3 tahun kemudian...
Ziya sudah hampir meyelesaikan studi Keperawatannya. Sebentar lagi Ia akan di Wisuda. Namun, Ziya tidak merasakan kebahagiaan seperti temannya yang lain pada umumnya. Mereka saling bertukar cerita tentang siapa saja yang akan hadir di acara Wisuda yang akan diselenggarakan 2 bulan lagi.
"Bahagianya jadi Mereka. Kelulusan Mereka tentunya disaksikan oleh Kedua Orang Tua Mereka. Andai saja Nenek dan Kakek masih ada. Setidaknya, meskipun Aku sudah tidak memiliki Orang Tua, ada Nenek dan Kakek yang bisa hadir menyaksikan Wisudaku," Ziya membatin.
Ziya mulai menyadari, bulir bening di sudut matanya mulai menetes.
"Tenang Ziya, Kamu tidak boleh menangis. Kamu harus kuat!" imbuhnya sambil mengusap air mata.
Ziya memilih untuk melanjutkan Kuliahnya di Jakarta. Sebenarnya, Ia berharap agar Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah ikut bersamanya ke Jakarta. Namun, Mereka lebih memilih untuk tetap tinggal di Banda Aceh. Ziya terpaksa harus berangkat sendiri ke Jakarta. Ke Kota besar yang begitu asing baginya. Untung saja, Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah memiliki seorang sahabat di Jakarta. Beliau adalah seorang Pengusaha, namanya adalah Pak Dermawan. Sesuai namanya, Pak Dermawan adalah seorang yang dermawan. Beliau rutin memberikan santunan ke beberapa Panti Asuhan maupun Panti Jompo. Pak Dermawan selalu setia ditemani oleh Istrinya yang berhati mulia, Beliau adalah Ibu Laras.
Mereka lah yang membantu Ziya mencari Kampus Keperawatan terbaik di Jakarta. Mereka juga membantu mencarikan tempat Kost yang bagus, yang jaraknya tak jauh dari Kampus Ziya.
Ziya merasa sangat bahagia, karena masih ada Orang lain yang sangat peduli padanya.
Kala itu, satu tahun saat Ziya baru menjalani masa Kuliahnya atau sekitar 2 tahun yang lalu, Ziya harus menerima kabar duka yang menyatakan kalau Nenek Hafsah meninggal karena penyakit Komplikasi. Ziya merasa sangat terpukul saat mengetahui berita duka tersebut. Ia segera pulang ke Aceh untuk melihat Nenek Hafsah untuk terakhir kalinya.
Sepeninggalnya Nenek Hafsah, Ziya meminta Kakek Rahmat untuk ikut bersamanya ke Jakarta. Terlebih lagi, Kakek Rahmat tidak akan merasa kesepian lagi karena ditinggal oleh separuh jiwanya. Awalnya, Kakek Rahmat menolak untuk ikut pindah. Beliau lebih memilih untuk tetap tinggal di Aceh. Ziya merasa tidak tenang jika harus meninggalkan Kakek Rahmat sendiri di Aceh tanpa adanya sanak keluarga. Setelah Ziya berusaha keras membujuk Kakek Rahmat dan meminta bantuan kepada Pak Dermawan, akhirnya Kakek Rahmat luluh dan ikut bersama Ziya pindah ke Jakarta. Kakek Rahmat lebih memilih tinggal di Panti Jompo, dengan alasan takut merepotkan Ziya. Apalagi Ziya sibuk Kuliah. Dan, selama Ziya Kuliah, pasti tidak ada yang menemani Kakek Rahmat. Dengan adanya Kakek Rahmat di Panti Jompo, Kakek Rahmat bisa bersosialisasi dengan teman-teman yang sebaya dengan Beliau. Akhirnya, Ziya menuruti keinginan Kakek Rahmat.
Demi bisa bertemu dan merawat Sang Kakek, akhirnya Ziya memutuskan untuk bekerja paruh waktu di Panti Jompo. Apapun Ia lakukan, mulai dari menyiapkan makanan untuk Para Lansia, membantu membersihkan lingkungan Panti, dan juga membantu Perawat yang lain ketika Mereka sedang sibuk. Semua Ziya lakukan dengan sukarela. Ziya tidak mengharapkan imbalan apapun. Baginya, selama Para Lansia senang, Ziya pun pasti merasa sangat bahagia melihat Para Lansia bahagia di hari tua Mereka.
Satu bulan setelah Kakek Rahmat tinggal di Panti Jompo, Beliau selau termenung setiap kali mengingat kenangan bersama Nenek Hafsah. Meskipun Kakek Rahmat memiliki banyak teman, tapi perasaan sepi dan kehilangan itu tidak bisa dipungkiri. Betapa tidak, selama ini yang menemani dan memberikan kebahagiaan pada Kakek Rahmat adalah Nenek Hafsah. Beliau benar-benar merasa sangat kehilangan.
Pada akhirnya, Kakek Rahmat sering sakit-sakitan karena stress sebagai pemicunya. Nafsu makan Beliau turun drastis, begitupun berat badan Beliau. Selain itu, Kakek Rahmat sudah mulai enggan untuk bercengkrama dengan Para Lansia yang lain. Kakek Rahmat lebih memilih untuk menyendiri. Ziya yang melihat Kakek Rahmat seperti itu merasa sangat terpukul. Ziya hanya takut kehilangan lagi orang yang sangat Ia sayangi.
Namun, takdir berkata lain, Kakek Rahmat meninggal tepat 3 bulan setelah kepergian Nenek Hafsah. Ziya semakin tak kuasa menahan rasa sakit dan sedih, Ia sangat terpukul. Kakek Rahmat satu-satunya Keluarga terakhir yang Ia miliki. Ziya merasa dunianya runtuh. Semua orang yang Ia cintai harus pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Bahkan, 2 tahun setelah meninggalnya Kakek Rahmat, lagi-lagi Ziya harus kehilangan sosok yang begitu baik padanya, yaitu Pak Dermawan. Beliau meninggal karena sakit jantung. Tinggallah satu-satunya Ibu Laras, yang selama ini Ia panggil dengan sebutan Nenek Laras. Karena, usia Pak Dermawan dan Ibu Laras tidak berbeda jauh dengan usia Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah.
Sepeninggalnya Pak Dermawan, Ibu Laras memilih untuk tinggal di Panti Jompo. Meskipun Ibu Laras memiliki Anak dan Menantu, Ia tetap merasa hampa. Karena, Anak dan Menantunya sibuk bekerja, dan kerap kali merindukan sosok Almarhum Suaminya. Maka dari itu, Beliau lebih memilih menghabiskan masa tua di Panti Jompo.
"Ziya, terima kasih ya, Nak! Selama Nenek di Panti Jompo, Kamu selalu merawat dan menghibur Nenek. Padahal, Kamu sendiri sudah sibuk dengan kegiatan Kuliah Kamu. Kamu memang Gadis yang berhati mulia. Pantas saja, Kakek dan Nenek Kamu sangat menyayangi Kamu."
"Nek, Ziya merasa bahagia jika melihat Nenek Laras bahagia. Ziya senang sekali jika Ziya melihat Nenek selalu tersenyum. Ziya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hanya Nenek satu-satunya yang sudah Ziya anggap sebagai Keluarga Ziya sendiri. Maka dari itu, Ziya menyayangi Nenek Laras. Ziya akan berusaha untuk selalu menjaga dan merawat Nenek. Nenek sudah sangat baik pada Ziya dan begitu peduli pada Ziya."
"Ziya, Nenek bangga sekali padamu. Meskipun Kamu bukan Cucu kandung Nenek, tapi Nenek merasa kalau Kamu itu sudah seperti Cucu Kandung Nenek. Nenek juga sangat menyayangi Ziya. Kemari, Nak! Nenek ingin memelukmu."
Ziya mendekatkan tubuhnya, kemudian memeluk Nenek Laras.
"Nek, Ziya janji. Ziya akan selalu menemani Nenek. Karena, mulai saat ini, Ziya akan selalu ada di Panti ini."
"Lho, bagaiamana dengan Kuliah Kamu, Nak?"
"Dua bulan lagi Ziya akan di Wisuda. Ziya juga sudah menjalani sidang kelulusan. Jadi, Ziya bisa setiap hari datang ke Panti."
"Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu, Nak. Nenek bahagia mendengarnya. Oh ya, nanti siapa yang akan hadir di acara Wisuda Kamu?"
Seketika suasana menjadi hening. Ziya terdiam saat Nenek Laras bertanya.
"Ziya, maafkan Nenek. Nenek tidak bermaksud..."
"Tidak apa-apa, Nek. Ziya memang sudah tidak punya Keluarga lagi. Jadi, Ziya akan menjalani masa Wisuda Ziya tanpa disaksikan oleh Keluarga. Tidak seperti teman-teman Ziya yang lain."
"Ziya, jangan berkata seperti itu. Masih ada Nenek."
"Maksud Nenek?"
"Jika Nenek diberi umur panjang dan kesehatan, Nenek janji, Nenek akan menghadiri Wisuda Kamu."
"Benar, Nek?" mata Ziya berkaca-kaca.
"Ya."
"Alhamdulillah, terima kasih, Nek!"
"Iya, Nak!" Nenek Laras mengusap lembut rambut Ziya sambil tersenyum
"Ziya, hari ini Nenek dapat kabar," imbuh Nenek Laras.
"Kabar apa ya, Nek?"
"Hari ini rencananya Cucu Nenek akan pulang ke Indonesia. Dia baru saja menyelesaikan studi S2 di Austria. Hah! Sudah 6 tahun Nenek tidak bertemu dengan Cucu kesayangan Nenek satu-satunya. Sebentar lagi, Ia akan mewarisi Perusahaan milik Keluarga Kami."
"Alhamdulillah. Selamat ya, Nek! Nenek pasti sangat bangga pada Cucu Nenek."
"Oh ya, kapan-kapan Nenek akan memperkenalkan Kamu dengan Cucu Nenek."
"Iya, Nek! Kalau begitu, Ziya ke Dapur dulu, mau bantu menyiapkan makan siang."
"Ya sudah kalau begitu, terima kasih sudah menemani Nenek."
"Iya, sama-sama, Nek."
Waktu terus berganti, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ziya yang sudah seharian bekerja, masih tetap semangat dan selalu tersenyum. Selama Ia bekerja di Panti, tak pernah sekalipun Ia mengeluh atau terlihat lelah. Ziya selalu menjalankan tugasnya dengan senang hati. Maka dari itu, pemilik Panti dan Para Suster sangat menyukai Ziya.
"Nenek Laras, Ziya pamit pulang dulu, ya! Besok pagi-pagi Ziya akan datang lagi."
"Lho, ini sudah pukul 9 malam. Lebih baik Kamu menginap disini saja. Lagipula, tumben Kamu pulang jam segini?"
"Iya, Nek. Barusan Ziya bantu Suster Rahma dulu."
"Tapi, bahaya kalau Kamu pulang sendiri. Apalagi daerah sini susah angkutan umum. Nenek minta Pak Rudi antar Kamu, ya!"
"Tidak usah, Nek! Ziya sudah pesan ojek online, kok! Sebentar lagi ojeknya sampai. Ziya pamit pulang ya, Nek!"
"Iya, hati-hati ya, Nak!"
"Iya, Nek. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ziya bergegas keluar pagar, Ia melihat kembali ponselnya untuk mengetahui posisi ojek online yang sudah Dia pesan. Namun, sepertinya posisi ojek online masih cukup jauh. Ziya terpaksa harus menunggu beberapa menit, hingga ojek online tiba. Ziya menunggu tepat di pinggir jalan raya. Meskipun terbilang jalan raya, tapi jalan tersebut tampak sangat lengang. Saat siang hari saja sudah tampak sepi, apalagi saat malam hari.
Ziya tidak menyadari kalau dirinya tengah didekati oleh sebuah mobil minibus. Mobil itu berhenti tepat di depan Ziya.
"Ayo, Naik!" ujar seorang Pria yang mengemudikan mobil.
"Maaf, tapi Saya tidak pesan ojek mobil. Saya pesan ojek motor."
Pria itu memberi sebuah kode mata kearah jok belakang. Tak lama, pintu belakang mobil terbuka, keluarlah 2 orang Pria lagi. Mereka adalah sekelompok Pria yang ditaksir masih berusia 20an. Lalu, kedua Pria itu menarik tangan Ziya secara paksa, dan memasukkan Ziya ke dalam mobil untuk ikut bersama Mereka.
"KALIAN SIAPA? SAYA MAU DIBAWA KEMANA?"
"Udah ikut aja! Kita akan bersenang-senang malam ini," ujar salah satu dari Mereka.
"Tidak! Kalian mau apa? Kalau Kalian mau Uang, Saya akan berikan."
"Wah, Belagu banget ini cewek! Roy, enaknya Kita apakan ini cewek?"
"Kalian! Jangan-jangan? TOLONG!!! TOLONG!!!"
"Eh, percuma Loe teriak-teriak. Ngga bakalan ada yang dengar."
Ziya meronta-meronta, Ia berusaha melepaskan diri dari para Pria tersebut. Namun, sekuat apapun Ia berteriak, tak ada seorang pun yang mendengar, bahkan menolongnya. Kedua tangan Ziya diikat, lalu mulutnya ditutup agar tidak berteriak lagi.
"Ya Allah, tolong Hamba! Sebenarnya, Hamba hendak dibawa kemana? Siapa Mereka? Apa motif Mereka menculik Hamba?"
Beberapa menit kemudian, mobil masuk ke sebuah garasi rumah yang cukup besar. Rumah itu tampak sangat sepi.
"Ayo, turun!"
Ziya dipaksa untuk mengikuti ketiga Pria tersebut. Ziya terus bertanya-tanya dalam hati, siapakah pemilik rumah ini? Apakah penculikan ini sudah direncanakan?
Ziya dibawa ke dalam sebuah kamar dengan desain maskulin. Sepertinya, Kamar ini merupakan milik salah satu dari ketiga Pria yang menculik Ziya.
Mereka melemparkan tubuh Ziya ke atas ranjang.
"Guys, ceweknya cakep banget, orang Indo. Menang banyak nih Kita."
"Ya iyalah, Gue udah beberapa hari ini stalker-in nih cewek. Pada puas kan Loe pada?"
Ziya makin meronta-meronta, Ia sangat ketakutan. Ziya sekuat tenaga berusaha untuk bisa keluar dari kamar tersebut. Ia tak mampu berteriak, Ia hanya bisa menangis. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti. Ziya lebih memilih untuk mati daripada harus ternodai oleh Mereka.
Semakin Ziya berusaha keras untuk lepas dari Mereka, Mereka malah semakin tertawa licik.
"Ya Allah, Aku tahu jika semua ini tidak mungkin. Tapi, Hamba berharap pertolongan-Mu, Ya Allah. Jika ada seorang Wanita yang menolongku, maka akan kujadikan Ia sebagai Saudariku, Aku akan selalu membantunya dalam situasi apapun. Tapi, jika yang menolongku adalah seorang Pria, akan kujadikan Ia Suamiku. Aku berjanji akan selalu patuh kepadanya."
"Hei, cewek! Percuma Loe berusaha kabur. Malam ini Kita bertiga bakal nikmatin tubuh Loe yang mulus. Oke, siapa duluan yang mau nyicipin nih cewek?"
"Gue!"
Ziya membelalakkan matanya, harapannya sirna sudah. Malam ini Ia membayangkan akan berakhir tragis ditempat ini. Ziya sudah pasrah. Ia sudah tak sanggup berbuat apa-apa. Ziya hanya memikirkan tentang Dosa apa yang sudah Ia perbuat sehingga harus menerima akhir tragis seperti ini.
Brak!!!
"Siapa Loe? Berani-beraninya masuk kesini!"
"LEPASIN PEREMPUAN ITU!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Ati Nurhayati
kebiasaan orang Aceh memang seperti ini. bernazar 😁
2023-06-22
0
Ipung Ningsih
Waaah ada yg nolongin Ziya.. apa cucu nenek Laras yg nolongin Ziya ya
2022-03-14
2