Pukul 04.30
Ziya mengetuk pintu kamar Devan. Semalam, Ziya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia masih saja mengingat peristiwa yang telah terjadi padanya. Di satu sisi, Ziya sangat bersyukur karena seseorang telah menyelamatkan hidupnya. Namun disisi lain, Ziya menyesal telah mengucapkan sebuah Nazar (Sumpah) yang mungkin akan sangat menyulitkan baginya. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.
Tok tok tok
"Permisi, Mas Devan!"
Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Ziya kembali mengulang ketukan pintu dan memanggil nama Devan hingga 3 kali. Namun, Devan tak kunjung menjawab panggilan dari Ziya.
"Mungkin Mas Devan masih lelap. Ya sudah, nanti saja Aku bangunkan lagi, takut ganggu," ujar Ziya.
Cklek!
"Ada apa ketuk pintu kamar Saya?" Devan bertanya pada Ziya dengan suara khas saat bangun tidur.
"Eh, Mas Devan, mohon maaf kalau Saya mengganggu tidurnya."
"Iya, ada apa?"
"Mas Devan punya mukena? Saya mau Sholat Shubuh."
"Mukena? Kamu kira Saya Perempuan."
"A-ah, maaf kalau begitu. Saya permisi dulu."
Ziya membalikkan badan dan segera berjalan meninggalkan Devan yang masih berdiri di ambang pintu.
"Eh, tunggu!"
"Ya, Mas?"
"Sepertinya ada mukena milik ART Saya dulu. Coba Kamu cari di Kamar Tamu yang Kamu tempati semalam. Disana ada lemari kecil, Kamu cari saja disitu. Biasanya ART Saya simpan peralatan Sholat disana."
"Baik, Mas. Nanti Saya akan coba cari. Terima kasih, maaf sudah mengganggu."
"Iya."
Devan menutup kembali pintu kamarnya. Namun, entah kenapa dirinya merasa malu? Devan malu bukan karena Ziya telah melihat wajahnya saat baru bangun tidur, tapi Devan malu karena secara tak langsung seperti ada seseorang yang menyentil dan mengingatkannya akan sebuah kewajiban. Kewajiban itu adalah menjalankan ibadah Sholat.
Selama ini, Devan kurang memperhatikan Ibadahnya. Ia lebih menyibukkan dirinya dengan sesuatu hal yang bersifat duniawi.
Dan, pada akhirnya Devan tidak melanjutkan tidurnya. Ia menuju kamar mandi untuk bersuci, lalu melaksanan Sholat Shubuh.
Pukul 06.30
Ziya membantu merapikan Apartemen Devan, kemudian Ziya menyiapkan sarapan. Ziya memasak Mie Instan untuk Devan. Ziya sudah terbiasa tidak sarapan, jadi Ia hanya memasak Mie Instan untuk satu porsi.
Devan keluar dari kamarnya. Ia menggunakan setelan Jas kantor dan menuju ke Meja Makan.
"Kamu sudah sarapan? Kok, hanya ada satu porsi makanan?" Devan bertanya pada Ziya.
"Tidak," jawab Ziya datar.
"Tidak? Maksudnya belum?"
"Tidak. Saya tidak sarapan."
"Kenapa?"
"Saya sudah terbiasa tidak sarapan pagi."
Devan tak banyak tanya lagi, Ia segera duduk di Meja Makan dan menyantap makanan yang telah disediakan oleh Ziya.
"Ziya!"
"Ya, Mas?"
"Kamu yakin enggak sarapan?"
"Iya."
"Mungkin Kamu mau minum teh atau kopi?
"Tidak. Saya minum air putih saja sudah cukup. Walaupun sebenarnya Saya minum Susu juga untuk sedikit mengenyangkan perut. Tapi, sayangnya tidak ada Susu di Kulkas. Maaf ya Mas, kalau Saya sudah lancang dan berani masuk ke Dapurnya Mas Devan. Saya hanya bingung harus melakukan apa? Jadi, Saya inisiatif membuatkan Mas Devan sarapan."
"Iya, tidak apa-apa. Saya tidak keberatan."
"Benar apa yang dikatakan Mas Devan."
"Tentang?" Devan bertanya dengan mimik wajah serius.
"Ternyata memang hanya ada Mie Instan."
Devan memutarkan bola matanya. Devan merasa sepertinya Ziya telah meledeknya.
"Oh! Saya memang belum sempat belanja. Dua hari yang lalu, Saya baru pulang dari Austria. Sudah 6 tahun Saya tinggal disana. Dua Minggu yang lalu, Ibu Saya yang membelikan Apartemen ini untuk Saya. Semua perabotan dan perlengkapan yang ada di Apartemen ini, sudah diurus semuanya oleh Ibu Saya. Jadi, mungkin saja Ibu Saya hanya membeli sedikit persediaan makanan untuk Saya. Yang pasti, Ibu Saya selalu menyediakan Mie Instan. Karena Saya hanya bisa memasak itu saja."
"Begitu, ya! Bukannya tadi Mas Devan bilang kalau Mas Devan ada ART? Karena, tadi Shubuh Saya menggunakan alat Sholat milik ART Mas Devan."
"Oh itu, Beliau memang ART Saya sejak kecil. Namanya Bi Asih. Beliau adalah ART dirumah Orang Tua Saya. Ibu meminta Bi Asih untuk mengurus Apartemen ini sebelum Saya tiba di Indonesia. Bi Asih bertugas untuk membersihkan Apartemen ini. Jadi, bilamana nanti Saya sudah tiba di Indonesia, Apartemen ini bisa langsung Saya tempati. Dan, untuk alat Sholat yang Kamu pakai itu, Saya sudah hafal kebiasaan Bi Asih. Beliau pasti menyimpan alat Sholatnya."
"Oh, begitu. Jadi, kalau Mas Devan mau makan setelah pulang kerja, siapa yang masakin?"
"Paling Delivery, atau mungkin makan diluar. Simple."
"Lalu, kenapa Mas Devan lebih memilih tinggal sendiri di Apartemen? Padahal, lebih nyaman tinggal bersama Keluarga Mas Devan."
"Apa, ya? Saya lebih senang tinggal sendiri soalnya. Lagipula, ada Adik Saya yang tinggal bersama Orang Tua Saya. Dan, Dia juga masih Kuliah."
Devan kembali melanjutkan makannya, dan disaat yang bersamaan, Ziya memutar otak. Bagaimana merangkai kata yang tepat untuk menjelaskan perihal semalam?
"Oh ya, Ziya?"
"Ya?"
"Ada yang mau Kamu sampaikan?"
"A-ah, itu. Gimana ya? Saya bingung harus mulai dari mana?"
"Katakanlah! Saya ingin mendengar penjelasan dari Kamu. Jujur saja, Saya sangat kaget mendengar Pernyataan Kamu semalam. Bagi Saya, itu adalah suatu hal yang sangat tidak masuk akal."
"Maafkan Saya. Saya sendiri menyesali tentang apa yang sudah Saya katakan."
"Terus, bagaimana bisa Kamu mengatakan hal seperti itu?"
"Sebelumnya Saya minta maaf, semua ini berawal karena ucapan Saya dalam hati."
"Ucapan dalam hati?"
"Ya. Saya telah bernazar."
"Nazar? Maksud Kamu bersumpah? Astaga!" Devan mengusap wajahnya.
Ziya menganggukkan kepala dengan perlahan. Lalu, Ia merasa begitu takut hingga menundukkan kepalanya.
"Ziya, bagaimana bisa Kamu mengucapkan Sumpah seperti itu? Ini enggak main-main, lho! Kamu bisa berdosa jika tidak menjalankan sumpah itu. Apalagi, Kamu sudah berjanji sama Tuhan."
Ziya tak bergeming, Ia masih saja diam seribu bahasa. Bulir bening dari sudut matanya mulai menitik. Ziya menelan saliva, dan mencoba untuk menenangkan hatinya.
"Kenapa diam saja? Coba jelaskan, kalimat Nazar apa yang telah Kamu ucapkan?"
Ziya menjelaskan kepada Devan tentang peristiwa yang terjadi padanya tadi malam. Ziya mengatakan pada Devan tentang kalimat Nazar yang telah Ia ucapkan di dalam hati. Devan tersentak ketika mendengar kalimat tersebut.
"Hah? Apa? Kamu kira kalau Kamu itu Dayang Sumbi? Astaga! Enggak habis pikir Saya. Sialnya, kenapa harus Saya orangnya."
"Maafkan Saya, Mas. Jauh dari lubuk hati Saya, sebenarnya Saya menginginkan seorang Wanita yang menolong Saya. Meskipun memang tak ada yang menolong Saya, Saya hanya bisa pasrah, lebih baik Saya mati daripada harus ternodai. Tapi, Saya sangat kaget, ternyata Mas Devan yang menolong Saya. Saya sangat menyesal, Mas."
"Ah, mungkin sudah takdirnya kalau harus Saya menolong Kamu."
"Kalau begitu, bagaimana bisa Mas Devan menolong Saya?"
"Kamu mau tahu?"
"Ya. Bagaimana?"
"Hah! Jadi, semalam itu Saya memang kebetulan sedang lewat. Saya memang berniat ke Panti Jompo. Begitu Saya mau sampai, kira-kira sekitar 20 meter, Saya melihat Kamu ditarik paksa oleh 2 Orang Pria. Saya sudah menyadari kalau ada hal yang enggak beres. Maka dari itu, Saya mengikuti mobil Mereka. Mobil Mereka melaju cukup cepat, Saya hampir saja kehilangan jejak Mereka. Tapi, Saya sudah menghapal jenis mobil beserta plat mobil Mereka. Kebetulan, mobil itu parkir di garasi rumah yang berada dipinggir jalan. Lalu, Saya mencoba turun dari mobil, kemudian memastikan bahwa situasi sudah aman. Saat Saya turun, sepertinya Kamu sudah dibawa masuk ke dalam. Saya mencoba menelepon Polisi, kebetulan Saya memiliki teman yang dinas di Kepolisian. Sambil menunggu Polisi tiba, Saya mencoba mengendap masuk ke dalam rumah tersebut. Saya berusaha mencari-cari ke setiap sudut ruangan. Cukup lama Saya mencari, Saya mendengar suara Mereka sedang tertawa. Ternyata, Kamu dibawa ke Kamar belakang. Sepertinya itu kamar pembantu. Dan, terjadilah peristiwa seperti yang sudah Kamu saksikan tepat di depan matamu."
"Maafkan Saya, Mas. Harusnya Saya tidak mengucapkan sumpah seperti itu. Pikiran Saya saat itu sudah buntu. S-Saya—"
"Ya, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Kamu sudah bernazar seperti itu. Sekarang, hanya tinggal memikirkan saja bagaimana caranya mencari solusi yang terbaik."
"Maksudnya, Mas Devan setuju menikahi Saya?"
"Saya tidak bilang setuju. Tapi, bagaimana sebaiknya mencari solusi untuk masalah ini?"
"Baik, Mas. Saya sendiri sudah kehabisan kata-kata."
"Satu fakta yang harus ketahui, kenapa semalam Saya marah besar sama Kamu? Sampai-sampai Saya harus mengatakan tentang bagaimana masa depan Saya nanti?"
"Kenapa, Mas?"
"Maaf, Saya sudah bertunangan. Saya sangat mencintai tunangan Saya. Dan, 6 bulan lagi Kami akan menikah. Lalu, coba Kamu pikirkan, bagaimana bisa Saya menikah dengan Kamu? Seorang Wanita yang baru saja Saya kenal gara-gara menolongnya dari Orang-orang Jahat."
"Maaf, Mas."
"Sudah, Kamu tidak perlu terus-terusan meminta maaf. Lebih baik, Kita pikirkan solusinya. Saya hanya tidak ingin menyakiti hati tunangan Saya. Terlebih, jangan sampai Ia mengetahui hal ini. Selain itu, Saya juga tidak mungkin mengabaikan Nazar yang telah Kamu ucapkan. Saya cukup paham, Nazar itu mesti dilaksanakan. Karena, itu sudah menyangkut janjimu dengan Tuhan."
"Iya, Mas. Kalau memang seperti itu, Saya tidak masalah jika Mas Devan mengabaikan Saya. Ini memang sepenuhnya kesalahan dari Saya. Saya benar-benar sangat menyesal. Apalagi Mas Devan sangat mencintai tunangan Mas Devan. Saya hanya tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan Kalian. Itu semua tidak benar. Lebih baik Saya menanggung dosa yang sudah terlanjur Saya lakukan."
"Sudah, sudah! Lebih baik Kamu berhenti menyalahkan diri Kamu. Jika Saya jadi Kamu, Saya juga tidak ingin mengalami peristiwa semalam. Mungkin saja, Saya melakukan hal yang sama dengan yang Kamu lakukan, karena saking ketakutannya. Saya hanya tidak ingin menyakiti perasaan Tunangan Saya, itu saja."
"Ya sudah, Mas. Lebih baik Saya mundur saja. Mas Devan tidak perlu terlibat lagi. Anggap saja Mas Devan tidak tahu apa-apa. Bagaimana, Mas?"
Devan berpikir sejenak. Ia berusaha memutar otak untuk mencari solusi yang terbaik. Ia tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan.
"Baiklah, Saya pergi ke Kantor dulu, Kamu tetap disini saja!"
"Tidak, Mas."
"Kenapa? Kamu mau Saya antar pulang saja?"
"Iya. Sebenarnya, sudah janji bertemu dengan seseorang. Seharusnya Saya datang pukul 6 pagi. Tapi, Saya terpaksa membatalkan janji Saya. Semoga saja Beliau tidak khawatir menunggu Saya."
"Jadi, Kamu sudah janjian dengan Orang Lain? Kenapa enggak bilang dari tadi?"
"Pikiran Saya masih kacau, Mas. Saya hanya tidak ingin menunjukkan kesedihan Saya depan Beliau. Selama ini, Beliau hanya mengetahui sisi ceria Saya."
"Baiklah, Saya akan antar Kamu pulang. Tapi, bagaimana jika Orang Tuamu sampai tahu setelah melihat kondisi Kamu seperti ini? Apalagi sampai diantar pulang oleh seorang Pria, pagi-pagi pula. Apa enggak akan menimbulkan prasangka buruk nantinya buat Mereka?"
"Anu, begini, Saya tinggal di Kost-an."
"Oh, begitu. Jadi, Orang Tua Kamu di luar Kota?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Saya Yatim Piatu. Saya di Jakarta hidup sebatang kara."
"K-kamu serius?" Devan terperangah seolah tak percaya.
"Iya. Saya datang dari Lamno, Aceh. Papa dan Mama Saya meninggal saat peristiwa Tsunami."
"Ya Tuhan, Saya minta maaf ya, Ziya! Saya tidak tahu kalau ternyata—"
"Tidak apa-apa, Mas. Kalau begitu, Saya mau pulang saja ke Kost-an. Setelah itu, Saya akan menemui seseorang."
"Baiklah, Saya akan antar Kamu. Sebaiknya, Kamu pakai baju Saya dulu saja. Baju Kamu sudah Saya cuci semalam dan masih agak basah."
"Lho, Saya jadi merepotkan Mas Devan."
"Enggak perlu sungkan. Kalau sudah rapi, bajunya akan Saya kirim ke tempat Kost Kamu."
"Baik, Mas. Terima kasih kalau Saya sudah banyak menyusahkan Mas Devan."
"Enggak masalah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Alfia
untung Devan masih singgel
aku g bisa bayangkan klu yg nolong kamu tu pria tua berperut buncit 😱
2022-04-20
0
Ipung Ningsih
Benar kan ya thor, si Devan ini cucux nenek Laras. Baik banget si Devan ini, anak org kaya biasanya klo ga arogan n dingin srta cuek. Ini baik banget n jg ramah.
2022-03-14
1