Petang itu, Renata turun dari sebuah angkutan umum. Ingin rasanya segera mengguyur tubuh dengan air dingin. Dia terbiasa mandi petang.
Usai membayar angkutan umum, Renata melangkah ke sebuah rumah yang sebenarnya dia sangat enggan untuk menempati. Namun, karena suami yang sangat dicintai berkehendak di situ, maka Renata mengalah.
Sebuah kantong berisi makanan yang dia beli dari minimarket berguncang-guncang seiring dengan langkah kakinya, sejauh dua puluh meter dari jalan, sudah sampai ke rumah mertuanya.
Nampak dari depan, dua orang sedang berbincang di ruang tamu. Renata sedang akan masuk, tapi terhenti saat pikirannya tergelitik mendengar percakapan keduanya.
"Dia cantik, Ris. Kamu pasti tak menyesal menikah dengan gadis itu," ujar wanita yang sudah Renata tebak itu adalah ibu mertuanya.
"Bu, bagaimana dengan Rena?" sahut Haris.
Decakan terdengar dari mulut Bu Helen.
"Heleh, nanti kalo kamu tua, siapa yang urus kalo bukan keturunanmu?? Nah, perempuan yang kamu bela-bela itu tak bisa memberimu keturunan, kan? Haris, Haris ...."
"Kamu tua, dia pun tua, jadi kalian siapa yang urus? Mikir!" tunjuk Bu Helen ke keningnya sendiri.
Haris mendesah. Benar juga kata sang Ibu. Namun, dia masih memikirkan istrinya, Renata. Terbayang saat itu, lima tahun yang lalu dia menemukan gadis cantik penjaga kasir minimarket. Dengan mudah Haris berkenalan dengan Renata. Nama yang indah. Tanpa pertimbangan, karena sudah jatuh hati dan Renata sendiri tak memiliki ayah dan ibu, Haris langsung meminangnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Renata menerima pinangan Haris dengan bahagia. Ternyata, Renata juga mencintai Haris.
Bayangan itu pudar setelah sang Ibu mendesaknya dengan memperlihatkan foto seorang gadis teman Susi, ke arah Haris.
Gadis berbaju merah, dengan wajah cukup cantik terawat sedang tersenyum manis di layar gawai ibunya.
"Nih, cantik 'kan? Namanya Melia. Dia itu teman Susi. Dia seger begini, pasti bisa kasih keturunan kamu, Ris!" oceh Bu Helen memperhatikan lekuk wajah di layar benda pipih itu.
"Cantik, kan?" ulang Bu Helen menyenggol lengan Haris.
Haris mengangguk. Memang cantik, dia tak akan mengingkari isi kepalanya sendiri di hadapan sang ibu.
"Nah, jadi kamu nggak akan nyesel kalo harus menceraikan Renata dan mendapatkan gadis secantik ini," ujar ibunya kembali mengamati wajah wanita di layar ponselnya itu.
Haris masih bengong. Dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Tak lama, terbuka juga pintu ruang tamu. Renata nampak cemberut muncul dari pintu.
"Eh, Ren. Udah pulang?" sambut Haris gugup.
"Udah," sahut Renata lirih.
Dia melewati sang mertua yang sudah mengangkat tangan untuk dicium oleh Renata seperti biasanya. Decak kesal dari mulut Bu Helen usai Renata mengabaikan tangan yang tergantung di udara.
Sementara Haris mengikuti Renata, menyusul ke kamarnya.
"Mas! Itu Ibu kenapa sih bilang seperti itu terus??" protes Renata. Tak kuat rasanya hati mendengar ucapan mertua kepada suaminya.
"Maaf Ren, maklumlah Ibu punya keinginan untuk menggendong cucu. Kamu yang maklum ya?"
Haris menarik tangan Renata untuk mendekat padanya, memeluk dengan erat seolah ingin menenangkan rasa hati Renata yang kacau.
Renata menangis di dalam dekapan Haris. Lelaki itu mengelus kepalanya.
"Kita coba lagi nanti malam, ya?" pintanya.
Renata mengangguk. Bulir hangat air mata terasa membasahi kedua pipi. Haris menghapusnya dengan ibu jarinya dan memegang kedua pipi Renata.
"Mas, apa kamu akan menceraikanku?" tanya Renata menatap kedua mata Haris. Mencari kejujuran di dalamnya. Haris menatap kedua mata Renata yang berair.
"Tidak, Sayang. Aku tak akan pernah menceraikanmu," janji Haris.
Malamnya, mereka saling melepaskan hasrat berdua. Menjalin kemesraan yang berujung pelepasan. Hingga pagi, Haris mendekap Renata yang meringkuk di sampingnya. Berselimut tebal, satu selimut untuk berdua.
"Aih! Sudah pagi, Mas!" teriak Renata saat melihat jam di dinding.
Pukul enam pagi. Bagi Renata sungguh kesiangan untuk menyiapkan segalanya. Tambah lagi tiba-tiba perutnya nyeri, seperti akan datang tamu bulanan.
Benar saja. Saat dia masuk ke kamar mandi terlihat bercak merah di celana. Hati Renata kecewa. Dia pun segera mengguyur tubuh pagi itu, berupaya untuk melapangkan dada.
***
Renata tak melihat sayuran di lemari es. Ibu mertuanya pun belum nampak di dapur. Biasanya wanita itu sudah sibuk di luar atau duduk di depan televisi setelah Renata memasak.
Kali ini Renata mengalah lagi, keluar membawa dompetnya untuk berbelanja karena tukang sayur sudah datang bersamaan dengan tukang jamu.
"Eh, Mbak Rena. Beli sayur apa?" tanya tetangga.
"Ini, Bu. Lagi pilih-pilih juga. Sebentar saya beli kunir asem dulu," ujarnya meletakkan sebungkus sayuran.
"Pasti lagi datang bulan."
"Iya, Bu."
Nampak beberapa tetangga berbisik-bisik. Namun, Renata tak memperdulikan mereka. Dia hanya perduli pada nyeri di perut seperti biasanya saat tamu bulanan datang.
Renata kembali membawa bungkusan jamu itu kemudian memilih lagi sayuran di tukang sayur. Pilihannya jatuh pada wortel, kentang, brokoli dan sebungkus daging. Simple saja, dia akan memasak sup pagi itu. Mengejar waktu.
"Mari Bu ibu," sapa Renata setelah selesai belanja.
"Ya, Mbak!" sahut mereka serempak.
Renata melangkah berbalik ke rumah. Sudah kebal telinganya saat mendengar sindiran-sindiran orang yang berbisik di belakangnya itu.
Asal Mas Haris tak menceraikanku, aku masih bisa kuat.
***
"Iya Bu! Nanti aku hubungi," ujar Haris yang sudah memakai baju kerjanya, dengan kesal. Ibunya itu mendesak terus bagai debt collector yang siap menyita semua barang jaminan kapan saja.
"Bener! Itu sudah kamu check belum nomornya??" tanya Bu Helen lagi.
"Sudah, nggak akan salah," sahut Haris.
Percakapan mereka terhenti saat Renata memasuki rumah dengan kantong belanjaan di tangannya.
"P-pagi ini masak apa, Dek?" tanya Haris nampak gugup.
"Sup. Kenapa, Mas?" tanya Renata melihat kegugupan suaminya.
"Eh, ng-nggak. Cuma tanya. Wah enak sup. Cepet ya masaknya? Aku laper," ujar Haris.
"Iya, Mas."
Bu Helen mencibir melihat sikap keduanya. Dia melihat kantong jamu yang dibawa oleh Renata.
"Jamu apa itu, Ren?" tanya Bu Helen ketus.
"Kunir asem, Bu."
Renata memperlihatkan bungkusan kecil berisi jamu kunir asem yang masih hangat di tangannya itu.
"Kamu datang bulan?" tanya Bu Helen curiga.
"Iya, Bu."
Terdengar dengusan dari mulut ibu mertua. Sudah memastikan ibu mertuanya akan mengomel, Renata bergegas masuk ke dapur untuk segera memasak. Bisa terlambat dia berangkat kerja kalau hanya mengurusi omelan ibu mertuanya.
"Tuh kan, Ris! Mau gaya apapun kalian, makan apapun, mau diperiksa siapapun, namanya mandul ya mandul, nggak akan bisa dia hamil! Nggak berguna!" omelnya.
Tak ada yang bisa Haris katakan lagi. Dia hanya duduk menjalin jemarinya di kursi ruang tamu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Masfaah Emah
asal suami ga selingkuh d kasih uang berapapun aku terima yg penting kita bisa mengatur nya,yg ga bisa terima itu suami selingkuh bikin sakiiiiiiiit
2022-08-07
0
Puji Harti
g hamil karena stres itu serumah ma emak mertua cerewet e nauzubillah
2022-02-19
0
Ety Nadhif
untung saya tidak pernah merasakkan tidur di rumah mertua.
jauh dr mertua aja bikin naik darah terus apalagi tinggal serumah bisa mati muda
2022-01-26
0