BERBAGI SUAMI
"Haris, ceraikan saja istri mandulmu itu," titah Bu Helen pada pria yang sedang duduk di kursi rotan peninggalan sang nenek.
Haris, pria yang sekarang mengarahkan pandang ke sekeliling, nampak menerawang. Berat. Setiap hari ibunya selalu menyuruh pria itu untuk menceraikan istrinya, hanya gara-gara selama lima tahun pernikahan belum juga dikaruniai anak.
"Sebentar, Bu. Ini kan baru lima tahun—"
Bu Helen melotot mendengarnya. Lima tahun baginya itu lama, lama sekali.
"Apa, BARU LIMA TAHUN katamu??" ulangnya. Wanita paruh baya itu melipat tangan ke dada seraya berdecak.
"Lima tahun itu lama Haris, mau sampai kapan kalian bertahan. Orang-orang sudah ramai menggunjingkan kalian. Kamu mau dikira mandul??"
Bu Helen menekuk wajahnya, heran dengan anak lelakinya itu. Lima tahun yang lalu dia terpaksa memberi restu saat pernikahan anak satu-satunya itu dengan perempuan bernama Renata dari panti asuhan yang entah darimana asalnya.
Sekarang perempuan itu belum juga memberinya cucu. Malu rasanya mendengar semakin hari makin berisik saja para tetangga berdengung membicarakan mereka.
"Ris, Bu Restu itu anaknya baru menikah dua bulan yang lalu, sekarang istrinya sudah hamil satu bulan. Bu Dewi, bahkan anaknya menikah hampir bersamaan denganmu saja sudah mau bercucu dua. Kamu ini gimana?" omel Bu Helen.
"Bu, kami mau usaha dulu. Ibu yang sabar, ya?" sahut Haris, pria berusia tiga puluh tahun itu mencoba membuat ibunya bersabar.
"Sabar, sabar. Sampai kapan sabarnya, Ris?? Usaha apa lagi?? Pijat? Konsultasi dokter sampai bidan? Sudah semua. Sekarang apa lagi? Dia itu mandul, Ris. Kamu nggak usah nutup-nutupi."
Haris menghela napas. Sudah habis kata-kata untuk menjelaskan lagi. Dia yakin, sementara orang tua satu-satunya itu tak mau mengerti.
"Ya namanya usaha, Bu."
Kalimat terakhir yang bisa diucapkan Haris setelah berbagai alasan yang dia ucapkan tak mampu menggerus kekesalan sang ibu.
"Sudah dapatnya dari panti asuhan, mandul lagi. Mungkin dia itu bekas orang lain juga," desis Bu Helen.
"Ibu jangan sembarangan, Bu."
Bu Helen hanya mendengus. Dia melengos lalu meninggalkan Haris, masih dengan membawa rasa jengkelnya pada anak lelaki yang kukuh itu.
Haris sendiri kemudian melangkahkan kakinya ke kamar, di mana istrinya sedang duduk mendengar samar-samar pertengkaran kedua orang itu. Dia tak berani keluar. Jika keluar, dia hanya akan menambah kejengkelan ibu mertuanya.
"Mas, maaf ya, aku sudah berusaha keras untuk bisa hamil," isak Renata di dalam kamar.
Haris merasa sangat bosan. Kejadian ini tak hanya sekali dua kali, tapi setiap hari dia mendengarnya setiap pulang kerja. Hingga dia suka mengulur waktu pulang kerja pun, malah tambah makin malam waktu berdebat dengan sang ibu.
"Sudahlah, besok aku kerja. Kamu tidur saja dulu," ujar Haris.
"Mas, apa kita tak mengontrak rumah saja?" usul Renata.
"Kamu itu gimana! Ibu kan sendiri di rumah? Lalu, apa untuk mengontrak itu tak butuh biaya banyak? Kamu bukannya membantu berpikir, malah menambah pikiranku saja!" omel Haris. Sekarang emosinya berpindah ditujukan ke istrinya.
Renata hanya diam. Dia merebahkan tubuhnya, memunggungi Haris yang sedang emosi, memejamkan mata. Perempuan itu menahan isak tangis yang akan keluar dari kedua matanya saat sang suami membentaknya.
***
Keesokan harinya, Renata bangun lalu menyiapkan masakan untuk makan pagi mertua, suami dan dirinya sendiri. Dia mulai menjerang air untuk membuat minuman, seraya menunggu tukang sayur. Biasanya ibu mertua yang setiap hari keluar dan berbelanja untuk keesokan harinya. Namun, hari itu dia tak menemukan sayuran di dalam lemari es.
Bu Helen melewatinya dengan ketus. Wanita itu sedang berjalan ke kamar mandi. Akhir-akhir ini sang mertua memang sering bersikap ketus padanya. Renata tahu diri. Itu pasti karena dia belum bisa memberinya cucu.
Renata menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan, berusaha mengatur emosi. Lalu dia mendengar suara tukang sayur di depan.
"Kamu saja yang keluar Ren! Biar kamu tahu bagaimana rasanya digunjingkan oleh semua orang!" teriak Bu Helen dari dalam kamar mandi.
Renata tak menjawab teriakan sang mertua. Dia pun mengambil dompet lalu keluar dari dapur. Mendekati tukang sayur.
"Bang, ada bayam?" tanya Renata.
"Oh, ada Mbak."
Dengan sigap Mang Yanto mengambilkan bayam untuk dipilih oleh Renata. Beberapa tetangga mulai berdatangan. Mereka ikut memilih sayur.
"Itu lho, Mbak Ren ambil taoge, kan belum punya anak. Bagus buat kesuburan," celetuk seorang ibu.
"Iya, Bu. Memang saya mau ambil sedikit taoge," sahut Renata.
"Eh, tapi kalo mandul ya makan sekilo sehari pun nggak ngaruh," bisik beberapa tetangga.
Renata merasa kesal sekali dengan apa yang dia dengar. Pantas saja sang mertua juga ikut kesal dan melampiaskan padanya. Renata segera membayar belanjaannya lalu masuk ke rumah.
Bu Helen memandangnya sinis di depan rumah. Seolah mengatakan padanya bahwa benar apa yang dia katakan tentang para tetangga.
Renata berusaha untuk tak mengindahkan omongan orang-orang itu. Dia mulai mengerjakan apa yang harus dia kerjakan di dapur. Sementara itu, suaminya sudah mulai masuk ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian, masakan sudah siap. Renata menata apa yang dia buat di atas meja. Bu Helen dan Haris sudah duduk di atas kursi meja makan. Renata mengambilkan nasi untuk suaminya, kemudian berniat mengambilkan untuk ibu mertuanya.
"Sudah! Aku ambil sendiri. Nggak perlu kamu ambilkan."
Renata menghela napas kembali. Kebencian sang mertua semakin menjadi padanya. Dia pun mengalah untuk membiarkan wanita itu mengambil sendiri makan paginya.
"Hari ini Ibu mau pergi, Ris. Kamu ingat apa kata Ibu kemarin. Jika tidak, Ibu akan mencari cara lain menurut Ibu sendiri," ujar Bu Helen tanpa melihat ke arah Renata, seakan perempuan itu tak ada di ruangan.
"Ibu mau ke mana?" tanya Haris.
"Mau ke rumah Budhemu! Capek Ibu di rumah. Si Susi, anaknya budhe kan baru saja melahirkan. Pasti ramai di sana. Lumayan hiburan daripada di rumah sepi," sahut Bu Helen.
"Ya. Ibu hati-hati ya? Apa perlu diantar sama Renata?" tanya Haris.
"Nggak usah!" sahut Bu Helen ketus.
"Ya sudah," ujat Haris mengalah seraya melirik istrinya yang sedang menggigit bibirnya, kecewa dengan perkataan sang mertua.
Bu Helen bergegas meninggalkan ruang makan. Sikapnya sejak awa pada Renata memang dingin, tapi lima tahun ini lebih dingin dari sebelumnya. Padahal, Renata selalu menyediakan apa yang diperlukan oleh sang mertua. Namun, entahlah. Mungkin sejak awal dia memang tak suka akan kehadiran perempuan itu.
"Aku berangkat dulu," ujar Haris pada Renata.
"Iya, hati-hati, Mas."
Sedikit kecewa karena Haris juga sepertinya mulai berubah, semalam membentaknya tapi lupa meminta maaf pagi ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Soraya
mampir thor
2024-08-15
0
Hasrie Bakrie
Mampir ya thor
2022-11-04
0
nesya
mertua nyinyir gitu mending di lakban aja mulut nya. emg lupa kl yg bs memberi keturunan itu cm Allah swt, manusia kan cm bs trs berusaha dan berdo'a.
2022-08-06
0