Tanggal 26 Desember 2004 silam, Indonesia menangis. Dimana saat itu terjadi bencana besar yang meluluhlantakkan Propinsi Aceh. Gempa berkekuatan 9,3 SR dan Tsunami menyapu habis seluruh Aceh. Bencana tersebut memakan ratusan ribu jiwa, termasuk Ayah dan Ibu dari Ziya Nameera.
Ketika itu, Ziya masih berusia 3 tahun. Ayah Ziya meninggal akibat tertimpa reruntuhan bangunan saat bekerja disebuah Proyek Pembangunan Gedung.
Pasca Gempa terjadi, Ziya dan Ibunya hendak menyusul Ayah Ziya ke tempat kerjanya. Namun, Mereka tidak mengetahui bahwa Suami sekaligus Ayah Ziya ternyata sudah meninggal di tempat akibat tertimpa reruntuhan bangunan yang sedang dalam proses pembangunan.
"Ziya, Kamu tunggu di Ruang Tamu dulu ya, Nak! Mama mau membereskan barang-barang yang akan Kita bawa."
"Memang Kita mau kemana, Ma?"
"Nanti Ziya juga akan tahu. Pokoknya, Ziya tunggu Mama ya, Nak! Setelah ini, Kita akan susul Papa ke tempat kerjanya."
"Iya, Ma."
Ibunda Ziya bergegas merapikan barang-barang yang hendak dibawa. Ia lebih banyak memasukkan segala kebutuhan Ziya kedalam sebuah tas besar. Tak lupa, Ia memasukan sejumlah Uang kedalam sebuah amplop coklat dan menulis pesan di secarik kertas. Lalu, Ia memasukkan kertas tersebut kedalam amplop coklat yang berisikan sejumlah Uang.
"Mama, Mama, ada banyak air masuk kedalam rumah Kita. Cepat, Ma! Airnya banyak sekali," Ziya berteriak memanggil Ibunya yang saat itu sedang berada di Kamar.
Ibunda Ziya sangat panik saat menyadari kalau air yang telah masuk kedalam rumahnya sudah mencapai mata kaki orang Dewasa.
"Tsunami... Cepat lari!" teriak orang-orang diluar Rumah Mereka.
Ibunda Ziya semakin panik, Ia bergegas menggendong Ziya dan membawa serta tas yang sudah Ia persiapkan.
"Yaa Allah, jika Aku harus berpisah dari Anakku hari ini. Aku mohon, jagalah Anakku. Biarkan Anakku bertemu dengan Orang-orang yang baik, yang ikhlas merawat Anakku dengan penuh kasih sayang," ucap Ibunda Ziya dalam hati.
Ibunda Ziya menggendong Ziya dengan sangat erat. Air laut sudah mengalir sedemikian deras. Para Warga berusaha mecoba naik ke tempat yang lebih tinggi. Ada yang berusaha naik ke atap rumah, ada pula yang mencoba memanjat pohon yang lebih tinggi demi bisa bertahan selama arus Tsunami menyapu tanah yang Mereka pijak. Syukur-syukur jika ada Warga yang rumahnya memiliki 2 lantai. Mereka bisa bertahan dirumah sendiri. Namun sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi Keluarga Ziya. Rumah Mereka hanya 1 lantai. Alhasil, Ziya dan Ibunya harus mencari perlindungan ke tempat yang lebih tinggi.
Ibunda Ziya tak sanggup berlari, karena air laut sudah mulai mengalir hingga lutut orang dewasa. Ibunda Ziya tidak menyerah begitu saja, Ia terus mencari tempat berlindung. Yang ada dipikirannya hanyalah bagaimana caranya agar Ia bisa menyelamatkan Anaknya terlebih dahulu.
"Bu... Ibu, disini, Bu! Sini! Cepat!" teriak seorang Pria Paruh Baya.
Ibunda Ziya spontan mengalihkan pandangan kearah suara yang memanggilnya. Ternyata yang memanggilnya adalah seorang Kakek yang sudah lanjut usia. Beliau sedang bersama Istrinya berada di lantai 2 sebuah Masjid.
"Pak, cepat bantu Ibu itu, kasian, Pak!" titah Istri dari Kakek tersebut.
Sang Kakek dan Nenek pun setengah berlari dan menuruni tangga untuk menyusul Ziya dan Ibunya yang sudah susah payah berjalan menuju kearah Masjid. Para Warga sangat panik dan ketakutan. Mereka semua sibuk dan bersusah payah menyelamatkan diri dan Keluarga Mereka masing-masing.
Ibunda Ziya bersyukur, karena masih ada Orang-orang yang begitu peduli padanya dan juga Anaknya.
Ibunda Ziya sudah sampai di anak tangga pertama. Sang Nenek mengulurkan tangannya untuk menggendong Ziya terlebih dahulu. Sedangkan Sang Kakek membantu untuk membawakan tas yang telah dibawa.
"Ayo, Bu. Anak Ibu biar Saya gendong," ujar Sang Nenek.
"Terima kasih, Bu."
"Cepat....cepat.....Air lautnya semakin tinggi!"
Sontak orang-orang semakin panik dan histeris saat mendengar kabar tersebut. Ibunda Ziya terpincang-pincang menaiki tangga. Nahas, air sudah semakin deras dan begitu cepat menenggelamkan sebagian tubuh Ibunda Ziya. Ia melihat sang Kakek sudah hampir menuju anak tangga terakhir sambil berusaha sekuat tenaga menggendong Ziya.
"Aku...Aku... sudah tidak kuat lagi," Ibunda Ziya membatin.
Ibunda Ziya terdiam menatap Ziya yang sudah selamat, kemudian Ia tersenyum sambil berderai air mata. Ia sudah tak sanggup lagi mengikuti langkah Mereka. Kakinya terluka karena sempat menginjak benda tajam saat berjalan menuju kearah Masjid.
"Yaa Allah, terima kasih. Semoga Kakek dan Nenek itu adalah orang-orang yang tepat, yang bisa merawat dan menyayangi Anakku," bisiknya parau.
Tak kuasa, tubuh Ibunda Ziya ikut hanyut oleh arus Tsunami yang begitu besar.
"Akhirnya, Kita sampai ke atas," ujar Sang Nenek.
"Alhamdulillah. Bu, akhirnya Ibu dan Anak Ibu sela-mat."
Sang Kakek menoleh kebelakang. Namun, Beliau tidak mendapati sosok dari Ibunda Ziya. Terdengar dari beberapa Warga sekitar yang meneriaki kalau ada seorang Wanita yang ikut hanyut terbawa arus Tsunami.
Sang Kakek dan Nenek pun sangat panik mendengar ucapan dari Mereka. Bagaimana jika itu adalah Ibu dari Anak yang Mereka bawa? Bagaimana nasib Anak tersebut jika Ibunya sudah tidak ada?
Mereka mencoba meyakinkan, siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Warga?
Saat Mereka melihat dengan jelas, ternyata benar, tubuh yang telah terbawa oleh arus Tsunami adalah Ibunda Ziya, Ibu dari Anak kecil yang Mereka bawa.
Sang Kakek dan Nenek pun sangat shock ketika melihat pemandangan di depan mata Mereka sendiri, dimana Ibunda Ziya terseret arus Tsunami yang begitu besar.
Mereka menangis seolah merasakan kesedihan yang menimpa Ziya.
"Yaa Allah, kasihan Anak ini, Pak! Aku tidak tega melihat Anak ini harus kehilangan Ibunya."
Sang Nenek yang diketahui bernama Hafsah, menangis sesenggukan sambil memeluk erat tubuh kecil Ziya.
Ziya yang tak tahu apa-apa hanya bisa menangis sendu, karena Ia berusaha mencari sosok Ibunya yang tak kunjung Ia temukan.
"Yang sabar ya, Nak. Kami janji, Kami akan merawatmu seperti Anak Kami sendiri," ujar Sang Kakek yang diketahui bernama Rahmat.
15 tahun kemudian...
Satu tahun pasca kejadian Tsunami, Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah memilih untuk meninggalkan Lamno, Aceh Jaya. Mereka membawa serta Ziya ikut bersama Mereka dan mengajaknya tinggal di Banda Aceh. Mereka berharap, kehidupan Mereka dan juga Ziya lebih terjamin jika tinggal di Kota Besar.
"Kakek, Nenek. Alhamdulillah, Ziya lulus dengan nilai terbaik."
"Alhamdulillah. Tidak terasa, Kamu sudah lulus Sekolah ya, Nak. Andai saja, Ibu dan Ayahmu bisa melihatmu seperti sekarang ini, pasti Mereka sangat bangga sekali padamu," ujar Kakek Rahmat.
"Pak, sudah. Jangan berkata seperti itu!"
Ziya terdiam saat mendengar ucapan Kakek Rahmat. Ia kembali teringat tentang musibah 15 tahun silam yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ziya mengetahui dari Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah, tentang bagaimana Ibunya meninggal. Namun, sampai detik ini, Ziya tak pernah mengetahui bagaimana Ayahnya meninggal.
"Ziya, Kita masuk, yuk! Nenek sudah menyiapkan makan siang untuk Kamu. Sudah, Ziya jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik, Ziya terus mendoakan Orang Tua Ziya ya, Nak! Ayo, Kita masuk sekarang!"
Ziya menganggukkan kepala perlahan. Ia berusaha menenangkan hatinya yang sedang sedih. Ziya tidak merasa kesal kepada Kakek Rahmat. Memang benar yang diucapkan oleh Kakek. Hanya saja, Ziya jadi terbawa perasaan.
"Oh ya, setelah lulus, Ziya mau melanjutkan Kuliah atau bagaimana?" tanya Kakek Rahmat.
"Hmm, Ziya belum tahu, Kek. Ziya inginnya Kuliah, ambil jurusan Keperawatan."
"Wah, bagus sekali, Nak! Kamu ingin jadi Perawat?" tanya Nenek Hafsah.
"Iya, Nek. Ziya senang sekali membantu orang-orang yang sedang sakit. Selain itu, Ziya juga senang membantu tugas Dokter."
"Mulia sekali cita-cita Kamu. Kakek sama Nenek doakan, semoga cita-cita Kamu tercapai."
"Aamiin. Terima kasih, Kakek, Nenek."
Ziya memeluk Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah. Mereka larut dalam suasana haru dan bahagia.
"Ziya, sepertinya Kamu perlu mengetahui sebuah rahasia."
"Rahasia? Rahasia apa itu, Kek?"
Kakek Rahmat berjalan menuju kamarnya. Tak lama, Ia keluar kamar sambil membawa sepucuk surat yang sudah terlihat lusuh dan buku tabungan. Ia menyerahkan kedua benda tersebut ke tangan Ziya.
"Apa ini, Kek? Kenapa Kakek memberiku sepucuk surat dan buku tabungan?"
"Silahkan Kamu baca terlebih dahulu suratnya. Sudah saatnya Kamu mengetahui semuanya."
Ziya hanya mengernyitkan dahi. Ia sangat penasaran tentang isi surat yang diberikan oleh Kakek Rahmat. Tangan Ziya tampak sedikit bergetar saat membuka surat tersebut.
Yang terhormat,
Bagi siapapun yang membaca surat ini, Saya yakin, Kalian adalah Orang-orang yang baik. Saya sengaja menulis surat ini karena Saya sendiri tidak bisa menjamin apakah Saya bisa selamat atau tidak? Begitupun dengan Ayah dari Anak Saya. Belum diketahui secara pasti apakah Ayah Anak ini selamat atau tidak? Namun, Saya ingin agar Anak Saya bisa tetap selamat dan berada di tangan Orang-orang yang tepat. Yang bisa merawat dan menyayangi Anak Saya.
Maka dari itu, Saya sisipkan sejumlah uang tunai senilai Rp 20.000.000, surat-surat penting untuk keperluan Anak Saya dimasa depan, buku tabungan atas nama Saya dan Anak Saya, dimana nanti bisa dicairkan untuk membiayai kehidupan Anak Saya dan juga Orang yang telah menolong Anak Saya. Satu lagi, ada kartu ATM yang isinya Tabungan Pribadi Saya. Nomor pinnya adalah bulan dan tahun lahir anak Saya (lihat di Akta Lahirnya), mungkin uang ini masih sangat kurang untuk membiayai Anak Saya hingga Ia Dewasa.Tapi yang pasti, Saya hanya bisa mendoakan kepada siapapun yang ikhlas menerima Anak Saya, Semoga Allah selalu melimpahkan Rezeki dan berkah untuk Kalian.
Dan, untuk Ziya Nameera (nama Anak Saya), mungkin ketika Kamu membaca surat ini, Mama sudah tidak bersamamu. Hiduplah dengan baik. Jangan pernah menyusahkan siapapun. Kamu Anak yang hebat. Kamu pasti kuat menghadapi ini semua. Maafkan Mama yang tidak bisa menemanimu hingga Dewasa ya, Nak!
Salam,
Mama (Ibu dari Ziya)
Bulir bening di sudut mata Ziya mulai menetes. Ia sudah tak sanggup menahan tangisnya. Terasa sangat menyesakkan. Nenek Hafsah segera memeluk tubuh Ziya. Beliau mencoba menenangkan Ziya.
Lalu, Ziya membuka buku tabungan yang telah diberikan oleh Kakek Rahmat. Ia sangat kaget ketika mengetahui nominal pada buku tabungan tersebut.
"Kakek! Ini?"
"Ya, pergunakanlah sebaik mungkin. Semua ini sengaja Kami simpan untuk biaya pendidikanmu. Uang tunai yang Ibumu berikan, Kakek pergunakan untuk biaya hidup Kita selama Aceh berada dalam masa pemulihan, dan juga Kakek pakai untuk modal usaha Kita membuka warung sembako."
Ziya sangat terharu mendengar ucapan Kakek Rahmat. Selama ini, Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah sangat Amanah. Mereka menggunakan uang tabungan Ziya hanya untuk keperluan Pendidikan Ziya mulai dari SD hingga SMA. Selanjutnya, Uang itu mungkin lebih dari cukup untuk membiayai Kuliah Ziya hingga lulus.
"Ziya! Kami sangat menyayangi Kamu seperti Anak Kami sendiri. Kamu adalah Anugerah dari Allah untuk Kami. Kami yakin, Kamu adalah jawaban dari Allah yang selama puluhan tahun ini Kami tunggu-tunggu. Yaitu, memiliki keturunan. Dan, Allah menjawab Doa Kami. Meskipun dengan proses yang tidak semestinya Kamu inginkan. Kami menyebutmu, Gadis Bermata Biru dari Lamno. Kamu, seperti Ibumu, bermata biru," ucap Nenek Hafsah.
"Kakek! Nenek!" Ziya memeluk keduanya.
3 tahun kemudian...
Ziya sudah hampir meyelesaikan studi Keperawatannya. Sebentar lagi Ia akan di Wisuda. Namun, Ziya tidak merasakan kebahagiaan seperti temannya yang lain pada umumnya. Mereka saling bertukar cerita tentang siapa saja yang akan hadir di acara Wisuda yang akan diselenggarakan 2 bulan lagi.
"Bahagianya jadi Mereka. Kelulusan Mereka tentunya disaksikan oleh Kedua Orang Tua Mereka. Andai saja Nenek dan Kakek masih ada. Setidaknya, meskipun Aku sudah tidak memiliki Orang Tua, ada Nenek dan Kakek yang bisa hadir menyaksikan Wisudaku," Ziya membatin.
Ziya mulai menyadari, bulir bening di sudut matanya mulai menetes.
"Tenang Ziya, Kamu tidak boleh menangis. Kamu harus kuat!" imbuhnya sambil mengusap air mata.
Ziya memilih untuk melanjutkan Kuliahnya di Jakarta. Sebenarnya, Ia berharap agar Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah ikut bersamanya ke Jakarta. Namun, Mereka lebih memilih untuk tetap tinggal di Banda Aceh. Ziya terpaksa harus berangkat sendiri ke Jakarta. Ke Kota besar yang begitu asing baginya. Untung saja, Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah memiliki seorang sahabat di Jakarta. Beliau adalah seorang Pengusaha, namanya adalah Pak Dermawan. Sesuai namanya, Pak Dermawan adalah seorang yang dermawan. Beliau rutin memberikan santunan ke beberapa Panti Asuhan maupun Panti Jompo. Pak Dermawan selalu setia ditemani oleh Istrinya yang berhati mulia, Beliau adalah Ibu Laras.
Mereka lah yang membantu Ziya mencari Kampus Keperawatan terbaik di Jakarta. Mereka juga membantu mencarikan tempat Kost yang bagus, yang jaraknya tak jauh dari Kampus Ziya.
Ziya merasa sangat bahagia, karena masih ada Orang lain yang sangat peduli padanya.
Kala itu, satu tahun saat Ziya baru menjalani masa Kuliahnya atau sekitar 2 tahun yang lalu, Ziya harus menerima kabar duka yang menyatakan kalau Nenek Hafsah meninggal karena penyakit Komplikasi. Ziya merasa sangat terpukul saat mengetahui berita duka tersebut. Ia segera pulang ke Aceh untuk melihat Nenek Hafsah untuk terakhir kalinya.
Sepeninggalnya Nenek Hafsah, Ziya meminta Kakek Rahmat untuk ikut bersamanya ke Jakarta. Terlebih lagi, Kakek Rahmat tidak akan merasa kesepian lagi karena ditinggal oleh separuh jiwanya. Awalnya, Kakek Rahmat menolak untuk ikut pindah. Beliau lebih memilih untuk tetap tinggal di Aceh. Ziya merasa tidak tenang jika harus meninggalkan Kakek Rahmat sendiri di Aceh tanpa adanya sanak keluarga. Setelah Ziya berusaha keras membujuk Kakek Rahmat dan meminta bantuan kepada Pak Dermawan, akhirnya Kakek Rahmat luluh dan ikut bersama Ziya pindah ke Jakarta. Kakek Rahmat lebih memilih tinggal di Panti Jompo, dengan alasan takut merepotkan Ziya. Apalagi Ziya sibuk Kuliah. Dan, selama Ziya Kuliah, pasti tidak ada yang menemani Kakek Rahmat. Dengan adanya Kakek Rahmat di Panti Jompo, Kakek Rahmat bisa bersosialisasi dengan teman-teman yang sebaya dengan Beliau. Akhirnya, Ziya menuruti keinginan Kakek Rahmat.
Demi bisa bertemu dan merawat Sang Kakek, akhirnya Ziya memutuskan untuk bekerja paruh waktu di Panti Jompo. Apapun Ia lakukan, mulai dari menyiapkan makanan untuk Para Lansia, membantu membersihkan lingkungan Panti, dan juga membantu Perawat yang lain ketika Mereka sedang sibuk. Semua Ziya lakukan dengan sukarela. Ziya tidak mengharapkan imbalan apapun. Baginya, selama Para Lansia senang, Ziya pun pasti merasa sangat bahagia melihat Para Lansia bahagia di hari tua Mereka.
Satu bulan setelah Kakek Rahmat tinggal di Panti Jompo, Beliau selau termenung setiap kali mengingat kenangan bersama Nenek Hafsah. Meskipun Kakek Rahmat memiliki banyak teman, tapi perasaan sepi dan kehilangan itu tidak bisa dipungkiri. Betapa tidak, selama ini yang menemani dan memberikan kebahagiaan pada Kakek Rahmat adalah Nenek Hafsah. Beliau benar-benar merasa sangat kehilangan.
Pada akhirnya, Kakek Rahmat sering sakit-sakitan karena stress sebagai pemicunya. Nafsu makan Beliau turun drastis, begitupun berat badan Beliau. Selain itu, Kakek Rahmat sudah mulai enggan untuk bercengkrama dengan Para Lansia yang lain. Kakek Rahmat lebih memilih untuk menyendiri. Ziya yang melihat Kakek Rahmat seperti itu merasa sangat terpukul. Ziya hanya takut kehilangan lagi orang yang sangat Ia sayangi.
Namun, takdir berkata lain, Kakek Rahmat meninggal tepat 3 bulan setelah kepergian Nenek Hafsah. Ziya semakin tak kuasa menahan rasa sakit dan sedih, Ia sangat terpukul. Kakek Rahmat satu-satunya Keluarga terakhir yang Ia miliki. Ziya merasa dunianya runtuh. Semua orang yang Ia cintai harus pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Bahkan, 2 tahun setelah meninggalnya Kakek Rahmat, lagi-lagi Ziya harus kehilangan sosok yang begitu baik padanya, yaitu Pak Dermawan. Beliau meninggal karena sakit jantung. Tinggallah satu-satunya Ibu Laras, yang selama ini Ia panggil dengan sebutan Nenek Laras. Karena, usia Pak Dermawan dan Ibu Laras tidak berbeda jauh dengan usia Kakek Rahmat dan Nenek Hafsah.
Sepeninggalnya Pak Dermawan, Ibu Laras memilih untuk tinggal di Panti Jompo. Meskipun Ibu Laras memiliki Anak dan Menantu, Ia tetap merasa hampa. Karena, Anak dan Menantunya sibuk bekerja, dan kerap kali merindukan sosok Almarhum Suaminya. Maka dari itu, Beliau lebih memilih menghabiskan masa tua di Panti Jompo.
"Ziya, terima kasih ya, Nak! Selama Nenek di Panti Jompo, Kamu selalu merawat dan menghibur Nenek. Padahal, Kamu sendiri sudah sibuk dengan kegiatan Kuliah Kamu. Kamu memang Gadis yang berhati mulia. Pantas saja, Kakek dan Nenek Kamu sangat menyayangi Kamu."
"Nek, Ziya merasa bahagia jika melihat Nenek Laras bahagia. Ziya senang sekali jika Ziya melihat Nenek selalu tersenyum. Ziya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hanya Nenek satu-satunya yang sudah Ziya anggap sebagai Keluarga Ziya sendiri. Maka dari itu, Ziya menyayangi Nenek Laras. Ziya akan berusaha untuk selalu menjaga dan merawat Nenek. Nenek sudah sangat baik pada Ziya dan begitu peduli pada Ziya."
"Ziya, Nenek bangga sekali padamu. Meskipun Kamu bukan Cucu kandung Nenek, tapi Nenek merasa kalau Kamu itu sudah seperti Cucu Kandung Nenek. Nenek juga sangat menyayangi Ziya. Kemari, Nak! Nenek ingin memelukmu."
Ziya mendekatkan tubuhnya, kemudian memeluk Nenek Laras.
"Nek, Ziya janji. Ziya akan selalu menemani Nenek. Karena, mulai saat ini, Ziya akan selalu ada di Panti ini."
"Lho, bagaiamana dengan Kuliah Kamu, Nak?"
"Dua bulan lagi Ziya akan di Wisuda. Ziya juga sudah menjalani sidang kelulusan. Jadi, Ziya bisa setiap hari datang ke Panti."
"Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu, Nak. Nenek bahagia mendengarnya. Oh ya, nanti siapa yang akan hadir di acara Wisuda Kamu?"
Seketika suasana menjadi hening. Ziya terdiam saat Nenek Laras bertanya.
"Ziya, maafkan Nenek. Nenek tidak bermaksud..."
"Tidak apa-apa, Nek. Ziya memang sudah tidak punya Keluarga lagi. Jadi, Ziya akan menjalani masa Wisuda Ziya tanpa disaksikan oleh Keluarga. Tidak seperti teman-teman Ziya yang lain."
"Ziya, jangan berkata seperti itu. Masih ada Nenek."
"Maksud Nenek?"
"Jika Nenek diberi umur panjang dan kesehatan, Nenek janji, Nenek akan menghadiri Wisuda Kamu."
"Benar, Nek?" mata Ziya berkaca-kaca.
"Ya."
"Alhamdulillah, terima kasih, Nek!"
"Iya, Nak!" Nenek Laras mengusap lembut rambut Ziya sambil tersenyum
"Ziya, hari ini Nenek dapat kabar," imbuh Nenek Laras.
"Kabar apa ya, Nek?"
"Hari ini rencananya Cucu Nenek akan pulang ke Indonesia. Dia baru saja menyelesaikan studi S2 di Austria. Hah! Sudah 6 tahun Nenek tidak bertemu dengan Cucu kesayangan Nenek satu-satunya. Sebentar lagi, Ia akan mewarisi Perusahaan milik Keluarga Kami."
"Alhamdulillah. Selamat ya, Nek! Nenek pasti sangat bangga pada Cucu Nenek."
"Oh ya, kapan-kapan Nenek akan memperkenalkan Kamu dengan Cucu Nenek."
"Iya, Nek! Kalau begitu, Ziya ke Dapur dulu, mau bantu menyiapkan makan siang."
"Ya sudah kalau begitu, terima kasih sudah menemani Nenek."
"Iya, sama-sama, Nek."
Waktu terus berganti, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ziya yang sudah seharian bekerja, masih tetap semangat dan selalu tersenyum. Selama Ia bekerja di Panti, tak pernah sekalipun Ia mengeluh atau terlihat lelah. Ziya selalu menjalankan tugasnya dengan senang hati. Maka dari itu, pemilik Panti dan Para Suster sangat menyukai Ziya.
"Nenek Laras, Ziya pamit pulang dulu, ya! Besok pagi-pagi Ziya akan datang lagi."
"Lho, ini sudah pukul 9 malam. Lebih baik Kamu menginap disini saja. Lagipula, tumben Kamu pulang jam segini?"
"Iya, Nek. Barusan Ziya bantu Suster Rahma dulu."
"Tapi, bahaya kalau Kamu pulang sendiri. Apalagi daerah sini susah angkutan umum. Nenek minta Pak Rudi antar Kamu, ya!"
"Tidak usah, Nek! Ziya sudah pesan ojek online, kok! Sebentar lagi ojeknya sampai. Ziya pamit pulang ya, Nek!"
"Iya, hati-hati ya, Nak!"
"Iya, Nek. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ziya bergegas keluar pagar, Ia melihat kembali ponselnya untuk mengetahui posisi ojek online yang sudah Dia pesan. Namun, sepertinya posisi ojek online masih cukup jauh. Ziya terpaksa harus menunggu beberapa menit, hingga ojek online tiba. Ziya menunggu tepat di pinggir jalan raya. Meskipun terbilang jalan raya, tapi jalan tersebut tampak sangat lengang. Saat siang hari saja sudah tampak sepi, apalagi saat malam hari.
Ziya tidak menyadari kalau dirinya tengah didekati oleh sebuah mobil minibus. Mobil itu berhenti tepat di depan Ziya.
"Ayo, Naik!" ujar seorang Pria yang mengemudikan mobil.
"Maaf, tapi Saya tidak pesan ojek mobil. Saya pesan ojek motor."
Pria itu memberi sebuah kode mata kearah jok belakang. Tak lama, pintu belakang mobil terbuka, keluarlah 2 orang Pria lagi. Mereka adalah sekelompok Pria yang ditaksir masih berusia 20an. Lalu, kedua Pria itu menarik tangan Ziya secara paksa, dan memasukkan Ziya ke dalam mobil untuk ikut bersama Mereka.
"KALIAN SIAPA? SAYA MAU DIBAWA KEMANA?"
"Udah ikut aja! Kita akan bersenang-senang malam ini," ujar salah satu dari Mereka.
"Tidak! Kalian mau apa? Kalau Kalian mau Uang, Saya akan berikan."
"Wah, Belagu banget ini cewek! Roy, enaknya Kita apakan ini cewek?"
"Kalian! Jangan-jangan? TOLONG!!! TOLONG!!!"
"Eh, percuma Loe teriak-teriak. Ngga bakalan ada yang dengar."
Ziya meronta-meronta, Ia berusaha melepaskan diri dari para Pria tersebut. Namun, sekuat apapun Ia berteriak, tak ada seorang pun yang mendengar, bahkan menolongnya. Kedua tangan Ziya diikat, lalu mulutnya ditutup agar tidak berteriak lagi.
"Ya Allah, tolong Hamba! Sebenarnya, Hamba hendak dibawa kemana? Siapa Mereka? Apa motif Mereka menculik Hamba?"
Beberapa menit kemudian, mobil masuk ke sebuah garasi rumah yang cukup besar. Rumah itu tampak sangat sepi.
"Ayo, turun!"
Ziya dipaksa untuk mengikuti ketiga Pria tersebut. Ziya terus bertanya-tanya dalam hati, siapakah pemilik rumah ini? Apakah penculikan ini sudah direncanakan?
Ziya dibawa ke dalam sebuah kamar dengan desain maskulin. Sepertinya, Kamar ini merupakan milik salah satu dari ketiga Pria yang menculik Ziya.
Mereka melemparkan tubuh Ziya ke atas ranjang.
"Guys, ceweknya cakep banget, orang Indo. Menang banyak nih Kita."
"Ya iyalah, Gue udah beberapa hari ini stalker-in nih cewek. Pada puas kan Loe pada?"
Ziya makin meronta-meronta, Ia sangat ketakutan. Ziya sekuat tenaga berusaha untuk bisa keluar dari kamar tersebut. Ia tak mampu berteriak, Ia hanya bisa menangis. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti. Ziya lebih memilih untuk mati daripada harus ternodai oleh Mereka.
Semakin Ziya berusaha keras untuk lepas dari Mereka, Mereka malah semakin tertawa licik.
"Ya Allah, Aku tahu jika semua ini tidak mungkin. Tapi, Hamba berharap pertolongan-Mu, Ya Allah. Jika ada seorang Wanita yang menolongku, maka akan kujadikan Ia sebagai Saudariku, Aku akan selalu membantunya dalam situasi apapun. Tapi, jika yang menolongku adalah seorang Pria, akan kujadikan Ia Suamiku. Aku berjanji akan selalu patuh kepadanya."
"Hei, cewek! Percuma Loe berusaha kabur. Malam ini Kita bertiga bakal nikmatin tubuh Loe yang mulus. Oke, siapa duluan yang mau nyicipin nih cewek?"
"Gue!"
Ziya membelalakkan matanya, harapannya sirna sudah. Malam ini Ia membayangkan akan berakhir tragis ditempat ini. Ziya sudah pasrah. Ia sudah tak sanggup berbuat apa-apa. Ziya hanya memikirkan tentang Dosa apa yang sudah Ia perbuat sehingga harus menerima akhir tragis seperti ini.
Brak!!!
"Siapa Loe? Berani-beraninya masuk kesini!"
"LEPASIN PEREMPUAN ITU!"
"Sungguh, jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, jikalau memang ada seseorang yang menolongku, Aku hanya berharap jika yang menolongku adalah seorang Wanita. Tapi?" ucap Ziya dalam hati.
"Lepaskan Perempuan itu!"
"Wah, wah, punya nyali juga Loe masuk kesini? Loe enggak takut bakalan habis sama Kita?"
"Kalian enggak usah banyak bicara! Lebih baik, Kalian lepasin Perempuan itu sebelum Kalian menyesal!"
"Heh, menyesal? Justru yang bakal menyesal itu Loe. Santapan enak begini malah di sia-siakan. Mending Loe gabung sama Kita, daripada cari masalah."
"Baiklah, kalau mau Kalian seperti itu."
Bruk!!
"SIAL! Berani Loe pukul Gue? Bro, Kita habisin cecunguk sialan ini!"
"Ayo!"
Perkelahian diantara Mereka pun tak terelakkan, 3 orang melawan 1 orang. Sungguh tak adil. Tapi, Pria tersebut begitu mahir dalam berkelahi. Bisa jadi Pria itu memiliki Ilmu Bela Diri.
Sudah cukup lama perkelahian terjadi, ketiga Pria yang menculik Ziya sudah mulai kewalahan. Padahal, Mereka bertiga hanya menghadapi satu Orang. Sungguh Pria yang sangat kuat.
Akhirnya, ketiga Pria tersebut tumbang. Wajah Mereka babak belur dan sudah tidak sanggup untuk berdiri lagi.
"Heh! Ternyata Kalian terlalu banyak sesumbar. Sudah Saya katakan, Kalian jangan pernah menyesal."
Mereka bertiga diam tak bergeming. Mereka sibuk memegang tubuh Mereka yang kesakitan.
Pria itu kemudian membuka plester dari mulut Ziya, lalu membuka ikatan ditangan Ziya.
"Kamu tidak apa-apa? Sudah aman, Mari! Sebentar lagi Polisi akan tiba."
"T-tunggu! Bagaimana kalau Mereka kabur?"
"Tidak akan."
Suara sirine Polisi terdengar dari luar rumah. Para Polisi bergegas memasuki rumah tersebut dan menangkap para tersangka. Ternyata, Mereka semua adalah Anak Orang Kaya. Namun, memiliki hobi yang buruk. Mereka kerap kali mengincar Para Gadis untuk Mereka manfaatkan tubuhnya. Ada beberapa Gadis yang rela tidur bersama Mereka, ada pula yang menolak. Gadis yang menolak Mereka akan diculik dan dimanfaatkan tubuhnya secara bergiliran. Sungguh perbuatan hina dan sangat disayangkan, mengingat Orang Tua Mereka memiliki banyak harta.
"Kalau begitu, mari Saya antarkan Kamu pulang."
Pria itu membuka pintu mobilnya, lalu mempersilahkan Ziya untuk naik. Mobil pun melaju menembus angin malam.
"Dimana rumahmu?" tanya Pria itu.
Ziya masih gemetar dan bibirnya terasa kelu. Ia masih shock atas kejadian yang menimpanya.
"Saya, Devan. Kamu tak perlu khawatir. Saya disini hanya mengantarkan Kamu pulang. Namamu siapa?"
"Z-z-ziya."
"Ziya, dimana rumahmu? Apakah masih jauh dari sini?"
"K-kenapa?" Ziya lalu menangis menutup wajahnya.
"Maksudnya?"
"K-kenapa A-anda?"
"Saya semakin tidak mengerti maksud Kamu? Kenapa harus Saya? Memangnya salah kalau Saya menolongmu?"
Lagi-lagi Ziya diam. Ia tak sanggup mengatakan suatu kebenaran. Ziya hanya menyesali apa yang sudah Ia ucapkan dalam batinnya. Ziya kembali berpikir, apa yang sebaiknya Ia katakan kepada Devan? Namun, semakin Ia berusaha keras untuk berpikir, semakin Ia kesulitan merangkai kata. Hingga pada akhirnya, satu kalimat ini yang mengubah kehidupannya.
"NIKAHI SAYA!"
Devan mendadak menginjak rem mobilnya. Untung saja Mereka memakai sabuk pengaman dan tidak ada kendaraan di belakang Mereka.
"APA? Barusan Kamu bilang apa? Saya tidak salah dengar, kan?"
"Ziya, jelaskan pada Saya, kenapa Kamu bisa nekat mengatakan kalimat itu?" imbuh Devan.
"Ziya! Jawab! Saya... Ah! SIAL! Dengar ya, itu bukan Kalimat yang bisa sembarangan diucapkan. Kita baru saja bertemu. Kamu tidak kenal Saya, begitupun sebaliknya. Kamu sadar tidak kalimat yang baru saja Kamu ucapkan itu bisa membuat Saya berada dalam masalah besar."
"M-maafkan Saya!"
"Ziya, dengar baik-baik! Saya barusan menolong Kamu dari Mereka. Secara harfiah, Kamu itu tidak sampai disetubuhi oleh Mereka. Tapi, kenapa Kamu menginginkan Saya untuk bertanggung jawab. Malah dengan mudahnya Kamu meminta Saya untuk menikahi Kamu. Tidak masuk akal. Sekarang, jelaskan pada Saya, sebenarnya hal apa yang membuat Kamu mengatakan hal tersebut?"
Ziya hanya menangis dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Hei, kenapa Kamu menangis? Ziya, tolong jawab Saya! Ah, SIAL! Kalau begitu, Kamu ikut Saya!"
Devan membawa Ziya ke Apartemen mewah pribadinya. Selama perjalanan, Ziya terus saja menangis. Ziya tidak menyadari kalau Devan telah membawanya menuju Apartemen miliknya.
"Sudah sampai, sekarang Kamu ikut Saya turun!"
"I-ini dimana?"
"Parkiran."
"Kenapa Saya bisa ada disini?"
"Sudah, ikut saja!"
Ziya mengikuti langkah Devan. Mereka memasuki sebuah lift dan menuju lantai 9. Lift tiba di lantai 9, Devan keluar dari dalam lift, Ziya masih setia mengikuti Devan dari belakang. Devan berdiri di depan pintu kamar nomor 905, lalu Ia menekan tombol angka sebanyak 4 digit, dan pintu kamar pun terbuka.
"Masuk!" Devan meminta Ziya untuk masuk.
"K-kamu bawa Saya ke Hotel?"
"Hotel? Ini Apartemen, bukan Hotel. Enggak pernah lihat Apartemen, ya?"
Ziya menggelengkan kepala. Memang benar, selama Ziya tinggal di Jakarta, Ia tidak pernah memasuki sebuah Hotel maupun Apartemen. Ia hanya pernah melihat sebuah hotel ketika Ia sekilas menonton Drama Korea yang sedang ditonton oleh teman-teman Kuliahnya.
Ziya tak pernah ada waktu untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Ia lebih memilih menyibukkan diri di Panti Jompo.
"Kenapa diam? Ayo, masuk!"
Ziya ragu untuk melangkahkan kakinya. Namun, nalurinya membawa Ia untuk tetap masuk ke dalam Apartemen seorang Pria yang sangat asing baginya. Tapi, Pria asing itulah yang menyelamatkan nyawa dan harga dirinya.
"Silahkan, duduk! Saya akan menyiapkan handuk dan pakaian untuk Kamu pakai. Lebih baik, Kamu membersihkan diri Kamu dulu."
Devan membawakan sebuah handuk, kemeja panjang miliknya dan celana pendek.
"Sementara pakai ini saja, walaupun sedikit kebesaran."
Ziya menuruti apa yang dikatakan oleh Devan. Ziya menuju kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya. Namun, Ziya berusaha untuk tetap waspada, Ia hanya takut kalau ternyata Devan akan melakukan hal yang tidak senonoh padanya, dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Tapi, apa yang dikawatirkan Ziya tidak terjadi. Setelah Ia selesai membersihkan diri, Ia tidak mendapati Devan di Ruang Tamu. Ziya kembali duduk di sofa. Tak lama, Devan muncul dari arah Dapur, Ia membawa sepiring Mie Goreng dan segelas air putih . Aromanya membuat Ziya ingin sekali merampas piring tersebut, lalu Ia lahap sampai habis.
"Ini, makan dulu! Kamu pasti belum makan."
"Saya tidak lapar. Maaf, jadi merepotkan."
Kruyuuk! Suara panggilan dari perut Ziya terdengar oleh Devan. Devan hanya mengernyitkan dahi sambil tertawa seringai. Ziya hanya bisa diam. Ia merasa sangat malu.
"Mulut bisa saja bohong, tapi perut tidak mungkin berbohong. Ini, makan! Maaf kalau hanya ada Mie Instan. Saya belum sempat beli bahan-bahan masakan," Devan meletakkan piring dan gelas tersebut di atas meja yang berada dihadapan Ziya.
"T-tidak apa. Terima kasih."
"Baiklah. Kalau begitu, Kamu segera habiskan makanannya. Saya mau mandi. Setelah ini, Kamu masih ada hutang penjelasan pada Saya. Mengerti?"
Ziya menganggukkan kepalanya. Setelah Devan berlalu, Ziya ingin memastikan kembali apakah Devan sudah benar-benar ke kamarnya. Setelah situasi aman, Ziya menyantap Mie Goreng tersebut dengan sangat lahap. Tak sampai 5 menit, Mie Goreng habis tak bersisa, kemudian Ia meminum segelas air putih.
"Alhamdulillah," sambil bersendawa.
Ziya mulai merasakan sedikit nyeri di bagian pergelangan tangan. Mungkin efek dari ikatan yang begitu kencang, sehingga membuat lecet pergelangan tangannya.
Beberapa menit kemudian, Devan keluar dari kamarnya. Ia memakai setelan kaos dan celana pendek, rambutnya yang basah dibiarkan berantakan. Ziya yang melihat Devan berpenampilan seperti itu merasa jantungnya berdegup kencang.
"Tenang Ziya! Kamu tidak boleh salah tingkah! Dia memang sudah menolongmu, tapi Dia bukan siapa-siapa bagimu," ucap Ziya dalam hati.
"Gimana?" tanya Devan pada Ziya.
"Ya?"
"Sudah dihabiskan makanannya?"
"S-sudah," Ziya berusaha menutupi pergelangan tangannya yang lecet. Namun, Ziya tidak menyadari kalau Devan ternyata memperhatikan tingkah lakunya.
Devan kembali masuk ke kamarnya, tak lama Ia keluar membawa sebuah kotak P3K. Devan memilih untuk duduk disebelah Ziya. Lalu, Ia mengambil tangan Ziya.
"Eh, Kamu mau apa?"
"Tanganmu, lecetnya cukup parah."
"Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja," Ziya kembali menarik tangannya.
"Sudah, Kamu menurut saja. Saya akan obati lukamu. Kalau dibiarkan, lama-lama bisa infeksi."
Ziya akhirnya luluh dengan ucapan Devan. Jantungnya makin berdegup kencang ketika Devan memegang tangannya, lalu mengoleskan alkohol secara perlahan kebagian pergelangan tangan yang terluka.
"Aw!"
"Ah, maaf! Perih, ya?"
Ziya menganggukkan kepala. Ziya berusaha menahan rasa perih sambil menyipitkan matanya.
"Sudah. Sekarang Kamu istirahat saja. Saya sudah siapkan Kamar Tamu untukmu. Kamarnya ada disebelah kamar Saya. Mungkin, saat ini Kamu belum mau bicara. Jadi, lebih baik Kamu Istirahat dulu, sekaligus menenangkan pikiran. Kalau begitu, Saya tinggal dulu."
"Tunggu!" Ziya menahan tangan Devan.
"Ada apa?"
"Berikan kotak P3Knya!"
"Untuk apa?"
"Kamu juga terluka."
"Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil. Besok pagi juga sembuh."
"Sini! Berikan! Kamu enggak boleh egois."
Devan pun pasrah, lalu memberikan kotak P3K kepada Ziya. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Devan sebelumnya, Ziya mengambil sebuah kapas, lalu menyirami sedikit dengan Alkohol. Kemudian, Ziya oleskan Alkohol tersebut ke sudut bibir dan ke pelipis Devan.
Ziya fokus mengobati luka Devan, sampai-sampai Ia tidak menyadari sama sekali, kalau ternyata Devan terus memperhatikan wajahnya. Devan mulai kagum dengan kecantikan yang dimiliki oleh Ziya.
"Ya Tuhan, Wanita ini! Matanya indah berwarna biru, bibirnya merah ranum, hidungnya mancung. Astaga! Apa yang kupikirkan?" Devan berkata dalam hati. Devan menggelengkan kepalanya, berusaha untuk tidak terbuai oleh kecantikan Ziya.
"Maaf, sakit ya!" ujar Ziya.
"Ah, tidak apa-apa. Sudah cukup! Lebih baik Kamu Istirahat."
Devan segera bangkit dari tempat duduknya. Ia meninggalkan Ziya yang masih terduduk di sofa. Mereka sama-sama tidak menyadari satu sama lain. Bahwa wajah Mereka sama-sama memerah dan jantung Mereka berdegup kencang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!