Part 3

Selesai shalat berjamaah, angku Patiah, seorang pria berperawakan sedang, wajah teduh dan berkulit putih yang tadi menjadi imam shalat, menyambut para rombongan relawan dan TNI.

"Assalamualaikum. Selamat datang di surau kami, para pejuang. Alhamdulillah kita masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai umat muslim. Insya Allah nanti surau ini akan dijadikan tempat istirahat sementara buat para petugas PMI. Bagian belakang surau juga sementara waktu difungsikan sebagai dapur umum," terang beliau.

"Kita nanti ditempat kan di sini ya, Mai," bisik Ida yang agak bingung dengan tempat tinggal mereka.

"Tadi pak Zain bilang begitu ketika kita berhenti Da," balas Mai juga dengan berbisik

Selesai angku Patiah memberi sambutan kepada rombongan, pak Zain menggantikan tempat beliau.

"Selamat pagi semua, alhamdulillah kita sudah sampai dengan selamat di posko pertama kita. Setelah ini kita bisa sarapan dulu sebelum berangkat ke Indarung dan Banda Buek. Kami menerima laporan ada penyerangan secara membabi buta oleh Belanda di pakan Banda Buek. Jadi Petugas PMI kita bagi dua, separuh akan berangkat ke Banda Buek, separuhnya akan ke Indarung. Kita akan membantu tentara yang saat ini sudah berada di sana untuk mengangkat jenazah korban."

Terdengar riuh lirih bisik-bisik dari para relawan.

"Sekarang ayo kita ke belakang, sarapan sudah disiapkan di dapur. Nanti setelah sarapan kita akan umumkan siapa saja yang ikut ke Banda Buek, siapa yang ikut ke Indarung," lanjut pak Zain.

Tanpa banyak komando, para relawan berjalan teratur keluar dari surau. Menuruni tangga, satu persatu berjalan di pinggiran kolam yang berada tepat di halaman depan surau menuju bagian belakang.

Air kolam yang jernih memperlihatkan ikan-ikan yang bermain hilir mudik di antara batu alam yang ada di dasar kolam. Beberapa diantaranya menyelinap di balik ganggang hijau yang berayun mengikuti aliran air yang beriak.

Udara pagi yang segar dan dingin, penuh dengan aroma oksigen segar. Kabut masih menyelimuti bagian atap surau. Matahari mulai mengintip perlahan dari balik dahan-dahan pohon dan memantulkan tetesan embun yang melekat indah pada daun.

Begitu damai, fikir Ida. Sudah lama sekali ia tidak merasa sedamai ini. Selama ini ia berfikir tidak akan pernah merasakan rasa damai seperti pagi itu di surau tepian Lubuak Kilangan.

Sesampai di dapur umum yang dibuat secara darurat oleh masyarakat dan TNI, dengan menggunakan tenda berukuran 60x60, mereka disambut suara riuh rendah tukang masak dan alat masak yang berkelontangan memenuhi tenda yang dijadikan dapur itu. Menandakan betapa sibuknya petugas dapur umum pagi itu. Aroma masakan yang sarat akan bumbu menguar seolah mengejek indera penciuman para relawan.

Tanpa sadar perut Ida yang sedari kemarin siang belum diisi, berteriak. Untung saja suasana yang riuh di dapur menutupi bunyi perutnya yang protes minta diisi.

"Ayo... Ayo masuk, silahkan ambil piring di ujung sana dan mengantri untuk mengambil makanan," sapa salah seorang petugas dapur umum ketika para relawan tiba di depan tenda dapur.

"Iya buk, terima kasih," jawab beberapa relawan yang telah terlebih dahulu berada di depan.

"Panggil saja saya Tek Dian. Anak-anak disini memanggil saya seperti itu, biar kita lebih akrab," lanjut Ibu petugas dapur itu mengenalkan dirinya.

Perawakan tek Dian yang berwajah bulat dengan lesung pipi di kedua belah pipinya serta mata yang tampak bercahaya membuat para relawan merasa lebih diterima di sana.

"Nah ayo sana makan, tidak perlu sungkan. Selagi masih ada makanan yang bisa kita makan jangan disia-siakan," lanjut beliau sambil menepuk ramah bahu Ida.

"Iya tek, terima kasih." Ida tersenyum ramah pada tek Dian.

Ida dan Mai berjalan beriringan ke bagian ujung tenda. Ida memgambil piring enamel yang disusun rapi di ujung meja yang diletakkan pada bagian pojok tenda. Ikut mengantri ke tempat makanan dibagikan. Sarapan pagi itu nasi dengan lauk ikan bilih dan sayur bayam. Menu yang sudah tergolong mewah untuk kondisi saat itu.

Selesai sarapan, mereka diarahkan ke lapangan yang bersebelahan dengan tenda dapur. Setelah semua berkumpul, suara pak Zain terdengar membelah riuhnya suara relawan yang bercengkrama.

"Perhatian semua. ... "

Mendadak suara para relawan yang ramai bercengkrama berhenti.

"Pagi ini seperti rencana dan sudah saya sampaikan sebelumnya, kita akan berangkat ke Banda Buek dan Indarung. Saya berharap kalian kuat menghadapi apa yang akan kalian temui nanti di lapangan. Untuk yang di Banda Buek, kalian siapkan penutup hidung, karena tubuh korban sudah ada yang mulai terurai. Kalian nanti ikut membantu membersihkan pasar dari jenazah. Untuk sementara kalian juga akan menetap di posko Banda Buek dan Indarung setelah tugas yang di sana selesai. Kita tidak akan kembali lagi kesini" terang pak Zain.

Terdengar bisik-bisik lirih dari barisan relawan. Tanpa membuang waktu, Pak Zain mengumumkan nama-nama relawan yang akan pergi ke Banda Buek dan Indarung.

Ida ditugaskan ke Banda Buek, sementara Mai ikut ke Indarung. Barisan relawan pun terbagi dua.

"Sampai ketemu lagi, Da." Mai menyalami Ida.

"Iya, ini selendang kau Mai, terima kasih ya." Ida menyerahkan selendang merah milik Mai.

"Kau simpan saja Da, kau masih butuh," tolak Mai

"Tapi...."

"Sudah kau simpan saja." Mai tersenyum kepada Ida, menyerahkan kembali selendang yang dikembalikan Ida ke tangannya.

"Terima kasih Mai. ... Semoga nanti kita masih bisa ketemu lagi." Kali ini Ida menyalami Mai.

Ada perasaan sedih ketika ia harus berpisah dengan teman barunya itu. Sikap Mai membuatnya merasa diterima, membuat dia merasa dekat dengan perempuan yang baru ia kenal kemarin sore itu.

Tanpa menunggu lama, rombongan relawan bergerak ke tujuan yang sudah ditentukan.

Pagi itu dua truk rombongan TNI bergerak meninggalkan surau di pinggiran Lubuak Kilangan, menyusuri jalan Salayo yang masih tertutup kabut.

Tidak ada suara lain yang terdengar, hanya suara deruman truk yang membelah jalan memenuhi telinga. Mata Ida menatap jalan yang mereka tinggalkan. Jalan berkelok-kelok dan menurun, serta kiri dan kanannya ditumbuhi pohon andalas membuat netra Ida tak bisa beralih dari pemandangan itu. Sinar matahari yang menyusup masuk di antara kabut dan daun-daun pohon membuat pagi itu tampak seperti sebuah lukisan. Mata Ida mulai mengantuk, tapi pemandangan Sitinjau Lauik yang eksotis membuatnya berusaha menahan mata yang mulai memberat. Baru kali ini Ida melihat pemandangan yang begitu menakjubkan.

Kabut yang menutupi bagian bawah jurang Sitinjau Lauik membuat mereka seperti berjalan di atas awan.

Namun tidak lama, mata Ida sudah tak mampu diajak bekerja sama lagi, kepalanya yang sudah terasa berat disandarkan ke bagian dinding truk.

"Uni... Uni... Bangun, kita sudah sampai." Ida terkejut, ketika mendengar suara perempuan yang membangunkannya.

Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Ida menatap keluar. Truk sudah berhenti, penumpangnya sudah turun. Hanya tersisa ia dan gadis yang baru saja membangunkannya disana.

Gadis yang baru saja membangunkannya berwajah manis berbentuk hati, bermata jernih. Gadis itu turun dari truk. Pakaian yang ia kenakan kemeja katun tebal, serta celana panjang khaki membuat ia lebih leluasa meloncat turun dari bak truk.

"Yang lain sudah turun? Tinggal kita berdua?" Ida melihat truk yang sudah kosong. Terbersit rasa malu, bisa-bisanya dia tertidur sementara yang lain sudah turun.

"Iya uni, ayo ... Eh iya, aku Ros ... Uni siapa?" tanya gadis itu menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Ida ketika Ida sudah turun dari truk.

"Ida ... Sudah dari tadi ya kita sampai?" sambut Ida menyalami gadis yang bernama Ros itu.

"Iya, ayolah kita mulai bekerja" ajak Ros menuntun tangan Ida turun dari truk.

Ketika mereka turun, tiba-tiba angin bertiup kencang. Bau anyir darah dan bau busuk bangkai seketika memenuhi indera penciuman Ida. Ada gelenyar halus dari perutnya ketika bau itu menelusup masuk melalui indera penciumannya.

Ida terpana menatap pemandangan yang terpampang di depan matanya. Darah dan tubuh yang sudah tidak bernyawa berserakan, bahkan banyak diantara tubuh itu sudah tidak utuh lagi. Seketika perut Ida seperti diaduk, tapi dia berusaha agar makanan yang dimakannya ketika sarapan tadi tidak keluar.

Ida mengeluarkan selendang pemberian Mai dari tasnya, mengikatkannya di hidung dan mulut. Setidaknya bisa meredam bau anyir dari darah dan bau mayat yang mulai mengurai. Tak lama berselang, beberapa petugas berpakaian militer membagikan sarung tangan kepada relawan, mengintruksikan apa yang harus mereka lakukan.

Tanpa menunggu lama, Ida dan para relawan lainnya mengumpulkan tubuh-tubuh korban. Penyerangan yang dilakukan oleh Belanda itu memakan banyak korban anak-anak, perempuan, dan para orangtua. Karena penyerangan itu terjadi pada hari pakan di Banda Buek kala itu. Ida tertegun ketika hendak menarik salah satu tubuh korban yang berada di parit. Seorang perempuan tengah hamil, tubuh bayinya menjejak jelas pada perutnya dikarenakan bagian perut perempuan itu robek yang kemungkinan membuat kantong ketubannya bocor.

Seketika mata Ida mengabur, ia berusaha menarik tubuh perempuan itu keluar dari parit. Tapi tubuh itu bergeming.

"Sini aku bantu." Suara bariton yang tiba-tiba muncul di sampingnya membuat Ida terlonjak kaget.

"Kenapa kaget?" tegur suara itu kembali

"Ah tidak, aku tadi tidak melihat ada orang di dekatku, tiba-tiba Tuan muncul, membuatku kaget," terang Ida.

"Ah ... Hahaha ... Kau saja tidak memperhatikan sekelilingmu, dari tadi aku tak jauh dari tempatnu berdiri."

"Ah ya ... Seperti nya begitu," balas Ida, tak mau memperpanjang pembicaraan lagi.

"Oh iya, aku Rasyid" pria yang memakai seragam TNI itu mengulurkan tangannya hendak menyalami Ida.

"Oh, aku Ida," balas Ida tanpa menyambut uluran tangan Rasyid.

"Ah, perempuan hamil lagi." Rasyid mengalihkan pembicaraannya sambil menarik jenazah yang terbujur di dalam parit untuk menghilangkan kecanggungannya.

"Iya," balas Ida singkat.

Ketika Ida mengedarkan pandangannya, tampak beberapa petugas Palang Merah memapah beberapa korban yang masih hidup.

"Masih ada yang hidup ya?" tanya Ida pada Rasyid yang berusaha menarik beberapa jenazah yang terdapat pada dasar parit.

"Ya, yang masih hidup rata-rata mereka yang tertimpa tubuh korban yang lain, tapi mereka juga terluka cukup parah."

"Memangnya kapan Belanda menyerang pasar ini?"

"Sekitar jam tiga sore. Tiba-tiba saja pesawat Belanda memberondong orang-orang yang ada di pasar, tanpa ada peringatan."

"Kalau korban yang di Indarung banyak yang meninggal juga?" tanya Ida penasaran.

"Iya, banyak. Karena Belanda menggunakan Bom, banyak bangunan yang hancur."

Ida hanya menanggapi dengan anggukan. Ia melanjutkan menaikkan, tubuh-tubuh korban ke atas pedati.

Terpopuler

Comments

💜☕ѕυℓιѕ☕💙

💜☕ѕυℓιѕ☕💙

hanya 1 kata... kereeeennnn.... 😍

2021-03-29

0

asna

asna

aku suka meskipun agak mual

2020-09-11

0

RatuKuyang 👻 ig @zariya_zaya

RatuKuyang 👻 ig @zariya_zaya

seru seru q dh boomlike ya lnjut

2020-07-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!