Ida beserta petugas PMI lainnya meringkuk di pojokan surau. Tak berapa lama, tiba-tiba di atas atap surau terdengar bunyi benda-benda berjatuhan yang memekakkan telinga. Pesawat itu memberondong atap surau dengan peluru. Ida meringkuk dengan kedua tangan menutupi telinga. Degup jantungnya seakan ikut menambah riuhnya suara desingan peluru yang berusaha meluluh lantakkan atap surau.
Waktu terasa begitu lambat, tiba-tiba bayangan wajah amai berkelebat dalam benak Ida. Andai saja umurnya memang sampai disini, entah ia akan bisa mati dengan tenang ataukah menyesali keputusannya meninggalkan rumah.
"Maafkan Ida Mai ... Maafkan Ida. ..." isak Ida disela-sela doanya.
Waktu terasa begitu lambat. Ida memeluk lututnya dan membenamkan kepala di antara lututnya. Masih dengan lafal doa dan ucapan permintaan maafnya pada amai.
Tak lama berselang, Ida merasakan tepukan di bahunya. Ia mendongak, terlihat wajah Maryam yang masih terlihat pucat di hadapannya.
"Mereka sudah pergi Da."
"Alhamdulillah...." Sedikit ada perasaan lega ketika ia melihat wajah Maryam.
Ia tidak pernah menyangka akan selamat mengingat bunyi perulu yang ditembakkan pesawat itu berasa hendak meruntuhkan atap surau. Ida menatap kebagian atap surau, tak ada satu pun peluru yang menembus atap surau. Berulang kali Ida mengucap syukur. Terasa seperti diberi kesempatan hidup kedua.
"Jangan ada yang keluar dulu, kita tunggu saja di sini," perintah angku Ruslan dengan suara rendah.
Mereka menunggu dalam diam. Waktu terasa berhenti. Bahkan udara yang mereka hirup pun terasa sesak. Bau mesiu yang ditembakkan memenuhi indera penciuman mereka. Para Tentara bersiaga dengan senjatanya, mengawasi kondisi di luar dengan mengintip dari celah dinding surau. Ida masih tak beringsut dari duduknya. Ia masih betah dalam posisi memeluk lutut, memberikan sedikit rasa nyaman baginya.
Lamat-lamat Ida mendengar suara isakan. Ida menoleh ke arah sumber suara, Zubaedar menangis sambil meringkuk di bagian pojok surau, di sampingnya Siti memeluk Zubaedar dengan isakan tertahan. Di sampingnya, Maryam duduk dengan wajah tegang. Pandangannya kosong.
Entah berapa lama mereka bertahan dalam kesunyian, berusaha menangkap setiap titik suara. Tak ada suara apapun yang terdengar selain suara degup jantung mereka yang saling bersahut-sahutan. Bahkan suara nafas mereka pun hampir tak terdengar dikalahkan suara jantung yang tak mampu memompa darah dengan benar.
"Jika ada yang mau shalat, kita gantian." Kali ini Pak Zain angkat suara dengan pelan, tapi mereka dapat mendengar dengan jelas.
"Kalau bisa tayamum saja, bahaya kalau ada yang keluar untuk berwudhu," lanjutnya.
"Da, ayo kita shalat," bisik Ros sambil menggamit tangan kanan Ida.
Ida terlonjak kaget, tak menyangka ada Ros di sampingnya.
"A ... Ah ya," sahut Ida sambil terbata.
Ia belum mampu menetralkan denyut jantungnya. Ada perasaan malas bersarang di hatinya ketika diajak shalat. Tapi Ida ingat, bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhirnya untuk shalat. Tanpa menunggu lama, Ida mulai bertayamum. Menyelesaikan shalatnya dan berdoa dengan khusuk. Memohon pada Tuhan agar dia masih diberi kesempatan untuk bisa bertemu lagi dengan keluarganya.
Suasana dalam surau makin mencekam seiring tenggelamnya matahari, cahayanya yang tadi masih bisa sedikit menerangi isi surau melalui celah-celah dinding surau, kini benar-benar telah menghilang.
Menunggu dalam ketidak pastian membuat ingatan Ida memutar kembali percakapan di hari-hari terakhirnya bersama amai.
Saat itu ia sedang membantu amai membersihkan ikan hasil tangkapan mak dang, kakak laki-laki Ibunya.
"Da, kau itu pintar-pintar sedikitlah bertutur kata manis, bukannya aku mau membanding-bandingkan kau dengan Tini, bukan. Tapi kau itu perempuan, biar orang lain bisa segan sedikitlah sama kau Da."
"Ida sudah berusaha Mai, tapi hati Ida seperti tidak mau terima," balas Ida, sambil terus menyisiki sisik ikan yang ada di hadapannya.
"Kau itu persis amak kau, Da. Susah amai dulu untuk mengajarkannya," amai menghela nafasnya sambil menghapus keringat yang mengaliri pelipisnya.
Ida memperhatikan amai yang berusaha membuat api di tungku agar membesar dengan menggunakan saluang, alat seperti pipa yang terbuat dari bambu, yang digunakan untuk meniup api agar membesar di tungku.
Amai seperti kepayahan meniup-niup api yang masih kecil di tungku itu dengan saluang yang ada di tangannya. Amai terbatuk-batuk ketika abu dari tungku berterbangan kearah indera penciumannya.
"Sini, Ida saja yang bantu Mai," tawar Ida sambil mengambil saluang dari tangan keriput amai.
"Aku tau jauh dalam hati kau itu anak baik Da, aku bisa merasakan. Memang selama ini aku keras padamu, tapi karena aku merasa dengan cara itu aku bisa menuntun kau untuk jadi gadis Minang yang baik."
Ida hanya diam mendengarkan amai mengeluarkan isi hatinya. Tidak pernah ia selama ini mengira amai akan berkata seperti itu. Selama ini ia berfikir, amai selalu keras padanya karena amai tidak menyukainya.
"Kenapa aku pada Tini jarang marah, mungkin itu yang ada di benak kau ya." Seolah membaca isi kepala Ida, amai bertanya pada Ida.
"Iya, Mai, " jawab Ida jujur.
"Tini itu, mendengar suara orang agak keras saja dia sudah ciut, makanya aku jarang berbicara keras sama dia, kalau kau kan suka ngelawan kalau dikasih tau ... Hehehe," kekeh amai kemudian.
Mau tidak mau, Ida ikut terkekeh bersama amai. Menertawakan segala ke salah pahaman yang ia rasakan terhadap amai selama ini.
Tapi beberapa hari kemudian penilaian Ida terhadap amai berubah lagi ketika amai menyampaikan bahwa mak tuo Halimah akan datang untuk penjajakan, untuk menikahkan anaknya dengan Ida. Ida tidak bisa memahami jalan pikiran amai untuk melepaskan cucunya pada laki-laki yang buruk adatnya. Apakah amai menganggap bahwa adatnya selama ini juga buruk, sehingga pantas baginya untuk mendapatkan suami seperti Burhan.
"Da ... Ida ... Hei Ida, bangun." Ida tersentak kaget ketika ada tangan yang menepuk-nepuk pipinya.
"Bisa kau tidur ya, aku semalaman tidak sanggup memejamkan mata," kekeh Maryam.
Ida tersipu, ia juga malu pada diri sendiri karena bisa-bisanya tertidur dengan kondisi seperti itu.
"Ah, sudah pagi ya?" Ida terlonjak kaget ketika melihat cahaya terang menyilaukan netranya.
"Iya, kau pingsan ya? Kita bangunkan dari tadi kau tak bergeming hahaha." Maryam kembali terkekeh.
"Dia sepertinya memang gampang sekali tertidur Iyam, kemarin saja di truk dia bisa tidur pulas," celetuk Ros juga ikut terkekeh.
"Nah ayo kita keluar, kata pak Zain sudah aman," ajak Maryam.
Ida menyipitkan matanya tatkala keluar dari surau. Matanya yang terbiasa dengan suasana gelap, mendadak terasa silau ketika melangkah keluar dari pintu surau. Hal pertama yang menarik perhatiannya, ketika keluar dari suatu adalah selongsong peluru yang berserakan di halaman surau.
"Alhamdulillah, mukjizat sekali yang kita terima kemarin itu. Tak ada satu pun peluru yang menembus atap surau." angku Ruslan berjongkok di depan tumpukan selongsong peluru itu.
Ida diam-diam kembali mengucapkan rasa syukurnya. Masih belum bisa otaknya mencerna bagaimana mungkin tak ada satu pun peluru yang mampu menembus atap surau tanpa campur tangan Allah.
"Kita harus segera berpindah dari tempat ini, sepertinya tempat ini sudah mulai diawasi." Suara pak Zain memecah gumaman para petugas PMI yang masih takzim dengan keajaiban yang mereka dapatkan kemarin.
Ida diam - diam memasukkan beberapa selongsong peluru ke dalam tasnya, lalu ikut berkumpul bersama Tentara dan petugas PMI yang sudah membuat barisan di depan pak Zain. Mendengarkan dengan seksama instruksi-instruksi dan arahan apa yang harus mereka lakukan untuk persiapan perpindahan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
asna
ikut deg deg gan
2020-09-11
0
Caramel Nicholia
udh baca sampai sini
mau aku follow :)))
aku bomb like yah
jangan lupa ikuti novel2ku
2020-08-06
1
akun nonaktifkan
5 like dulu ya😚
2020-07-22
1