Setelah jenazah-jenazah mereka kumpulkan ke dalam pedati, tak lama berselang suara azan zuhur berkumandang. Mereka diinstruksikan untuk beristirahat dan melaksanakan ibadah shalat zuhur.
"Ida. ..." tampak Ros setengah berlari mendekati Ida.
"Ah ya, Ros," balas Ida dengan senyum mengembang.
Entah kenapa ia merasakan perasaan lega ketika melihat teman barunya, Ros, datang. Seperti ada Mai disana, kesamaan karakter antara Ros dan Mai yang dirasakannya membuat Ia merasa tak asing dengan teman barunya itu.
"Ayo kita ke surau, para relawan yang lain sudah banyak berkumpul disana, aku cari-cari kau dari tadi baru ketemu," lanjut Ros.
"Iya, aku dari tadi fokus di area parit Ros, banyak juga jenazahnya disitu," terang Ida.
"Iya pastinya, karena ketika terjadi penyerangan, pasti orang-orang berlindungnya ke arah parit. Tapi siapa sangka Belanda benar-benar membabi buta, ya. Aku merasa kasihan, banyak jenazah dalam kondisi memeluk anaknya. Tadi ada yang memeluk bayinya, dan bayinya masih hidup. Aduh sedih aku, Da," isak Ros sambil menyeka matanya.
"Lalu dibawa kemana bayi itu?"
"Entahlah, aku juga tidak memperhatikan lagi. Aku tadi hanya fokus mengangkat jenazahnya ke pedati."
"Lalu jenazah itu mau dibawa kemana? Kau tau?" Ida melirik pedati terakhir yang membawa jenazah.
"Aku tidak begitu tau Da, aku taunya jenazah itu akan dimakamkan tidak jauh dari sini."
Ida tak bertanya lagi, matanya sibuk memperhatikan TNI dan masyarakat membersihkan bekas-bekas tumpahan darah yang berserakan.
Sesampai di surau, mereka segera membersihkan badan, berganti pakaian dan melaksakan shalat zuhur bersama para relawan yang telah lebih dahulu selesai membersihkan badan.
"Assalamualaikum. ..." seorang pria paruh baya berdiri di mimbar surau. Pria yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu memberikan salam buat para relawan.
"Waalaikum salam Angku," serempak para relawan membalas salam pria berwajah ramah tersebut.
"Perkenalkan saya Munir, saya yang ditugaskan di sini untuk mengkoordinir Tentara Pelajar dan petugas PMI. Saya berterima kasih sekali kalian yang masih muda-muda ini mau turun memberikan kontribusinya untuk Nagari kita...."
Ida berusaha menahan kantuk mendengarkan sambutan Angku Munir. Ia melirik Ros, gadis itu mendengarkan dengan seksama sambutan Angku Munir. Dagunya ditopangkan kelututnya, tampak gadis itu pun berusaha menahan kantuk. Ketika matanya menyapu barisan pria di bagian depan, tatapan matanya bersirobok dengan mata Rasyid, pria muda dengan pakaian militer yang tadi turut membantunya mengangkat jenazah dari dalam parit. Pria itu tersenyum padanya, akan tetapi ia mengalihkan pemandangannya tanpa membalas senyum pemuda itu.
"Tuan Rasyid sepertinya menaruh perhatian padamu ya, Da," goda Ros dengan senyum mengembang.
"Ah apa pula lah kau ini Ros," balas Ida dengan sungutan.
"Tak apa Da, dalam kondisi seperti ini kita butuh juga orang yang melindungi," goda Ros sambil menyenggol bahu Ida dengan bajunya. Senyum menggoda tersungging dari bibir mungilnya.
"Ah, kita sudah disuruh makan," potong Ida mengalihkan pembicaraan.
"Pintar sekali kau mengalihkan pembicaraan. Tapi memang perutku sudah protes. Ayo lah kita makan. Selagi masih bisa makan jangan disia-siakan," ujar Ros sambil berdiri.
Seperti pada surau sebelumnya, dapur tempat memasak makanan untuk para relawan dibuat dari tenda. Kali ini tendanya lebih luas. Tak ada piring makan perorangan seperti sebelumnya, makanan mereka kali ini disajikan di tampah enamel besar yang cukup untuk dimakan enam orang. Makanan yang disajikan pada tampah itu hanya nasi dimasak bersama jagung dengan sayuran daun singkong saja.
"Mohon maaf hanya ini yang kita punya, setidaknya masih ada bahan makanan untuk kita makan ya," ujar seorang Ibu petugas dapur ketika para relawan sudah duduk mengelilingi tampah yang berisi makanan.
"Bu, saya ada membawa rendang. Tapi kalau buat sebanyak ini mungkin tidak cukup," celetuk Ros, ketika Ibu petugas dapur melewati tampah mereka.
"Ah ya, simpan dulu. Nanti saya bicarakan dengan angku Ruslan. Tadi juga ada yang bilang kalau dia bawa rendang. Ternyata keluarga kalian sudah siap sedia ya," kekeh si Ibu.
"Ya mungkin mereka juga sudah punya gambaran kondisinya, Bu." Ros melanjutkan percakapannya.
"Kalian dari Bukittinggi ya?"
"Iya, Bu."
"Bagaimana kondisi di Bukittinggi? Kalau di sini dari kemarin sudah tidak ada akses ke arah Padang. Ini kalian juga baru bisa melewati Indarung tadi pagi ya?" si Ibu tampak penasaran.
"Alhamdulillah kondisi Bukittinggi masih aman, Bu. Tapi memang penjagaan tiap pos perbatasan makin diperketat. Jambu Air penjagaannya berlapis." Ros menceritakan dengan lancar.
"Lalu, kalian dari Bukittinggi jam berapa? Dijalan aman?" kali ini Ibu petugas dapur mulai duduk dekat mereka.
"Kami setelah isya mulai jalan, rencana awal kami akan melewati Solok. Tapi pak Zain mendapat laporan kalau tentara kita sudah mengambil alih semua pos penjagaan, jadi kami langsung dibawa ke Lubuk Kilangan. Setelah shalat subuh kami baru berangkat kesini."
"Alhamdulillah ya, kalian sampai dengan selamat. Dua hari lalu ada truk berisi obat-obatan dan beberapa bahan pangan ditembak Belanda di jalan Salayo. Truknya terguling ke jurang. Makanya sekarang kita hanya menyediakan sisa-sisa simpanan bahan pokok saja." Raut muka Ibu petugas dapur berubah sendu.
"Tidak masalah Bu, ada segini juga Alhamdulillah," hibur Ros sambil mengelus lengan si Ibu.
"Ah ya, kalian sudah lapar malah saya ajak ngobrol." si Ibu bangkit dari duduknya.
"Haha tidak apa-apa Bu, terima kasih sudah menyediakan makanan ini."
"Ya ... Habiskan ya, jangan ada sisa." Senyum si Ibu mengembang lalu meninggalkan tampah tempat Ros dan Ida duduk.
"Oh iya, kita belum kenalan ya. Aku Ros, kalian? " Ros mengedarkan pandangannya kepada empat orang gadis lainnya yang duduk di depan tampah yang sama dengan mereka.
"Aku Zubaedar," sapa gadis berkulit putih yang duduk di samping Ros.
"Aku Siti." gadis yang disamping Zubaedar menyalami para gadis yang lain.
"Maryam." sapa gadis berikutnya dengan senyum mengembang.
"Laila." gadis disamping Maryam ikut menyalami yang lain.
"Ida," sapa Ida pada yang lain.
"Nah, ayolah kita makan. Sudah ribut ini kampung tengah, sudah protes dia," kelakar Maryam.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka pun menyantap hidangan yang disediakan di tampah.
Selesai makan, mereka membantu para petugas dapur untuk berbenah.
"Kalau bisa tenda juga kita copot sekalian, jangan ada terlihat tanda-tanda kegiatan apa-apa di surau ini. Kondisi kita belum aman." angku Ruslan memerintahkan.
Mereka bergegas melakukan apa yang diperintahkan angku Ruslan. Petugas PMI dan Tentara saat itu hanya tinggal lima belas orang, enam orang petugas PMI, lima orang Tentara, sisanya petugas dapur. Sementara sebagian dari Tentara dan petugas PMI sudah berangkat ke kota Padang. Ketika peralatan masak terakhir mereka rapikan, terdengar dengungan pesawat mendekat.
"Lari masuk surau, jangan ada yang terlihat dihalaman," teriak angku Ruslan.
Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya, mereka yang sedang merapikan peralatan berlari sekuat tenaga ke dalam surau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Uswatun Khasanah
teganggang merinding bgttttttt. terharu yg ikut relawan Masya Allah Subhanallah kerennn bgt cerita y.
2021-01-04
0
Andi Fitri
ceritanya bagus thor terasa ikut mengalami apa yg di rasakan para pejuang2 kita dulu.😢
2020-12-18
0
NH
cerita cerita bagus seperti ini kenapa likenya selalu dikit ya, giliran yg CEO CEO an bisa ampek puluhan ribu like nya pdhal ceritanya juga standart bgt 😢
2020-10-19
2