"Fer, nanti boleh nggak aku numpang mandi di kontrakan kamu?"
Ferdi, teman kerja Haris mengerutkan dahi mendengar permintaan Haris. Baru kali ini Haris ingin menumpang mandi di kontrakan sederhananya.
"Ya ... boleh, tapi kok tumben?" tanya Ferdi penasaran.
"Gerah," sahut Haris mengendorkan krah bajunya.
Dahi Ferdi makin berkerut berlipat-lipat. Sore itu angin berembus kencang. Dia sendiri merapatkan baju kerjanya, menyesali kenapa tak membawa jaket. Namun, temannya itu malah mengibaskan lembaran karton ke wajah seolah hari memang panas.
"Apa aku yang merasa kedinginan sendiri?" gumam Ferdi menyentuh dahinya sendiri dengan punggung tangan. Takut kalau demam.
"Boleh, kan? Please."
Haris menyenggol lengan Ferdi yang masih menempelkan punggung tangannya ke dahi.
"Iya, aku kan udah bilang boleh," sahut Ferdi yang sekarang tak perduli lagi panas atau dingin. Yang dia tahu, sekitarnya sedang memakai jaket. Mungkin Haris yang demam.
"Makasih, nanti sekalian pinjam baju ya, Fer?" pinta Haris.
"Kamu nggak kena virus apa-apa, to?" tanya Ferdi menatap wajah Haris dari dekat seolah virus itu bisa dilihat di wajah Haris.
"Ya nggak, lah! Nanti aku pinjam baju yang bagus, ya? Yang udah disetrika, yang warnanya nggak kusam."
Nampak Ferdi berdecak sambil mencondongkan bibir.
"Kamu itu udah numpang, minjem, nawar lagi! Nanti aku pinjemi baju yang biasa kupakai kondangan aja!" ujar Ferdi.
"Eh, ya jangan yang buat kondangan juga Fer! Kaos juga nggak apa-apa, tapi yang bagus!" pinta Haris lagi.
"Ck, iya! Ada, kemarin baru beli. Kamu yang pake duluan!" omel Ferdi. Namun, Haris tak memperdulikan, yang penting aman untuk outfit kencan petang ini. Dia sudah memastikan bahwa ukuran baju Ferdi sama dengannya.
"Nggak apa-apa, Fer. Itung-itung ngamal," gelak Haris.
Jadilah petang itu Haris mandi di kontrakan Ferdi lalu memakai kaos dan celana jeans milik temannya. Lumayan, nampak keren karena Ferdi juga masih sendiri. Baju-baju yang dia punya juga banyak yang tergolong bagus karena setiap gajian dia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, belum memikirkan keluarga. Namun, Haris tetap dipinjami kaus yang baru saja Ferdi beli. Betapa baiknya si Ferdi.
"Parfum, Fer!" pinfa Haris.
"Nih, sedikit aja udah membuat wanita klepek-klepek," ujar Ferdi menyodorkan satu botol parfum bermerk terkenal. Harganya hampir satu juta rupiah.
"Oh ya?" ujar Haris mengambil botol parfum itu lalu mengamatinya sebentar tanpa mengerti apa arti jajaran tulisan bahasa asing berwarna putih di botolnya. Kemudian dia menyemprotkan ke dua ketiaknya. Baunya memang lembut, jauh dari kata norak.
"Eh, tapi buat apa juga kamu bikin wanita klepek-klepek? Kan kamu udah punya istri to, Ris? Sini, nanti malah ada yang terpikat trus kamu jadi kencan!" ujar Ferdi mengambil kembali parfum itu dari tangan Haris.
"Huh, kamu aja belum laku-laku. Berarti parfum itu bohong," sahut Haris yang masih ingin menyemprot parfum tapi sudah berpindah tangan.
"Ya aku kan pilih-pilih," kilah Ferdi nyengir, tanpa dosa.
"Ya udah. Makasih atas semua pinjaman dan bantuannya ya, Fer? Aku pergi dulu. Udah mau terlambat!" seru Haris melirik ke jam tangannya.
"Terlambat? Memangnya kamu mau ke mana, Ris?" selidik Ferdi sebelum Haris beranjak.
"Rahasia," sahut Haris, tak berhasil memecahkan rasa penasaran Ferdi.
Haris meninggalkan kamar kontrakan Ferdi saat lelaki itu bengong memperhatikan kepergiannya yang rahasia.
***
Suasana restoran itu sangat romantis. Lampu remang-remang menambah sisi keromantisan beberapa pasangan yang duduk manis sambil makan di dalamnya. Lagu romantis mengalun di dalam. Semua yang masuk adalah orang yang sedang kasmaran.
Mungkin juga termasuk Haris. Dia melongo, menatap wanita yang memakai dress sabrina berwarna kuning dengan rambut diikal di bagian bawah seperti artis yang sering dilihat Haris di televisi itu dari atas ke bawah. Cantik. Lebih cantik dari yang dia lihat di foto yang ada di layar ponselnya.
"Melia?" tanya Haris memulai menanyai wanita itu.
"Iya. Mas Haris, ya?" tanya Melia.
Haris mengangguk. Mereka duduk di bawah sorot lampu yang menerangi wajah masing-masing. Nampak wajah Melia dengan bibir yang ranum, berwarna pink. Wajahnya benar-benar seperti pahatan. Mulus. Beberapa pria yang ada di restoran itu sempat melirik pada Melia yang tak hanya cantik tapi juga bagus bodynya.
Dalam waktu beberapa menit saja, Melia mampu membawa suasana canggung menjadi hangat. Dia membicarakan banyak hal dengan menarik. Mungkin juga karena wajahnya enak dipandang, juga suaranya bagus. Bahkan Haris sampai lupa waktu.
Sepiring sirloin steak dan chicken steak tersedia di meja. Dengan dua gelas cappucino panas menemani malam dingin itu. Mereka segera menyantap hidangan itu. Haris merasakan lezatnya makanan yang jarang dia makan.
Bersyukur hari itu pas saat menerima gaji. Jadi Haris mampu membayar apa yang Melia makan. Jarang sekali Haris membawa Renata ke rumah makan. Namun, istrinya itu tak pernah protes.
Sudahlah, sekarang Haris sedang menikmati makanan dan bidadari yang ada di depannya. Dia lupakan sejenak soal Renata. Wanita berdaster yang sedikit kusam itu. Haris jadi menemukan banyak kekurangan dalam fisik Renata saat melihat Melia.
"Kamu asyik diajak ngobrol ya, Lia?" gombal Haris. Entah kenapa gombalan Haris lancar untuk Melia.
"Ah, Mas Haris bisa aja," sahut Melia tersipu. Kedua pipinya memerah karena ucapan Haris.
Seolah gayung bersambut, Melia seperti memberi harapan untuk Haris. Padahal dia tahu, Haris sudah memiliki istri. Susi telah memberitahu semua tentang Haris pada Melia.
"Kamu ... udah punya pacar, Lia?" tanya Haris nekat.
Melia hanya tersenyum misterius, sambil kemudian menggelengkan kepala sedikit. Membuat Haris gemas. Ingin sekali mencubit hidung Melia—yang sebenarnya tak semancung hidung Renata.
"Mas Haris, ini sudah malam. Bisa nganter aku pulang?" pinta Melia.
Haris mengangguk cepat tanpa berpikir dua kali.
"Bisa lah, tentu saja!" sahut Haris. Ternyata malam itu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tak terasa mereka sudah menghabiskan waktu tiga jam di restoran itu, membicarakan ngalor-ngidul. Berbincang tentang pribadi mereka. Pendekatan singkat yang menguak pribadi masing-masing.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Haris bersiap memakai jaketnya.
"Aku kost di jalan Kenari," sahut Melia yang kemudian menyeruput seteguk cappucino terakhirnya.
"Oh, tau aku."
"Pinter, Mas Haris!" puji Melia membuat Haris berbunga-bunga.
Entah puber kedua atau memang Melia pandai membuat Haris terpesona, yang jelas malam itu mereka berboncengan mesra di jalan. Haris benar-benar melupakan wanita yang malam itu sedang memakai daster, mondar-mandir di teras rumah, menunggu kepulangannya dengan rasa cemas. Ponselnya tak bisa tersambung untuk menghubungi suaminya, menambah rasa kuatir di pikiran. Sesekali dia duduk, tapi sebentar kemudian dia berdiri lagi. Tak nyaman rasanya untuk duduk diam menunggu.
******
Jangan lupa LIKE dan KOMENTAR yaa ... Juga hadiahnya bunga boleh, kopi? boleh bangeeett!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Soraya
si Melia katanya cantik banyak pria yang tertarik tp kok mau jd pelakor anehh
2024-08-15
0
menik
gimana mau dandan cantik 1 bln aja cm d kasi 500rb bnarnya brp sih gaji si haris itu...sm istri pelit
2022-06-07
1
Kod Driyah
kere aja bnyk tingkah
2022-05-21
0