Hatiku Padamu, Kak (Cinta Dalam Diam)
BRAAAK
Motor itu tergelincir seketika.
Jalanan sedang sepi, hujan deras terus mengguyur.
Pengendara yang sempat terjatuh itu harus pelan-pelan mengangkat tubuhnya.
Ia beringsut menuju trotoar. Membuka kaca helmnya lalu memegang lutut kirinya.
"Mas nggak apa-apa?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba muncul disampingnya. Ia sempat melihat ketika motor itu jatuh dan tergelincir cukup jauh karena menghindari dirinya sedang menyebrang.
"Maaf ... saya tidak tau ada motor, saya buru-buru mau ke pohon sebrang sana buat berteduh." ujar gadis ini terlihat panik sambil menunjuk ke arah sebuah pohon rindang yang berada di seberang jalan.
Pemuda ini hanya diam sambil memandang wajah Arrida, gadis cantik dan imut yang hampir tertabrak olehnya dan telah membuat kaki kirinya sakit akibat terjatuh dari motor.
"Beneran, Mas, saya minta maaf ... kalau ada yang luka, ayo, saya antar ke rumah sakit."
Arrida mencoba memeriksa keadaan tubuh pemuda yang ada dihadapannya.
"Ga usah dipegang ... saya gak apa-apa!" ucap pemuda itu terdengar dingin. Dia menepis pelan tangan Arrida yang akan memegang kakinya.
Arrida mematung. Ia melihat ke arah motor yang tergeletak sembarang di jalan. Mendapatkan respon dingin dari pemuda tersebut Arrida memilih berlari menghampiri motor si pemuda. Mengangkatnya agar motor itu berdiri. Kemudian mendorong motor tersebut menuju pemuda yang masih saja memijit lutut kirinya. Ia pun memarkirkan motornya tepat di samping pemuda itu.
"Bisa berdiri, Mas? Lututnya sakit banget ya? Atau ada luka lainnya?" tanya Arrida kemudian.
Pemuda itu hanya diam sambil sesekali meringis ketika lututnya terasa sakit saat ditekan oleh tangannya.
"Jawab dong, Mas, biar saya bisa tau harus gimana ... atau saya antar ke rumah sakit terdekat ya." ujar Arrida memberi ide.
Belum juga pemuda itu menyetujui ide Arrida, terdengar bunyi ponsel miliknya. Ia segera merogoh saku celana, kemudian menggeser tanda hijau di layar teleponnya.
"Assalamu'alaikum," ucap pemuda itu.
"Wa'alaikumsalam, Wais, kamu dimana? Kenapa kamu belum kesini? Kamu gak papa kan?" suara dari si penelepon.
"Iya, Mah, Uwais gak apa-apa, ini masih di jalan, sebentar lagi kesitu." jawab Uwais, pemuda tampan yang memiliki tatapan tajam yang khas dan indah.
"Hati-hati, ini hujan lho, jangan lupa pakai jas hujan,"
"Iya, Mamah ... Uwais udah pake jas hujan kok." jawabnya lagi, menenangkan si penelepon yang ternyata ibunya.
"Udah ya ... Uwais tutup ... Assalamu'alaikum,"
Setelah menutup teleponnya dan menyimpan ke dalam saku celananya, dia pun mencoba untuk bangkit dari duduknya. Namun sayang, rasa sakit di lututnya membuat dia tidak bisa berdiri tegak.
Arrida segera memegang lengan Uwais, ia berusaha untuk menyangga tubuh Uwais.
"Mas lututnya cedera, biar saya bantu." kata Arrida.
Uwais hanya menatapnya datar, tak ada respon.
"Biar saya antar Mas ... masnya mau kemana?" ucap Arrida menawarkan diri untuk membantunya.
Masih diam.
Tangan Arrida masih memegang lengan Uwais.
"Mas, kalo masnya cuma diem doang, ntar ga selesai-selesai urusannya, saya sudah kedinginan, hujannya ga reda-reda lagi ... saya juga pengen pulang ... atau ...."
"Ke rumah sakit!" Uwais memotong seketika ucapan Arrida dan itu sempat membuat gadis manis dengan bola mata yang indah itu terkejut.
Hening sejenak.
"Kok malah bengong, katanya mau bantu ...." kata Uwais.
"Ah iya iya, saya antar mas ke rumah sakit ... yang dekat sini, kan?"
"Bukan, kita ke rumah sakit Permata Husada!"
Arrida diam. Sempat mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Kenapa?" tanya Uwais
"Aneh ... bukannya mas butuh segera pengobatan ya ... kenapa harus ke rumah sakit yang jauh?" Arrida bingung. Ia melepaskan pegangan tangannya. Dan hal itu membuat Uwais sedikit limbung.
"Eh ... maaf," seru Arrida sambil kembali memegang lengan Uwais agar dia kembali berdiri tegak walau dengan posisi menahan sakit di lututnya.
"Ini bukan buat saya, tapi saya harus segera kesana, karena ayah saya sedang kritis,"
Arrida melongo mendengar penjelasan Uwais.
"Oh ya udah ... ayo ... ayo ... kita segera kesana." ujar Arrida segera menarik lengan Uwais agar tubuhnya mendekati motor.
"Tunggu ... kamu yakin?" Uwais tampak ragu. Apa mungkin gadis dihadapannya ini bisa mengendarai motor NyimaX, yang memiliki body gede, sementara tubuhnya begitu mungil.
"Kenapa? Mas ragu?" Arrida menatap selidik pada Uwais
"Aaah, tenang aja, Mas ... saya pernah tiga kali menaiki motor beginian." ucap Arrida meyakinkan sambil menepuk jok motor dengan penuh percaya diri.
"Mas gak lihat tadi kalo saya bisa mendorong motor dari sana kesini?" tanya Arrida sambil menunjuk ke arah dimana tadi motor itu tergeletak sebelumnya.
"Baiklah ... hati-hati ya ... saya gak mau celaka lagi."
"Okke tenang aja ... masnya bisa naik?" tanya Arrida lagi.
Uwais mengangguk. Perlahan dengan sedikit bantuan dari Arrida, diapun bisa menaiki motor bagian belakangnya.
"Eh, tunggu!" kata Uwais menghentikan Arrida yang hendak menaiki motornya.
"Ada apalagi sih, Mas?"
"Saya gak punya helm dua ataupun jas hujan dua,"
"Tenang aja, Mas, mudah-mudahan hujan kayak gini pak polisi mentolelir, kalau pun nggak ... yaaa siap siap ditilang aja ya ... gak apa apa, kan?"
Uwais mengangguk. Ia melepas helmnya. Lalu menyerahkan pada Arrida.
"Kamu yang pake helm ... kamu didepan, ini juga jas hujan biar kamu yang pake aja!" perintah Uwais sambil melepas jas hujannya.
"Eh ga usah, Mas ... helm ini biar saya yang pake, tapi kalo jas hujan gak usahlah ... toh saya juga udah basah kuyup, percuma aja pake jas hujan,"
Uwais menghentikan membuka jas hujannya, ia mencermati kata-kata Arrida. Tampaknya benar juga apa yang dikatakan oleh Arrida.
"Biar saya saja yang basah kuyup ya ... masnya gak usah ... jangan sampai dua-duanya kedinginan," lanjut gadis itu.
"Udah ... kita berangkat ya Mas ... Bismillah ...."
Arrida pun melajukan motornya. Tak ada pembicaraan apapun selama dalam perjalanan. Hening. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.
Kurang lebih empat puluh lima menit mereka pun tiba di rumah sakit yang dituju.
Sambil digandeng oleh Arrida, Uwais berjalan menuju ruang ICU. Ibunya tengah cemas menunggu di kursi yang disediakan di luar ruangan tersebut.
"Assalamu'alaikum, Mah ...." sapa Uwais.
"Wa'alaikumsalam ... Uwais, akhirnya kamu dateng juga, kenapa lama banget?" kata ibunya Uwais sambil berdiri menghampiri Uwais dan Arrida.
"Maaf tante ... tadi masnya sempet kecelakaan, jatuh dari motor, lututnya cedera, tapi dia tidak mau diperiksa, dan malah ingin kesini," kali ini Arrida yang menjawab.
Tania, ibunya Uwais menoleh ke arah Arrida yang masih memegang lengan Uwais, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lutut Uwais.
"Uwais gak apa-apa mah, pas jatuh lutut kiri Uwais cukup keras membentur jalan, mungkin dipijat di tukang pijat langganan papah bisa sembuh," Uwais mencoba menenangkan ibunya.
"Ya Allah, Nak, apa lagi ini? Ayahmu kritis dan kamu kecelakaan." Bu Tania menangis seakan meluapkan rasa sesak dengan perasaannya saat ini.
"Mamah yang tenang, Uwais gak papa, gimana keadaan papah sekarang?" Uwais memeluk ibunya sambil mengusap lembut punggungnya.
Arrida tersenyum melihat interaksi hangat yang ditampilkan ibu dan anak dihadapannya itu.
Setelah melepas pelukan, Uwais melihat ke arah Arrida, memberi isyarat padanya agar dirinya bisa digandeng menuju tempat duduk.
Gadis manis itu paham, ia pun segera membantu Uwais untuk duduk di kursi panjang di koridor.
Setelah ketiganya duduk, ibunya mulai menjelaskan kondisi ayahnya yang sudah melewati masa kritisnya. Lalu menceritakan penyebab ayahnya bisa sampai masuk rumah sakit.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
Hai kakak readers
ini karya pertamaku
semoga suka dan terhibur yaaa
makasih like, vote, favorit, n komennya yaaa
sehat selalu kakak readers
👍🏻👍🏻👍🏻☺️☺️☺️🥰🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Rozekhien☘️
baru Nemu dan baru baca novel ini ka othor.dr pertama baca enak bahasa dan kata2nya mudah dipahami gk belibet suka bgt novel ini next baca lgi🤗🤭💪
2023-04-18
2
Kang Sarnudin
cerita yang bagus
2023-03-19
1
Cee Suli
nengok dulu baru baca 🤣🤣
2022-10-16
1