Patah Hatinya Perempuan
Hujan deras mengguyur perkotaan. Sore itu jalanan semakin macet, pengendara berlomba-lomba ingin jalan lebih dahulu agar lekas tiba dirumah mereka. Keegoisan manusia yang tidak mau saling mengalah menjadi penyebab utama kemacetan jalan raya hingga tak berujung. Jalanan itu tidak pernah sepi oleh pengendara, dan akan semakin ramai ketika di pagi hari semua orang akan memulai aktivitas lalu di sore hari saat semua orang telah mengakhiri aktivitas mereka.
Semua orang memiliki kesibukan masing-masing. Pelajar yang berangkat sekolah dan pekerja yang berangkat ke kantor. Bahkan halte bis di pinggir jalan kini menjadi sasaran para pejalan kaki serta pemotor untuk berteduh, mengakibatkan jalanan semakin bertambah macet.
Sedangkan Zianca, ia tetap berjalan sambil tertunduk lemas di bawah derasnya hujan yang turun. Pakaian, tas dan sepatunya kini ikut basah kuyup. Banyak pasang mata memperhatikannya yang enggan untuk berteduh. Dia benar-benar tidak memperdulikan apapun. Seakan akan ia terasa tuli, ia terus menelusuri bibir jalan ibukota menuju rumahnya.
Ciiittttt...
Suara derit nyaring ban mobil terdengar memekakkan telinga. Sebuah mobil sedan sport berwarna hitam nyaris menabrak Zianca yang hendak menyeberang jalanan.
SEorang pria dengan stelan mewah tampak segera turun dengan sebuah payung di tangannya. Ia tampak segera berlari menghampiri Zianca yang mematung di tengah jalan.
"Kau baik-baik saja?? Ayo kita ke rumah sakit !!" seru pria itu panik.
Zianca hanya menoleh sekilas pada pria tampan itu, namun ia kemudian kembali berjalan dengan pelan.
"Tunggu !" seru pria itu menahan tangan Zianca.
"Kau yakin tidak apa-apa? Ini kartu namaku, hubungi aku jika kau apapun..." pria itu tampak segera menyodorkan selembar kartu nama miliknya dari dalam dompetnya.
"Dan, bawalah payung ini bersamamu..." ujarnya lagi menyodorkan payung itu dan memegangkannya ke tangan Zianca yang dingin dan gemetaran.
Zianca hanya diam seribu bahasa, lalu segera pergi. Pria itu terus menatapi kepergian Zianca di bawah derasnya guyuran hujan. Zianca menatap kartu nama pria itu samar, kartu nama itu sudah tampak pudar akibat pengaruh air hujan yang membasahinya.
'Lucas'
Hanya tulisan itu yang tampak masih jelas terlihat di kartu nama berwarna abu-abu tua metalic itu.
****
Zianca membuka pintunya yang masih terkunci dengan kunci yang selalu di sembunyikan di bawah pot bunga yang ada di teras oleh orang tuanya. Zianca membuka sepatunya yang hanya basah kuyup. Bahkan kondisi sepatu itu benar-benar telah rusak. Tapak sepatu yang sudah menipis, hingga ia bisa merasakan panasnya aspal saat berjalan kaki di siang hari.
Ia berdiri cukup lama di depan pintu menatap sepatunya. Lalu segera mengangkutnya masuk ke dalam, meletakkannya di atas rak sepatu kayu dekat pintu masuk. Ia menyalakan lampu seluruh ruangan di rumahnya.
Rumah sederhana itu benar benar terasa hampa bagi Zianca yang masih berusia 17 tahun. Setiap hari Zianca akan berangkat ke sekolah bersama dengan kedua orang tuanya, lalu akan pulang kerumah dengan angkutan umum, berjalan kaki, atau menumpang dengan temannya yang searah.
Kedua orang tuanya seorang pekerja, pulang kerumah paling telat jam 7 malam, karena kantor tempat mereka bekerja searah, biasanya Rio sang ayah akan pulang lebih awal sehingga saat ia menjemput istrinya Winda, ia harus menunggu Winda selesai bekerja agar mereka bisa selalu pulang bersama kerumah.
Sementara kakak perempuan Zianca yang bernama Mikha telah berusia 21 tahun itu juga sudah bekerja, dia jarang sekali pulang karena lebih sering menginap di kos temannya yang dekat dengan kantor tempat mereka bekerja ketimbang pulang kerumah yang jaraknya terbilang sangat jauh.
Zianca segera masuk ke kamar mandi di dalam kamarnya. Menyalakan keran air bak mandi. Entah kenapa setiap kali pulang kerumah, ia merasa menjadi orang yang berbeda. Ia menjadi gadis remaja yang pendiam, sangat sensitif dan mudah sekali bersedih, bertolak belakang sekali dengan sifatnya saat berada di luar rumah. Dia sangat terkenal di sekolahnya karena kepribadiannya yang ceria, ramah, sopan, dan rendah hati.
Cukup lama Zianca seperti itu di dalam kamar mandi, hingga akhirnya ia segera menyelesaikan mandinya sesaat sebelum orang tuanya pulang.
Beberapa menit kemudian ia mendengar suara orang tuanya yang sudah tiba di rumah. Zianca segera naik ke atas tempat tidur, meringkuk sambil memeluk gulingnya lalu menyelimuti seluruh tubuhnya rapat-rapat.
Krieeekk...
Pintu kamarnya terbuka pelan.
"Zi.. makan dulu.. papa belikan nasi goreng kesukaan kamu tu.." seru Rio papanya lirih.
Zianca diam tak bergeming, ia membungkam mulutnya rapat.
"Yuk.. makan dulu yuk.. baru tidur lagi.." seru Rio lagi melihat Zianca yang tidak merespon.
"Udahlah Pa.. biarin aja.. mau makan syukur ga mau makan yaudah biarin aja.. ga tau orang tuanya udah capek seharian kerja, dia malah sibuk cari perhatian terus.." gerutu Winda di dapur yang terdengar sedang menyajikan makanan di atas meja makan.
Rio lalu kembali menutup rapat pintu kamar Zianca.
"Kamu ini suka banget ngomong kayak gitu.. aku khawatir dia kenapa kenapa di jalan.. atau bisa jadi dia lagi enggak enak badan.. biasanya mana pernah dia nolak nasi goreng kesukaannya.." timpal Rio membela Zianca dari omelan Winda istrinya.
"Alaahhh.. dia kan emang begitu Pa.. semua-semua berharap ingin paling di perhatikan.. tapi dia enggak pernah tuh pengertian sama kita.. caper mulu.." gerutu Winda lagi.
"Udahlah.. mending sekarang kamu mandi dulu sana.. baru kita makan malam.. soalnya aku masih mau lanjutin kerjaan dulu di ruang kerja, ada deadline yang harus aku kirim malam ini.."
"Hmm.. yaudah aku mandi dulu ya Pa.." angguk Winda segera masuk ke kamar mereka.
Rio menatap lama ke arah pintu kamar Zianca yang tertutup rapat, ia menghela nafas berat lalu segera menelusuri tangga rumah menuju ruang kerjanya yang berada di lantai 2.
Ternyata Zianca yang samar samar mendengar perdebatan orang tuanya itu merasa iba hati. Orang tuanya selalu berdebat bahkan sesekali bertingkar ketika itu membahas tentang Zianca. Papanya selalu membela Zianca, sementara Ibunya memperlakukan dia dengan keras berbeda dengan perlakuannya pada Mikha sang kakak. Ia menangis tertahan di balik selimutnya. Air matanya terus mengalir deras membasahi wajah dan bantalnya.
****
Pagi itu, Zianca masih saja meringkuk di dalam selimutnya, pagi itu ia merasa pusing. Migrain alias sakit kepala sebelah adalah langganan Zianca sejak ia menginjak usia 13 tahun. Ketika sudah migrain melanda, ia bahkan benar-benar kesakitan selama seharian jika tidak segera ia obati.
Beberapa kali samar terdengar suara Winda yang terus memanggilnya sambil mengomel seperti biasa.
Tok..tok..tok..
Rio membuka pintu kamar Zianca.
"Zii.." seru Rio lirih.
"Kamu enggak sekolah? Sudah jam setengah 7 loh.. buruan.. nanti Papa sama Mama telat karena nungguin kamu.." imbuh Rio lembut segera mendekati tempat tidur Zianca.
Zianca membuka selimutnya perlahan.
"Zizi lagi sakit kepala nih Pa.." ujar Zizi lemas.
"Ehh.. kamu itu jangan manja.. dikit-dikit sakit.. dikit-dikit minta libur sekolah.. kamu pikir sekolah kamu gratis ha?? Cepat mandi sana, sarapan, habis itu minum obat.. selagi masih kuat jalan pergi sekolah terus sana.. liat kakak kamu.. kuliah sambil bekerja.. enggak pernah ngeluh kayak kamu.." timpal Winda ternyata sudah berdiri di daun pintu kamar Zianca.
Zianca hanya tertegun, lalu berusaha bangkit masuk ke kamar mandinya. Ia tak bergeming membantah ibunya. Rio pun segera bangkit.
"Buruan ya.. Papa tungguin kok.." imbuh Rio hangat.
Ia segera menarik tangan Winda istrinya keluar kamar Zianca.
****
Selama di perjalanan Zianca yang duduk di belakang hanya diam tak bergeming. Ibunya sedang sibuk berbicara dengan kakaknya Mikha di telepon. Seperti biasa, Mikha akan basa-basi meminta uang semester kuliahnya. Padahal di tempat ia bekerja, ia mendapatkan gaji yang cukup lumayan besar, jika saja ia pandai menabung dan berhemat, sayangnya dia salah satu tipe wanita gaul zaman sekarang. Selalu terobsesi untuk mengikuti fashion atau tren kekinian.
"Iyaa.."
"Nanti Mama transferkan ya uang semester kamu.."
"Kamu jangan lupa makan yang banyak, jangan suka begadang.."
"Lancar-lancar ya kerjaannya..
"Udah dulu ya.."
"Mama lagi di jalan ni, mau ngantar Zianca ke sekolah dulu.."
"Hmm biasalah dia kan kalau pagi-pagi nggak bikin orang tuanya pusing dia nggak seneng.."
Obrolan panjang ibunya tidak mempengaruhi Zianca yang bisa mendengar obrolannya dengan Mikha.
Zianca yang hanya diam tak merespon segera mengenakan headset ke telinganya, memutar musik favorite nya, ia berharap agar segera tiba di sekolah.
Sifat mereka sangat berbeda satu sama lain. Mikha si fashionable, Mikha suka belanja online untuk memenuhi kebutuhan fashionnya, suka mengenakan dress atau pakaian lebih feminim dan seksi, sedangkan Zianca tergolong sederhana, ia senang bergaya dengan pakaian yang membuatnya nyaman, ia suka mengenakan kaos santai di padu dengan jeans panjang beserta sepatu kets hitam putih kesayangannya.
---> visual Zianca (author menggunakan foto Lily MayMac sebagai ilustrasi)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments