NovelToon NovelToon

BERBAGI SUAMI

CERAIKAN SAJA ISTRIMU

"Haris, ceraikan saja istri mandulmu itu," titah Bu Helen pada pria yang sedang duduk di kursi rotan peninggalan sang nenek.

Haris, pria yang sekarang mengarahkan pandang ke sekeliling, nampak menerawang. Berat. Setiap hari ibunya selalu menyuruh pria itu untuk menceraikan istrinya, hanya gara-gara selama lima tahun pernikahan belum juga dikaruniai anak.

"Sebentar, Bu. Ini kan baru lima tahun—"

Bu Helen melotot mendengarnya. Lima tahun baginya itu lama, lama sekali.

"Apa, BARU LIMA TAHUN katamu??" ulangnya. Wanita paruh baya itu melipat tangan ke dada seraya berdecak.

"Lima tahun itu lama Haris, mau sampai kapan kalian bertahan. Orang-orang sudah ramai menggunjingkan kalian. Kamu mau dikira mandul??"

Bu Helen menekuk wajahnya, heran dengan anak lelakinya itu. Lima tahun yang lalu dia terpaksa memberi restu saat pernikahan anak satu-satunya itu dengan perempuan bernama Renata dari panti asuhan yang entah darimana asalnya.

Sekarang perempuan itu belum juga memberinya cucu. Malu rasanya mendengar semakin hari makin berisik saja para tetangga berdengung membicarakan mereka.

"Ris, Bu Restu itu anaknya baru menikah dua bulan yang lalu, sekarang istrinya sudah hamil satu bulan. Bu Dewi, bahkan anaknya menikah hampir bersamaan denganmu saja sudah mau bercucu dua. Kamu ini gimana?" omel Bu Helen.

"Bu, kami mau usaha dulu. Ibu yang sabar, ya?" sahut Haris, pria berusia tiga puluh tahun itu mencoba membuat ibunya bersabar.

"Sabar, sabar. Sampai kapan sabarnya, Ris?? Usaha apa lagi?? Pijat? Konsultasi dokter sampai bidan? Sudah semua. Sekarang apa lagi? Dia itu mandul, Ris. Kamu nggak usah nutup-nutupi."

Haris menghela napas. Sudah habis kata-kata untuk menjelaskan lagi. Dia yakin, sementara orang tua satu-satunya itu tak mau mengerti.

"Ya namanya usaha, Bu."

Kalimat terakhir yang bisa diucapkan Haris setelah berbagai alasan yang dia ucapkan tak mampu menggerus kekesalan sang ibu.

"Sudah dapatnya dari panti asuhan, mandul lagi. Mungkin dia itu bekas orang lain juga," desis Bu Helen.

"Ibu jangan sembarangan, Bu."

Bu Helen hanya mendengus. Dia melengos lalu meninggalkan Haris, masih dengan membawa rasa jengkelnya pada anak lelaki yang kukuh itu.

Haris sendiri kemudian melangkahkan kakinya ke kamar, di mana istrinya sedang duduk mendengar samar-samar pertengkaran kedua orang itu. Dia tak berani keluar. Jika keluar, dia hanya akan menambah kejengkelan ibu mertuanya.

"Mas, maaf ya, aku sudah berusaha keras untuk bisa hamil," isak Renata di dalam kamar.

Haris merasa sangat bosan. Kejadian ini tak hanya sekali dua kali, tapi setiap hari dia mendengarnya setiap pulang kerja. Hingga dia suka mengulur waktu pulang kerja pun, malah tambah makin malam waktu berdebat dengan sang ibu.

"Sudahlah, besok aku kerja. Kamu tidur saja dulu," ujar Haris.

"Mas, apa kita tak mengontrak rumah saja?" usul Renata.

"Kamu itu gimana! Ibu kan sendiri di rumah? Lalu, apa untuk mengontrak itu tak butuh biaya banyak? Kamu bukannya membantu berpikir, malah menambah pikiranku saja!" omel Haris. Sekarang emosinya berpindah ditujukan ke istrinya.

Renata hanya diam. Dia merebahkan tubuhnya, memunggungi Haris yang sedang emosi, memejamkan mata. Perempuan itu menahan isak tangis yang akan keluar dari kedua matanya saat sang suami membentaknya.

***

Keesokan harinya, Renata bangun lalu menyiapkan masakan untuk makan pagi mertua, suami dan dirinya sendiri. Dia mulai menjerang air untuk membuat minuman, seraya menunggu tukang sayur. Biasanya ibu mertua yang setiap hari keluar dan berbelanja untuk keesokan harinya. Namun, hari itu dia tak menemukan sayuran di dalam lemari es.

Bu Helen melewatinya dengan ketus. Wanita itu sedang berjalan ke kamar mandi. Akhir-akhir ini sang mertua memang sering bersikap ketus padanya. Renata tahu diri. Itu pasti karena dia belum bisa memberinya cucu.

Renata menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan, berusaha mengatur emosi. Lalu dia mendengar suara tukang sayur di depan.

"Kamu saja yang keluar Ren! Biar kamu tahu bagaimana rasanya digunjingkan oleh semua orang!" teriak Bu Helen dari dalam kamar mandi.

Renata tak menjawab teriakan sang mertua. Dia pun mengambil dompet lalu keluar dari dapur. Mendekati tukang sayur.

"Bang, ada bayam?" tanya Renata.

"Oh, ada Mbak."

Dengan sigap Mang Yanto mengambilkan bayam untuk dipilih oleh Renata. Beberapa tetangga mulai berdatangan. Mereka ikut memilih sayur.

"Itu lho, Mbak Ren ambil taoge, kan belum punya anak. Bagus buat kesuburan," celetuk seorang ibu.

"Iya, Bu. Memang saya mau ambil sedikit taoge," sahut Renata.

"Eh, tapi kalo mandul ya makan sekilo sehari pun nggak ngaruh," bisik beberapa tetangga.

Renata merasa kesal sekali dengan apa yang dia dengar. Pantas saja sang mertua juga ikut kesal dan melampiaskan padanya. Renata segera membayar belanjaannya lalu masuk ke rumah.

Bu Helen memandangnya sinis di depan rumah. Seolah mengatakan padanya bahwa benar apa yang dia katakan tentang para tetangga.

Renata berusaha untuk tak mengindahkan omongan orang-orang itu. Dia mulai mengerjakan apa yang harus dia kerjakan di dapur. Sementara itu, suaminya sudah mulai masuk ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian, masakan sudah siap. Renata menata apa yang dia buat di atas meja. Bu Helen dan Haris sudah duduk di atas kursi meja makan. Renata mengambilkan nasi untuk suaminya, kemudian berniat mengambilkan untuk ibu mertuanya.

"Sudah! Aku ambil sendiri. Nggak perlu kamu ambilkan."

Renata menghela napas kembali. Kebencian sang mertua semakin menjadi padanya. Dia pun mengalah untuk membiarkan wanita itu mengambil sendiri makan paginya.

"Hari ini Ibu mau pergi, Ris. Kamu ingat apa kata Ibu kemarin. Jika tidak, Ibu akan mencari cara lain menurut Ibu sendiri," ujar Bu Helen tanpa melihat ke arah Renata, seakan perempuan itu tak ada di ruangan.

"Ibu mau ke mana?" tanya Haris.

"Mau ke rumah Budhemu! Capek Ibu di rumah. Si Susi, anaknya budhe kan baru saja melahirkan. Pasti ramai di sana. Lumayan hiburan daripada di rumah sepi," sahut Bu Helen.

"Ya. Ibu hati-hati ya? Apa perlu diantar sama Renata?" tanya Haris.

"Nggak usah!" sahut Bu Helen ketus.

"Ya sudah," ujat Haris mengalah seraya melirik istrinya yang sedang menggigit bibirnya, kecewa dengan perkataan sang mertua.

Bu Helen bergegas meninggalkan ruang makan. Sikapnya sejak awa pada Renata memang dingin, tapi lima tahun ini lebih dingin dari sebelumnya. Padahal, Renata selalu menyediakan apa yang diperlukan oleh sang mertua. Namun, entahlah. Mungkin sejak awal dia memang tak suka akan kehadiran perempuan itu.

"Aku berangkat dulu," ujar Haris pada Renata.

"Iya, hati-hati, Mas."

Sedikit kecewa karena Haris juga sepertinya mulai berubah, semalam membentaknya tapi lupa meminta maaf pagi ini.

PEKERJAAN RENATA

"Helen, tetanggaku ada lho yang sampai sekarang belum punya anak juga. Padahal sudah sepuluh tahun menikah, ternyata rahimnya kering gara-gara dulu kebanyakan minum pil kontrasepsi sewaktu remaja. Dia ayam kampus."

Dengan kedua mata melotot, Eny kakak Helen menceritakan tentang tetangga dan gosip-gosipnya. Rol rambut di atas kepala masih menempel. Eny sendiri tak pernah absen menggosip bersama dengan para tetangga. Di teras rumah tetangga, di tukang sayur, di manapun selalu update berita-berita miring tentang para tetangga.

Helen terbelalak mendengarnya.

"Ayam kampus? Maksudnya apa itu ayam kampus? Kok kedengerannya aneh, Mbak?" tanya Helen.

Eny berdecih, mengibaskan tangannya di hadapan Helen. Merasa adiknya itu kuper alias kurang pergaulan.

"Kamu itu, mainnya kurang jauh. Ayam kampus itu ya anak perempuan kuliahan yang suka jual diri ke orang-orang. Masa kamu nggak ngerti!" omel Eny meraih sisir lalu mengurai rol yang menggulung poninya.

"Pil kontrasepsi itu untuk mencegah kehamilan!" imbuh Eny.

Dahi Helen berlipat. Dia mulai terkontaminasi oleh ucapan Eny. Pikirannya teracuni. Mulai berpikir yang tidak-tidak tentang Renata. Apakah rahim Renata kering? Apakah menantunya itu dulunya ayam kampus? Ah, Helen menekuk wajahnya berlipat-lipat.

"Bu, bisa juga itu karena dia suka gonta-ganti pasangan, minum alkohol, dan obat terlarang itu si Mina itu kan, Bu?" celetuk Susi. Eny hanya mengangguk-angguk mendengar keterangan tambahan dari mulut Susi.

Helen tambah terbelalak mendengarnya. Ada juga yang modelan seperti itu di sekitarnya. Dia kira cuma di kota-kota besar saja.

Terdengar suara tangis bayi dari kamar. Cucu Eny, anak dari Susi merengek. Bayi merah yang baru berusia satu minggu itu nampak kehausan. Tadi Helen sudah puas menggendongnya, tapi masih saja ingin menggendong bayi itu. Susi mengangkat anaknya dengan sayang lalu memberikan ASI. Sebentar kemudian, Susi mengganti popoknya.

Sungguh iri Helen melihatnya. Ingin sekali dia menimang cucu setiap hari tanpa sindiran tetangga. Dia akan memamerkan cucunya jika Haris sudah punya anak, tapi kapan?

"Helen, apa kamu nggak kepengen bayi merah seperti ini?" tanya Eny saat menciumi bayi perempuan itu.

"Ya ... kepengen Mbak, tapi kenapa ya, Renata itu belum juga hamil?" keluh Helen menghempaskan pantatnya di sofa.

"Udah diperiksain ke dokter belum, Tante?"

Sekarang Susi yang mulai bertanya. Dia telah selesai membersihkan ompol bayinya yang sekarang tidur nyenyak lagi di box bayi.

"Huh, periksa sih udah, Sus. Ya ke bidan, ya ke dokter, tapi nggak ada hasil. Lima tahun nggak ada perkembangan apa-apa," ujar Helen.

"Oh, ya sabar Tante. Mungkin suruh pacaran dulu," celetuk Susi berniat melegakan.

"Sobar sabar. Kalo begini terus sampai kapan sabarnya, Sus?" omel Helen.

"Sampai kapan ya ... sabar aja, Tante," kekeh Susi bercanda diikuti tawa Eny, tapi malah mereka makin membuat Helen panas.

***

Sementara itu, Renata sedang berada di sebuah minimarket di mana dia bekerja. Pekerjaan suami dengan gaji pas-pasan, membuatnya harus ikut banting tulang mencari uang.

Haris memberinya lima ratus ribu rupiah setiap bulan. Diterima oleh Renata dengan ikhlas. Dia tak tahu pastinya berapa gaji sang suami. Uang itu pun digunakannya untuk membayar listrik dan air. Juga menghemat untuk beli beras jika Haris lupa membelinya sepulang kerja.

Haris juga memberi uang pada sang mertua. Untuk jumlahnya, Renata tak tahu berapa. Dia maklum karena memang mereka masih numpang di pondok indah mertua. Jadi, ya tahu diri lah. Kadang kalau mertua tak membeli bahan makanan, Renata juga yang turun tangan. Gajinya di minimarket lebih besar daripada nafkah yang diberikan oleh sang suami. Untuk itu, Renata bisa membeli keperluannya sendiri. Untung saja kulit Renata putih dan bebas jerawat, jadi dia tak perlu skin care dan perawatan lain.

Hidupnya sangat sederhana. Sesekali hanya beli daster karena daster sebelumnya sobek. Hari itu sangat melelahkan. Dia melayani banyak pembeli. Minimarket tak hanya melayani pembelian makanan dan minuman tapi juga pulsa, token listrik, dan lain-lain.

"Sil, kamu udah makan?" tanya Renata pada Sisil, teman kerjanya.

Sisil mengangguk.

"Gantian ya, aku mau makan dulu."

"Lho, Mbak tadi belum makan toh?" tanya Sisil kaget.

"Belum lah, kan cuma kita berdua hari ini yang berangkat."

Renata tampak memegang perutnya yang mulai keroncongan.

"Ya udah Mbak, sana makan dulu. Aku lanjutin. Nanti aja tata barang yang baru datang. Kalau pas Mbak udah selesai makan siang," ujar Sisil.

"Oke," sahut Renata.

Renata menyerahkan kasir pada Sisil. Jam makan siang. Perutnya sangat keroncongan. Dia biasa makan di warung sebelah. Murah dan cukup enak. Apalagi untuk karyawan minimarket, ada potongan harga khusus.

"Sayur buncis sama telur," pinta Renata pada si pelayan warung makan.

"Kupilihkan yang gede," ujar si pelayan warung makan, Sari.

Renata terkekeh. Biasa Sari selalu memilihkan yang terbaik untuk karyawan minimarket karena memang mereka sudah saling mengenal sejak lama. Sejak sebelum Renata menikah. Warung makan itu jadi langganan para karyawan minimarket.

"Makasih, Sari!" ujar Renata.

Dia membawa sepiring nasi sayur dan satu gelas teh panas mengepul. Hemat, sepuluh ribu sudah dapat semua itu dengan lauk telur. Duduk di pojokan sambil memperhatikan pasangan yang baru datang. Si perempuan dengan mesra menggandeng lelakinya lalu duduk di tengah depan jauh dari Renata.

'Hm, kok nggak risih ya bermesraan di warung makan kayak gitu?' batin Renata.

Renata melanjutkan makan siangnya dan tak memperdulikan pasangan mesra itu lagi. Tak enak kalo ditunggu pekerjaan. Barang-barang yang baru datang dari mobil box harus ditata. Hanya dua orang karyawan yang datang hari ini. Si Herman, lelaki setengah perempuan itu sedang sakit, jadi ijin kerja.

Jadi, Renata dan Sisil yang mengurusi semua pekerjaan. Dia mempercepat makan siangnya. Minimarket tempatnya bekerja bukanlah minimarket ternama seperti yang tersebar di belahan Indonesia itu, tapi hanya lokalan. Tak ada rolling karyawan. Jadi tak ada banyak karyawan yang membantu, tapi segi positifnya ya Renata tak harus risau jika dipindah-pindah ke daerah lain.

Dia segera menyelesaikan makannya lalu bergegas kembali ke minimarket. Tak sengaja dia tersandung kaki perempuan yang makan di warung makan bersama lelakinya tadi.

"Eh, maaf!" serunya.

Pelototan si wanita membuat Renata meringis. Galak sekali kelihatannya, tapi Renata tetap pergi, dia tak sengaja dan sudah meminta maaf. Lagian, kenapa juga kaki wanita itu keluar dari jalur? Bukan salah Renata kalo tersandung.

Terdengar makian si wanita samar-samar mengatainya tak punya mata, tapi Renata tak perduli. Dia memikirkan pekerjaan dan rasa kasihan pada Sisil yang bekerja sendirian.

Dia segera berlari ke minimarket lalu membantu Sisil yang sudah kewalahan melayani pembeli.

MENYAKITKAN

Petang itu, Renata turun dari sebuah angkutan umum. Ingin rasanya segera mengguyur tubuh dengan air dingin. Dia terbiasa mandi petang.

Usai membayar angkutan umum, Renata melangkah ke sebuah rumah yang sebenarnya dia sangat enggan untuk menempati. Namun, karena suami yang sangat dicintai berkehendak di situ, maka Renata mengalah.

Sebuah kantong berisi makanan yang dia beli dari minimarket berguncang-guncang seiring dengan langkah kakinya, sejauh dua puluh meter dari jalan, sudah sampai ke rumah mertuanya.

Nampak dari depan, dua orang sedang berbincang di ruang tamu. Renata sedang akan masuk, tapi terhenti saat pikirannya tergelitik mendengar percakapan keduanya.

"Dia cantik, Ris. Kamu pasti tak menyesal menikah dengan gadis itu," ujar wanita yang sudah Renata tebak itu adalah ibu mertuanya.

"Bu, bagaimana dengan Rena?" sahut Haris.

Decakan terdengar dari mulut Bu Helen.

"Heleh, nanti kalo kamu tua, siapa yang urus kalo bukan keturunanmu?? Nah, perempuan yang kamu bela-bela itu tak bisa memberimu keturunan, kan? Haris, Haris ...."

"Kamu tua, dia pun tua, jadi kalian siapa yang urus? Mikir!" tunjuk Bu Helen ke keningnya sendiri.

Haris mendesah. Benar juga kata sang Ibu. Namun, dia masih memikirkan istrinya, Renata. Terbayang saat itu, lima tahun yang lalu dia menemukan gadis cantik penjaga kasir minimarket. Dengan mudah Haris berkenalan dengan Renata. Nama yang indah. Tanpa pertimbangan, karena sudah jatuh hati dan Renata sendiri tak memiliki ayah dan ibu, Haris langsung meminangnya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Renata menerima pinangan Haris dengan bahagia. Ternyata, Renata juga mencintai Haris.

Bayangan itu pudar setelah sang Ibu mendesaknya dengan memperlihatkan foto seorang gadis teman Susi, ke arah Haris.

Gadis berbaju merah, dengan wajah cukup cantik terawat sedang tersenyum manis di layar gawai ibunya.

"Nih, cantik 'kan? Namanya Melia. Dia itu teman Susi. Dia seger begini, pasti bisa kasih keturunan kamu, Ris!" oceh Bu Helen memperhatikan lekuk wajah di layar benda pipih itu.

"Cantik, kan?" ulang Bu Helen menyenggol lengan Haris.

Haris mengangguk. Memang cantik, dia tak akan mengingkari isi kepalanya sendiri di hadapan sang ibu.

"Nah, jadi kamu nggak akan nyesel kalo harus menceraikan Renata dan mendapatkan gadis secantik ini," ujar ibunya kembali mengamati wajah wanita di layar ponselnya itu.

Haris masih bengong. Dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Tak lama, terbuka juga pintu ruang tamu. Renata nampak cemberut muncul dari pintu.

"Eh, Ren. Udah pulang?" sambut Haris gugup.

"Udah," sahut Renata lirih.

Dia melewati sang mertua yang sudah mengangkat tangan untuk dicium oleh Renata seperti biasanya. Decak kesal dari mulut Bu Helen usai Renata mengabaikan tangan yang tergantung di udara.

Sementara Haris mengikuti Renata, menyusul ke kamarnya.

"Mas! Itu Ibu kenapa sih bilang seperti itu terus??" protes Renata. Tak kuat rasanya hati mendengar ucapan mertua kepada suaminya.

"Maaf Ren, maklumlah Ibu punya keinginan untuk menggendong cucu. Kamu yang maklum ya?"

Haris menarik tangan Renata untuk mendekat padanya, memeluk dengan erat seolah ingin menenangkan rasa hati Renata yang kacau.

Renata menangis di dalam dekapan Haris. Lelaki itu mengelus kepalanya.

"Kita coba lagi nanti malam, ya?" pintanya.

Renata mengangguk. Bulir hangat air mata terasa membasahi kedua pipi. Haris menghapusnya dengan ibu jarinya dan memegang kedua pipi Renata.

"Mas, apa kamu akan menceraikanku?" tanya Renata menatap kedua mata Haris. Mencari kejujuran di dalamnya. Haris menatap kedua mata Renata yang berair.

"Tidak, Sayang. Aku tak akan pernah menceraikanmu," janji Haris.

Malamnya, mereka saling melepaskan hasrat berdua. Menjalin kemesraan yang berujung pelepasan. Hingga pagi, Haris mendekap Renata yang meringkuk di sampingnya. Berselimut tebal, satu selimut untuk berdua.

"Aih! Sudah pagi, Mas!" teriak Renata saat melihat jam di dinding.

Pukul enam pagi. Bagi Renata sungguh kesiangan untuk menyiapkan segalanya. Tambah lagi tiba-tiba perutnya nyeri, seperti akan datang tamu bulanan.

Benar saja. Saat dia masuk ke kamar mandi terlihat bercak merah di celana. Hati Renata kecewa. Dia pun segera mengguyur tubuh pagi itu, berupaya untuk melapangkan dada.

***

Renata tak melihat sayuran di lemari es. Ibu mertuanya pun belum nampak di dapur. Biasanya wanita itu sudah sibuk di luar atau duduk di depan televisi setelah Renata memasak.

Kali ini Renata mengalah lagi, keluar membawa dompetnya untuk berbelanja karena tukang sayur sudah datang bersamaan dengan tukang jamu.

"Eh, Mbak Rena. Beli sayur apa?" tanya tetangga.

"Ini, Bu. Lagi pilih-pilih juga. Sebentar saya beli kunir asem dulu," ujarnya meletakkan sebungkus sayuran.

"Pasti lagi datang bulan."

"Iya, Bu."

Nampak beberapa tetangga berbisik-bisik. Namun, Renata tak memperdulikan mereka. Dia hanya perduli pada nyeri di perut seperti biasanya saat tamu bulanan datang.

Renata kembali membawa bungkusan jamu itu kemudian memilih lagi sayuran di tukang sayur. Pilihannya jatuh pada wortel, kentang, brokoli dan sebungkus daging. Simple saja, dia akan memasak sup pagi itu. Mengejar waktu.

"Mari Bu ibu," sapa Renata setelah selesai belanja.

"Ya, Mbak!" sahut mereka serempak.

Renata melangkah berbalik ke rumah. Sudah kebal telinganya saat mendengar sindiran-sindiran orang yang berbisik di belakangnya itu.

Asal Mas Haris tak menceraikanku, aku masih bisa kuat.

***

"Iya Bu! Nanti aku hubungi," ujar Haris yang sudah memakai baju kerjanya, dengan kesal. Ibunya itu mendesak terus bagai debt collector yang siap menyita semua barang jaminan kapan saja.

"Bener! Itu sudah kamu check belum nomornya??" tanya Bu Helen lagi.

"Sudah, nggak akan salah," sahut Haris.

Percakapan mereka terhenti saat Renata memasuki rumah dengan kantong belanjaan di tangannya.

"P-pagi ini masak apa, Dek?" tanya Haris nampak gugup.

"Sup. Kenapa, Mas?" tanya Renata melihat kegugupan suaminya.

"Eh, ng-nggak. Cuma tanya. Wah enak sup. Cepet ya masaknya? Aku laper," ujar Haris.

"Iya, Mas."

Bu Helen mencibir melihat sikap keduanya. Dia melihat kantong jamu yang dibawa oleh Renata.

"Jamu apa itu, Ren?" tanya Bu Helen ketus.

"Kunir asem, Bu."

Renata memperlihatkan bungkusan kecil berisi jamu kunir asem yang masih hangat di tangannya itu.

"Kamu datang bulan?" tanya Bu Helen curiga.

"Iya, Bu."

Terdengar dengusan dari mulut ibu mertua. Sudah memastikan ibu mertuanya akan mengomel, Renata bergegas masuk ke dapur untuk segera memasak. Bisa terlambat dia berangkat kerja kalau hanya mengurusi omelan ibu mertuanya.

"Tuh kan, Ris! Mau gaya apapun kalian, makan apapun, mau diperiksa siapapun, namanya mandul ya mandul, nggak akan bisa dia hamil! Nggak berguna!" omelnya.

Tak ada yang bisa Haris katakan lagi. Dia hanya duduk menjalin jemarinya di kursi ruang tamu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!