“TOLONG! TOLONG! TOLONG!”
Seorang gadis tengah berlari di kegelapan, membelah jalalan yang dingin karena udara malam. Keringat mengucur di dahi dan sekujur tubuhnya. Ia berlari kencang dengan sesekali menoleh ke belakang. Nafasnya yang tak teratur menandakan ia begitu takut dan sangat kelelahan akibat berlari.
“TOLONG! Aku mohon siapapun tolong aku!” teriaknya sekali lagi.
Dan seakan tuli, entah mengapa di jam-jam yang belum terlalu larut tak ada seorang pun yang mendengar suaranya, tak ada yang membuka pintu rumahnya hanya sekedar untuk melihat keadaan gadis itu.
“Hiks hiks hiks, apa mereka semua tidak mendengar suaraku, hiks...” ratapnya dengan tetap berlari tanpa henti.
“Ya Allah tolong lindungi hamba, tolong...” gumamnya sambil terus berdoa.
Jika masusia berlagak tak mendengar permintaan tolongnya, bukan berarti Allah tak mendengar doanya.
Gadis itu menghentikan langkahnya di tugu perbatasan antara hutan dan desa itu. Ia masih terus menangis dan sekali lagi ia kembali menoleh ke belakang untuk melihat pria-pria yang mengejarnya.
“Hei berehenti!” teriaknya pada gadis itu.
Langkah mereka tinggal beberapa meter saja, gadis itu membalikkan tubuhnya, dapat ia lihat wajah-wajah sangar meski begitu samar di dalam kegelapan. Tubuhnya bergetar hebat, kakinya terus melangkah mundur secara perlahan, sedang matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Dengan tangan terkatup di depan dadanya, gadis itu terus memohon kepada pria-pria itu.
“Aku mohon, tolong jangan sakiti aku, aku mohon, hiks hiks ....” ucapnya sambil terus memohon.
Pria-pria itu hanya tersenyum miring mendengarnya. Mereka bagaikan predator yang tengah mengincar mangsanya, dan akan senang ketika sudah mendapatkannya. Pria-pria itu membekap mulut gadis itu, membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Kemudian membawanya masuk ke dalam hutan. Entah apa yang mereka lakukan membuat gadis itu merasa jijik pada dirinya sendiri.
***
“Mbak.” panggil seorang wanita pada seorang gadis yang terlihat tengah melamun di dalam kamarnya.
“Bunda.” gadis itu menoleh dengan tersenyum.
“Mbak jadi mengajar ngaji di mushollah?” tanya wanita itu.
“Jadi Bun, Senja siap-siap dulu yah Bun.” ucap gadis yang bernama Senja itu, kemudian bangkit dan segera bersiap-siap.
Senja Maura Salsabila, gadis yang lahir dengan latar belakang keluarga sederhana, hidup dengan kesederhanaan mengajarkan dia untuk selalu bersyukur. Kedua orang tuanya sudah lama bercerai ketika ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Saat itu ia sedang berada di Jawa, menghabiskan masa SMA nya di dalam Pondok Pesantren. Ketika mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya bercerai, ia sama sekali tidak terkejut, menangis juga tidak. Hal itu sudah ia duga jauh-jauh hari, bahkan dari ia kecil ia sudah paham bahwa hubungan kedua orang tuanya tidaklah harmonis. Menikah dengan perbedaan usia yang terpaut sangat jauh, bak ayah dan anak, membuat kedua orang tuanya selalu berselisih paham, dan sering meributkan hal-hal kecil.
Senja kini berusia 21 tahun , genap sudah usianya ketika ia sedang menyusun skripsi. Ada perasaan bahagia namun juga kesedihan yang tengah ia rasakan kini. 5 tahun perpisahan kedua orang tuanya masih menjadi hari-hari sulit bagi Senja. Anak broken home pasti merasakannya, ketika bersama ayahnya ia akan ditanyai perihal bundanya. Apa bundamu menjelek-jelekkan ayah? Apa bundamu sudah menikah lagi? Bundamu pasti menggaet pria-pria lain di luar sana! Dan masih banyak lagi. Terkadang ia menangis hanya karena mendengar cerita teman-temannya mengenai kedua orang tuanya yang begitu harmonis. Rasa iri tak bisa ia tutupi, semakin ia menolak perasaan itu semakin rasa itu menggerogoti hatinya.
Senja memiliki seorang adik, adik yang sangat cantik. Orang bilang kebanyakan kakak akan menjadi lebih pendek dari adiknya, dan begitulah pada kenyataannya. Senja lebih pendek dari adiknya. Adiknya juga jauh lebih cantik darinya, tinggi dan berkulit putih. Berbeda dengannya yang berkulit sawo matang dengan kadar kecantikan 10% atau di bawah rata-rata. Meski begitu Senja merupakan gadis yang manis ketika tersenyum, dan terlihat cuek tak berperasaan ketika mendatarkan ekspresinya. Nama adiknya adalah Bintang Aula Nabila. Kini ia duduk di bangku SMA, sekolah dan belajar di Pondok Pesantren yang sama seperti Senja. Namun ketika Senja sudah lulus SMA Bintang tinggal di Jawa dengan keluarga pihak bundanya tanpa Senja.
Sejauh ini, baik Senja maupun sang bunda, tidak pernah menceritakan keadaan mereka ke keluarga bundanya ataupun ke Bintang. Jadi sampai detik ini Bintang masih belum tau jika kedua orang tuanya sudah bercerai. Alasannya adalah karena ingin membuat Bintang fokus pada sekolahnya. Bunda takut jika Bintang akan down ketika mengetahui fakta itu. Bunda juga takut menyakiti hati anak bungsunya itu, namun tak takut menyakiti hati anak sulungnya. Senja juga tak mempermasalahkannya, memang begitulah orang tua ketika memperlakukan anak-anaknya. Melihat dari sifat, watak, dan karakter anak-anaknya, maka begitulah cara mereka memperlakukannya. Senja anak pertama, dengan tingkat kedewasaan di atas adiknya, sifatnya yang mampu menyesuaikan kondisi membuat orang tuanya lebih terbuka kepadanya. Berbeda dari Bintang, sifatnya yang masih kekanak-kanakan membuat kedua orang tuanya selalu menjaga dirinya dari hal-hal yang berbau negatif.
Hari ini Senja pulang ke rumah, kebetulan lagi menyusun skripsi, jadi kegiatannya hanya berputar di penelitian dan penyusunan skripsi. Membuatnya memiliki waktu luang yang banyak, hingga menyempatkan untuk mengajar ngaji anak-anak di desanya. Meski tak digaji tapi hal itu sudah membuat dirinya bahagia, berbagi ilmu dan berbaur dengan anak-anak kecil. Waktu menunjukkan pukul 15:30 sore, adzan Ashar sudah berkumandang, Senja sudah selesai bersiap-siap. Kebetulan hari ini ia sedang datang bulan, jadi ia libur melaksanakan kewajibannya.
”Makan dulu Mbak.” ucap Bunda pada Senja.
“Iya Bun.”
Senja berjalan menuju dapur, ia segera makan sesuai perintah bundanya.
“Bunda sudah makan?” tanya Senja disela-sela kegiatannya.
“Nanti Bunda makan, Mbak makan duluan saja, kan Mbak mau mengajar” ucap bunda dengan tersenyum, ia tengah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue. Kuenya akan dijual di pasar-pasar setiap paginya.
“Bunda, Senja pamit dulu yah.” ucap Senja dengan tersenyum dan menyalimi tangan bundanya.
“Hati-hati di jalan.” Pesan bunda.
“Siap Bunda, daaah assalamu’alaikum.” pamitnya.
“Wa’alaikumsalam.”
***
Di Mushollah
Pukul 16:00 WIB
“Assalamu’alaikum.” sapa Senja pada anak-anak yang tangah duduk di dalam Mushollah menunggu kedatangannya.
“Wa’alaikumsalam Kak Senja.” mereka berteriak menjawab salam Senja sambil berlari mendekati Senja. Dengan tangan terbuka Senja menyambut anak-anak itu.
“Kami merindukan Kak Senja.”
“Iya, Kakak lama tidak mengajar kami lagi.”
“Kami kangen ngaji belajar ngaji bareng Kak Senja.”
Senja tersenyum mendengarnya, ia mengelus kepala mereka satu per satu dengan sayang. Kemudian mengajak anak-anak untuk kembali duduk di tempat semula.
“Mau ngapain dulu kita?” tanya Senja dengan tersenyum. Ia tahu ini bukan waktunya mengajar anak-anak. Pertemuan pertama mereka haruslah berkesan.
“Main!” teriak anak-anak bersamaan.
“Oke, kita main permainan tebak ayat yah, bagaimana? Sekalian Kakak mau lihat sampai di mana hapalan juz 30 kalian.” ucap Senja.
“Setuju Kak.” teriak anak-anak dengan bersemangat.
Senja mulai meminta anak-anak untuk berbaris membentuk lingkaran. Dengan sebuah spidol mereka melantunkan Shalawat Nabi, dan ketika Shalawat itu berhenti maka spidol pun akan berhenti. Dan orang yang mendapatkan spidol itu harus siap untuk menjawab pertanyaan dari Senja.
“Yeee Rafi kena.” teriak anak-anak dengan tertawa gembira, sedangkan anak yang bernama Rafi itu tersenyum kecut menatap teman-temannya.
“Baiklah Rafi, dengarkan ayat yang Kakak bacakan, kemudian nanti Rafi akan melanjutkannya.” ucap Senja.
“Siap Kak.”
Senja mulai membacakan ayat Al-Qur’an ( surah An-Naba’). Suara indah Senja membuat anak-anak diam dan mendengarkan dengan khusu’. Ketika Senja sudah selesai membacanya kini giliran Rafi yang melanjutkan ayat An-Naba’ tersebut. Senja tersenyum mendengarnya. Rafi adalah salah satu anak yang dekat dengan Senja, ia mengagumi Senja dan menyayangi Senja seperti Kakaknya sendiri.
“MaasyaAllah.” ucap Senja dengan tersenyum. Semua bertepuk tangan ketika Rafi dapat melanjutkan ayat dengan benar.
Permainan masih berlanjut sampai menjelang maghrib, seharusnya sudah selesai dari pukul 17:30 WIB tadi, hanya saja anak-anak menolak untuk pulang, karena alasan masih merindukan Senja.
“Bunda, besok Senja mau pergi ke kampus.” ucap Senja.
“Mau ngapain Mbak?” tanya Bunda.
“Ada berkas yang mau diurus Bun.” jawabnya.
“Bunda antar yah... Bunda takut terjadi sesuatu dengan Mbak.” ucap Bunda.
“Tidak apa-apa Bun, Senja nanti berangkat sama temen Senja, dia sebentar lagi akan sampai di rumah menjemput Senja.” Jawab Senja dengan tersenyum lembut, mencoba meredam kekhawatiran bundanya. Walaupun dirinya sendiri pun masih merasa takut.
“Langsung telpon Bunda jika ada apa-apa yah Mbak.” pesan Bunda.
“Iya siap Bunda.” Senja tersenyum dengan menganggukkan kepala.
Beberapa saat kemudian terdengar suara motor berhenti di halaman rumah, kemudia terdengar suara seseorang yang mengucapkan salam. Senja segera keluar, menemui orang tersebut yang ia yakini adalah temannya. Bunda pun ikut mengekori Senja.
“Assalamua’alaikum, pagi Bunda.” ucapnya dengan tersenyum.
“Wa’alaikumsalam, pagi juga Nak Fara.” jawab Bunda kepada anak yang bernama Fara itu.
“Kami berangkat dulu yah Bun, assalamu’alaikum.” pamit keduanya pada Bunda.
“Hati-hati di jalan, wa’alaikumsalam.”
***
Keduanya tiba di kampus. Senja segera menuju gedung fakultas untuk mengurus beberapa berkas yang berkaitan dengan skripsinya. Sedangkan Fara teman Senja menuju gedung prodi untuk mengambil beberapa file dari dosen pembimbingnya. Keduanya sama-sama sedang menyusun skripsi, masuk di tahun yang sama, dan menyusun skripsi di tahun yang sama pula. Untuk para mahasiswa/i yang sudah semster atas sudah tidak ada hal penting lainnya selain kata “ACC” yang keluar dari para pembimbing dan pada korektor. Hal itulah yang sangat ditunggu-tunggu, target lulus dengan cepat merupakan hal paling ingin dicapai. Dan kini keduanya sedang menyiapkan kelulusan mereka.
“Nanti ini di foto copykan yah Ja, lalu kasih ke Ibu lagi untuk Ibu tanda tangani.” pesannya pada Senja.
“Baik Bu.”
“Nah untuk yang ini silakan kamu pelajari, kamu hapalkan untuk persiapan kompre, di samping kamu sedang menyusun skripsi dan penelitian, tak ada salahnya jika hapalan ini juga diguyur.” ucap Ibu itu lagi.
“Iya Bu.” ucap Senja dengan mengangguk paham. “Untuk bimbingan kira-kira kapan Ibu ada waktu?” tanyanya dengan sopan.
“Besok bagaimana? Kebetulan besok Ibu ada jam kosong, ke prodi aja besok pukul 7 pagi.” jawab Ibu itu dengan tersenyum.
“Baik Bu, terimakasih Bu, saya pamit dulu.”
“Iya.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Memiliki pembimbing yang baik dan pengertian adalah impian seluruh mahasiswa/i. Tak ada nikmat yang lebih nikmat dari pembimbing yang baik hati bagi pejuang skripsi. Dan syukur alhamdulillah Senja memiliki pembimbing yang baik dan pengertian, tidak dengan kebanyakan mahasiswa lainnya yang selalu curhat karena mendapatkan pembimbing yang killer.
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, kini sudah terdengar adzan dzuhur di masjid kampus. Senja segera menuju prodi menyudul Fara.
“Senja.” panggil seorang pria pada Senja yang sedang berjalan sendirian menuju prodi.
Senja menoleh ke sumber suara, matanya menyipit dan sedikit memundurkan langkahnya agar menjauh dari pria tersebut.
“Ada apa?” tanya Senja pelan tanpa melihat ke arah pria tersebut.
“Tidak ada, hanya ingin menyapa saja, bagaimana kabarmu?” tanya pria tersebut.
“Alhamdulillah baik.” jawab senja.
“Nongki yuk Ja, di kantin, sama temen-temen lainnya.” ucapnya mengajak Senja.
“Maaf aku tidak bisa, lagi ada urusan.” ucap Senja menolak.
“Yah.... gak asyik, ayolah Senja.” ajaknya lagi.
“Maaf aku benar-benar tidak bisa, lain kali saja, aku duluan, assalamu’alaikum.” ucap Senja kemudian pergi meninggalkan pria tersebut yang menatap Senja dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Susah banget ngajak tuh cewek.” gumamnya menatap kepergian Senja.
Pada dasarnya Senja merupakan sosok yang humble pada semua orang, tanpa terkecuali. Tapi ia tetap menjaga jarak dan hubungan antara pria dan wanita. Senja sendiri adalah perempuan dengan pakaian muslimahnya, setelan gamis, rok dan tunik atau lainnya, dengan paduan jilbab syar’i. Pakaian tersebut adalah hal yang cukup umum untuk bisa dipahami oleh semua orang, jadi tak ada judge buruk tentang Senja di mata orang lain. Namun sudah setahun ini Senja mulai berubah. Ia membatasi interaksinya dengan semua orang, kecuali dengan beberapa orang yang memang dekat dengannya termasuk Fara. Itulah sebabnya ia menolak ajakan pria tadi, walaupun kita semua tahu bahwa kantin merupakan tempat yang ramai.
“Sudah Far?” tanya Senja yang sudah sampai di prodi.
“Belum, lama banget, ngantri tau, capek, mana laper.” keluhnya.
“Ngeluh terus, gak boleh gitu loh.” ucap Senja.
“Bukannya gitu Bila, aku tuh cuma geregetan aja, udah ngantri dari pagi, ujung-ujungnya gak dapet kesempatan juga.” keluhnya lagi.
Senja tersenyum mendengarnya, ia tahu tidak mudah untuk bisa bimbingan masalah penelitian skripsi ini, itulah kenapa mahasiswa/i harus berangkat dan menunggu pagi-pagi sekali jika ingin menemui pembimbingnya.
“Prodi lagi istirahat kan? Kita ke kosan aku yuk, masak, udah itu makan bareng.” ajak Senja.
Fara tersenyum lebar dengan menganggukkan kepala.
“Yuk.” ucap Fara dengen bersemangat.
Karena jarak antara rumah dan kampus sangatlah jauh, jadi Senja memilih untuk ngekos di sekitar kampus. Kosan itu merupakan kosan khusus perempuan.
Fara dan Senja kini sudah berada di kosan. Keduanya sama-sama mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang lebih santai. Senja yang akan memasak, dan Fara hanya sekedar membantu menyiapkan bahan. Menu hari ini adalah sambal ayam dan tumis bayam, menu yang sangat lezat bagi anak kosan. Bahan-bahan itu sudah dibeli dari pasar, yang jaraknya sangat jauh dari kosan, tapi tak apalah jika menggunakan motor.
Setelah 30 menit kemudian.
“MaasyaAllah lezatnya.” puji Fara ketika memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Senja tersenyum melihatnya.
“Sering-sering yah Bil, enak tau, suka aku.” lanjut Fara dengan mulut yang penuh makanan.
“Siap.”
Bil atau Bila, nama panggilan dari Fara untuk Senja, diambil dari nama belakang Senja yaitu Tsalsabila. Nama panggilan bagi orang terdekat Senja.
***
“Yakin gak ikut pulang ke dusun?” tanya Fara pada Senja sebelum ia pulang.
“Emmm, aku masih ada urusan di sini Far, tadi aku sudah ngabarin Bunda, kata Bunda tidak apa-apa.” jawab Senja.
“Oke deh, aku pulang dulu yah, daaah assalamu’alaikum.” pamit Fara.
“Daaahh wa’alaikumsalam.”
Setelah kepergian Fara senja segera bersiap-siap untuk mengajar ngaji. Selain kuliah Senja juga mengajar ngaji di komplek dekat kampusnya. Lumayan gajinya bisa untuk bayar uang kosan. Selain itu, mengajar merupakan kegemaran Senja, dengan mengjar dan melihat anak-anak kecil membuat pikiran Senja manjadi lebih relaks.
Senja pergi dengan berjalan kaki. Jarak yang tidak jauh, dan mampu ditempuh dengan hanya berhjalan kaki. 15 menit berlalu, Senja sudah sampai di tempat ia mengajar. TPQ Qomariyyah, dengan jumlah anak 20 orang. Senja masuk ke dalamnya, menunggu sekitar 5 menit sampai seluruh anak-anak berkumpul baru ia akan mulai mengajar.
“Assalamu’alaikum Ummi.” sapa gadis kecil berumur sekiat 6 tahun.
“Wa’alaikumsalam Aisyah.”
“Ummi kenapa kemarin tidak ngajar ngaji?” tanya gadis yang bernama Aisyah itu.
“Maaf yah, Ummi kemarin lagi pulang kampung, jadi tidak ngajar Aisyah sama teman-teman.” jawab Senja dengan mengelus lembut kepala Aisyah.
“Ummi....!’ teriak anak laki-laki pada Senja. Ia berlari kencang dan langsung memeluk Senja.
“Ih... Adi gak boleh peluk-peluk Ummi, bukan muhrim.” ucap Aisyah dengan menarik tangan Adi agar menyingkir dari Senja.
“Mahram Isyah, bukan muhrim.” ucap Adi dengan wajah kesal karena ditarik Aisyah.
“Iya itu maksud Isyah, gak boleh sentuh Ummi.” ucap Aisyah.
“Adi masih kecil jadi boleh peluk-peluk Ummi.” ucap Adi.
Senja memperhatikan keduanya yang terlihat begitu lucu bagi Senja. Antara Adi dan Aisyah sama-sama tidak mau mengalah.
“Tetap tidak boleh! Adi kan laki-laki.” sargah Aisyah tidak mau kalah.
“Tapi Adi masih kecil, jadi boleh!” ucap Adi menolak keras.
“Enggak!”
“Boleh!”
“Enggak!”
“Boleh!”
“Hei, sssttt, sudah-sudah, Adi sama Isyah jangan berantem, gak boleh.” ucap Senja melerai keduanya.
Kedua bocah kecil itu langsung berhenti ketika Senja minta untuk berhenti.
“Sini-sini, Ummi kasih penjelasan biar tidak salah paham, duduk sini.” ajak Senja. “Yang lainnya, duduk dulu yuk, duduk di sini, merapat yah.” lanjut Senja pada anak-anak yang lain.
“Antara laki-laki dan perempuan memang tidak boleh bersentuhan, kecuali dia memang mahramnya, seperti orang tua dan anak, atau suami dan istri. Lalu bagaimana dengan Adi yang memeluk Ummi tadi? Maka jawabannya boleh, karena walaupun Adi adalah seorang laki-laki, tapi Adi masih kecil atau masuk kategori belum baligh atau dewasa.” ucap Senja memberikan penjelasan yang mudah dipahami oleh anak-anak seusia mereka.
Memang dalam islam semuanya sudah diatur, termasuk hukum mahram antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam keluarga pun ada yang tidak termasuk ke dalam kategori mahram bagi perempuan.
Aurat merupakan ******** dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu apabila terlihat yang bukan mahramnya. Aurat juga berarti perhiasan yang wajib ditutupi dari orang-orang yang tidak berhak untuk melihat atau menikmatinya. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar rumah, setan akan menghiasinya" (HR Tirmidzi dan at-Thabrani).
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara ***********, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung." (QS. An-Nur 24: Ayat 31)
Mahram bagi wanita adalah orang yang tidak dibolehkan menikahinya selamanya karena urusan kekerabatan. Pertama yakni para ayah dari si wanita. Berarti diantaranya adalah ayah, kakek, dan kakek buyut. Kedua, yaitu anak dan turunannya ke bawah, termasuk cucu. Ketiga, yaitu saudara laki-laki, ini termasuk seibu bapak atau hanya seibu atau sebapak.
Mahram wanita akibat urusan kekerabatan berikutnya adalah anak saudara baik laki-laki maupun perempuan hingga cucu. Kelima, yaitu paman dari ayah dan ibu. Keduanya ini masuk mahram karena nasab dan posisinya yang seperti orang tua.
”Jadi kalau Adi meluk atau pegang tangan Ummi boleh?” tanya Aisyah dengan wajah polosnya.
“Boleh sayang.” jawab Senja dengan tersenyum lembut. “Sekarang Aisyah dan Adi harus saling minta maaf.” lanjut Senja.
Aisyah menoleh dan memandang Adi dengan mengerucutkan bibirnya. Sedangkan Adi membalasnya dengan senyum mengembang.
“Adi, maafin Isyah yah.” ucap Aisyah.
“Iyah, Adi maafin.” jawab Adi dengan tersenyum.
“MasyaAllah.” ucap Senja dengan tersenyum melihat kedua anak kecil itu berbaikan.
“Kita mulai belajar mengajinya yah.” ucap Senja.
“Iya Ummi.” teriak mereka bersamaan.
Dari sudut berbeda seorang pria tengah tersenyum memperhatikan kegiatan Senja. Entah sejak kapan ia menjadi penonton dari kegiatan mengajar Senja.
“Assalamu’alaikum Bunda.” ucap Senja pada bunda di seberang telepon.
“Wa’alaikumsalam, Mbak lagi apa?” tanya Bunda.
“Lagi siap-siap mau ke rumah ustadzah Bunda.” jawab Senja. “Bunda sendiri lagi apa?” lanjutnya bertanya pada bunda.
“Lagi telponan sama anak Bunda.” Jawab bunda.
“Ih.. Bunda nih, iya lah Senja tau Bunda lagi telponan sama Senja, maksud Senja kegiatan lain selain telponan sama Senja apa Bunda?” tanyanya lagi.
Terdengar suara kekehan pelan di seberang telpon. “Bunda lagi bersihkan kelapa.” Jawabnya.
“Mbak mau apa ketemu sama ustadzah?” tanya bunda.
“Mau silaturahim aja Bunda, sudah lama Senja tidak silaturahim sama ustadzah.” jawab Senja.
“Hati-hati di jalan, kabari Bunda jika terjadi sesuatu.” ucap Bunda.
“Siap Bunda.”
“Yasudah Bunda tutup yah, Mbak siap-siap lah.” ucap Bunda.
“Eum, dah Bunda, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Senja mematikan handphone miliknya, kemudia memasukkannya ke dalam tas selempang miliknya. Ia keluar dari kamar kosannya, dan segera pergi menuju tempat janjiannya dengan ustadzah.
***
“Sudah 1 tahun berlalu Rey, kamu tidak mau mencari yang lain?” tanya seorang pria pada sahabat dekatnya yang bernama Reyhan.
“Aku masih menunggunya Rik, setidaknya sampai aku tahu siapa dia, dan apa alasannya telah memutuskan ta’aruf sepihak denganku.” ucap Reyhan.
“Masih banyak wanita-wanita lain di luar sana yang bersedia menikah denganmu, sedangkan gadis itu telah menolak ta’aruf darimu Rey, bahkan sebelum kalian saling bertatap muka secara langsung.” ucap temannya Reyhan yang bernama Riko itu.
“Dia berbeda Rik, walaupun aku hanya sempat mendengar suaranya, tapi hal itu sudah bisa membuatku tertarik, ada magnet yang membuatku menginginkannya.” ucap Reyhan.
“Bagaimana jika alasannya adalah karena dia sudah menikah dan dia bahagia dengan pernikahannya?’ tanya Riko.
“Aku akan melepaskannya, setidaknya aku tahu bahwa ia bahagia dengan pernikahannya.” jawab Reyhan yang membuat Riko menghela napasnya dengan pelan.
“Sudah tanyakan pada ustadz Kamil?”
“Sudah, bahkan aku sudah meminta CV lain gadis itu, tapi ustadz Kamil tidak pernah memberikannya.” jawab Reyhan, matanya menerawang ke depan.
“CV lain?”
“Iya, karena isi alamat di dalam CV yang pertama sudah berbeda, aku pernah mendatangi rumahnya, tapi menurut penuturan tetangganya mereka sudah pindah, dan tidak ada yang tahu dimana mereka sekarang.” jelas Reyhan.
“Terus apa hubungannya dengan ustadz Kamil?” Riko kembali mengerutkan keningnya.
“Karena aku yakin istri ustadz Kamil mengetahuinya, dan tidak mungkin ustadz Kamil tidak mengetahuinya.” jawab Reyhan.
“Rumit sekali, mungkin akan menjadi lebih mudah jika kamu bisa move on dari gadis itu Rey, kalian baru sekali bertemu, itupun dengan sekat penghalang, dan didampingi oleh ustadz Kamil dan istrinya, tapi kenapa kau seperti terkena guna-guna.” keluh Riko setelah mendengar semua penjelasan Reyhan.
“Ngawur kamu, mana ada aku diguna-guna, tutur kata dan bahasanya yang membuatku menyukainya Rik.” ucap Reyhan dengan tersenyum mengingat suara lembut gadis ta'arufnya.
“Cinta itu benar-benar gila, sampai membuatmu menjadi seperti ini Rey, move on, move on Rey, tante udah nanyain calon kamu terus, gak pusing kamu dengar celotehan tante.” ucap Riko sembari bangkit dari duduknya.
“Urusan mama biarin aja Rik, entar kalau udah capek mama bakal diam sendiri.” ucap Reyhan.
“Siapa nama gadis itu?” tanya Riko.
“Kepo! Mau apa kamu?” ucap Reyhan dengan tatapan menyelidik.
“Mau membantu, siapa tahu aku bisa bantu kamu cari tuh gadis.” jawab Riko tak kalah sengitnya.
“Gak usah, aku mau berjuang dengan caraku.” ucap Reyhan.
“Pret! Bilang saja kau takut aku menikungmu kan? Dan gadis itu tergila-gila denganku.” ucap Riko dengan percaya diri.
“Playboy cap kapak, mana selera gadisku denganmu, dahlah sana pulang, hush hush.” ucap Reyhan dengan mengibaskan tangannya.
“Dosen gesrek!” ucap Riko sambil berlari keluar ruangan Reyhan.
“Kau yang gesrek Riko!” sahut Reyhan dengan wajah kesalnya.
Reyhan masih melamun memikirkan gadis yang ia cari.
“Maura, dimana aku bisa menemukanmu.” gumamnya. “Izinkan aku berjumpa dengannya Ya Allah.” do’a Reyhan dengan tulus.
Muhammad Reyhan Alfarisi. Dosen di salah satu perguruan tinggi. Usianya kini adalah 26 tahun, usia yang sudah cukup matang untuk ia menikah. Bertubuh tegap, bak atletis, dengan tinggi 180 cm. Memiliki kulit sawo matang dengan wajah yang tampan. Menjadi salah satu idola di kampus tempat ia mengajar. Tak jarang hampir setiap hari ia selalu mendapatkan surat cinta dari para mahasiswi di sana. Namun hal itu tidak membuatnya tertarik, walaupun banyak gadis dan wanita cantik yang menginginkan dirinya. Sampai detik ini ia masih menginginkan sosok gadis 1 tahun yang lalu. Gadis yang berta’aruf dengan dirinya melalui perantara seorang ustadz dan ustadzah. Gadis dengan suara yang mampu memikat dirinya. Tutur kata yang halus dan sopan menjadi daya tarik dari gadis itu.
***
“Assalamu’alaikum.” salam Senja pada ustadzah yang ia temui.
“Wa’alaikumsalam Bila.” Ustadzah itu bangkit dari duduknya dan langsung memeluk Senja dengan tersenyum bahagia.
“Maaf lama Ustadzah.” ucap Senja.
“Jangan panggil ustadzah deh, panggil Kakak saja, lupa yah udah lama tidak bertemu.” ustadzah itu pada Senja.
Senja tersenyum lembut dengan menganggukan kepalanya.
“Ayo duduk dulu Bil, kamu pesan dulu makanan atau minuman yang kamu mau.” ucap ustadzah.
“Eumm iya Kak Hana.” ucap Senja.
“Bila apa kabar? Udah 1 tahun Kakak lost kontak dengan Bila, untung Kakak tahu akun sosial media Bila, jadi Kakak langsung menghubungi Bila.” tanyanya.
“Alhamdulillah sehat Kak, maaf yah udah hilang komunikasi dengan Kak Hana.” ucap Senja tak enak hati.
“Jangan meminta maaf lah, Kakak paham Bila lagi butuh waktu untuk sendiri.” ucapnya dengan tersenyum lembut. “Gimana kuliahnya?” lanjutnya bertanya.
“Lagi proses penyusunan skripsi Kak, doain Bila bisa menyelesaikannya dengan cepat yah.” Jawab Senja dengan tersenyum.
“MasyaAllah, udah sampe skripsi aja, semoga dipermudah segala urusannya oleh Allah SWT.” ucap Hana.
“Aamiin.”
Perbincangan masih berlanjut sampai matahari mulai tenggelam. Bila kembali ke kosan setelah pertemuannya dengan ustadzah Hana atau yang kerap di panggil kak Hana oleh Senja.
Hana merupakan seorang ustadzah yang sudah Senja kenal sejak 2 tahun yang lalu. Mereka berdua bisa saling mengenal ketika Senja mengikuti acara seminar yang di selenggarakan kampus, dan kebetulan Hana merupakan narasumber utama di dalam seminar itu. Dan hubungan mereka menjadi semakin dekat semenjak Hana meminta Senja mengajar di salah satu yayasan sekolah milik keluarga Hana. Senja menerima tawaran Hana, ia mengajar part time di sekolah tersebut, sekaligus tinggal di asrama yang disediakan sekolah. Sebenarnya Hana telah meminta Senja untuk tinggal bersamanya, namun Senja menolaknya, karena di rumah itu hanya ada Hana dengan suaminya, yang membuat Senja tidak enak hati jika harus tinggal bersama Hana.
Keakraban itulah yang membuat Hana menganggap Senja seperti adiknya sendiri. Ia bahkan meminta Senja untuk menghilangkan panggilan ustadzah dan menggantinya dengan Kakak. Namun sudah 1 tahun lamanya Hana kehilangan kontak Senja, Senja bak di telan bumi karena menghilang tiba-tiba. Ketika mengetahui alasan di balik hilangnya kabar dari Senja, Hana memakluminya, ia juga tidak menghubungi Senja, memberikan waktu untuk Senja, sampai waktu yang tepat.
***
“Bagaimana tadi Ummu?” tanya sang suami pada Hana.
“Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar Bi.” Jawab Hana.
“Kira-kira Senja ingin melanjutkan yang tertunda dulu tidak yah?” tanyanya kembali.
“Ummu rasa belum Bi, bisa bertemu dan berbincang dengan Senja saja sudah bersyukur.” Jawabnya. “Ummu lihat, Senja masih menjaga jarak dengan sekitarnya, dengan Ummu saja masih terlalu kaku Bi, Ummu takut kalau Ummu menawarkan hal itu kembali Senja malah menjauhi Ummu.” Lanjutnya dengan helaan napas panjang.
“Yah Abi pikir juga begitu, lagipula perjalanan Senja masih panjang, insyaAllah Allah masih memberikan kita waktu.”
“Aamiin.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!