"Helen, tetanggaku ada lho yang sampai sekarang belum punya anak juga. Padahal sudah sepuluh tahun menikah, ternyata rahimnya kering gara-gara dulu kebanyakan minum pil kontrasepsi sewaktu remaja. Dia ayam kampus."
Dengan kedua mata melotot, Eny kakak Helen menceritakan tentang tetangga dan gosip-gosipnya. Rol rambut di atas kepala masih menempel. Eny sendiri tak pernah absen menggosip bersama dengan para tetangga. Di teras rumah tetangga, di tukang sayur, di manapun selalu update berita-berita miring tentang para tetangga.
Helen terbelalak mendengarnya.
"Ayam kampus? Maksudnya apa itu ayam kampus? Kok kedengerannya aneh, Mbak?" tanya Helen.
Eny berdecih, mengibaskan tangannya di hadapan Helen. Merasa adiknya itu kuper alias kurang pergaulan.
"Kamu itu, mainnya kurang jauh. Ayam kampus itu ya anak perempuan kuliahan yang suka jual diri ke orang-orang. Masa kamu nggak ngerti!" omel Eny meraih sisir lalu mengurai rol yang menggulung poninya.
"Pil kontrasepsi itu untuk mencegah kehamilan!" imbuh Eny.
Dahi Helen berlipat. Dia mulai terkontaminasi oleh ucapan Eny. Pikirannya teracuni. Mulai berpikir yang tidak-tidak tentang Renata. Apakah rahim Renata kering? Apakah menantunya itu dulunya ayam kampus? Ah, Helen menekuk wajahnya berlipat-lipat.
"Bu, bisa juga itu karena dia suka gonta-ganti pasangan, minum alkohol, dan obat terlarang itu si Mina itu kan, Bu?" celetuk Susi. Eny hanya mengangguk-angguk mendengar keterangan tambahan dari mulut Susi.
Helen tambah terbelalak mendengarnya. Ada juga yang modelan seperti itu di sekitarnya. Dia kira cuma di kota-kota besar saja.
Terdengar suara tangis bayi dari kamar. Cucu Eny, anak dari Susi merengek. Bayi merah yang baru berusia satu minggu itu nampak kehausan. Tadi Helen sudah puas menggendongnya, tapi masih saja ingin menggendong bayi itu. Susi mengangkat anaknya dengan sayang lalu memberikan ASI. Sebentar kemudian, Susi mengganti popoknya.
Sungguh iri Helen melihatnya. Ingin sekali dia menimang cucu setiap hari tanpa sindiran tetangga. Dia akan memamerkan cucunya jika Haris sudah punya anak, tapi kapan?
"Helen, apa kamu nggak kepengen bayi merah seperti ini?" tanya Eny saat menciumi bayi perempuan itu.
"Ya ... kepengen Mbak, tapi kenapa ya, Renata itu belum juga hamil?" keluh Helen menghempaskan pantatnya di sofa.
"Udah diperiksain ke dokter belum, Tante?"
Sekarang Susi yang mulai bertanya. Dia telah selesai membersihkan ompol bayinya yang sekarang tidur nyenyak lagi di box bayi.
"Huh, periksa sih udah, Sus. Ya ke bidan, ya ke dokter, tapi nggak ada hasil. Lima tahun nggak ada perkembangan apa-apa," ujar Helen.
"Oh, ya sabar Tante. Mungkin suruh pacaran dulu," celetuk Susi berniat melegakan.
"Sobar sabar. Kalo begini terus sampai kapan sabarnya, Sus?" omel Helen.
"Sampai kapan ya ... sabar aja, Tante," kekeh Susi bercanda diikuti tawa Eny, tapi malah mereka makin membuat Helen panas.
***
Sementara itu, Renata sedang berada di sebuah minimarket di mana dia bekerja. Pekerjaan suami dengan gaji pas-pasan, membuatnya harus ikut banting tulang mencari uang.
Haris memberinya lima ratus ribu rupiah setiap bulan. Diterima oleh Renata dengan ikhlas. Dia tak tahu pastinya berapa gaji sang suami. Uang itu pun digunakannya untuk membayar listrik dan air. Juga menghemat untuk beli beras jika Haris lupa membelinya sepulang kerja.
Haris juga memberi uang pada sang mertua. Untuk jumlahnya, Renata tak tahu berapa. Dia maklum karena memang mereka masih numpang di pondok indah mertua. Jadi, ya tahu diri lah. Kadang kalau mertua tak membeli bahan makanan, Renata juga yang turun tangan. Gajinya di minimarket lebih besar daripada nafkah yang diberikan oleh sang suami. Untuk itu, Renata bisa membeli keperluannya sendiri. Untung saja kulit Renata putih dan bebas jerawat, jadi dia tak perlu skin care dan perawatan lain.
Hidupnya sangat sederhana. Sesekali hanya beli daster karena daster sebelumnya sobek. Hari itu sangat melelahkan. Dia melayani banyak pembeli. Minimarket tak hanya melayani pembelian makanan dan minuman tapi juga pulsa, token listrik, dan lain-lain.
"Sil, kamu udah makan?" tanya Renata pada Sisil, teman kerjanya.
Sisil mengangguk.
"Gantian ya, aku mau makan dulu."
"Lho, Mbak tadi belum makan toh?" tanya Sisil kaget.
"Belum lah, kan cuma kita berdua hari ini yang berangkat."
Renata tampak memegang perutnya yang mulai keroncongan.
"Ya udah Mbak, sana makan dulu. Aku lanjutin. Nanti aja tata barang yang baru datang. Kalau pas Mbak udah selesai makan siang," ujar Sisil.
"Oke," sahut Renata.
Renata menyerahkan kasir pada Sisil. Jam makan siang. Perutnya sangat keroncongan. Dia biasa makan di warung sebelah. Murah dan cukup enak. Apalagi untuk karyawan minimarket, ada potongan harga khusus.
"Sayur buncis sama telur," pinta Renata pada si pelayan warung makan.
"Kupilihkan yang gede," ujar si pelayan warung makan, Sari.
Renata terkekeh. Biasa Sari selalu memilihkan yang terbaik untuk karyawan minimarket karena memang mereka sudah saling mengenal sejak lama. Sejak sebelum Renata menikah. Warung makan itu jadi langganan para karyawan minimarket.
"Makasih, Sari!" ujar Renata.
Dia membawa sepiring nasi sayur dan satu gelas teh panas mengepul. Hemat, sepuluh ribu sudah dapat semua itu dengan lauk telur. Duduk di pojokan sambil memperhatikan pasangan yang baru datang. Si perempuan dengan mesra menggandeng lelakinya lalu duduk di tengah depan jauh dari Renata.
'Hm, kok nggak risih ya bermesraan di warung makan kayak gitu?' batin Renata.
Renata melanjutkan makan siangnya dan tak memperdulikan pasangan mesra itu lagi. Tak enak kalo ditunggu pekerjaan. Barang-barang yang baru datang dari mobil box harus ditata. Hanya dua orang karyawan yang datang hari ini. Si Herman, lelaki setengah perempuan itu sedang sakit, jadi ijin kerja.
Jadi, Renata dan Sisil yang mengurusi semua pekerjaan. Dia mempercepat makan siangnya. Minimarket tempatnya bekerja bukanlah minimarket ternama seperti yang tersebar di belahan Indonesia itu, tapi hanya lokalan. Tak ada rolling karyawan. Jadi tak ada banyak karyawan yang membantu, tapi segi positifnya ya Renata tak harus risau jika dipindah-pindah ke daerah lain.
Dia segera menyelesaikan makannya lalu bergegas kembali ke minimarket. Tak sengaja dia tersandung kaki perempuan yang makan di warung makan bersama lelakinya tadi.
"Eh, maaf!" serunya.
Pelototan si wanita membuat Renata meringis. Galak sekali kelihatannya, tapi Renata tetap pergi, dia tak sengaja dan sudah meminta maaf. Lagian, kenapa juga kaki wanita itu keluar dari jalur? Bukan salah Renata kalo tersandung.
Terdengar makian si wanita samar-samar mengatainya tak punya mata, tapi Renata tak perduli. Dia memikirkan pekerjaan dan rasa kasihan pada Sisil yang bekerja sendirian.
Dia segera berlari ke minimarket lalu membantu Sisil yang sudah kewalahan melayani pembeli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Kim Bum
Susi mulutnya kaya yang minta di ulek..
2023-04-25
0
Masfaah Emah
masih nyimak
2022-08-07
0
@InunAnwar
mau bisa hamil dr mana lha wong gini modelan haris pd istrinya 🤔
2022-02-09
0