NovelToon NovelToon

MENAPAK SENJA

Part 1

Ida menatap pintu depan stasiun, menimbang-nimbang kembali niatnya untuk bergabung menjadi relawan Palang Merah Indonesia.

Stasiun Bukittinggi hari ini lebih ramai dari biasanya, bahkan lebih ramai lagi dari hari Pakan[1]. Ida melangkah hati-hati menyeberangi rel. Tampak sebuah sepur yang mengepulkan asap di ujung stasiun dan beberapa gerbong terparkir di seberang bangunan stasiun.

Gadis berkulit kuning langsat itu mengedarkan pandangannya, dia melihat beberapa keluarga yang memeluk anak gadis yang usianya mungkin masih sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun. Sebagian mereka tampak terisak memeluk anak perempuannya.

Ida berusaha menembus keramaian di pintu depan stasiun. Mendekati meja dengan antrian panjang. Dia mencolek perempuan yang terakhir berada di antrian,

"Uni, ini antrian untuk relawan PMI kah?" tanyanya.

"Iya,mau ikut jadi relawan juga?" tanya perempuan itu sambil tersenyum ramah.

"Iya uni," jawabnya singkat.

"Saya Maisaroh, panggil saja Mai," lanjut perempuan tersebut sambil mengulurkan tangannya.

"Oh iya, saya Rosidah, panggil Ida saja," balas Ida agak sedikit canggung dan menyambut tangan Mai untuk menyalaminya.

"Kita saling panggil nama saja. Tampaknya kita seumuran," berondong Mai.

"Hehe iya sepertinya begitu." Ida tersenyum kikuk.

Ida bukanlah tipe perempuan yang gampang bertegur sapa dengan orang lain. Sering kali dia dicap sombong karena lebih memilih banyak diam daripada menegur orang lain terlebih dahulu, kecuali kalau keadaannya terdesak seperti saat ini. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu berusaha mengalahkan segala keengganannya bertemu orang baru demi meninggalkan rumahnya yang dianggapnya seperti neraka dunia.

Ida anak pertama dari dua bersaudara, adiknya perempuan bernama Rostini. Tini, panggilannya, lebih muda dari Ida tiga tahun. Perawakan keduanya yang berbeda, membuat perlakuan orang sekitar terhadap mereka juga berbeda. Ida, berperawakan pendek dengan tubuh sintal, rambut keriting dengan kulit kuning langsat. Sementara Tini, mempunyai postur tubuh tinggi dengan badan yang langsing, rambut ikal, dengan kulit putih bersih bak pualam.

Ida tahu, perbedaan perlakuan terhadap mereka berdua tak hanya karena fisik mereka saja, tapi sifat Tini yang lebih penurut dan manipulatif mampu menyihir siapa saja yang berhadapan dengannya. Sifat gadis minang yang mampu bertutur kata sesuai tata krama ereang jo gendeang [2] membuat dia bisa diterima oleh siapa saja.

Sementara Ida, wataknya keras dan agak pemberontak, bukan perempuan yang mampu bertutur kata manis jika suasana hatinya sedang tidak baik. Tidak semua orang mampu memahami karakternya yang keras itu, mereka lebih menganggap Ida anak gadis yang sulit diatur. Karena pada jaman itu, perempuan tidak begitu diberi ruang untuk mengeluarkan pendapatnya.

Ida memilih meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat bernaungnya, ketika neneknya berusaha menjodohkannya dengan anak laki-laki dari saudagar di kampungnya.

"Da, minggu depan mak tuo Halimah mau kesini. Kau masak agak banyak, besok kau ikut tek Eli ke pakan membeli bumbu-bumbu masakan ya," ujar amai, neneknya suatu sore.

"Ada keperluan apa mak tuo kesini, Mai?" tanya Ida, agak bingung karena istri saudagar itu tiba-tiba bertamu kerumah mereka.

"Mak tuo hendak marosok[3], mau meminang kau Da, untuk anaknya si Burhan," terang amai.

Seketika wajah Ida pias.

"Tapi Mai, Amai kan tau si Burhan itu suka main perempuan. Tiap hari kerjanya menyabung ayam. Kenapa Amai tega sekali menjodohkan aku dengan Burhan." Suara Ida mulai meninggi.

Ida mendengar anak laki-laki saudagar tersebut terkenal suka main perempuan, berjudi dan kasar. Dia tidak mau menghabiskan masa hidupnya dengan laki-laki seperti itu.

"Nanti kalau sudah menikah akan berubah sendiri Da. Laki-laki kalau sudah diberi tanggung jawab juga akan mengerti tugasnya," bela amai.

"Mai, Ida lebih baik Amai jodohkan dengan laki-laki biasa, bukan anak orang kaya tapi mengerti agama, Mai," ucap Ida pelan.

Ida mengerti betul kalau amai tidak mau dibantah. Amai pernah mengikatnya ketiang rumah seharian hanya karena agak telat membawa bebek pulang dari sawah dan ketika ditanya oleh amai, jawaban Ida dianggap mengapa-ada.

"Da, dalam situasi seperti ini, kau butuh laki-laki yang mempunyai kedudukan, biar nanti hidup kau tidak sengsara," nasehat amai.

Ida memilih mengakhiri perdebatan, daripada berakhir dengan hukuman yang biasa amai berikan padanya. Namun, Ida masih belum bisa menerima keputusan amai untuk menikahkannya dengan anak keluarga Sutan Rajo Mudo, keluarganya Burhan.

Saat Ida sudah mulai berputus asa, bingung memikirkan bagaimana caranya untuk menolak perjodohan itu, tiba-tiba seolah menjawab kegundahan hatinya, sore itu kentongan di surau belakang rumahnya dipukul berkali-kali menandakan akan ada pengumuman penting.

Angku surau mengabarkan bahwa Belanda meluluh lantakkan Indarung dan sekitar kota Padang, sehingga Palang Merah Indonesia membutuhkan banyak relawan untuk membantu mereka merawat dan mengurus para korban bom tersebut. Seperti mendapatkan secercah harapan, Ida menyimak baik-baik isi pengumuman sore itu.

Hanya berbekal tekad, dan beberapa helai pakaian di tas yang ia sampirkan pada bahunya, disinilah Ida sekarang, menatap kerumunan orang yang mengantri untuk menjadi relawan. Tak ada kata mundur lagi, tekad Ida dalam hati.

"Lebih baik aku mati dihabisi peluru Belanda, daripada aku harus tersiksa hidup sama laki-laki itu," tegasnya dalam hati.

Ketika melihat sekelilingnya, Ida menyadari bahwa hanya dia satu-satunya calon relawan yang datang sendirian. Para calon relawan yang lain datang bersama keluarganya.

Selesai proses pendaftaran, mereka diajak berkumpul di lapangan belakang stasiun. Para keluarga yang mengantar tidak diperbolehkan untuk ikut ke tempat mereka berkumpul. Sebagian dari beberapa keluarga melepas anak gadisnya dengan isak tangis. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka setelah ini, apakah masih bisa melihat keluarga mereka kembali atau ini adalah kali terakhir mereka bertatap muka.

"Malam ini sebagian dari kita akan berangkat ke Indarung naik bus sampai Solok, dari sana kita menyusuri jalan lewat perkampungan, karena situasi tidak memungkinkan untuk meneruskan perjalanan menggunakan kendaraan. Masih berbahaya. Belanda telah melumpuhkan beberapa titik pertahan kita. Jadi kalian tidak perlu membawa barang banyak-banyak, bawa secukupnya saja," terang koordinator relawan PMI ketika para relawan sudah berkumpul di lapangan.

Terdengar riuh gumaman para relawan. Banyak di antara mereka diberikan perbekalan oleh keluarga mereka. Tak sedikit diantara para relawan itu dibekali rendang dalam kaleng oleh keluarga mereka.

"Biar masih bisa mengisi perut ketika sibuk mengurus para korban," kata keluarga mereka.

"Kalian tidak perlu membuang perbekalan kalian, karena memang nanti kita tidak tahu bagaimana kondisi ransum di pos-pos yang akan kita singgahi. Tapi untuk pakaian, kalian tidak perlu membawa sampai satu tas besar, kita bukan pergi piknik," lanjut sang koordinator seolah memahami kegelisahan para relawan yang membawa perbekalan makanan.

Tak seperti relawan lain, Ida yang datang seorang diri tanpa diantar keluarga, tanpa pelepasan dengan derai air mata dan tanpa perbekalan apa-apa. Ia hanya membawa tas dari karung goni yang dijahit sendiri, berisi dua helai baju yang dia sendiri tidak ingat kapan baju itu dijahitkan untuknya. Entah keluarganya merasa kehilangan atas kepergiannya atau tidak memberi pengaruh apa-apa bagi mereka, Ida tak begitu peduli. Entah nanti dia masih bisa bertemu keluarganya atau tidak, dia juga tidak terlalu memikirkan.

"Ida, ayo kita naik bis." Suara Mai membuyarkan lamunan Ida.

"Eh, sudah mau berangkat?" balasnya gugup.

"Baru disuruh naik ke bis, kau melamun saja dari tadi. Apa yang kau pikirkan?" selidik Mai

"Ah tidak, hanya masih belum bisa membayangkan kondisi kita nanti di Solok," elaknya.

"Kita berdoa saja, kita tidak tahu apakah setelah ini masih bisa kembali ke kota ini atau tidak." Mai seolah benar-benar memperlihatkan kesiapannya untuk menghadapi apa saja yang akan mereka hadapi nanti di depan.

"Tak perlu takut Da, kalau memang sudah ajal, walaupun kita tidak ikut ke Solok pun tetap akan mati juga," celoteh Mai.

"Iya, aku tak takut Mai. Dengan mendaftar jadi relawan ini, aku juga sudah siap dengan segala resikonya," balas Ida tersenyum tipis.

"Nah, ayo kita masuk ke bis biar nanti masih ada bangku yang kosong buat kita berdua," ajak Mai menggandeng tangan Ida.

______________________________________________

Catatan :

[1] Pakan \= Pasar yang hanya diadakan sekali seminggu di suatu daerah

[2] ereang jo gendeang \= tata krama dalam bertutur kata di Minang Kabau

[3] marosok \= tradisi penjajakan yang dilakukan oleh keluarga calon pengantin.

Part 2

Begitu mereka memasuki bis, sebagian besar bangku bis keluaran Chevrolet seri AK yang akan membawa mereka, sudah terisi oleh para relawan. Ida dan Mai mengedarkan pandangan mencari bangku kosong yang masih muat untuk dua orang. Hanya ada bangku yang berada di bagian belakang yang masih belum terisi. Mereka langsung menempati bangku yang kosong itu.

Mai meletakkan tas yang dibawanya ke atas rak yang terdapat pada bagian atas tempat duduk. Selesai meletakkan barang bawaannya, gadis berkulit sawo matang itu mempersilahkan Ida untuk duduk di bangku pinggir jendela.

"Kau tidak bawa apa-apa?" tanya Mai ketika melihat Ida hanya membawa tas yang disampirkan di bahunya.

"Tidak, aku hanya membawa dua helai baju saja," jawab Ida singkat.

"Apa kau tidak diantar keluargamu? Aku tadi tidak melihat yang mengantar," lanjut Mai.

"Aku datang sendiri karena sudah tidak punya keluarga," jawab Ida sekenanya.

Ia berharap dengan menjawab seperti itu, Mai akan berhenti menghujaninya dengan pertanyaan lainnya. Dia ingin mengistirahatkan matanya sejenak, karena sudah dua hari ini tidak bisa tidur dengan baik.

Dua hari dia bolak balik berpikir bagaimana caranya untuk bisa pergi dari rumah tanpa dicurigai oleh amai. Kesempatannya datang ketika amai menyuruhnya ikut dengan tek Eli, tetangganya ke pakan di Padang Luar.

Dari kampungnya yang berada di kaki gunung Marapi, mereka menaiki bendi pak angah, panggilan mereka pada pak Rahmad yang menyewakan bendinya sekali seminggu untuk warga kampung Kubang Putih bisa pergi ke pakan yang diadakan sekali seminggu di Padang Luar.

Sesampainya di pakan, mereka berpisah untuk mencari keperluan masing-masing. Jika biasa Ida kembali ke tempat pak angah memarkir bendinya setelah berbelanja keperluannya, tidak dengan hari itu. Ida pergi meninggalkan pakan, menyusuri jalan ke arah Bukittinggi tempat diadakannya pendaftaran untuk calon relawan PMI.

Tanpa membuang banyak waktu, Ida menepi ke bagian belakang pakan, mengganti baju kebaya encim yang dipakainya dengan baju model kemeja dari bahan blacu dan rok lipit sepanjang bawah lutut. Menggulung rambut yang sebelumnya dikepang dua. Kain yang tadi dipakainya untuk bawahan kebaya encim, disampirkannya ke bahu menutupi kepala, agar tidak ada yang menyadari wajahnya.

"Assalamualaikum adik-adik para relawan, mohon perhatiannya sebentar." Suara Pak Zain, koordinator PMI membuyarkan lamunan Ida. Pria dengan postur tubuh tinggi tegap dengan wajah tegas itu mengedarkan pandangannya ke semua relawan yang telah berkumpul.

"Sebentar lagi kita akan berangkat bersama rombongan TNI yang membawa obat-obatan. Dikawal oleh Resimen III Harimau Kuranji. Tadi pihak posko Alahan Panjang melaporkan bahwa Belanda sudah berhasil dipukul mundur dari Indarung. Itu artinya kita bisa langsung mengurus para korban yang ada di Indarung."

"Lalu kita tidak jadi berhenti di Solok pak?" tanya salah seorang relawan, seorang pria bertubuh sedang, berkulit gelap.

"Kemungkinan tidak, karena Resimen III Harimau Kuranji dan para tentara pelajar sudah berhasil mengambil alih semua posko yang menuju ke Indarung. Sekarang kalian persiapkan fisik, karena kalian nanti akan bekerja keras, tidak hanya mengurus korban yang luka, tetapi yang sudah meninggal juga. Ada lagi yang mau ditanyakan?" Pak Zain mengedarkan pandangannya ke seluruh isi bis.

"Tidak pak, " sahut para relawan secara serempak.

"Baik, sebelum memulai perjalanan, mari kita berdoa bersama. Semoga perjalanan kita tidak ada hambatan." Pak Zain langsung memimpin doa dengan menundukkan wajah, yang diikuti oleh para relawan.

"Alhamdulillah, mari pak kita jalan," seru pak Zain pada lelaki yang berada di belakang kemudi. Lelaki gempal berusia sekitar 30 tahunan yang diperkenalkan sebagai salah seorang tentara pelajar, Ahmad.

"Siap pak," balas Ahmad lalu menyalahkan mesin bis keluaran tahun 1942 tersebut.

Bis melaju pelan meninggalkan kota Bukittinggi yang mulai disekap oleh udara dingin. Angin yang berhembus di sela-sela jendela bus membuat rasa dingin makin terasa menusuk di kulit.

Ida merapatkan bajunya, kain blacu yang dipakai untuk bahan bajunya itu tidak dapat menahan hawa dingin yang masuk di sela-sela jendela bis yang tidak tertutup rapat. Ida mendekapkan kedua tangannya di dada untuk sekedar menghangatkan tubuhnya, menarik kain yang dipakainya tadi untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Ini, pakailah selendangku. Biar tak terlalu dingin," ujar Mai sambil menyerahkan sebuah selendang merah yang berbahan tebal.

"Tidak usah Mai, tidak apa-apa aku pakai kain ini saja, sudah cukup," tolak Ida

"Pakailah, aku masih punya satu lagi. Jangan sampai nanti kau masuk angin ketika sampai ditujuan kita," paksa Mai.

Akhirnya Ida menerima selendang yang diberikan Mai, menutup kepala dan melilitkannya di sekitar leher dan bahunya. Sementara Mai sudah mengenakan jaket wol coklat dan selendang yang menutup kepala serta melilit lehernya.

"Mai, aku mau tidur sebentar ya," ijin Ida pada Mai, karena dia melihat gelagat teman barunya itu tidak akan berhenti bertanya sepanjang perjalanan. Bukannya Ida tidak berniat untuk menjalin pertemanan, hanya saja, kali ini dia benar-benar ingin menenangkan hatinya untuk sesaat.

"Iya, kau tidur lah. Aku juga mau istirahat," balas Mai diluar dugaan Ida.

Suasana bis pun mulai senyap, hanya suara mesin bus dan beberapa truk TNI yang melaju di depan dan belakang bis yang mereka tumpangi, terdengar menderu di tengah dingin dan kelamnya kota Bukittinggi kala itu. Sebagian para relawan pun sudah mulai terlena dalam istirahatnya. Tak membutuhkan waktu lama, Ida pun ikut terlelap.

Tak lama berselang, Ida terjaga dari tidurnya. Dia terkejut mendengar suara air yang deras menghempas. Menatap keluar jendela, tampak hamparan danau Singkarak yang begitu kelam samar-samar di tengah kegelapan malam. Riak airnya diterpa angin malam sekolah-olah menggambarkan suasana hati Ida saat itu.

Ini kali pertamanya pergi jauh dari rumah menuju tempat yang dia sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti di tempat baru. Ida menoleh ke arah Mai, gadis itu tampak tertidur pulas, kepalanya ikut terayun-ayun ketika bis berkelok. Separuh mukanya ditutup selendang, dan tangannya dilipatkan ke dadanya.

Perjalanan terasa begitu lambat bagi Ida. Suara deru mesin bis dan truk membelah malam bersanding dengan suara deru ombak dari danau membuat suasana malam yang begitu pekat terasa makin mencekam. Ida berusaha memejamkan matanya kembali. Perjalanan masih jauh, ia tidak ingin rasa lelahnya di perjalanan menghambat tugasnya nanti ketika sampai di tujuan.

"Da, Ida ... bangun, kita shalat subuh dulu."

Ida merasakan tepukan pelan Mai di pundaknya ketika ia mendengar suara gadis itu membangunkannya.

"Ah ... ya ...." Ida mengucek matanya dan melihat keluar jendela.

Ketika turun dari bis, tampak sebuah surau dengan atap yang bertingkat tiga di hadapannya. Bangunan seperti rumah panggung yang dijadikan surau itu mempunyai atap paling atasnya mirip dengan rumah tradisional Minang dengan gonjongnya. Bangunan seluas 154m yang dibangun dengan menggunakan kayu surian itu tampak berdiri kokoh dan angkuh dalam bayangan suasana subuh yang dingin.

"Ayo ... yang lain sudah mulai shalat Da, jangan sampai kita telat." Mai menarik tangan Ida.

Ida mengikuti Mai yang berjalan agak tergesa.

Membasuh mukanya dengan air wudhu, Ida merasakan dinginnya air membuat kantuknya sirna. Dia dan Mai berjalan setengah berlari ke dalam surau karena mendengar suara Imam sudah mulai melantunkan Surat Al-fatiha.

"Ini Da, kau pakai saja sarung ini untuk shalat." Mai menyerahkan sepotong sarung ke Ida, seolah membaca kebingungan Ida karena tidak membawa perlengkapan shalatnya.

"Ah, terima kasih Mai," ucapnya sambil menerima sarung yang disodorkan Mai.

Ida memasang sarung dan melilitkan kain panjang batik dengan motif bunga pinang miliknya ke kepala dan bahu hingga menutupi dadanya, lalu memulai shalatnya.

Part 3

Selesai shalat berjamaah, angku Patiah, seorang pria berperawakan sedang, wajah teduh dan berkulit putih yang tadi menjadi imam shalat, menyambut para rombongan relawan dan TNI.

"Assalamualaikum. Selamat datang di surau kami, para pejuang. Alhamdulillah kita masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai umat muslim. Insya Allah nanti surau ini akan dijadikan tempat istirahat sementara buat para petugas PMI. Bagian belakang surau juga sementara waktu difungsikan sebagai dapur umum," terang beliau.

"Kita nanti ditempat kan di sini ya, Mai," bisik Ida yang agak bingung dengan tempat tinggal mereka.

"Tadi pak Zain bilang begitu ketika kita berhenti Da," balas Mai juga dengan berbisik

Selesai angku Patiah memberi sambutan kepada rombongan, pak Zain menggantikan tempat beliau.

"Selamat pagi semua, alhamdulillah kita sudah sampai dengan selamat di posko pertama kita. Setelah ini kita bisa sarapan dulu sebelum berangkat ke Indarung dan Banda Buek. Kami menerima laporan ada penyerangan secara membabi buta oleh Belanda di pakan Banda Buek. Jadi Petugas PMI kita bagi dua, separuh akan berangkat ke Banda Buek, separuhnya akan ke Indarung. Kita akan membantu tentara yang saat ini sudah berada di sana untuk mengangkat jenazah korban."

Terdengar riuh lirih bisik-bisik dari para relawan.

"Sekarang ayo kita ke belakang, sarapan sudah disiapkan di dapur. Nanti setelah sarapan kita akan umumkan siapa saja yang ikut ke Banda Buek, siapa yang ikut ke Indarung," lanjut pak Zain.

Tanpa banyak komando, para relawan berjalan teratur keluar dari surau. Menuruni tangga, satu persatu berjalan di pinggiran kolam yang berada tepat di halaman depan surau menuju bagian belakang.

Air kolam yang jernih memperlihatkan ikan-ikan yang bermain hilir mudik di antara batu alam yang ada di dasar kolam. Beberapa diantaranya menyelinap di balik ganggang hijau yang berayun mengikuti aliran air yang beriak.

Udara pagi yang segar dan dingin, penuh dengan aroma oksigen segar. Kabut masih menyelimuti bagian atap surau. Matahari mulai mengintip perlahan dari balik dahan-dahan pohon dan memantulkan tetesan embun yang melekat indah pada daun.

Begitu damai, fikir Ida. Sudah lama sekali ia tidak merasa sedamai ini. Selama ini ia berfikir tidak akan pernah merasakan rasa damai seperti pagi itu di surau tepian Lubuak Kilangan.

Sesampai di dapur umum yang dibuat secara darurat oleh masyarakat dan TNI, dengan menggunakan tenda berukuran 60x60, mereka disambut suara riuh rendah tukang masak dan alat masak yang berkelontangan memenuhi tenda yang dijadikan dapur itu. Menandakan betapa sibuknya petugas dapur umum pagi itu. Aroma masakan yang sarat akan bumbu menguar seolah mengejek indera penciuman para relawan.

Tanpa sadar perut Ida yang sedari kemarin siang belum diisi, berteriak. Untung saja suasana yang riuh di dapur menutupi bunyi perutnya yang protes minta diisi.

"Ayo... Ayo masuk, silahkan ambil piring di ujung sana dan mengantri untuk mengambil makanan," sapa salah seorang petugas dapur umum ketika para relawan tiba di depan tenda dapur.

"Iya buk, terima kasih," jawab beberapa relawan yang telah terlebih dahulu berada di depan.

"Panggil saja saya Tek Dian. Anak-anak disini memanggil saya seperti itu, biar kita lebih akrab," lanjut Ibu petugas dapur itu mengenalkan dirinya.

Perawakan tek Dian yang berwajah bulat dengan lesung pipi di kedua belah pipinya serta mata yang tampak bercahaya membuat para relawan merasa lebih diterima di sana.

"Nah ayo sana makan, tidak perlu sungkan. Selagi masih ada makanan yang bisa kita makan jangan disia-siakan," lanjut beliau sambil menepuk ramah bahu Ida.

"Iya tek, terima kasih." Ida tersenyum ramah pada tek Dian.

Ida dan Mai berjalan beriringan ke bagian ujung tenda. Ida memgambil piring enamel yang disusun rapi di ujung meja yang diletakkan pada bagian pojok tenda. Ikut mengantri ke tempat makanan dibagikan. Sarapan pagi itu nasi dengan lauk ikan bilih dan sayur bayam. Menu yang sudah tergolong mewah untuk kondisi saat itu.

Selesai sarapan, mereka diarahkan ke lapangan yang bersebelahan dengan tenda dapur. Setelah semua berkumpul, suara pak Zain terdengar membelah riuhnya suara relawan yang bercengkrama.

"Perhatian semua. ... "

Mendadak suara para relawan yang ramai bercengkrama berhenti.

"Pagi ini seperti rencana dan sudah saya sampaikan sebelumnya, kita akan berangkat ke Banda Buek dan Indarung. Saya berharap kalian kuat menghadapi apa yang akan kalian temui nanti di lapangan. Untuk yang di Banda Buek, kalian siapkan penutup hidung, karena tubuh korban sudah ada yang mulai terurai. Kalian nanti ikut membantu membersihkan pasar dari jenazah. Untuk sementara kalian juga akan menetap di posko Banda Buek dan Indarung setelah tugas yang di sana selesai. Kita tidak akan kembali lagi kesini" terang pak Zain.

Terdengar bisik-bisik lirih dari barisan relawan. Tanpa membuang waktu, Pak Zain mengumumkan nama-nama relawan yang akan pergi ke Banda Buek dan Indarung.

Ida ditugaskan ke Banda Buek, sementara Mai ikut ke Indarung. Barisan relawan pun terbagi dua.

"Sampai ketemu lagi, Da." Mai menyalami Ida.

"Iya, ini selendang kau Mai, terima kasih ya." Ida menyerahkan selendang merah milik Mai.

"Kau simpan saja Da, kau masih butuh," tolak Mai

"Tapi...."

"Sudah kau simpan saja." Mai tersenyum kepada Ida, menyerahkan kembali selendang yang dikembalikan Ida ke tangannya.

"Terima kasih Mai. ... Semoga nanti kita masih bisa ketemu lagi." Kali ini Ida menyalami Mai.

Ada perasaan sedih ketika ia harus berpisah dengan teman barunya itu. Sikap Mai membuatnya merasa diterima, membuat dia merasa dekat dengan perempuan yang baru ia kenal kemarin sore itu.

Tanpa menunggu lama, rombongan relawan bergerak ke tujuan yang sudah ditentukan.

Pagi itu dua truk rombongan TNI bergerak meninggalkan surau di pinggiran Lubuak Kilangan, menyusuri jalan Salayo yang masih tertutup kabut.

Tidak ada suara lain yang terdengar, hanya suara deruman truk yang membelah jalan memenuhi telinga. Mata Ida menatap jalan yang mereka tinggalkan. Jalan berkelok-kelok dan menurun, serta kiri dan kanannya ditumbuhi pohon andalas membuat netra Ida tak bisa beralih dari pemandangan itu. Sinar matahari yang menyusup masuk di antara kabut dan daun-daun pohon membuat pagi itu tampak seperti sebuah lukisan. Mata Ida mulai mengantuk, tapi pemandangan Sitinjau Lauik yang eksotis membuatnya berusaha menahan mata yang mulai memberat. Baru kali ini Ida melihat pemandangan yang begitu menakjubkan.

Kabut yang menutupi bagian bawah jurang Sitinjau Lauik membuat mereka seperti berjalan di atas awan.

Namun tidak lama, mata Ida sudah tak mampu diajak bekerja sama lagi, kepalanya yang sudah terasa berat disandarkan ke bagian dinding truk.

"Uni... Uni... Bangun, kita sudah sampai." Ida terkejut, ketika mendengar suara perempuan yang membangunkannya.

Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Ida menatap keluar. Truk sudah berhenti, penumpangnya sudah turun. Hanya tersisa ia dan gadis yang baru saja membangunkannya disana.

Gadis yang baru saja membangunkannya berwajah manis berbentuk hati, bermata jernih. Gadis itu turun dari truk. Pakaian yang ia kenakan kemeja katun tebal, serta celana panjang khaki membuat ia lebih leluasa meloncat turun dari bak truk.

"Yang lain sudah turun? Tinggal kita berdua?" Ida melihat truk yang sudah kosong. Terbersit rasa malu, bisa-bisanya dia tertidur sementara yang lain sudah turun.

"Iya uni, ayo ... Eh iya, aku Ros ... Uni siapa?" tanya gadis itu menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Ida ketika Ida sudah turun dari truk.

"Ida ... Sudah dari tadi ya kita sampai?" sambut Ida menyalami gadis yang bernama Ros itu.

"Iya, ayolah kita mulai bekerja" ajak Ros menuntun tangan Ida turun dari truk.

Ketika mereka turun, tiba-tiba angin bertiup kencang. Bau anyir darah dan bau busuk bangkai seketika memenuhi indera penciuman Ida. Ada gelenyar halus dari perutnya ketika bau itu menelusup masuk melalui indera penciumannya.

Ida terpana menatap pemandangan yang terpampang di depan matanya. Darah dan tubuh yang sudah tidak bernyawa berserakan, bahkan banyak diantara tubuh itu sudah tidak utuh lagi. Seketika perut Ida seperti diaduk, tapi dia berusaha agar makanan yang dimakannya ketika sarapan tadi tidak keluar.

Ida mengeluarkan selendang pemberian Mai dari tasnya, mengikatkannya di hidung dan mulut. Setidaknya bisa meredam bau anyir dari darah dan bau mayat yang mulai mengurai. Tak lama berselang, beberapa petugas berpakaian militer membagikan sarung tangan kepada relawan, mengintruksikan apa yang harus mereka lakukan.

Tanpa menunggu lama, Ida dan para relawan lainnya mengumpulkan tubuh-tubuh korban. Penyerangan yang dilakukan oleh Belanda itu memakan banyak korban anak-anak, perempuan, dan para orangtua. Karena penyerangan itu terjadi pada hari pakan di Banda Buek kala itu. Ida tertegun ketika hendak menarik salah satu tubuh korban yang berada di parit. Seorang perempuan tengah hamil, tubuh bayinya menjejak jelas pada perutnya dikarenakan bagian perut perempuan itu robek yang kemungkinan membuat kantong ketubannya bocor.

Seketika mata Ida mengabur, ia berusaha menarik tubuh perempuan itu keluar dari parit. Tapi tubuh itu bergeming.

"Sini aku bantu." Suara bariton yang tiba-tiba muncul di sampingnya membuat Ida terlonjak kaget.

"Kenapa kaget?" tegur suara itu kembali

"Ah tidak, aku tadi tidak melihat ada orang di dekatku, tiba-tiba Tuan muncul, membuatku kaget," terang Ida.

"Ah ... Hahaha ... Kau saja tidak memperhatikan sekelilingmu, dari tadi aku tak jauh dari tempatnu berdiri."

"Ah ya ... Seperti nya begitu," balas Ida, tak mau memperpanjang pembicaraan lagi.

"Oh iya, aku Rasyid" pria yang memakai seragam TNI itu mengulurkan tangannya hendak menyalami Ida.

"Oh, aku Ida," balas Ida tanpa menyambut uluran tangan Rasyid.

"Ah, perempuan hamil lagi." Rasyid mengalihkan pembicaraannya sambil menarik jenazah yang terbujur di dalam parit untuk menghilangkan kecanggungannya.

"Iya," balas Ida singkat.

Ketika Ida mengedarkan pandangannya, tampak beberapa petugas Palang Merah memapah beberapa korban yang masih hidup.

"Masih ada yang hidup ya?" tanya Ida pada Rasyid yang berusaha menarik beberapa jenazah yang terdapat pada dasar parit.

"Ya, yang masih hidup rata-rata mereka yang tertimpa tubuh korban yang lain, tapi mereka juga terluka cukup parah."

"Memangnya kapan Belanda menyerang pasar ini?"

"Sekitar jam tiga sore. Tiba-tiba saja pesawat Belanda memberondong orang-orang yang ada di pasar, tanpa ada peringatan."

"Kalau korban yang di Indarung banyak yang meninggal juga?" tanya Ida penasaran.

"Iya, banyak. Karena Belanda menggunakan Bom, banyak bangunan yang hancur."

Ida hanya menanggapi dengan anggukan. Ia melanjutkan menaikkan, tubuh-tubuh korban ke atas pedati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!