"Oh iya, kamu udah kenal kak Uwais, Da?" tanya Hani memastikan. Setelah Arrida mengenalkan dirinya dan Nana kepada Uwais, ia merasa yakin kalau Arrida dan Uwais saling mengenal.
"Hmm ...." Arrida mengangguk.
"Hah, seriusan? Sejak kapan?" tanya Nana berbinar. Matanya mengerjap beberapa kali.
"Udah lama," jawab Uwais mantap, "Saya pinjam dulu temen kalian ini ya" lanjutnya.
Tanpa mendengar jawaban dari Nana dan Hani , Uwais langsung menarik lengan Arrida, menjauh dari keduanya. Nana dan Hani hanya melongo. Lalu memutuskan untuk pulang, setelah sebelumnya mereka mengirimkan pesan pada Arrida, mengabarkan jika mereka pulang terlebih dahulu.
🌼
Duduk di gazebo di samping perpustakaan.
"Pa kabar Arrida Lathifatunnisa?" tanya Uwais membuka percakapan.
Arrida melirik. Tersenyum mengingat sesuatu.
Ia ingat ketika menolak uluran tangan Uwais yang ingin berkenalan dengannya saat di halaman depan rumah sakit menunggu taksi pesanannya datang.
Tak disangka malah sekarang Uwais tahu nama lengkapnya.
"Jangan tersenyum, Arrida." kata Uwais sambil memperhatikan wajah Arrida dengan intens.
"Kenapa? Hati kakak meleleh lihat senyumanku?Hmm?" tanya Arrida sambil menaikkan kedua alisnya. Ia mengutip kata-kata gombal Nana untuk Uwais waktu di lapangan.
Arrida dan Uwais sama sama terkekeh mengingat kekonyolan Nana.
"Temenmu itu lucu, Ar ...."
"Hah, Ar???" Arrida merasa aneh dengan panggilan yang diberikan Uwais, karena selama ini teman- temannya memanggil 'Da' atau 'Rida'.
"Kenapa? Salah?" tanya Uwais yang merasa kalau panggilan yang dia berikan tidak ada yang salah.
"Nggak, hanya saja, agak aneh didengar, kurang familiar gitu, selama ini, temen-temen manggil aku, Da atau Rida,"
"Oh, kalau gitu kamu akan terbiasa dengan panggilan 'Ar', okke... Karena aku akan manggil kamu dengan itu," kata Uwais mantap.
"Duh, kak Uwais, meleleh hatiku neh! Beneran deh, aku jadi ngerasa spesial," ujar Arrida sambil memegang dadanya. Sedikit bercanda. Tidak ada keseriusan.
"Ga usah ge-er Arrida Lathifatunnisa," kata Uwais sambil mengacak pucuk kepala Arrida.
"Aish, jangan sok akrab juga kali kak Uwais," ucap Arrida menepis tangan Uwais dari pucuk kepalanya, sambil sengaja menekan kata Uwais biar tambah jelas.
Uwais menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
"Akhirnya kamu manggil namaku juga Ar, waktu di rumah sakit bahkan kamu gak mau kenalan sama aku."
"Heheh, iyya seh, tapi sekarang tanpa kenalan pun, kak Uwais tau nama lengkapku."
Uwais mengembangkan senyumannya.
"Itu namanya rezeki anak sholeh,"
"Haish, ga usah kepedean juga kalleee," Arrida mencibir.
"Hahaha, aku kan emang sholeh, Ar, baik hati, tidak sombong, rajin menabung, suka menolong ...."
"Iya iya, percaya, tambahin juga terlalu pede, sok kegantengan, sok cool ...."
"Bukan 'sok' Arrida, tapi emang ganteng n cool,"
"Iyalah, iya! Iya-in aja, daripada berdebat unfaedah,"
Uwais kembali mengacak pucuk kepala Arrida
"Hissh, seneng banget seh ngacak- ngacak rambut orang," ucap Arrida sambil merapikan rambutnya
"Kamu lucu ...." kata Uwais singkat.
"Nggemesin juga, kan?" tanya Arrida sedikit terkekeh, matanya mengerjap beberapa kali sambil melirik Uwais.
Uwais tersenyum lebar sampai gigi rapihnya terlihat. Sempat menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka gadis yang duduk disampingnya ini juga begitu percaya diri. Lucu dan menggemaskan.
"Hmm," Uwais mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Arrida.
Aih, rasa apalagi ini yang berdesir aneh muncul di hati Arrida, melihat anggukan Uwais.
"Eh, kamu belum jawab pertanyaanku?" Uwais mulai fokus bertanya.
"Yang mana?"
"Gimana kabarmu?"
"Oooh, Alhamdulillah baik ... Eh, gimana lutut kakak, udah sembuh?"
"Alhamdulillah udah sembuh, awal masuk sekolah sempet agak pincang, tapi uda gak pake kruk,"
"Maaf ya kak, kalo ingat kejadian itu, aku ngerasa salah banget,"
" Hei, itu juga kesalahanku, saat itu, aku panik denger papah kritis! Gak peduli hujan lagi deras, pikiranku hanya ingin segera nyampe rumah sakit."
"Eh iya, gimana keadaan ayah kakak?"
"Alhamdulillah beliau sudah sehat, tapi untuk ke depannya gak boleh ada lagi kejutan-kejutan yang menyakiti atau bikin papah mikir keras,"
"Hmmm" Arrida mengangguk mengerti.
"Kak, aku sempet ke rumah sakit lagi lho, tapi ga ketemu kakak, di ruang ICU pun udah gak ada ayah kakak,"
"Iyya,kah?" Uwais tak percaya.
"Iya, waktu itu aku mau mengembalikan jaket kakak,"
"Ah aku ingat, mungkin itu emang bener kamu Ar, saat itu, aku lagi di parkiran mau ngambil sesuatu di mobil, terus, ngelihat orang kayak kamu, tapi lagi mau naik taksi, aku sempet ngejar ke depan gerbang buat mastiin, tapi sayang, taksinya keburu pergi, maklumlah waktu itu belum bisa lari karena masih susah buat jalan ... Mungkin kalau bisa lari, aku kejar tuh taksi nyampe dapet,"
"Hahaha, bisa jadi kak, mungkin bukan cuma bisa ngejar taksi,tapi bisa ngejar kereta api, heee," canda Arrida. "Tapi syukurlah sekarang kaki kakak udah sembuh kan ya? Sekali lagi aku minta maaf ya, Kak."
"Iyyaa Ar, gak usah minta maaf mulu, udah lewat juga, ambil aja hikmahnya, lain kali kita emang harus lebih hati-hati saat di jalan apalagi saat hujan gede! Eh, gomong-ngomong, waktu itu kamu nyebrang mau berteduh di pohon gede sebrang jalan, kan?"
"Hu-um," Arrida menganggukkan kepalanya.
"Gak salah neng, lagi hujan ko malah berteduh di bawah pohon, bisa kesambar petir lho ...."
"Abis gimana lagi, disitu tempatnya jauh dari halte, agak jauh juga dari rumah penduduk, aku abis dari panti asuhan yang jaraknya cukup jauh dari jalan utama.. niatnya mau pulang, mesen taksol. Karena dari panti susah sinyal aku milih jalan kaki dulu nyampe jalan besar, biar dapet sinyal,"
"Terus, taksi belum datang, hujan keburu turun?" potong Uwais
"Nggak, sebenernya taksinya uda mau dateng, tapi tiba-tiba katanya ban kempes, padahal saat itu hujan uda mulai turun,"
"Oh, dan terus kejadian deh ...."
"Iya kak, saat itu aku panik banget, ngelihat kakak jatuh dari motor." Arrida menggelengkan kepalanya sambil menutup kedua matanya kuat-kuat, menarik nafas dalam-dalam mengingat kecelakaan saat itu. Ada rasa takut yang tidak bisa dia gambarkan.
"Kamu panik karena khawatir atau panik karena takut disalahkan?"
"Keduanya," Arrida nyengir.
Uwais tersenyum sambil kembali mengacak pucuk kepala Arrida. Dan itu membuat Arrida mengerucutkan bibirnya.
"Kamu beruntung, Ar, baru kamu yang menggandeng aku lama banget, anget kan?" Uwais menggombal.
"Aish, itu beda keadaan Kak, kakak kan pasien, aku cuma nolongin, dan gak ngambil kesempatan juga ... Mungkin malah kakak yang beruntung, dibonceng cewek cantik!" Arrida melirik Uwais penuh selidik. "Jangan-jangan kak Uwais nyuri - nyuri kesempatan ya, waktu dibonceng." imbuhnya.
Pletak...
Kening Arrida disentil pelan oleh Uwais.
"Di filter Ar, jangan mikir yang aneh-aneh,"
Arrida mengusap keningnya dan mengerucutkan bibirnya. "Sakit tau, Kak,"
Uwais hanya tertawa gemas.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Mom FA
sal dari in memories🙏
2022-04-19
2
Ayuna
untung Bannya kempes🤣🤣🤣
2022-04-12
2
pensi
ada rasa trauma
2022-02-27
2