Gadis Bermata Biru
Tanggal 26 Desember 2004 silam, Indonesia menangis. Dimana saat itu terjadi bencana besar yang meluluhlantakkan Propinsi Aceh. Gempa berkekuatan 9,3 SR dan Tsunami menyapu habis seluruh Aceh. Bencana tersebut memakan ratusan ribu jiwa, termasuk Ayah dan Ibu dari Ziya Nameera.
Ketika itu, Ziya masih berusia 3 tahun. Ayah Ziya meninggal akibat tertimpa reruntuhan bangunan saat bekerja disebuah Proyek Pembangunan Gedung.
Pasca Gempa terjadi, Ziya dan Ibunya hendak menyusul Ayah Ziya ke tempat kerjanya. Namun, Mereka tidak mengetahui bahwa Suami sekaligus Ayah Ziya ternyata sudah meninggal di tempat akibat tertimpa reruntuhan bangunan yang sedang dalam proses pembangunan.
"Ziya, Kamu tunggu di Ruang Tamu dulu ya, Nak! Mama mau membereskan barang-barang yang akan Kita bawa."
"Memang Kita mau kemana, Ma?"
"Nanti Ziya juga akan tahu. Pokoknya, Ziya tunggu Mama ya, Nak! Setelah ini, Kita akan susul Papa ke tempat kerjanya."
"Iya, Ma."
Ibunda Ziya bergegas merapikan barang-barang yang hendak dibawa. Ia lebih banyak memasukkan segala kebutuhan Ziya kedalam sebuah tas besar. Tak lupa, Ia memasukan sejumlah Uang kedalam sebuah amplop coklat dan menulis pesan di secarik kertas. Lalu, Ia memasukkan kertas tersebut kedalam amplop coklat yang berisikan sejumlah Uang.
"Mama, Mama, ada banyak air masuk kedalam rumah Kita. Cepat, Ma! Airnya banyak sekali," Ziya berteriak memanggil Ibunya yang saat itu sedang berada di Kamar.
Ibunda Ziya sangat panik saat menyadari kalau air yang telah masuk kedalam rumahnya sudah mencapai mata kaki orang Dewasa.
"Tsunami... Cepat lari!" teriak orang-orang diluar Rumah Mereka.
Ibunda Ziya semakin panik, Ia bergegas menggendong Ziya dan membawa serta tas yang sudah Ia persiapkan.
"Yaa Allah, jika Aku harus berpisah dari Anakku hari ini. Aku mohon, jagalah Anakku. Biarkan Anakku bertemu dengan Orang-orang yang baik, yang ikhlas merawat Anakku dengan penuh kasih sayang," ucap Ibunda Ziya dalam hati.
Ibunda Ziya menggendong Ziya dengan sangat erat. Air laut sudah mengalir sedemikian deras. Para Warga berusaha mecoba naik ke tempat yang lebih tinggi. Ada yang berusaha naik ke atap rumah, ada pula yang mencoba memanjat pohon yang lebih tinggi demi bisa bertahan selama arus Tsunami menyapu tanah yang Mereka pijak. Syukur-syukur jika ada Warga yang rumahnya memiliki 2 lantai. Mereka bisa bertahan dirumah sendiri. Namun sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi Keluarga Ziya. Rumah Mereka hanya 1 lantai. Alhasil, Ziya dan Ibunya harus mencari perlindungan ke tempat yang lebih tinggi.
Ibunda Ziya tak sanggup berlari, karena air laut sudah mulai mengalir hingga lutut orang dewasa. Ibunda Ziya tidak menyerah begitu saja, Ia terus mencari tempat berlindung. Yang ada dipikirannya hanyalah bagaimana caranya agar Ia bisa menyelamatkan Anaknya terlebih dahulu.
"Bu... Ibu, disini, Bu! Sini! Cepat!" teriak seorang Pria Paruh Baya.
Ibunda Ziya spontan mengalihkan pandangan kearah suara yang memanggilnya. Ternyata yang memanggilnya adalah seorang Kakek yang sudah lanjut usia. Beliau sedang bersama Istrinya berada di lantai 2 sebuah Masjid.
"Pak, cepat bantu Ibu itu, kasian, Pak!" titah Istri dari Kakek tersebut.
Sang Kakek dan Nenek pun setengah berlari dan menuruni tangga untuk menyusul Ziya dan Ibunya yang sudah susah payah berjalan menuju kearah Masjid. Para Warga sangat panik dan ketakutan. Mereka semua sibuk dan bersusah payah menyelamatkan diri dan Keluarga Mereka masing-masing.
Ibunda Ziya bersyukur, karena masih ada Orang-orang yang begitu peduli padanya dan juga Anaknya.
Ibunda Ziya sudah sampai di anak tangga pertama. Sang Nenek mengulurkan tangannya untuk menggendong Ziya terlebih dahulu. Sedangkan Sang Kakek membantu untuk membawakan tas yang telah dibawa.
"Ayo, Bu. Anak Ibu biar Saya gendong," ujar Sang Nenek.
"Terima kasih, Bu."
"Cepat....cepat.....Air lautnya semakin tinggi!"
Sontak orang-orang semakin panik dan histeris saat mendengar kabar tersebut. Ibunda Ziya terpincang-pincang menaiki tangga. Nahas, air sudah semakin deras dan begitu cepat menenggelamkan sebagian tubuh Ibunda Ziya. Ia melihat sang Kakek sudah hampir menuju anak tangga terakhir sambil berusaha sekuat tenaga menggendong Ziya.
"Aku...Aku... sudah tidak kuat lagi," Ibunda Ziya membatin.
Ibunda Ziya terdiam menatap Ziya yang sudah selamat, kemudian Ia tersenyum sambil berderai air mata. Ia sudah tak sanggup lagi mengikuti langkah Mereka. Kakinya terluka karena sempat menginjak benda tajam saat berjalan menuju kearah Masjid.
"Yaa Allah, terima kasih. Semoga Kakek dan Nenek itu adalah orang-orang yang tepat, yang bisa merawat dan menyayangi Anakku," bisiknya parau.
Tak kuasa, tubuh Ibunda Ziya ikut hanyut oleh arus Tsunami yang begitu besar.
"Akhirnya, Kita sampai ke atas," ujar Sang Nenek.
"Alhamdulillah. Bu, akhirnya Ibu dan Anak Ibu sela-mat."
Sang Kakek menoleh kebelakang. Namun, Beliau tidak mendapati sosok dari Ibunda Ziya. Terdengar dari beberapa Warga sekitar yang meneriaki kalau ada seorang Wanita yang ikut hanyut terbawa arus Tsunami.
Sang Kakek dan Nenek pun sangat panik mendengar ucapan dari Mereka. Bagaimana jika itu adalah Ibu dari Anak yang Mereka bawa? Bagaimana nasib Anak tersebut jika Ibunya sudah tidak ada?
Mereka mencoba meyakinkan, siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Warga?
Saat Mereka melihat dengan jelas, ternyata benar, tubuh yang telah terbawa oleh arus Tsunami adalah Ibunda Ziya, Ibu dari Anak kecil yang Mereka bawa.
Sang Kakek dan Nenek pun sangat shock ketika melihat pemandangan di depan mata Mereka sendiri, dimana Ibunda Ziya terseret arus Tsunami yang begitu besar.
Mereka menangis seolah merasakan kesedihan yang menimpa Ziya.
"Yaa Allah, kasihan Anak ini, Pak! Aku tidak tega melihat Anak ini harus kehilangan Ibunya."
Sang Nenek yang diketahui bernama Hafsah, menangis sesenggukan sambil memeluk erat tubuh kecil Ziya.
Ziya yang tak tahu apa-apa hanya bisa menangis sendu, karena Ia berusaha mencari sosok Ibunya yang tak kunjung Ia temukan.
"Yang sabar ya, Nak. Kami janji, Kami akan merawatmu seperti Anak Kami sendiri," ujar Sang Kakek yang diketahui bernama Rahmat.
15 tahun kemudian...
Satu tahun pasca kejadian Tsunami, Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah memilih untuk meninggalkan Lamno, Aceh Jaya. Mereka membawa serta Ziya ikut bersama Mereka dan mengajaknya tinggal di Banda Aceh. Mereka berharap, kehidupan Mereka dan juga Ziya lebih terjamin jika tinggal di Kota Besar.
"Kakek, Nenek. Alhamdulillah, Ziya lulus dengan nilai terbaik."
"Alhamdulillah. Tidak terasa, Kamu sudah lulus Sekolah ya, Nak. Andai saja, Ibu dan Ayahmu bisa melihatmu seperti sekarang ini, pasti Mereka sangat bangga sekali padamu," ujar Kakek Rahmat.
"Pak, sudah. Jangan berkata seperti itu!"
Ziya terdiam saat mendengar ucapan Kakek Rahmat. Ia kembali teringat tentang musibah 15 tahun silam yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ziya mengetahui dari Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah, tentang bagaimana Ibunya meninggal. Namun, sampai detik ini, Ziya tak pernah mengetahui bagaimana Ayahnya meninggal.
"Ziya, Kita masuk, yuk! Nenek sudah menyiapkan makan siang untuk Kamu. Sudah, Ziya jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik, Ziya terus mendoakan Orang Tua Ziya ya, Nak! Ayo, Kita masuk sekarang!"
Ziya menganggukkan kepala perlahan. Ia berusaha menenangkan hatinya yang sedang sedih. Ziya tidak merasa kesal kepada Kakek Rahmat. Memang benar yang diucapkan oleh Kakek. Hanya saja, Ziya jadi terbawa perasaan.
"Oh ya, setelah lulus, Ziya mau melanjutkan Kuliah atau bagaimana?" tanya Kakek Rahmat.
"Hmm, Ziya belum tahu, Kek. Ziya inginnya Kuliah, ambil jurusan Keperawatan."
"Wah, bagus sekali, Nak! Kamu ingin jadi Perawat?" tanya Nenek Hafsah.
"Iya, Nek. Ziya senang sekali membantu orang-orang yang sedang sakit. Selain itu, Ziya juga senang membantu tugas Dokter."
"Mulia sekali cita-cita Kamu. Kakek sama Nenek doakan, semoga cita-cita Kamu tercapai."
"Aamiin. Terima kasih, Kakek, Nenek."
Ziya memeluk Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah. Mereka larut dalam suasana haru dan bahagia.
"Ziya, sepertinya Kamu perlu mengetahui sebuah rahasia."
"Rahasia? Rahasia apa itu, Kek?"
Kakek Rahmat berjalan menuju kamarnya. Tak lama, Ia keluar kamar sambil membawa sepucuk surat yang sudah terlihat lusuh dan buku tabungan. Ia menyerahkan kedua benda tersebut ke tangan Ziya.
"Apa ini, Kek? Kenapa Kakek memberiku sepucuk surat dan buku tabungan?"
"Silahkan Kamu baca terlebih dahulu suratnya. Sudah saatnya Kamu mengetahui semuanya."
Ziya hanya mengernyitkan dahi. Ia sangat penasaran tentang isi surat yang diberikan oleh Kakek Rahmat. Tangan Ziya tampak sedikit bergetar saat membuka surat tersebut.
Yang terhormat,
Bagi siapapun yang membaca surat ini, Saya yakin, Kalian adalah Orang-orang yang baik. Saya sengaja menulis surat ini karena Saya sendiri tidak bisa menjamin apakah Saya bisa selamat atau tidak? Begitupun dengan Ayah dari Anak Saya. Belum diketahui secara pasti apakah Ayah Anak ini selamat atau tidak? Namun, Saya ingin agar Anak Saya bisa tetap selamat dan berada di tangan Orang-orang yang tepat. Yang bisa merawat dan menyayangi Anak Saya.
Maka dari itu, Saya sisipkan sejumlah uang tunai senilai Rp 20.000.000, surat-surat penting untuk keperluan Anak Saya dimasa depan, buku tabungan atas nama Saya dan Anak Saya, dimana nanti bisa dicairkan untuk membiayai kehidupan Anak Saya dan juga Orang yang telah menolong Anak Saya. Satu lagi, ada kartu ATM yang isinya Tabungan Pribadi Saya. Nomor pinnya adalah bulan dan tahun lahir anak Saya (lihat di Akta Lahirnya), mungkin uang ini masih sangat kurang untuk membiayai Anak Saya hingga Ia Dewasa.Tapi yang pasti, Saya hanya bisa mendoakan kepada siapapun yang ikhlas menerima Anak Saya, Semoga Allah selalu melimpahkan Rezeki dan berkah untuk Kalian.
Dan, untuk Ziya Nameera (nama Anak Saya), mungkin ketika Kamu membaca surat ini, Mama sudah tidak bersamamu. Hiduplah dengan baik. Jangan pernah menyusahkan siapapun. Kamu Anak yang hebat. Kamu pasti kuat menghadapi ini semua. Maafkan Mama yang tidak bisa menemanimu hingga Dewasa ya, Nak!
Salam,
Mama (Ibu dari Ziya)
Bulir bening di sudut mata Ziya mulai menetes. Ia sudah tak sanggup menahan tangisnya. Terasa sangat menyesakkan. Nenek Hafsah segera memeluk tubuh Ziya. Beliau mencoba menenangkan Ziya.
Lalu, Ziya membuka buku tabungan yang telah diberikan oleh Kakek Rahmat. Ia sangat kaget ketika mengetahui nominal pada buku tabungan tersebut.
"Kakek! Ini?"
"Ya, pergunakanlah sebaik mungkin. Semua ini sengaja Kami simpan untuk biaya pendidikanmu. Uang tunai yang Ibumu berikan, Kakek pergunakan untuk biaya hidup Kita selama Aceh berada dalam masa pemulihan, dan juga Kakek pakai untuk modal usaha Kita membuka warung sembako."
Ziya sangat terharu mendengar ucapan Kakek Rahmat. Selama ini, Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah sangat Amanah. Mereka menggunakan uang tabungan Ziya hanya untuk keperluan Pendidikan Ziya mulai dari SD hingga SMA. Selanjutnya, Uang itu mungkin lebih dari cukup untuk membiayai Kuliah Ziya hingga lulus.
"Ziya! Kami sangat menyayangi Kamu seperti Anak Kami sendiri. Kamu adalah Anugerah dari Allah untuk Kami. Kami yakin, Kamu adalah jawaban dari Allah yang selama puluhan tahun ini Kami tunggu-tunggu. Yaitu, memiliki keturunan. Dan, Allah menjawab Doa Kami. Meskipun dengan proses yang tidak semestinya Kamu inginkan. Kami menyebutmu, Gadis Bermata Biru dari Lamno. Kamu, seperti Ibumu, bermata biru," ucap Nenek Hafsah.
"Kakek! Nenek!" Ziya memeluk keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Kusuma Fatwaningsih
masyaAllah... cerita ini, baru bab 1 sdh bikin nyeseekkk..... 😭😭😭😭😭
alfatheka utk para korban tsunami Aceh 🤲
2022-10-26
0
atidapurhejo
gaya bahasanya enak, cerita awalny juga menarik, semangat ya thorr
2022-08-16
1
Ipung Ningsih
Baru bc bab pertama, tapi sdh baper dgn nasib ziya, sptix ceruta dln novel ini bagus. Smg sesuai dgn expectasi ❤
2022-03-14
1