Hujan deras mengguyur perkotaan. Sore itu jalanan semakin macet, pengendara berlomba-lomba ingin jalan lebih dahulu agar lekas tiba dirumah mereka. Keegoisan manusia yang tidak mau saling mengalah menjadi penyebab utama kemacetan jalan raya hingga tak berujung. Jalanan itu tidak pernah sepi oleh pengendara, dan akan semakin ramai ketika di pagi hari semua orang akan memulai aktivitas lalu di sore hari saat semua orang telah mengakhiri aktivitas mereka.
Semua orang memiliki kesibukan masing-masing. Pelajar yang berangkat sekolah dan pekerja yang berangkat ke kantor. Bahkan halte bis di pinggir jalan kini menjadi sasaran para pejalan kaki serta pemotor untuk berteduh, mengakibatkan jalanan semakin bertambah macet.
Sedangkan Zianca, ia tetap berjalan sambil tertunduk lemas di bawah derasnya hujan yang turun. Pakaian, tas dan sepatunya kini ikut basah kuyup. Banyak pasang mata memperhatikannya yang enggan untuk berteduh. Dia benar-benar tidak memperdulikan apapun. Seakan akan ia terasa tuli, ia terus menelusuri bibir jalan ibukota menuju rumahnya.
Ciiittttt...
Suara derit nyaring ban mobil terdengar memekakkan telinga. Sebuah mobil sedan sport berwarna hitam nyaris menabrak Zianca yang hendak menyeberang jalanan.
SEorang pria dengan stelan mewah tampak segera turun dengan sebuah payung di tangannya. Ia tampak segera berlari menghampiri Zianca yang mematung di tengah jalan.
"Kau baik-baik saja?? Ayo kita ke rumah sakit !!" seru pria itu panik.
Zianca hanya menoleh sekilas pada pria tampan itu, namun ia kemudian kembali berjalan dengan pelan.
"Tunggu !" seru pria itu menahan tangan Zianca.
"Kau yakin tidak apa-apa? Ini kartu namaku, hubungi aku jika kau apapun..." pria itu tampak segera menyodorkan selembar kartu nama miliknya dari dalam dompetnya.
"Dan, bawalah payung ini bersamamu..." ujarnya lagi menyodorkan payung itu dan memegangkannya ke tangan Zianca yang dingin dan gemetaran.
Zianca hanya diam seribu bahasa, lalu segera pergi. Pria itu terus menatapi kepergian Zianca di bawah derasnya guyuran hujan. Zianca menatap kartu nama pria itu samar, kartu nama itu sudah tampak pudar akibat pengaruh air hujan yang membasahinya.
'Lucas'
Hanya tulisan itu yang tampak masih jelas terlihat di kartu nama berwarna abu-abu tua metalic itu.
****
Zianca membuka pintunya yang masih terkunci dengan kunci yang selalu di sembunyikan di bawah pot bunga yang ada di teras oleh orang tuanya. Zianca membuka sepatunya yang hanya basah kuyup. Bahkan kondisi sepatu itu benar-benar telah rusak. Tapak sepatu yang sudah menipis, hingga ia bisa merasakan panasnya aspal saat berjalan kaki di siang hari.
Ia berdiri cukup lama di depan pintu menatap sepatunya. Lalu segera mengangkutnya masuk ke dalam, meletakkannya di atas rak sepatu kayu dekat pintu masuk. Ia menyalakan lampu seluruh ruangan di rumahnya.
Rumah sederhana itu benar benar terasa hampa bagi Zianca yang masih berusia 17 tahun. Setiap hari Zianca akan berangkat ke sekolah bersama dengan kedua orang tuanya, lalu akan pulang kerumah dengan angkutan umum, berjalan kaki, atau menumpang dengan temannya yang searah.
Kedua orang tuanya seorang pekerja, pulang kerumah paling telat jam 7 malam, karena kantor tempat mereka bekerja searah, biasanya Rio sang ayah akan pulang lebih awal sehingga saat ia menjemput istrinya Winda, ia harus menunggu Winda selesai bekerja agar mereka bisa selalu pulang bersama kerumah.
Sementara kakak perempuan Zianca yang bernama Mikha telah berusia 21 tahun itu juga sudah bekerja, dia jarang sekali pulang karena lebih sering menginap di kos temannya yang dekat dengan kantor tempat mereka bekerja ketimbang pulang kerumah yang jaraknya terbilang sangat jauh.
Zianca segera masuk ke kamar mandi di dalam kamarnya. Menyalakan keran air bak mandi. Entah kenapa setiap kali pulang kerumah, ia merasa menjadi orang yang berbeda. Ia menjadi gadis remaja yang pendiam, sangat sensitif dan mudah sekali bersedih, bertolak belakang sekali dengan sifatnya saat berada di luar rumah. Dia sangat terkenal di sekolahnya karena kepribadiannya yang ceria, ramah, sopan, dan rendah hati.
Cukup lama Zianca seperti itu di dalam kamar mandi, hingga akhirnya ia segera menyelesaikan mandinya sesaat sebelum orang tuanya pulang.
Beberapa menit kemudian ia mendengar suara orang tuanya yang sudah tiba di rumah. Zianca segera naik ke atas tempat tidur, meringkuk sambil memeluk gulingnya lalu menyelimuti seluruh tubuhnya rapat-rapat.
Krieeekk...
Pintu kamarnya terbuka pelan.
"Zi.. makan dulu.. papa belikan nasi goreng kesukaan kamu tu.." seru Rio papanya lirih.
Zianca diam tak bergeming, ia membungkam mulutnya rapat.
"Yuk.. makan dulu yuk.. baru tidur lagi.." seru Rio lagi melihat Zianca yang tidak merespon.
"Udahlah Pa.. biarin aja.. mau makan syukur ga mau makan yaudah biarin aja.. ga tau orang tuanya udah capek seharian kerja, dia malah sibuk cari perhatian terus.." gerutu Winda di dapur yang terdengar sedang menyajikan makanan di atas meja makan.
Rio lalu kembali menutup rapat pintu kamar Zianca.
"Kamu ini suka banget ngomong kayak gitu.. aku khawatir dia kenapa kenapa di jalan.. atau bisa jadi dia lagi enggak enak badan.. biasanya mana pernah dia nolak nasi goreng kesukaannya.." timpal Rio membela Zianca dari omelan Winda istrinya.
"Alaahhh.. dia kan emang begitu Pa.. semua-semua berharap ingin paling di perhatikan.. tapi dia enggak pernah tuh pengertian sama kita.. caper mulu.." gerutu Winda lagi.
"Udahlah.. mending sekarang kamu mandi dulu sana.. baru kita makan malam.. soalnya aku masih mau lanjutin kerjaan dulu di ruang kerja, ada deadline yang harus aku kirim malam ini.."
"Hmm.. yaudah aku mandi dulu ya Pa.." angguk Winda segera masuk ke kamar mereka.
Rio menatap lama ke arah pintu kamar Zianca yang tertutup rapat, ia menghela nafas berat lalu segera menelusuri tangga rumah menuju ruang kerjanya yang berada di lantai 2.
Ternyata Zianca yang samar samar mendengar perdebatan orang tuanya itu merasa iba hati. Orang tuanya selalu berdebat bahkan sesekali bertingkar ketika itu membahas tentang Zianca. Papanya selalu membela Zianca, sementara Ibunya memperlakukan dia dengan keras berbeda dengan perlakuannya pada Mikha sang kakak. Ia menangis tertahan di balik selimutnya. Air matanya terus mengalir deras membasahi wajah dan bantalnya.
****
Pagi itu, Zianca masih saja meringkuk di dalam selimutnya, pagi itu ia merasa pusing. Migrain alias sakit kepala sebelah adalah langganan Zianca sejak ia menginjak usia 13 tahun. Ketika sudah migrain melanda, ia bahkan benar-benar kesakitan selama seharian jika tidak segera ia obati.
Beberapa kali samar terdengar suara Winda yang terus memanggilnya sambil mengomel seperti biasa.
Tok..tok..tok..
Rio membuka pintu kamar Zianca.
"Zii.." seru Rio lirih.
"Kamu enggak sekolah? Sudah jam setengah 7 loh.. buruan.. nanti Papa sama Mama telat karena nungguin kamu.." imbuh Rio lembut segera mendekati tempat tidur Zianca.
Zianca membuka selimutnya perlahan.
"Zizi lagi sakit kepala nih Pa.." ujar Zizi lemas.
"Ehh.. kamu itu jangan manja.. dikit-dikit sakit.. dikit-dikit minta libur sekolah.. kamu pikir sekolah kamu gratis ha?? Cepat mandi sana, sarapan, habis itu minum obat.. selagi masih kuat jalan pergi sekolah terus sana.. liat kakak kamu.. kuliah sambil bekerja.. enggak pernah ngeluh kayak kamu.." timpal Winda ternyata sudah berdiri di daun pintu kamar Zianca.
Zianca hanya tertegun, lalu berusaha bangkit masuk ke kamar mandinya. Ia tak bergeming membantah ibunya. Rio pun segera bangkit.
"Buruan ya.. Papa tungguin kok.." imbuh Rio hangat.
Ia segera menarik tangan Winda istrinya keluar kamar Zianca.
****
Selama di perjalanan Zianca yang duduk di belakang hanya diam tak bergeming. Ibunya sedang sibuk berbicara dengan kakaknya Mikha di telepon. Seperti biasa, Mikha akan basa-basi meminta uang semester kuliahnya. Padahal di tempat ia bekerja, ia mendapatkan gaji yang cukup lumayan besar, jika saja ia pandai menabung dan berhemat, sayangnya dia salah satu tipe wanita gaul zaman sekarang. Selalu terobsesi untuk mengikuti fashion atau tren kekinian.
"Iyaa.."
"Nanti Mama transferkan ya uang semester kamu.."
"Kamu jangan lupa makan yang banyak, jangan suka begadang.."
"Lancar-lancar ya kerjaannya..
"Udah dulu ya.."
"Mama lagi di jalan ni, mau ngantar Zianca ke sekolah dulu.."
"Hmm biasalah dia kan kalau pagi-pagi nggak bikin orang tuanya pusing dia nggak seneng.."
Obrolan panjang ibunya tidak mempengaruhi Zianca yang bisa mendengar obrolannya dengan Mikha.
Zianca yang hanya diam tak merespon segera mengenakan headset ke telinganya, memutar musik favorite nya, ia berharap agar segera tiba di sekolah.
Sifat mereka sangat berbeda satu sama lain. Mikha si fashionable, Mikha suka belanja online untuk memenuhi kebutuhan fashionnya, suka mengenakan dress atau pakaian lebih feminim dan seksi, sedangkan Zianca tergolong sederhana, ia senang bergaya dengan pakaian yang membuatnya nyaman, ia suka mengenakan kaos santai di padu dengan jeans panjang beserta sepatu kets hitam putih kesayangannya.
---> visual Zianca (author menggunakan foto Lily MayMac sebagai ilustrasi)
Setibanya di sekolah, Zianca segera turun dari mobil sedan milik ayahnya. Tak lupa ia berpamitan dengan kedua orang tuanya, menyalami mereka seperti biasa. Ayahnya selalu melemparkan senyum hangat dan termanis miliknya, sedangkan sang ibu kerap kali hanya memasang wajah datar atau ketus.
Zianca berdiri di gerbang sambil menunggu orang tuanya berlalu pergi. Ia lalu menyimpan ponsel dan headset-nya kedalam tas.
"Ziii.." seru seseorang dengan suara unik yang sudah tidak asing lagi. Gadis imut itu tampak berlari menghampiri Zianca.
"Tumben lo nggak make-up-an??" Celetuk Zianca melihat wajah polos Fina yang tanpa riasan itu.
"Iya nih.. buruan masuk yuk.. tadi gue telat bangun.. jadinya nggak sempat dandan.." celotehnya menyeret Zianca masuk. Namun kemudian langkah Zianca terhenti.
"Pagi Buk !!" Seru Zianca ceria dengan suara nyaring melengkingnya ketika melihat Buk Tini di parkiran roda dua.
"Ya ampun neng.. bikin kaget aja.. suaranya itu loh melengking banget.. kedengeran sampe ke gerbang belakang loh.." celetuk Buk Tini kaget, karena ia tengah sibuk mengatur susunan parkiran sepeda motor para murid.
Meski ia seorang perempuan, namun ia sangat kuat. Ia sudah hampir 1 tahun terakhir ini menjadi security di sekolah Zianca.
Zianca segera menghampiri Buk Tini, ia tampak mengeluarkan sebungkus roti abon dari dalam tasnya.
"Nih buk.. jangan lupa sarapan ya.." ujar Zianca tersenyum hangat.
"Aduh neng.. makasih yaa.. cuma neng Zianca aja yang paling perhatian sama ibuk.. semangat belajarnya ya neng.." ujar Buk Tini sungkan.
Memang sudah kebiasaan Zianca yang hampir setiap hari memberikan cemilan pada Buk Tini yang ia bawa khusus dari rumah. Dan teman-temannya sudah biasa melihat pemandangan seperti itu dari sosok Zianca.
Zianca tau kalau Buk Tini itu hanya sebatang kara, orang tuanya telah lama meninggal sejak ia berusia 17 tahun, saat itu ia putus sekolah karena tidak ada keluarga besar orang tuanya yang mau membantu meringankan biaya hidupnya, itu sebabnya ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kota, awalnya ia bekerja sebagai sales di toko ponsel selama beberapa bulan, karena selalu di cemburui oleh istri pemilik toko, ia pun di pecat, lalu ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ia bekerja cukup lama disana, namun sayangnya majikannya itu harus pindah keluar negeri dan tidak bisa mempekerjakannya lagi, terakhir ia bekerja sebagai asisten manajer sebuah toko elektronik, lebih tepatnya ia selalu di perlakukan seperti seorang pembantu. Saat itulah ia bertemu dengan calon suaminya 10 tahun lalu.
Meski merasa bahwa sang suami adalah belahan jiwanya sampai mati namun kenyataannya ia justru di ceraikan oleh sang suaminya satu setengah tahun yang lalu dengan alasan paksaan dari kedua orang tua suaminya.
Buk Tini kini baru berusia 31 tahun, cukup muda untuk menjadi seorang janda. Ia bahkan menikah di usia belum menginjak 20 tahun. Suaminya lebih tua 4 tahun darinya itu merupakan anak tunggal di keluarganya. Itu sebabnya ia selalu di tuntut untuk segera menikah dan memiliki seorang cucu ketika sudah menikah.
Mereka telah menikah selama hampir 9 tahun, namun belum juga di karuniai seorang anak. Mertuanya selalu berkeras bahwa putra mereka adalah pria yang sehat dan bugar, itu sebabnya mereka selalu menyalahkan Buk Tini yang belum juga bisa hamil, meski telah melakukan banyak cara, bahkan dokter mengatakan tidak ada masalah dengan hormon dan rahim Buk Tini.
Mereka juga pernah berencana untuk mengadopsi seorang anak, namun mertua Buk Tini menentang hal itu, mereka hanya menginginkan cucu dari keturunan darah mereka, bukan cucu yang di ambil dari panti asuhan.
Satu setengah tahun yang lalu, suaminya ternyata diam-diam di jodohkan oleh orang tuanya dengan seorang janda anak 1, yang mana suami janda itu telah meninggal dunia karena kecelakaan. Mertuanya mengenal perempuan itu dari rekan kerja mereka. Mereka yakin jika perempuan itu pasti bisa memberikan mereka keturunan, karena sudah memiliki seorang anak perempuan dari suami sebelumnya.
Setelah sebulan mereka diam-diam berkencan di belakang Buk Tini, ternyata perempuan itu hamil. Suaminya yang kalut dan merasa bersalah akhirnya memberi tahu Buk Tini. Meski terlambat, namun ia tetap harus memberitahu istrinya, karena ia tidak sanggup lagi membohongi istrinya yang selalu merawat dan mengurusnya dengan sangat baik lebih lama lagi.
"Jangan pernah maafin aku Tin.. ini semua salahku.. seharusnya aku berjuang bersamamu.. seharusnya aku mempertahankan rasa cintaku padamu.. namun aku justru terlena dengan perempuan lain.. tolong.. maafin perilaku kedua orang tuaku padamu Tin.. namun jangan pernah kamu maafin aku.." hanya itu kata-kata yang ia ucapkan sambil bersimpuh di depan Buk Tini.
Sementara 'perempuan' itu ikut serta bersamanya dan tengah menunggu di teras rumah mereka.
Buk Tini hanya menangis tertunduk tak bergeming. Ia berusaha keras menahan isak tangis dan sesak di hatinya. Ia tak sanggup marah apalagi memaki suaminya yang begitu ia cinta. Ia hanya menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu.
"Andai ia bisa memberikan anak pada suaminya.."
"Andai ia bisa segera hamil setelah menikah.."
Ia hanya merutuk dirinya sendiri di dalam hati dan terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Tak sedetikpun ia menyalahkan suaminya yang telah mengkhianatinya karena ia begitu mencintai suaminya. Ia hanya bisa menahan amarahnya untuk dirinya sendiri. Ia juga menerima keputusan suaminya dengan lapang dada. Bahkan ia mendoakan kebahagiaan mereka dengan tulus.
Setelah berpisah, Buk Tini segera pindah keluar kota, ia hidup uring-uringan selama berbulan-bulan. Ia hidup dengan tabungan yang seadanya. Hingga suatu hari ia melihat sebuah brosur di kantin makan langganannya, berisikan lowongan kerja sebagai security dengan fasilitas makan dan tempat tinggal serta mendapatkan gaji.
Ia berpikir itu adalah peluang yang sangat besar, ia bisa belajar bela diri secara gratis, bahkan bisa berhemat karena tidak perlu lagi membayar uang makan dan uang sewa untuk tempat tinggalnya.
Akhirnya ia mengikuti pelatihan itu rutin setiap harinya selama 4 bulan sebagai satu-satunya peserta perempuan, hingga ia mendapat lowongan kerja di sekolah Zianca saat ini karena ia dinilai sangat telaten, disiplin dan sangat pembersih. Itu sebabnya kepala sekolah Zianca menyukai kinerja Buk Tini dan memilihnya.
Ia benar-benar membuka lembaran baru disana, berada di lingkungan baru, teman baru, pengalaman baru, dan pekerjaan baru.
Ia benar-benar menjadi pribadi yang baru. Ia bahkan masih berusaha mengikhlaskan cerita masa lalunya yang hingga kini masih sangat menyakitkan. Ia hanya bisa pasrah dengan takdir dan keadaan realita hidupnya. Meski ia sangat merasa sudah ikhlas, namun dia tetap merasa sangat patah hati, selain trauma untuk menjalin hubungan lagi, dia pun belum bisa mengobati luka hatinya yang mendalam.
****
"Woi.. Zi !!! Pagi-pagi udah heboh aja.." seru seseorang dari arah belakang mengagetkan lamunan Zianca yang memandang Buk Tini lekat-lekat.
Zianca dan Fina menoleh ke belakang, ternyata itu Puput teman mereka. Zianca hanya terkekeh melihat gaya Puput yang terngah berlari. Bagaimana tidak, tubuh bongsor dan mont*k Puput terlihat sangat lucu saat berlari.
"Kayak nggak tau Zianca aja.. sekolah ini rame dan seru cuma gara-gara dia doang.." imbuh Fina terkekeh merangkul lengan Zianca dan Putri.
"Yuk buruan.. tapi temenin gue ke toilet dulu ya.. mau dandan nih..." rengek Fina menyeret kedua temannya.
"Wajah lo udah cantik gini ngapain harus di poles make-up sih.." gerutu Puput.
"Ihhhh nggak PD tauu.." gumam Fina merengek.
"Yaelah.. mending tempelin wallpaper aja sekalian.. tahan lamaaa.. kalau bosan tinggal dibuka, terus tempel yang baru.." timpal Zianca sinis mendengar rengekan Fina.
"Sial*n ni orang.. lo pikir muka gue kayak tembok.."
"Lah kan emang kayak tembok.. tebel bener tu muka.. udah bolak balik di tegur guru jangan pake makeup ke sekolah.. ehhh masih aja tetep pake makeup ke sekolah.." jelas Zianca santai.
"Jahat banget sih !!" Tukas Fina merajuk.
"Yang ngambek ga boleh nyontek pas ulangan kimia ya.." goda Zianca saat melihat Fina yang manyun.
"Astaga !! gue lupa hari ini ada ulangan.. gue belum ada belajar sama sekali !!" Pekik Fina tertahan.
"Emang pernah belajar??" Timpal Zianca lagi-lagi menggoda Fina.
"Ya pernah lah.." tukas Fina mencubit kecil lengan mungil Zianca.
"Aww !!! Sakit tau !!" Gerutu Zianca mengusap-usap lengannya.
"Nih orang udah muka tembok, hobi KDRT temen lagi.." omel Puput menjewer telinga Fina yang menyeringai kesakitan.
Lalu mereka bertiga tertawa tanpa ada rasa marah, kesal atau tersinggung atas semua ucapan mereka satu sama lain. Begitulah pertemanan Zianca. Mereka selalu bebas mengatakan apa saja tanpa batasan dan tanpa ada rasa tersinggung ataupun sakit hati. Meski ucapan mereka terkadang serius, namun mereka sudah saling mengenal karakter masing-masing. Itu sebabnya mereka saling mengenal baik satu sama lain dan tetap langgeng sejak duduk di bangku SMA kelas 1.
***
4 minggu lagi adalah ujian kelulusan mereka. Sudah waktunya mereka terjun ke dunia perkuliahan untuk melancarkan jalan menuju cita-cita mereka.
Saat jam istirahat, Zianca, Fina dan Puput berada di kantin sambil menyantap makan siang mereka. Sebelumnya Zianca memeriksa uang sakunya yang di selipkan sang ayah ke dalam saku tasnya, ternyata Ayahnya menyelipkan selembar uang Rp 50,000. Biasanya Zianca akan menyimpan uang saku itu untuk di tabung, karena dia selalu mendapat uang saku setiap harinya dari sang ibu, tapi uang saku dari ibunya itu hanya pas-pas untuk makan siang saja. Itu sebabnya ayahnya suka sekali menyelipkan uang saku secara diam-diam ke saku tas Zianca.
Hari ini Zianca yang sedang merasa pusing hanya membeli sebungkus roti dan air mineral dingin.
"Lu diet Zi??" Celetuk Fina heran.
"Nggak kok.. gue lagi males makan aja nih.." geleng Zianca pelan, padahal sebenarnya ia sedang tidak enak badan sejak pagi. Tapi Zianca sangat pintar menyembunyikan kesulitannya.
"Zizi.." sapa seseorang dari arah belakang.
Zianca menoleh dengan tatapan ramahnya.
"Eh.. Aaron.. baru keluar kelas??" Tanya Zianca ramah.
"Iya nih.. tadi banyak tugas di kelas.." ujar Aaron tersenyum manis mendekati meja Zianca.
Aaron siswa terkeren kelas 11 dan merupakan junior Zianca di sekolah, namun dia tidak pernah sekalipun memanggil Zianca dengan sebutan Kakak, ia selalu beralasan jika perbedaan usia mereka kurang dari setahun, itu artinya mereka sebaya. Jadi dia tidak punya alasan lain memanggil Zianca dengan sebutan 'Kak' meski ia adalah juniornya.
Sejak kelas 10 ia terpilih sebagai ketua osis sekaligus idolanya ciwi-ciwi di sekolah hingga saat ini.
Gimana enggak? Udah super cakep, keren, tajir lagi. Ia selalu bersikap hangat dan sangat ramah dengan Zianca, namun sangat dingin dan ketus dengan siswi yang lain. Pernah beredar rumor kalau Aaron dan Zianca pacaran, Aaron tidak pernah membantah sama sekali, dia hanya selalu tersenyum jika ditanyakan hal itu oleh teman-temannya, sementara Zianca sibuk membantah rumor itu, karena dia menganggap Aaron hanya sebatas teman saja.
"Zi.. makan yuk? Aku traktir ya.." serunya lagi.
"Ehh nggak usah.. aku udah jajan kok.. kamu lanjut makan aja.." geleng Zianca sungkan.
"Beneran? Dari dulu kamu selalu aja nolak tawaran aku.. kamu malu ya karena aku adek kelas kamu?" Ujar Aaron ketus.
"Eh.. bukan gitu.. tapi beneran.. aku udah jajan kok.. nih liat aku udah beli cemilan sama minuman.. aku juga ada cemilan lain di dalam tas kok.." jelas Zianca merasa tak enak hati.
"Oh.. yaudah deh.. kapan-kapan aku traktir ya.." ujarnya lagi tersenyum manis, segera berlalu menghampiri meja teman-temannya.
"Cieee.. Zizi masih aja jadi incaran brondong yang satu ini.." goda Puput meledek setengah berbisik.
"Apaan sih.." tukas Zianca tertawa.
"Eh.. tapi beneran loh Zi.. dari dulu dia berusaha banget deh buat deketin lo.. apalagi waktu lo masih jadi wakil ketua Osis.. cara dia ngomong sama lo juga beda.. pake aku kamu hahahah.." ungkap Fina.
"Yaelahhh.. karena waktu itu kan kita sama-sama ada keperluan makanya deket terus.. lagian mana mungkinlah dia tertarik sama gue.. masih banyak kali cewek-cewek yang cantik, tajir, pinter.. jadi ya nggak mungkin lah.." celetuk Zianca berbisik.
"Nggak ada yang nggak mungkin.. lo aja yang nggak PD.." timpal Fina sambil menyantap mi gorengnya.
"Lagian kalian kan tau.. gue nggak pernah mau pacaran satu sekolah.. risih.. terus pasti mengganggu banget.." ujar Zianca santai.
"Ihhh.. romantis tau.. bisa makan di kantin bareng, pulang pergi sekolah bareng, bikin tugas sekolah bareng.." seru Puput merona.
"Gue justru nggak suka yang kayak begituan.. gue malah nggak bisa fokus belajar.. terus pasti bakal cepet bosan.."
"Yaelah.. ni anak kayak udah pernah pacaran aja.." celetuk Fina menyindir. Zianca hanya memasang muka mengejek pada Fina, tidak memperdulikannya.
"Lagian ini kan kesempatan emas Zi.. mumpung ada brondong cakep, tajir, keren kayak Aaron.. ya elo embat aja.." Puput tampak bersemangat saat menceritakan Aaron, karena dia dulu pernah menggila-gilai sosok Aaron.
"Lo kali yang pengen banget ngembat dia.." ledek Zianca terkekeh.
"Sayangnya dia nggak mau sama gue sih.. kalau mau.. ya pasti udah gue embat lah.." Puput tampak tertawa tertahan sambil mencuri-curi pandang ke arah pojok kantin, tempat Aaron duduk dengan temannya.
"Ehh.. liat deh.. itu adek kelas yang baru pindah itu kan?? Kabarnya nih.. dia pindah kesini cuma buat deketin Aaron doang.." bisik Puput lirih.
"Kayak nggak ada cowok lain aja??" Gerutu Fina sinis.
Sontak Zianca dan Fina pun ikut menoleh ke arah Aaron. Aaron benar-benar tampak cuek dan tidak memperdulikannya, padahal gadis itu tampak tebar-tebar pesona pada Aaron.
"Ya ampun.. kasihannya.." gumam Fina berbisik. "Kalau gue nih ya.. cantik dan tajir kayak tuh cewek.. gue bakal jadi playgirl.. semua cowok cakep dan tajir gue pacarin.." hayal Fina tertawa.
"Ya pantes Tuhan nggak kasih lo kecantikan yang berlebihan.. soalnya niatnya udah jahat sih hahahahaha.. dari lo masih di dalam rahim Tuhan itu udah tau lo bakal punya niat jahat kayak begini pas gedenya.. makanya pas lo lahir ya di kasih muka pas-pasan kayak gini.. hahahaha.." ledek Zianca sinis.
"Jahat banget ihhh...." geram Fina mencubit kecil lengan Zianca hingga ia kesakitan.
"Aww.. sakit tau.." gerutu Zianca mengusap-usap lengannya.
"Rasain.." ejek Fina cemberut.
Puput yang melihat perdebatan Zianca dan Fina hanya tertawa geli.
Setelah selesai makan siang, mereka bertiga berencana untuk singgah ke perpustakaan terlebih dahulu. Namun, saat baru keluar dari kantin, Aaron menghentikan langkah Zianca.
"Zi.. nih.. cuaca lagi panas gini pasti enak banget minum yang seger-seger.." ujar Aaron menyodorkan sebotol minuman perisa buah yang dingin.
"Makasi ya.. tapi kamu nggak perlu repot-repot.." ujar Zianca sungkan.
"Nggak repot kok.. aku ke kelas dulu ya.." Aaron segera berlalu dengan teman-temannya yang tampak meledek Zianca.
***
"Ehh.. lu beneran naksir sama kakak kelas?? Bahasa lu sama doi beda bener.." Dion tampak penasaran dengan sikap Aaron pada Zianca.
Aaron hanya tersenyum simpul.
"Jadi beneran??" Serunya tidak percaya.
"Tapi kayaknya Karin anak baru lebih oke loh.. kabarnya dia pindah kesini cuma biar bisa deketin elu.." imbuh Tyo nimbrung.
"Gue nggak minat sama yang lain.. kalau kalian minat ya deketin aja.." tukas Aaron santai.
"Tapi bukannya lo udah pernah di tolak sama tu kakak kelas??" Tanya Dion lagi.
"Siapa bilang? Gue nembak aja nggak pernah.. makanya lo lo pada jangan sotoy.. jangan percaya gosip di sekolah deh.. kayak emak emak komplek aja.." gerutu Aaron sinis.
"Ya kali.. udah 1 tahun belakang lo ngincer dia mulu.." imbuh Tyo.
"Gue emang nungguin doi lulus.." jawabnya yakin.
"Lah emang kenapa??" Tanya Tyo dan Dion serempak.
"Ah.. lo berdua nggak perlu tau lah.."
-->> ilustrasi tokoh pria "Manu Rios"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!