Better Days
“TOLONG! TOLONG! TOLONG!”
Seorang gadis tengah berlari di kegelapan, membelah jalalan yang dingin karena udara malam. Keringat mengucur di dahi dan sekujur tubuhnya. Ia berlari kencang dengan sesekali menoleh ke belakang. Nafasnya yang tak teratur menandakan ia begitu takut dan sangat kelelahan akibat berlari.
“TOLONG! Aku mohon siapapun tolong aku!” teriaknya sekali lagi.
Dan seakan tuli, entah mengapa di jam-jam yang belum terlalu larut tak ada seorang pun yang mendengar suaranya, tak ada yang membuka pintu rumahnya hanya sekedar untuk melihat keadaan gadis itu.
“Hiks hiks hiks, apa mereka semua tidak mendengar suaraku, hiks...” ratapnya dengan tetap berlari tanpa henti.
“Ya Allah tolong lindungi hamba, tolong...” gumamnya sambil terus berdoa.
Jika masusia berlagak tak mendengar permintaan tolongnya, bukan berarti Allah tak mendengar doanya.
Gadis itu menghentikan langkahnya di tugu perbatasan antara hutan dan desa itu. Ia masih terus menangis dan sekali lagi ia kembali menoleh ke belakang untuk melihat pria-pria yang mengejarnya.
“Hei berehenti!” teriaknya pada gadis itu.
Langkah mereka tinggal beberapa meter saja, gadis itu membalikkan tubuhnya, dapat ia lihat wajah-wajah sangar meski begitu samar di dalam kegelapan. Tubuhnya bergetar hebat, kakinya terus melangkah mundur secara perlahan, sedang matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Dengan tangan terkatup di depan dadanya, gadis itu terus memohon kepada pria-pria itu.
“Aku mohon, tolong jangan sakiti aku, aku mohon, hiks hiks ....” ucapnya sambil terus memohon.
Pria-pria itu hanya tersenyum miring mendengarnya. Mereka bagaikan predator yang tengah mengincar mangsanya, dan akan senang ketika sudah mendapatkannya. Pria-pria itu membekap mulut gadis itu, membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Kemudian membawanya masuk ke dalam hutan. Entah apa yang mereka lakukan membuat gadis itu merasa jijik pada dirinya sendiri.
***
“Mbak.” panggil seorang wanita pada seorang gadis yang terlihat tengah melamun di dalam kamarnya.
“Bunda.” gadis itu menoleh dengan tersenyum.
“Mbak jadi mengajar ngaji di mushollah?” tanya wanita itu.
“Jadi Bun, Senja siap-siap dulu yah Bun.” ucap gadis yang bernama Senja itu, kemudian bangkit dan segera bersiap-siap.
Senja Maura Salsabila, gadis yang lahir dengan latar belakang keluarga sederhana, hidup dengan kesederhanaan mengajarkan dia untuk selalu bersyukur. Kedua orang tuanya sudah lama bercerai ketika ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Saat itu ia sedang berada di Jawa, menghabiskan masa SMA nya di dalam Pondok Pesantren. Ketika mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya bercerai, ia sama sekali tidak terkejut, menangis juga tidak. Hal itu sudah ia duga jauh-jauh hari, bahkan dari ia kecil ia sudah paham bahwa hubungan kedua orang tuanya tidaklah harmonis. Menikah dengan perbedaan usia yang terpaut sangat jauh, bak ayah dan anak, membuat kedua orang tuanya selalu berselisih paham, dan sering meributkan hal-hal kecil.
Senja kini berusia 21 tahun , genap sudah usianya ketika ia sedang menyusun skripsi. Ada perasaan bahagia namun juga kesedihan yang tengah ia rasakan kini. 5 tahun perpisahan kedua orang tuanya masih menjadi hari-hari sulit bagi Senja. Anak broken home pasti merasakannya, ketika bersama ayahnya ia akan ditanyai perihal bundanya. Apa bundamu menjelek-jelekkan ayah? Apa bundamu sudah menikah lagi? Bundamu pasti menggaet pria-pria lain di luar sana! Dan masih banyak lagi. Terkadang ia menangis hanya karena mendengar cerita teman-temannya mengenai kedua orang tuanya yang begitu harmonis. Rasa iri tak bisa ia tutupi, semakin ia menolak perasaan itu semakin rasa itu menggerogoti hatinya.
Senja memiliki seorang adik, adik yang sangat cantik. Orang bilang kebanyakan kakak akan menjadi lebih pendek dari adiknya, dan begitulah pada kenyataannya. Senja lebih pendek dari adiknya. Adiknya juga jauh lebih cantik darinya, tinggi dan berkulit putih. Berbeda dengannya yang berkulit sawo matang dengan kadar kecantikan 10% atau di bawah rata-rata. Meski begitu Senja merupakan gadis yang manis ketika tersenyum, dan terlihat cuek tak berperasaan ketika mendatarkan ekspresinya. Nama adiknya adalah Bintang Aula Nabila. Kini ia duduk di bangku SMA, sekolah dan belajar di Pondok Pesantren yang sama seperti Senja. Namun ketika Senja sudah lulus SMA Bintang tinggal di Jawa dengan keluarga pihak bundanya tanpa Senja.
Sejauh ini, baik Senja maupun sang bunda, tidak pernah menceritakan keadaan mereka ke keluarga bundanya ataupun ke Bintang. Jadi sampai detik ini Bintang masih belum tau jika kedua orang tuanya sudah bercerai. Alasannya adalah karena ingin membuat Bintang fokus pada sekolahnya. Bunda takut jika Bintang akan down ketika mengetahui fakta itu. Bunda juga takut menyakiti hati anak bungsunya itu, namun tak takut menyakiti hati anak sulungnya. Senja juga tak mempermasalahkannya, memang begitulah orang tua ketika memperlakukan anak-anaknya. Melihat dari sifat, watak, dan karakter anak-anaknya, maka begitulah cara mereka memperlakukannya. Senja anak pertama, dengan tingkat kedewasaan di atas adiknya, sifatnya yang mampu menyesuaikan kondisi membuat orang tuanya lebih terbuka kepadanya. Berbeda dari Bintang, sifatnya yang masih kekanak-kanakan membuat kedua orang tuanya selalu menjaga dirinya dari hal-hal yang berbau negatif.
Hari ini Senja pulang ke rumah, kebetulan lagi menyusun skripsi, jadi kegiatannya hanya berputar di penelitian dan penyusunan skripsi. Membuatnya memiliki waktu luang yang banyak, hingga menyempatkan untuk mengajar ngaji anak-anak di desanya. Meski tak digaji tapi hal itu sudah membuat dirinya bahagia, berbagi ilmu dan berbaur dengan anak-anak kecil. Waktu menunjukkan pukul 15:30 sore, adzan Ashar sudah berkumandang, Senja sudah selesai bersiap-siap. Kebetulan hari ini ia sedang datang bulan, jadi ia libur melaksanakan kewajibannya.
”Makan dulu Mbak.” ucap Bunda pada Senja.
“Iya Bun.”
Senja berjalan menuju dapur, ia segera makan sesuai perintah bundanya.
“Bunda sudah makan?” tanya Senja disela-sela kegiatannya.
“Nanti Bunda makan, Mbak makan duluan saja, kan Mbak mau mengajar” ucap bunda dengan tersenyum, ia tengah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue. Kuenya akan dijual di pasar-pasar setiap paginya.
“Bunda, Senja pamit dulu yah.” ucap Senja dengan tersenyum dan menyalimi tangan bundanya.
“Hati-hati di jalan.” Pesan bunda.
“Siap Bunda, daaah assalamu’alaikum.” pamitnya.
“Wa’alaikumsalam.”
***
Di Mushollah
Pukul 16:00 WIB
“Assalamu’alaikum.” sapa Senja pada anak-anak yang tangah duduk di dalam Mushollah menunggu kedatangannya.
“Wa’alaikumsalam Kak Senja.” mereka berteriak menjawab salam Senja sambil berlari mendekati Senja. Dengan tangan terbuka Senja menyambut anak-anak itu.
“Kami merindukan Kak Senja.”
“Iya, Kakak lama tidak mengajar kami lagi.”
“Kami kangen ngaji belajar ngaji bareng Kak Senja.”
Senja tersenyum mendengarnya, ia mengelus kepala mereka satu per satu dengan sayang. Kemudian mengajak anak-anak untuk kembali duduk di tempat semula.
“Mau ngapain dulu kita?” tanya Senja dengan tersenyum. Ia tahu ini bukan waktunya mengajar anak-anak. Pertemuan pertama mereka haruslah berkesan.
“Main!” teriak anak-anak bersamaan.
“Oke, kita main permainan tebak ayat yah, bagaimana? Sekalian Kakak mau lihat sampai di mana hapalan juz 30 kalian.” ucap Senja.
“Setuju Kak.” teriak anak-anak dengan bersemangat.
Senja mulai meminta anak-anak untuk berbaris membentuk lingkaran. Dengan sebuah spidol mereka melantunkan Shalawat Nabi, dan ketika Shalawat itu berhenti maka spidol pun akan berhenti. Dan orang yang mendapatkan spidol itu harus siap untuk menjawab pertanyaan dari Senja.
“Yeee Rafi kena.” teriak anak-anak dengan tertawa gembira, sedangkan anak yang bernama Rafi itu tersenyum kecut menatap teman-temannya.
“Baiklah Rafi, dengarkan ayat yang Kakak bacakan, kemudian nanti Rafi akan melanjutkannya.” ucap Senja.
“Siap Kak.”
Senja mulai membacakan ayat Al-Qur’an ( surah An-Naba’). Suara indah Senja membuat anak-anak diam dan mendengarkan dengan khusu’. Ketika Senja sudah selesai membacanya kini giliran Rafi yang melanjutkan ayat An-Naba’ tersebut. Senja tersenyum mendengarnya. Rafi adalah salah satu anak yang dekat dengan Senja, ia mengagumi Senja dan menyayangi Senja seperti Kakaknya sendiri.
“MaasyaAllah.” ucap Senja dengan tersenyum. Semua bertepuk tangan ketika Rafi dapat melanjutkan ayat dengan benar.
Permainan masih berlanjut sampai menjelang maghrib, seharusnya sudah selesai dari pukul 17:30 WIB tadi, hanya saja anak-anak menolak untuk pulang, karena alasan masih merindukan Senja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments