BRAAAK
Motor itu tergelincir seketika.
Jalanan sedang sepi, hujan deras terus mengguyur.
Pengendara yang sempat terjatuh itu harus pelan-pelan mengangkat tubuhnya.
Ia beringsut menuju trotoar. Membuka kaca helmnya lalu memegang lutut kirinya.
"Mas nggak apa-apa?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba muncul disampingnya. Ia sempat melihat ketika motor itu jatuh dan tergelincir cukup jauh karena menghindari dirinya sedang menyebrang.
"Maaf ... saya tidak tau ada motor, saya buru-buru mau ke pohon sebrang sana buat berteduh." ujar gadis ini terlihat panik sambil menunjuk ke arah sebuah pohon rindang yang berada di seberang jalan.
Pemuda ini hanya diam sambil memandang wajah Arrida, gadis cantik dan imut yang hampir tertabrak olehnya dan telah membuat kaki kirinya sakit akibat terjatuh dari motor.
"Beneran, Mas, saya minta maaf ... kalau ada yang luka, ayo, saya antar ke rumah sakit."
Arrida mencoba memeriksa keadaan tubuh pemuda yang ada dihadapannya.
"Ga usah dipegang ... saya gak apa-apa!" ucap pemuda itu terdengar dingin. Dia menepis pelan tangan Arrida yang akan memegang kakinya.
Arrida mematung. Ia melihat ke arah motor yang tergeletak sembarang di jalan. Mendapatkan respon dingin dari pemuda tersebut Arrida memilih berlari menghampiri motor si pemuda. Mengangkatnya agar motor itu berdiri. Kemudian mendorong motor tersebut menuju pemuda yang masih saja memijit lutut kirinya. Ia pun memarkirkan motornya tepat di samping pemuda itu.
"Bisa berdiri, Mas? Lututnya sakit banget ya? Atau ada luka lainnya?" tanya Arrida kemudian.
Pemuda itu hanya diam sambil sesekali meringis ketika lututnya terasa sakit saat ditekan oleh tangannya.
"Jawab dong, Mas, biar saya bisa tau harus gimana ... atau saya antar ke rumah sakit terdekat ya." ujar Arrida memberi ide.
Belum juga pemuda itu menyetujui ide Arrida, terdengar bunyi ponsel miliknya. Ia segera merogoh saku celana, kemudian menggeser tanda hijau di layar teleponnya.
"Assalamu'alaikum," ucap pemuda itu.
"Wa'alaikumsalam, Wais, kamu dimana? Kenapa kamu belum kesini? Kamu gak papa kan?" suara dari si penelepon.
"Iya, Mah, Uwais gak apa-apa, ini masih di jalan, sebentar lagi kesitu." jawab Uwais, pemuda tampan yang memiliki tatapan tajam yang khas dan indah.
"Hati-hati, ini hujan lho, jangan lupa pakai jas hujan,"
"Iya, Mamah ... Uwais udah pake jas hujan kok." jawabnya lagi, menenangkan si penelepon yang ternyata ibunya.
"Udah ya ... Uwais tutup ... Assalamu'alaikum,"
Setelah menutup teleponnya dan menyimpan ke dalam saku celananya, dia pun mencoba untuk bangkit dari duduknya. Namun sayang, rasa sakit di lututnya membuat dia tidak bisa berdiri tegak.
Arrida segera memegang lengan Uwais, ia berusaha untuk menyangga tubuh Uwais.
"Mas lututnya cedera, biar saya bantu." kata Arrida.
Uwais hanya menatapnya datar, tak ada respon.
"Biar saya antar Mas ... masnya mau kemana?" ucap Arrida menawarkan diri untuk membantunya.
Masih diam.
Tangan Arrida masih memegang lengan Uwais.
"Mas, kalo masnya cuma diem doang, ntar ga selesai-selesai urusannya, saya sudah kedinginan, hujannya ga reda-reda lagi ... saya juga pengen pulang ... atau ...."
"Ke rumah sakit!" Uwais memotong seketika ucapan Arrida dan itu sempat membuat gadis manis dengan bola mata yang indah itu terkejut.
Hening sejenak.
"Kok malah bengong, katanya mau bantu ...." kata Uwais.
"Ah iya iya, saya antar mas ke rumah sakit ... yang dekat sini, kan?"
"Bukan, kita ke rumah sakit Permata Husada!"
Arrida diam. Sempat mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Kenapa?" tanya Uwais
"Aneh ... bukannya mas butuh segera pengobatan ya ... kenapa harus ke rumah sakit yang jauh?" Arrida bingung. Ia melepaskan pegangan tangannya. Dan hal itu membuat Uwais sedikit limbung.
"Eh ... maaf," seru Arrida sambil kembali memegang lengan Uwais agar dia kembali berdiri tegak walau dengan posisi menahan sakit di lututnya.
"Ini bukan buat saya, tapi saya harus segera kesana, karena ayah saya sedang kritis,"
Arrida melongo mendengar penjelasan Uwais.
"Oh ya udah ... ayo ... ayo ... kita segera kesana." ujar Arrida segera menarik lengan Uwais agar tubuhnya mendekati motor.
"Tunggu ... kamu yakin?" Uwais tampak ragu. Apa mungkin gadis dihadapannya ini bisa mengendarai motor NyimaX, yang memiliki body gede, sementara tubuhnya begitu mungil.
"Kenapa? Mas ragu?" Arrida menatap selidik pada Uwais
"Aaah, tenang aja, Mas ... saya pernah tiga kali menaiki motor beginian." ucap Arrida meyakinkan sambil menepuk jok motor dengan penuh percaya diri.
"Mas gak lihat tadi kalo saya bisa mendorong motor dari sana kesini?" tanya Arrida sambil menunjuk ke arah dimana tadi motor itu tergeletak sebelumnya.
"Baiklah ... hati-hati ya ... saya gak mau celaka lagi."
"Okke tenang aja ... masnya bisa naik?" tanya Arrida lagi.
Uwais mengangguk. Perlahan dengan sedikit bantuan dari Arrida, diapun bisa menaiki motor bagian belakangnya.
"Eh, tunggu!" kata Uwais menghentikan Arrida yang hendak menaiki motornya.
"Ada apalagi sih, Mas?"
"Saya gak punya helm dua ataupun jas hujan dua,"
"Tenang aja, Mas, mudah-mudahan hujan kayak gini pak polisi mentolelir, kalau pun nggak ... yaaa siap siap ditilang aja ya ... gak apa apa, kan?"
Uwais mengangguk. Ia melepas helmnya. Lalu menyerahkan pada Arrida.
"Kamu yang pake helm ... kamu didepan, ini juga jas hujan biar kamu yang pake aja!" perintah Uwais sambil melepas jas hujannya.
"Eh ga usah, Mas ... helm ini biar saya yang pake, tapi kalo jas hujan gak usahlah ... toh saya juga udah basah kuyup, percuma aja pake jas hujan,"
Uwais menghentikan membuka jas hujannya, ia mencermati kata-kata Arrida. Tampaknya benar juga apa yang dikatakan oleh Arrida.
"Biar saya saja yang basah kuyup ya ... masnya gak usah ... jangan sampai dua-duanya kedinginan," lanjut gadis itu.
"Udah ... kita berangkat ya Mas ... Bismillah ...."
Arrida pun melajukan motornya. Tak ada pembicaraan apapun selama dalam perjalanan. Hening. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.
Kurang lebih empat puluh lima menit mereka pun tiba di rumah sakit yang dituju.
Sambil digandeng oleh Arrida, Uwais berjalan menuju ruang ICU. Ibunya tengah cemas menunggu di kursi yang disediakan di luar ruangan tersebut.
"Assalamu'alaikum, Mah ...." sapa Uwais.
"Wa'alaikumsalam ... Uwais, akhirnya kamu dateng juga, kenapa lama banget?" kata ibunya Uwais sambil berdiri menghampiri Uwais dan Arrida.
"Maaf tante ... tadi masnya sempet kecelakaan, jatuh dari motor, lututnya cedera, tapi dia tidak mau diperiksa, dan malah ingin kesini," kali ini Arrida yang menjawab.
Tania, ibunya Uwais menoleh ke arah Arrida yang masih memegang lengan Uwais, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lutut Uwais.
"Uwais gak apa-apa mah, pas jatuh lutut kiri Uwais cukup keras membentur jalan, mungkin dipijat di tukang pijat langganan papah bisa sembuh," Uwais mencoba menenangkan ibunya.
"Ya Allah, Nak, apa lagi ini? Ayahmu kritis dan kamu kecelakaan." Bu Tania menangis seakan meluapkan rasa sesak dengan perasaannya saat ini.
"Mamah yang tenang, Uwais gak papa, gimana keadaan papah sekarang?" Uwais memeluk ibunya sambil mengusap lembut punggungnya.
Arrida tersenyum melihat interaksi hangat yang ditampilkan ibu dan anak dihadapannya itu.
Setelah melepas pelukan, Uwais melihat ke arah Arrida, memberi isyarat padanya agar dirinya bisa digandeng menuju tempat duduk.
Gadis manis itu paham, ia pun segera membantu Uwais untuk duduk di kursi panjang di koridor.
Setelah ketiganya duduk, ibunya mulai menjelaskan kondisi ayahnya yang sudah melewati masa kritisnya. Lalu menceritakan penyebab ayahnya bisa sampai masuk rumah sakit.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
Hai kakak readers
ini karya pertamaku
semoga suka dan terhibur yaaa
makasih like, vote, favorit, n komennya yaaa
sehat selalu kakak readers
👍🏻👍🏻👍🏻☺️☺️☺️🥰🥰🥰
Uwais dan Arrida hanya terdiam mendengarkan cerita bu Tania. Rasa kecewa ayahnya pada Fika, kakak perempuan Uwais yang memilih kabur bersama lelaki pilihannya.
"Udahlah mah, kita doakan aja mbak Fika bisa kembali pada kita, andai kata tidak pun, semoga mbak Fika bisa bahagia dengan pilihannya." ujar Uwais menggenggam tangan ibunya.
Bu Tania mengangguk sambil mengusap air matanya yang masih saja membasahi pipinya.
Hening. Tak ada lagi pembicaraan. Larut dengan perasaan dan pikirannya masing-masing.
"Maaf, tante ... apa gak sebaiknya mas ini diperiksa, ya?" ujar Arrida pada Tania memecah keheningan.
"Ah, iya, kamu benar, Nak ... ayo Uwais kamu periksa ya." ucap bu Tania menerima saran Arrida.
"Gak usah, Mah ...." tolak Uwais halus.
"Ga usah nolak, mumpung disini, ayo!" Bu Tania segera menarik lengan Uwais untuk memeriksakan keadaanya.
"Pelan-pelan, Mah," Uwais pun mengikuti dengan perlahan. Kedua lengannya dipegang oleh ibunya dan Arrida.
Akhirnya Uwais melakukan pemeriksaan, tidak terlalu lama, karena keadaannya memang tidak parah.
Tak lama kemudian, setelah Uwais diperiksa dan diberi obat pereda nyeri, serta diberi kruk (tongkat ketiak) untuk membantunya berjalan, ketiganya pun kembali ke koridor ruang ICU, dan duduk di kursi panjang yang ada di situ.
"Makanya kamu hati-hati, Wais kalo naik motor, kenapa bisa sampai jatuh, pasti kamu ngebut, kan?" tanya Tania pada Uwais, sambil mengusap lengan kekar anaknya itu.
"Maaf, Tan, Rida yang salah," sela Arrida.
"Oh iya, kamu siapa nak? Maaf, tante baru bertanya? Dan makasih udah nolongin Uwais," tanya bu Tania menoleh ke arah Arrida.
"Saya Arrida, Tante ... sebenarnya, Rida yang harusnya berterima kasih karna mas-nya gak nuntut apa-apa kecuali minta dianterin kesini ... Rida yang menyebabkan mas-nya jatuh dari motor ... karena menghindari Rida yang lagi nyebrang, Rida minta maaf ya, Tante,"
Bu Tania menoleh kepada Uwais meminta kepastian akan kebenaran dari yang dikatakan Arrida.
"Gak, Mah ... Uwais juga yang salah ... Uwais buru-buru ingin ketemu papah, dan waktu dia nyebrang Uwais hilang kendali, untung aja gak nabrak dia,"
Bu Tania menarik nafas panjang mencermati apa yang disampaikan keduanya.
"Sudahlah gak apa-apa ... yang penting semuanya selamat, ya," kata bu Tania sambil mengelus punggung Arrida.
"Ya, ampun, Nak ... kamu dingin banget," komentar Tania terlihat khawatir.
"Gak papa, Tante ... kalo boleh, Rida mau pamit dulu, Tan ... udah sore,"
"Oh gitu, ya, kamu mau pulang, Nak?" tanya Tania memastikan.
Arrida mengangguk pasti.
"Mau naik apa?" tanya Tania kemudian.
"Rida pesan taksol, Tan." jawab Arrida sambil memperlihatkan ponselnya, memberi isyarat bahwa dia telah memesan taksi online.
"Eh, naik taksi? Hm ... gimana kalau kamu tunggu Fariz aja ya, abangnya Uwais ... mungkin bentar lagi dia kesini,"
"Duh, nggak usah, Tan ... makasih ... Rida pulang sendiri aja,"
"Beneran gak pa-pa?" Tania memastikan untuk kedua kalinya.
Arrida menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
"Manis banget itu senyum," komentar Uwais dalam hatinya, yang sejak tadi hanya memperhatikan bagaimana interaksi antara Arrida dan ibunya.
" Kalo gitu, Rida pulang dulu ya, Tan, Assalamu'alaikum ...." pamit Arrida sambil mencium punggung tangan bu Tania.
"Wa'alaikumsalam," jawab bu Tania.
"Tunggu!" cegah Uwais. "Biar saya anter sampai depan," lanjutnya sambil menatap bu Tania meminta persetujuan.
Bu Tania mengangguk menyetujui Uwais mengantar Arrida ke halaman depan rumah sakit. Dan akhirnya keduanya pun meninggalkan bu Tania.
"Kita ke toilet dulu, ya," pinta Uwais.
"Oh iya, boleh," kata Arrida menyetujui.
Mereka pun tiba di depan toilet. Namun bukannya segera masuk, Uwais malah memerintahkan Arrida untuk mengganti pakaiannya dengan jaket yang tadi dilepas.
"Bajumu basah, ganti ya, pake jaket ini," saran Uwais sambil melepas jaketnya.
"Gak usah Mas, makasih,"
"Ntar kamu sakit," Uwais memberikan alasan.
Arrida hanya diam.
"Gak pake nolak!" kata Uwais memaksa.
"Nanti saya bingung ngembaliinnya, Mas."
"Gak usah dikembalikan, buat kamu aja."
Arrida hanya terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Seneng banget seh kamu bengong, udah cepetan masuk dan ganti bajumu!" perintah Uwais kemudian.
Akhirnya Arrida menyetujui saran Uwais. Dia pun segera masuk dan mengganti pakaiannya dengan jaket milik Uwais.
"Hmmm, hangat," gumam bathin Arrida. Dia tersenyum melihat tampilan dirinya di cermin wastafel toilet.
Setelah Arrida mengganti pakaiannya dengan jaket, ia pun segera keluar dari toilet.
"Nah, gitu dong," ucap Uwais.
Arrida mengangguk dan tersenyum.
Kemudian mereka pun berjalan menuju halaman depan rumah sakit.
"Kamu udah pesen taksolnya?" tanya Uwais memastikan.
"Iya udah, mungkin bentar lagi datang."
"Oh ...."
"Kenapa?" tanya Arrida, "Kok 'oh'?" lanjutnya.
"Nggak apa-apa ... mmm ... tadinya, kalau kamu belum pesan taksi, saya mau ngajak ke kantin, kayaknya kamu butuh sesuatu yang hangat, mungkin teh hangat atau jeruk hangat ... atau kopi?"
Arrida tersenyum.
"Gak usah, Mas, makasih,"
"Uwais .... " kata Uwais menyebut namanya sendiri, seakan dia enggan dipanggil 'Mas'. Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan guna memperkenalkan dirinya.
Arrida tersenyum. Hanya menatap tangan Uwais dihadapannya.
"Kayaknya tadi saya udah nyebut nama deh."
"Itu kan sama mamah, sama saya belum kenalan, kan?"
"Eh, taksolnya dateng, udah dulu ya, saya minta maaf atas kejadian hari ini, dan makasih banyak atas semuanya, saya pamit ya ... Assalamu'alaikum ...." ucap Arrida sambil berlalu dari hadapan Uwais. Kemudian memasuki taksi online yang dipesannya.
Uwais mematung sesaat. Ia menarik uluran tangannya yang tidak mendapat respon dan menatap setengah sadar taksi yang barusan ada dihadapannya itu pergi.
"Wa'alaikumsalam," ucapnya sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian dia menepuk keningnya mengingat betapa bodohnya dia tidak sempat meminta nomor kontaknya.
Lima hari kemudian...
Arrida berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuannya satu yaitu ruang ICU tempat ayahnya Uwais dirawat.
Namun sesampainya di ruang ICU dia tidak menemukan orang-orang yang dimaksud. Uwais, bu Tania maupun ayahnya Uwais.
"Apa yang terjadi?" gumamnya.
"Apa ayahnya meninggal? Atau sudah sehat dan sudah pulang ke rumah?" Arrida masih bergumam.
"Eh atau udah dipindah ke kamar rawat ya?Sebaiknya nanya perawat atau resepsionis kali, ya" Arrida bermonolog.
Dia menatap sekeliling. Namun tidak melihat satu pun perawat disitu. Akhirnya dia pun memutuskan untuk mencari informasi ke resepsionis.
Namun sayang, ketika sampai dihadapan resepsionis, dia bingung harus menanyakan apa karena dia tidak tau siapa yang dia cari. Dia tidak mengetahui nama ayahnya Uwais.
Oleh karena itu, dia pun memutuskan untuk pulang.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
Hai kakak readers
makasih udah mampir
makasih atas dukungannya ya ☺️
makasih like favorit vote dan kommentnya
semoga suka dan terhibur yaaa ☺️
Sehat selalu kakak readers
☺️☺️☺️👍🏻👍🏻👍🏻🥰🥰🥰
Hari ini, adalah hari pertama Arrida kembali bersekolah, tepatnya, masuk ke Sekolah Menengah Atas kelas sepuluh. Masa liburan setelah kelulusan Sekolah Menengah Pertama telah usai. Kini, Arrida mengenakan seragam putih abu-abu menggantikan seragam putih birunya.
Baginya liburan kemarin merupakan momen yang luar biasa. Ada saat dimana dia hampir tertabrak disaat hujan deras dan bisa mengendarai motor dengan body gede di usianya yang mulai remaja bersama seorang laki-laki.
Maklumlah, ayahnya sangat protektif, sehingga tidak mengijinkan Arrida mengendarai motor sendiri terlebih motor dengan body gede. Dan lagi memang belum saatnya dia menggunakan motor sendiri karena belum punya SIM.
Kalau boleh jujur, waktu dia mengendarai motor milik Uwais adalah pengalaman yang pertama kali untuknya dengan tempuh waktu berkendara selama empat puluh lima menit. Selama ini, dia hanya pernah mencoba di lapangan dan di sekitar kompleks perumahannya. Itupun didampingi kakak laki-lakinya, Adnan.
🌼
"Deeek ... cepetaaan! Ntar telat!" teriak Adnan memanggil Arrida yang masih ada di dalam kamarnya. Dia kini sedang menikmati sarapannya di ruang makan bersama ayah dan ibunya.
"Gak usah berisik, Bang ... biar nanti Rida bareng bunda," kata Sofia, ibunya Arrida.
Adnan nyengir.
"Semalem adek minta dianter abang, Bun ... diia gak mau kalau harus berangkat sama bunda ... malu katanya ... ntar pada tau kalo dia anak bu guru," kata Adnan menjelaskan.
"Iya, Bun, Rida gak mau ... ntar dikira teman-teman, Rida bisa masuk ke sekolah situ karena ada bunda," kata Arrida yang baru saja turun dari kamarnya menuju ruang makan. Dia langsung duduk dan mengambil sepotong roti lalu mengolesinya dengan selai.
"Ya udah, terserah kamu, Nak ...." kata bu Sofia.
"Tapi kalo abangmu gak bisa nganter ... kamu naik umum ya." sambung pak Arthur, ayahnya Arrida.
"Siap, Ayah," Arrida menyetujui, sambil mengangkat tangannya, ujung jarinya menempel kening seperti sikap hormat.
"Wah kamu cantik, Dek." Adnan mengomentari, sambil menatap adiknya yang mengenakan seragam putih abu-abu panjang.
"Kamu kelihatan udah gadis ... bukan bocah lagi,"
"Rida udah putih abu-abu, Bang," Arrida tersenyum ke arah Adnan sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
"Aish, gak usah ge-er ... ntar hidung kamu terbang," kata Adnan sambil mengacak pucuk kepala Arrida
"Abaaang ... sembarangan ih, berantakan kan jadinya," ujar Arrida sambil merapikan rambutnya.
"Maaf, Dek, abis kamu nggemesin, tau gak, awas kalo baru masuk sekolah udah ada yang naksir,"
"Adnaaaan," panggil pak Arthur sambil melirik Adnan yang terus menggoda adiknya.
"Hehehe, maaf yah,"
"Udah! Segera habiskan sarapannya, lalu antar adikmu ke sekolah!" perintah pak Arthur.
"Okke, Yah."
Tak lama kemudian setelah sarapan Adnan pun mengantarkan Arrida ke sekolah, sebelum akhirnya dia menuju kampus.
🌼
Arrida menarik nafas panjang di depan gerbang sekolah sesaat setelah sebelumnya berpamitan dengan Adnan.
Ia melangkahkan kakinya menuju GOR yang terletak disebelah timur sekolah, dekat dengan gedung dimana ruang guru berada. Di tempat itulah dia akan melaksanakan MOS (masa orientasi siswa) selama beberapa hari.
"Bismillah ...."
Hatinya agak bergetar, ada desiran aneh hadir di relung hatinya. Entah apa. Bahkan dia tidak bisa menggambarkan apa yang dirasakannya saat ini.
Mungkin 'bangga' ... itu yang ada di benaknya, bisa masuk sekolah favorit di kotanya. Harus bersaing ketat untuk bisa masuk ke sekolah itu. Ada seleksi melalui jalur hasil ujian ketika SMP, nilai raport, bahkan sampai melalui jalur tes seleksi yang diselenggarakan sekolah tersebut.
Namun, sepertinya bukan itu, getaran aneh yang hadir di hatinya ini terasa lebih indah. Entahlah. Dia belum bisa memahaminya.
"Hai," sapa seorang gadis di hadapan Arrida. Dia cantik berkulit putih, rambutnya agak ikal. Di sampingnya ada gadis bermata bulat dengan bulu mata lentik, memiliki rambut lurus sepundak.
"Aku Nana dan ini Hani," kata gadis itu memperkenalkan dirinya dan teman di sampingnya pada Arrida.
"Eh, hai juga, aku Arrida." jawab Arrida sambil menerima uluran tangan keduanya.
Ketiganya tersenyum.
"Yuk, kita masuk barisan, acara sudah maul dimulai," ajak Nana sambil menarik tangan Arrida.
Suasana MOS saat itu berjalan lancar dan tertib hingga 4 hari lamanya.
Dan kini Arrida masuk di kelas yang sama dengan Nana dan Hani. Kelas X IPA 1.
Hari pertama setelah masa orientasi.
Sudah dipastikan untuk waktu berikutnya ke depan mereka sudah mulai pembelajaran. Pun dengan kegiatan ekstrakurikuler wajib Pramuka dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
"Kalian mau ikut kegiatan ekstrakurikuler apa Da, Na?" tanya Hani pada Arrida dan Nana saat istirahat setelah pelajaran olahraga.
"Aku ingin ikut PMR" jawab Arrida pasti.
"Aku juga" jawab Nana meyakinkan
"Kalo kamu Han?" tanya Arrida dan Nana hampir bersamaan.
Hani terdiam sejenak seperti sedang berfikir.
"Aku ikut kalian deh,"
"Lho kenapa? Bukannya kamu suka badminton? Kenapa kamu gak ikut ekstra Badminton aja, Han, sayang kan bakat kamu?" ujar Arrida yang mendapatkan anggukan dari Nana sebagai tanda setuju.
"Iya seh, tapi gak ada temennya,"
"Ya ampun, Han, kok mikirnya kesitu? ini bakat kamu lho ... jalani yang kamu sukai," kata Arrida sambil memegang pundak sahabatnya.
"Bener itu, Han," kata Nana.
"Kalau aku gak nyaman gimana? Soalnya, kebahagiaanku adalah bersama kalian,"
"Oooh, so sweet ...." ujar Nana berkomentar
"Ya udahlah, apa seh yang nggak buat Hani," kata Arrida gemas.
"Tenang aja Da, Na ... kalo soal bakat, aku kan udah ikutan klub sendiri, tiap hari Minggu,"
Arrida dan Nana hanya menganggukkan kepalanya.
"Masa putih abu-abu itu hanya tiga tahun, aku pengen menghabiskan waktu bersama kalian, akan aku buat quality moment nyampe kelas dua belas nanti, pokoknya best friend forever," ucap Hani meyakinkan keduanya.
"Aaah, indahnyaaa," kata Nana, kemudian dia memeluk Arrida dan Hani, hingga akhirnya ketiganya saling berpelukan.
"Eh, ngomong-ngomong, nanti siang pendaftarannya lho, aku udah dapet formulir pendaftarannya," kata Arrida sambil melepaskan pelukannya.
"Nanti kalo Hani mau ikut daftar, ikut sekalian aja pas kita nyerahin formulir," usulnya kemudian.
"Iya, jadi kamu bisa langsung daftar, okke, Han?" kata Nana sambil menepuk pundak Hani dan mendapatkan anggukan darinya.
🌼
Siang itu sepulang sekolah mereka menuju ruang PMR. Tepatnya hanya di depan ruangan PMR. Mereka mendaftarkan diri untuk menjadi anggota PMR.
Hanya mendaftarkan diri. Untuk info kegiatan selanjutnya akan dikabari melalui chat grup.
Lembar formulir pendaftaran, kini berada di tangan kakak dewan senior.
"Arrida Lathifatunnisa?“ gumam seseorang setelah memperhatikan beberapa lembar formulir pendaftaran.
"Kenapa Uwais? ada yang kamu kenal?“ tanya Erna, sesama dewan senior. Gadis itu diam-diam menaruh hati pada Uwais.
Tanpa menjawab pertanyaan Erna, dia berlari keluar.
Mencari seseorang. Berharap siapa yang ada didalam pikirannya saat ini adalah benar.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
Makasih kakak readers...
Sehat selalu yaaa😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!