Haris tampak ragu menimbang-nimbang lagi permintaan ibunya. Ucapan-ucapan sang ibu membuatnya goyah. Dia memandangi gambar wanita di layar ponselnya.
"Lumayan juga," desis Haris.
Di sela istirahat siangnya bekerja di pabrik, Haris mencari celah untuk menghubungi nomor yang diberi oleh ibunya.
Jantung Haris berdebar kuat. Dia tak yakin akan menemui wanita itu. Mengingkari janjinya pada Renata. Namun, desakan sang ibu membuatnya nekat.
"Halo," sambut suara di seberang. Terkejut Haris mendengar suara yang lembut di ujung sana. Dia sangka, tak sebagus itu suaranya, bahkan mirip dengan suara penyiar radio. Ah, kenapa dia malah seperti terpesona pada suara wanita itu?
"Halo?" ulang suara di seberang membuat Haris tergagap.
"H-halo?" sahutnya. Entah kenapa Haris jadi segugup itu.
"Siapa, ya?"
Ah, betapa bodohnya Haris, harusnya dia langsung berbicara setelah menjawab sapaan wanita bernama Melia, bukannya malah bengong.
"S-saya Haris. Apa kamu benar Melia?"
Haris merutuki dirinya yang tak pandai menyerupai seorang buaya. Dulunya dia adalah pria yang tak pernah macam-macam. Jadi, untuk berkenalan dengan seorang wanita, rasanya masih sangat kaku.
"Iya, benar. Emm ... Haris siapa, ya?" tanya Melia.
"Saya ... sepupu Susi. Susi memberikan nomor ini padaku. B-boleh kita berkenalan?"
Nekat, Haris meluncurkan kalimatnya meski dengan rasa gugup. Keringat dingin mulai membasahi kening.
"Oh, Mas Haris. Iya, boleh, Mas. Aku save nomornya nanti. Lho, kata Susi, Mas Haris kerja? Apa nggak lagi kerja, Mas?"
Tak disangka, wanita di seberang lancar sekali mengajak Haris ngobrol. Sepertinya dia memang wanita yang friendly, menyenangkan.
"Lagi istirahat," sahut Haris.
Memang Melia itu pandai berbicara. Buktinya baru sepuluh menit mereka berbincang, Haris sudah merasa mengenal Melia. Wanita itu berceloteh dengan santai. Mencairkan rasa kaku Haris. Beberapa saat kemudian, Haris tambah nekat mengajak wanita itu untuk bertemu.
"Lia, bisa kita ketemuan?" ajaknya di ujung obrolan. Saat waktu istirahat hampir usai.
"Wah, bisa banget, Mas. Kapan?" tanya Melia.
"Malam Minggu, ya?"
Haris menutup mulut. Bisa-bisanya dia mengatakan malam Minggu. Sudah seperti kencan saja.
"Boleh."
Melia menerima ajakan Haris. Tentu saja Haris senang. Rasanya berdebar seperti sewaktu akan melakukan pendekatan pada Renata dulu. Namun, kali ini rasanya lebih mendebarkan dan menegangkan karena penuh tantangan.
***
Sabtu pagi.
"Mas, nanti jalan-jalan ya? Kan malam Minggu?" pinta Renata.
Bosan rasanya di rumah beberapa hari ini mertua sewot terus padanya. Renata berencana sekedar membeli jagung bakar atau kacang rebus dan akan makan di alun-alun sambil melihat keramaian kota.
"Wah, nanti aku lembur, Ren. Maaf, nggak bisa kalo nanti," tolak Haris membenahi kancing baju yang melekat di kemeja.
Renata sedikit mengerucutkan bibirnya. Kecewa. Dia sudah meminta libur hari Sabtu tapi ternyata suaminya tak bisa. Padahal biasanya pria itu mau-mau saja saat diajak berkeliling hanya menaiki sepeda motor. Namun, ya sudah mau gimana lagi. Suaminya kan pergi bekerja demi dia juga?
"Ya sudah lah, besok lagi aja," ujar Renata memupus harapannya.
"Iya, kapan-kapan kalo pas waktunya aku pulang kerja dan kamu libur, kita jalan-jalan ya?" janji Haris.
Renata mengangguk. Seutas senyum dilayangkan. Meskipun malam ini suaminya tak bisa tapi setidaknya masih ada hari-hari selanjutnya.
"Aku berangkat dulu ya, Ren! Kamu di rumah baik-baik, ya?" pesan Haris mengecup kening istrinya.
"Iya, Mas."
Renata meraih punggung tangan sang suami lalu mengecupnya penuh rasa hormat.
Kemudian Renata hanya bisa menatap punggung suaminya yang pergi menggunakan sepeda motor butut, meninggalkan halaman rumah pagi itu. Dia pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Setiap libur, Renata pasti membersihkan seluruh rumah karena seminggu ditinggalkan setiap pagi hingga petang.
Kamar sang mertua pun dia bersihkan. Namun, tak sekalipun sang mertua sekedar berterima kasih padanya. Malah sering kali membiarkan selimut dan sprei teronggok di kantong cucian, hingga terpaksa petang hari Renata mencucinya.
Wanita itu pergi pagi-pagi sekali. Katanya ke rumah Eny, kakaknya. Entah kenapa dia semakin rajin ke sana. Renata hanya berpikir bahwa sang mertua sedang bahagia berkumpul dengan cucu Budhe Eny.
***
"Susi, kamu itu pinter milih temen untuk dikenalkan sama Haris! Haris sudah hubungi Melia. Kata Haris, orangnya ramah sekali!" celetuk Bu Helen saat menggendong anak Susi.
Susi tertawa. Melia adalah teman SMU-nya, tentu saja dia tak salah pilih. Banyak pria mengejar Melia saat itu. Wajah Melia tak bisa dibilang jelek, juga sikapnya baik terhadap semua pria itu. Lelaki mana yang tak terpikat?
Usia Melia dan Haris pun berjarak dua tahun. Melia juga belum menikah. Susi suka menyuruhnya untuk segera menikah, tapi Melia masih memilih-milih calon suami. Siapa sangka Melia mau dikenalkan pada Haris?
"Ya iya lah, Tante. Mana ada Susi kasih kenalan yang jelek? Susi kan dulu nyari temen satu level!"
Ingat dirinya pun tak jauh beda dengan Melia. Meski tak sebanyak lelaki yang mengejarnya, tapi Susi pun cukup cantik di kalangan sekolah dulu. Hingga suaminya itu rela merebut Susi dari pacar sebelumnya.
Bu Helen tersenyum-senyum senang. Wajah putranya biasa-biasa saja, tapi bisa berhasil mengajak Melia untuk berkencan. Dia berharap rencana itu akan berhasil.
"Semoga nanti kencannya lancar. Aku sudah rela uang belanjaku dipotong untuk acara kencan itu, lho!" kata Helen meringis.
"Wah, di mana ya, mereka kencan? Kayaknya seru kencan sama suami orang!" gelak Susi seolah tanpa bersalah.
"Nanti kalau bener-bener suka gimana itu si Haris sama Melia?" celetuk Eny yang datang dari dapur membawa satu piring tempe goreng.
"Ya itu tujuannya! Gimana sih Mbak? Aku kan suruh Susi carikan temannya buat dijodohin ke Haris? Malah seneng kan ya, kali berhasil?" ujar Helen menciumi bayi Susi dalam gendongannya.
"Edan," sahut Eny.
"Biarin aja, Mbak. Lha kapan aku punya cucu kalo nunggu si Renata itu hamil? Dia nggak bakalan hamil, Mbak! Aku jaminkan sertifikat rumah kalo dia hamil!" cemooh Helen.
"Terserah, jangan suka bilang sembarangan, Len!" ucap Eny duduk di kursi ruang tamu.
"Lha wong benar kok!" timpal Helen.
Helen berjalan mondar-mandir sambil menimang si bayi yang sudah tidur pulas itu. Kenyang karena tadi sudah minum ASI yang melimpah dari ibunya.
"Tante, ditaruh saja itu si Nina," ujar Susi melihat Helen menggendong anaknya terus.
"Sebentar dong, aku kan masih seneng gendong!" tukas Helen sewot.
Susi mencebik, menggelengkan kepala melihat tingkah tantenya itu. Agak terganggu juga karena Helen sering kali menggendong Nina seharian saat tidur tanpa meletakkannya ke dalam box bayi.
"Sekalian aja Tante jadi baby sitter," canda Susi.
"Enak aja! Makanya kamu suruh si Melia itu cepet-cepet rayu Haris biar mau menikah. Kan aku bisa gendong cucuku sendiri!" ujar Helen.
Sekarang Eny yang geleng-geleng kepala mendengar ocehan adiknya.
******
Yuk kasih komentar dan jangan lupa like yaa, biar authornya juga semangat!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Soraya
Susi nyuruh suami orang selingkuh dia gak takut nanti klo suaminya selingkuh juga
2024-08-15
0
Elzahra
Cobaan rumah tangga memang lebih sensitif urusan keturunan
Tp d liat dr sifat haris emang kayak nya lemah gampang tergoda
2022-12-26
0
Warsini Handini
kadang mertua sering kelewatan....dan haris anak yg berbakti...sayang kurang bijak....
2022-12-01
0