MENAPAK SENJA

MENAPAK SENJA

Part 1

Ida menatap pintu depan stasiun, menimbang-nimbang kembali niatnya untuk bergabung menjadi relawan Palang Merah Indonesia.

Stasiun Bukittinggi hari ini lebih ramai dari biasanya, bahkan lebih ramai lagi dari hari Pakan[1]. Ida melangkah hati-hati menyeberangi rel. Tampak sebuah sepur yang mengepulkan asap di ujung stasiun dan beberapa gerbong terparkir di seberang bangunan stasiun.

Gadis berkulit kuning langsat itu mengedarkan pandangannya, dia melihat beberapa keluarga yang memeluk anak gadis yang usianya mungkin masih sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun. Sebagian mereka tampak terisak memeluk anak perempuannya.

Ida berusaha menembus keramaian di pintu depan stasiun. Mendekati meja dengan antrian panjang. Dia mencolek perempuan yang terakhir berada di antrian,

"Uni, ini antrian untuk relawan PMI kah?" tanyanya.

"Iya,mau ikut jadi relawan juga?" tanya perempuan itu sambil tersenyum ramah.

"Iya uni," jawabnya singkat.

"Saya Maisaroh, panggil saja Mai," lanjut perempuan tersebut sambil mengulurkan tangannya.

"Oh iya, saya Rosidah, panggil Ida saja," balas Ida agak sedikit canggung dan menyambut tangan Mai untuk menyalaminya.

"Kita saling panggil nama saja. Tampaknya kita seumuran," berondong Mai.

"Hehe iya sepertinya begitu." Ida tersenyum kikuk.

Ida bukanlah tipe perempuan yang gampang bertegur sapa dengan orang lain. Sering kali dia dicap sombong karena lebih memilih banyak diam daripada menegur orang lain terlebih dahulu, kecuali kalau keadaannya terdesak seperti saat ini. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu berusaha mengalahkan segala keengganannya bertemu orang baru demi meninggalkan rumahnya yang dianggapnya seperti neraka dunia.

Ida anak pertama dari dua bersaudara, adiknya perempuan bernama Rostini. Tini, panggilannya, lebih muda dari Ida tiga tahun. Perawakan keduanya yang berbeda, membuat perlakuan orang sekitar terhadap mereka juga berbeda. Ida, berperawakan pendek dengan tubuh sintal, rambut keriting dengan kulit kuning langsat. Sementara Tini, mempunyai postur tubuh tinggi dengan badan yang langsing, rambut ikal, dengan kulit putih bersih bak pualam.

Ida tahu, perbedaan perlakuan terhadap mereka berdua tak hanya karena fisik mereka saja, tapi sifat Tini yang lebih penurut dan manipulatif mampu menyihir siapa saja yang berhadapan dengannya. Sifat gadis minang yang mampu bertutur kata sesuai tata krama ereang jo gendeang [2] membuat dia bisa diterima oleh siapa saja.

Sementara Ida, wataknya keras dan agak pemberontak, bukan perempuan yang mampu bertutur kata manis jika suasana hatinya sedang tidak baik. Tidak semua orang mampu memahami karakternya yang keras itu, mereka lebih menganggap Ida anak gadis yang sulit diatur. Karena pada jaman itu, perempuan tidak begitu diberi ruang untuk mengeluarkan pendapatnya.

Ida memilih meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat bernaungnya, ketika neneknya berusaha menjodohkannya dengan anak laki-laki dari saudagar di kampungnya.

"Da, minggu depan mak tuo Halimah mau kesini. Kau masak agak banyak, besok kau ikut tek Eli ke pakan membeli bumbu-bumbu masakan ya," ujar amai, neneknya suatu sore.

"Ada keperluan apa mak tuo kesini, Mai?" tanya Ida, agak bingung karena istri saudagar itu tiba-tiba bertamu kerumah mereka.

"Mak tuo hendak marosok[3], mau meminang kau Da, untuk anaknya si Burhan," terang amai.

Seketika wajah Ida pias.

"Tapi Mai, Amai kan tau si Burhan itu suka main perempuan. Tiap hari kerjanya menyabung ayam. Kenapa Amai tega sekali menjodohkan aku dengan Burhan." Suara Ida mulai meninggi.

Ida mendengar anak laki-laki saudagar tersebut terkenal suka main perempuan, berjudi dan kasar. Dia tidak mau menghabiskan masa hidupnya dengan laki-laki seperti itu.

"Nanti kalau sudah menikah akan berubah sendiri Da. Laki-laki kalau sudah diberi tanggung jawab juga akan mengerti tugasnya," bela amai.

"Mai, Ida lebih baik Amai jodohkan dengan laki-laki biasa, bukan anak orang kaya tapi mengerti agama, Mai," ucap Ida pelan.

Ida mengerti betul kalau amai tidak mau dibantah. Amai pernah mengikatnya ketiang rumah seharian hanya karena agak telat membawa bebek pulang dari sawah dan ketika ditanya oleh amai, jawaban Ida dianggap mengapa-ada.

"Da, dalam situasi seperti ini, kau butuh laki-laki yang mempunyai kedudukan, biar nanti hidup kau tidak sengsara," nasehat amai.

Ida memilih mengakhiri perdebatan, daripada berakhir dengan hukuman yang biasa amai berikan padanya. Namun, Ida masih belum bisa menerima keputusan amai untuk menikahkannya dengan anak keluarga Sutan Rajo Mudo, keluarganya Burhan.

Saat Ida sudah mulai berputus asa, bingung memikirkan bagaimana caranya untuk menolak perjodohan itu, tiba-tiba seolah menjawab kegundahan hatinya, sore itu kentongan di surau belakang rumahnya dipukul berkali-kali menandakan akan ada pengumuman penting.

Angku surau mengabarkan bahwa Belanda meluluh lantakkan Indarung dan sekitar kota Padang, sehingga Palang Merah Indonesia membutuhkan banyak relawan untuk membantu mereka merawat dan mengurus para korban bom tersebut. Seperti mendapatkan secercah harapan, Ida menyimak baik-baik isi pengumuman sore itu.

Hanya berbekal tekad, dan beberapa helai pakaian di tas yang ia sampirkan pada bahunya, disinilah Ida sekarang, menatap kerumunan orang yang mengantri untuk menjadi relawan. Tak ada kata mundur lagi, tekad Ida dalam hati.

"Lebih baik aku mati dihabisi peluru Belanda, daripada aku harus tersiksa hidup sama laki-laki itu," tegasnya dalam hati.

Ketika melihat sekelilingnya, Ida menyadari bahwa hanya dia satu-satunya calon relawan yang datang sendirian. Para calon relawan yang lain datang bersama keluarganya.

Selesai proses pendaftaran, mereka diajak berkumpul di lapangan belakang stasiun. Para keluarga yang mengantar tidak diperbolehkan untuk ikut ke tempat mereka berkumpul. Sebagian dari beberapa keluarga melepas anak gadisnya dengan isak tangis. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka setelah ini, apakah masih bisa melihat keluarga mereka kembali atau ini adalah kali terakhir mereka bertatap muka.

"Malam ini sebagian dari kita akan berangkat ke Indarung naik bus sampai Solok, dari sana kita menyusuri jalan lewat perkampungan, karena situasi tidak memungkinkan untuk meneruskan perjalanan menggunakan kendaraan. Masih berbahaya. Belanda telah melumpuhkan beberapa titik pertahan kita. Jadi kalian tidak perlu membawa barang banyak-banyak, bawa secukupnya saja," terang koordinator relawan PMI ketika para relawan sudah berkumpul di lapangan.

Terdengar riuh gumaman para relawan. Banyak di antara mereka diberikan perbekalan oleh keluarga mereka. Tak sedikit diantara para relawan itu dibekali rendang dalam kaleng oleh keluarga mereka.

"Biar masih bisa mengisi perut ketika sibuk mengurus para korban," kata keluarga mereka.

"Kalian tidak perlu membuang perbekalan kalian, karena memang nanti kita tidak tahu bagaimana kondisi ransum di pos-pos yang akan kita singgahi. Tapi untuk pakaian, kalian tidak perlu membawa sampai satu tas besar, kita bukan pergi piknik," lanjut sang koordinator seolah memahami kegelisahan para relawan yang membawa perbekalan makanan.

Tak seperti relawan lain, Ida yang datang seorang diri tanpa diantar keluarga, tanpa pelepasan dengan derai air mata dan tanpa perbekalan apa-apa. Ia hanya membawa tas dari karung goni yang dijahit sendiri, berisi dua helai baju yang dia sendiri tidak ingat kapan baju itu dijahitkan untuknya. Entah keluarganya merasa kehilangan atas kepergiannya atau tidak memberi pengaruh apa-apa bagi mereka, Ida tak begitu peduli. Entah nanti dia masih bisa bertemu keluarganya atau tidak, dia juga tidak terlalu memikirkan.

"Ida, ayo kita naik bis." Suara Mai membuyarkan lamunan Ida.

"Eh, sudah mau berangkat?" balasnya gugup.

"Baru disuruh naik ke bis, kau melamun saja dari tadi. Apa yang kau pikirkan?" selidik Mai

"Ah tidak, hanya masih belum bisa membayangkan kondisi kita nanti di Solok," elaknya.

"Kita berdoa saja, kita tidak tahu apakah setelah ini masih bisa kembali ke kota ini atau tidak." Mai seolah benar-benar memperlihatkan kesiapannya untuk menghadapi apa saja yang akan mereka hadapi nanti di depan.

"Tak perlu takut Da, kalau memang sudah ajal, walaupun kita tidak ikut ke Solok pun tetap akan mati juga," celoteh Mai.

"Iya, aku tak takut Mai. Dengan mendaftar jadi relawan ini, aku juga sudah siap dengan segala resikonya," balas Ida tersenyum tipis.

"Nah, ayo kita masuk ke bis biar nanti masih ada bangku yang kosong buat kita berdua," ajak Mai menggandeng tangan Ida.

______________________________________________

Catatan :

[1] Pakan \= Pasar yang hanya diadakan sekali seminggu di suatu daerah

[2] ereang jo gendeang \= tata krama dalam bertutur kata di Minang Kabau

[3] marosok \= tradisi penjajakan yang dilakukan oleh keluarga calon pengantin.

Terpopuler

Comments

Grey 🐇

Grey 🐇

satu kata waw....

2021-04-20

0

💜☕ѕυℓιѕ☕💙

💜☕ѕυℓιѕ☕💙

lihat di Ig teman langsung cuzz dimari... wahh keren ceritanya kak.. 😍

2021-03-29

0

Uswatun Khasanah

Uswatun Khasanah

Keren suka cerita y. mentang perjodohan calon suami yg aklhaka y ga bisa bwt imam masa depan. nenek y meksakan kabur tuh.... mandiri hrs kuat ida km hdp d luar.

2021-01-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!