatanmu? Ada beberapa hal yang aku ketinggalan karena tadi ke kantor guru dulu. Aku pinjam dulu boleh?”
Aku menganggukkan kepalaku dan kuserahkan buku binderku kepadanya. Tangannya segera meraih buku binderku dan membaca apa saja yang kucatat di sana.
“Cla, tulisanmu bagus ya. Rapi banget. Ini tulisan kok kayak hasil ketikan loh....” Ucapnya saat mulai membaca catatanku di sana.
“Ah enggak. Tulisanku biasa saja kok.” Sahutku dengan ekspresi biasa saja, walaupun sebenarnya sejak SD aku sudah memiliki tulisan tangan yang bagus dan rapi. Dari SD hingga SMP, tulisan tanganku menjadikanku sekretaris di kelasku. Kata salah satu guruku di SMP, tulisanku mirip font berjenis Cambria di Microsoft Word. Hahahaha, mengingat pujian dari guruku dulu, aku tertawa dalam hati.
“Ini tulisan paling bagus dan rapi yang pernah kulihat.” Pria itu masih memuji tulisan tanganku sambil mulai menyalin hasil catatanku di bukunya.
Selesai menyalin semuanya, dia mengembalikan buku binderku dan kami kembali melanjutkan MOS hari itu. Hmm, menurutku MOS ini tidak terlalu buruk bagiku, aku mulai mengenal satu per satu murid baru di mulai dari kelompokku. Kegiatan sepanjang hari ini juga hanya diisi oleh berbagai guru yang memberikan pembinaan dan pengenalan lingkungan sekolah. Besok aku akan kembali ke sekolah dan tentu melanjutkan kembali MOS ini. Semangat Cla!
Tidak terasa 5 hari berlalu, setelah merasakan semua kegiatan MOS mulai dari pembinaan dari guru, mengenal lingkungan sekolah, kegiatan baris berbaris, dan pembinaan OSIS, akhirnya semua murid akan memulai kegiatan belajar mengajar pada hari Senin, minggu depan.
Aku lebih bersemangat hari ini. Ya, hari ini adalah hari pertama kegiatan belajar mengajar dilakukan. Dan, hari ini untuk pertama kalinya aku mengenakan seragam Putih Abu-Abu yang selama ini kuidam-idamkan untuk memakainya.
Pagi hari aku telah bersiap dengan memakai seragamku, ku sisir rambutku dengan rapi dan kubiarkan rambut lurus sebahuku terurai, dan aku telah memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas sekolahku. Aku berkaca sejenak di cermin, kuamati penampilanku. Rasanya masih kemarin aku memakai seragam SMP ku, dan kini aku telah mengenakan seragam Putih Abu-Abu yang membuatku terlihat tidak seperti anak-anak lagi. Seragam putih abu-abu ini membuatku terlihat nampak sedikit dewasa.
“Nduk, Cla.... Sudah siap?” Ibuku memanggilku dan menanyakan apakah aku sudah bersiap.
“Nggih Bu, sudah siap.” aku menjawab pertanyaan Ibu.
“Kalau sudah buruan berangkat, supaya enggak telat. Sekolah ya rajin ya Nak.” Ibuku hampir setiap hari selalu berpesan supaya aku sekolah dengan rajin. Aku pun selalu berusaha semampuku untuk sekolah sebaik mungkin, supaya Bapak dan Ibuku tidak kecewa kepadaku.
“Iya Bu, Clarissa akan sekolah yang rajin kok Bu. Ya udah, Clarissa berangkat dulu ya Bu.” Ku menjabat tangan Ibuku dan kucium punggung tangannya, aku berpamitan dengan Ibu lalu seperti biasa aku menunggu angkot berwarna kuning yang akan membawaku menuju sekolahku.
Begitu tiba di sekolah, aku melihat berbagai pengumuman yang sudah ditempelkan di dekat ruangan guru. Salah satu pengumuman yang ditempelkan di sana adalah pembagian kelas untuk murid kelas X. Sama seperti murid-murid lainnya yang berkerumun melihat pengumuman itu, aku juga masuk dalam kumpulan itu. Kubuka lebar-lebar kedua mataku dan aku mulai mencari namaku di sana. Clarissa Ferlita – Kelas X3! Yap, aku menemukannya. Tanpa menunggu lama, aku mulai mencari di mana ruangan kelasku berada. Aku berjalan melewati satu per satu ruangan kelas, kulihat-lihat tanda kelas itu, hingga akhirnya aku menemukan ruangan kelasku. Kelas X3 yang berada di lantai satu, dengan sebuah pohon yang membuat ruangan kelas ini terasa rindang.
Di depan pintu, aku melihat sudah ada beberapa murid di dalamnya. Dan masih banyak bangku kosong di sana, tanpa sengaja aku tersenyum karena aku bisa memilih tempat dudukku sendiri. Aku memilih duduk di deretan kedua. Menurutku deret kedua adalah tempat duduk yang strategis, tidak berjarak langsung dengan guru, tapi juga tidak terlalu jauh dari papan tulis. Banyak temanku di SMP dulu berkata 'posisi tempat duduk memengaruhi prestasi', bagiku ungkapan itu lucu dan tidak masuk akal. Pada kenyataannya, jika ingin berprestasi di sekolah kuncinya bukan pada posisi tempat duduk, tetapi pada kemauan dan tekad untuk belajar.
Aku menaruh tasku ke dalam laci di meja, dan aku duduk mengamati sekelilingku. Menjelang jam 7 pagi, kelasku sudah mulai ramai, satu per satu murid telah memasuki ruangan kelas, hingga tiba-tiba cowok yang satu kelompok saat MOS denganku masuk ke dalam kelasku.
Dia masuk ke dalam kelas, semua mata langsung tertuju kepadanya. Penampilannya dengan seragam Putih Abu-Abu sungguh membuatnya menjadi berbeda, tidak seperti saat MOS di mana ia masih mengenakan seragam SMPnya. Sang Arjuna itu masuk dengan derap langkah kakinya yang tenang, dia berhenti di depan sejenak mengamati kursi mana yang masih kosong, dan dia melanjutkan menuju kursi kosong di deret kedua tepat di sebelahku. Wah, ini kebetulan atau tidak, bisa-bisanya dia menjadi satu kelas denganku.
Cowok itu mulai menaruh tasnya di bawah meja, dan memutar bola matanya mengamati seluruh ruangan kelas itu. Bola matanya berhenti, dan dia tiba-tiba memanggil namaku.
“Cla.... Kamu di kelas ini juga?” dengan menampilkan wajah terkejut bahagia karena mendapatiku di kelas yang sama dengannya. Suara baritonnya yang lembut membuat telingaku reflek seketika.
Aku yang baru saja dipanggil berusaha menata jantungku yang berdetak lebih cepat, ku melihat wajah tampannya sejenak, dan ku mulai menjawab pertanyaannya.
“I... Iya. Aku di kelas ini." ucapku dengan agak terbata. Aku tidak menyangka bisa satu kelas dengan Nathan. Apakah ini kebetulan?
“Wah, gak nyangka ya kita satu kelas. Kita bisa sering belajar bersama ya Cla.” ucapnya dengan raut wajah yang senang dan senyuman terbit di wajahnya yang tampan dan fitur wajahnya yang sempurna.
“Hmm, iya. Aku juga di kelas X3 ini.” Aku menganggukkan kepalaku.
“Senang sekali aku bisa sekelas sama kamu, Cla... kalau aku ketinggalan catatan pelajaran, aku bisa pinjem bukumu ya Cla...” Ucapnya sambil tersenyum kepadaku.
“Hmm, apa? Kenapa meminjam bukuku?” tanyaku.
“Kan tulisanmu bagus Cla, kalau aku ketinggalan waktu mencatat pelajaran, aku pinjem bukumu ya.” ucapnya sembari tertawa kepadaku.
“Oh, ya... Boleh.” Sahutku sambil menganggukkan kepala.
Setelah itu, guru wali kelas kami masuk memperkenalkan diri. Beliau bernama Ibu Sri Haryanti yang biasa dipanggil Ibu Anti, mengajar Bahasa Indonesia. Setelah beliau berkenalan, kami diminta maju satu per satu ke depan untuk mengenalkan diri. Nama, Alamat, Hobi, dan Cita-cita. Itulah yang harus kami lakukan saat mengenalkan diri di depan kelas. Saat tiba giliran Nathan, seluruh murid yang berjumlah 40 orang memberikan tepukan tangan yang meriah mengiringinya maju ke depan.
“Pagi semua... Saya Nathan, rumahku di Solo Baru, hobi maen basket dan futsal, cita-cita menjadi orang berhasil.”
Perkenalan yang memukau dari seorang Nathaniel Ferdian. Sosok tampan yang mampu menyihir semua pasang mata yang berada di dalam kelasku. Setelah Nathan, kini giliranku untuk berkenalan. Aku sungguh sangat gugup, aku merilekskan diriku sejenak, lalu aku maju ke depan.
“Halo semuanya. Saya Clarissa, rumahku di Jebres, Solo. Hobiku baca buku, cita-cita menjadi Dosen.”
Berbeda saat Nathan yang maju ke depan kelas, semua memberikan tepukan tangan meriah. Sementara saat aku yang memperkenalkan diriku hanya seuprit orang yang memberiku tepuk tangan. Tapi saat aku berdiri di depan tadi, aku melihat bagaimana Nathan menatapku dan memberikan senyumannya kepadaku.
Aku menghembuskan nafas perlahan-lahan menenangkan hati dan pikiranku. Situasi ini benar-benar gawat, aku bisa tidak fokus ke pelajaran bila tiap hari satu kelas dengan Sang Arjuna. Pria berwajah tampan dengan senyum menawan itu. Sering melihatnya tersenyum bisa membuat kadar gula darahku tinggi hingga aku terserang sakit diabetes. Ini sungguh tidak sehat!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!