Ann semakin gusar menunggu di dalam mobil bersama sopir yang terlihat sangat tenang. Dia berpikir keras mencari cara untuk bisa masuk kedalam rumah besar yang penuh dengan para penjaga itu. Mata Ann terus menatap gerbang rumah itu, dia berharap ada keajaiban yang membuat para penjaga tersebut pergi dari sana. Ann berharap agar didatangkan wabah sakit perut untuk semua penjaga yang ada disana, tapi sepertinya harapannya itu hanyalah mimpi semu saja untuknya.
"Hei, pak sopir, sepertinya kau juga tidak punya cara untuk masuk kedalam sana." Ann melirik pria yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Namaku Ben!" Pria itu berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Ya, ya namamu itu, terserahlah. Ben bisakah kau membantuku?" Ann mengangguk.
"Membantu apa lagi? Aku sedang membantumu sekarang."
"Membantu apanya, kau bahkan hanya duduk diam memandangi ponselmu."
"Diamlah."
"Aku tidak bisa diam, aku sedang cemas sekarang."
"Tak perlu cemas." Ben.berucap santai.
"Aku akan masuk kedalam sana." Ann menatap para penjaga.
"Kau berani?" Ben membuka kacamatanya menatap Ann.
Ann terperangah saat melihat mata pria itu, dua bola mata yang berbeda warna. Satu berwarna biru dan satunya berwarna hazel, dia tidak pernah menemui seorang sopir memiliki warna mata seperti itu. Wajahnya juga sangat tampan, Ann baru menyadarinya setelah pria itu membuka kacamatanya.
"Kau tampan." Ann segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya, tadi dia tak sadar telah mengatakan hal memalukan itu.
"Aku memang tampan." Ben menyeringai bangga.
"Aku hanya keceplosan." Ann mengembalikan kesadarannya sepenuhnya, dia mencoba bersikap normal kembali.
Ben kembali memasang kacamata hitamnya, dia kembali mengutak atik ponselnya. Entah apa yang dilakukannya namun wajahnya terlihat tersenyum puas. Ben kembali menatap Ann disampingnya yang terlihat sangat tidak tenang.
"Aku harus segera masuk kerumah itu sekarang juga." Ann bersiap membuka pintu mobil.
"Tunggu." Ben meraih lengan Ann.
"Lepaskan aku, aku akan masuk kesana." Ann melepaskan tangan Ben dari lengannya.
"Ku bilang tunggu!"
"Kenapa?"
"Apa kau mau bunuh diri?"
"Hei, siapa bilang, aku cuma ingin masuk kesana." Ann menunjuk rumah besar itu.
"Apa kau mau tahu siapa yang ada didalam rumah itu?" Ben berbisik mengerikan.
"Siapa?" Ann kembali duduk dengan baik di kursinya.
"Seseorang yang kejam." Ben berbisik lirih di telinga Ann membuat wanita itu bergidik ngeri.
"Sekejam apa?"
"Dia bisa membuat nyawamu terbang ke akhirat dalam hitungan detik."
"Huh, serakah sekali dia sampai mengambil alih pekerjaan malaikat maut." Ann bergumam.
"Begitulah." Ben berucap santai.
"Tapi aku takkan takut, karirku dipertaruhkan, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku ini."
"Apa kau lebih takut kehilangan nyawa daripada pekerjaan?"
"Mmm." Ann seketika terdiam, dia berpikir jika nyawanya hilang tentunya juga akan kehilangan pekerjaannya.
"Bagaimana?" Ben tersenyum sinis.
"Jadi aku harus bagaimana?" Ann mengusap wajahnya.
"Tenanglah."
"Sejak tadi kau berucap tenang kepadaku, karena kau tidak berada disituasi yang kuhadapi." Ann terlihat kesal.
"Hei, lihat, sekarang kau melibatkan aku dalam situasi yang kau hadapi."
"Ya, sudah, pergilah. Aku tak ingin melibatkanmu." Ann memegang handle pintu mobil.
"Tunggu."
"Apalagi?" Ann menoleh pada Ben.
"Mana bayaranku?"
"Aku sedang tidak membawa uang, aku akan mentrasfernya nanti, mana nomor rekeningmu?" Ann memberikan ponselnya agar Ben menuliskan nomor rekeningnya disana.
Alih-alih mencatat nomor rekening, Ben malah menuliskan nomor teleponnya dan memencet tombol panggil hingga ponsel miliknya berdering. Ben mematikannya dan memberikan kembali ponsel milik Ann. Ann yang melihat tingkah pria itu tentu saja merasa heran.
"Apa yang kau lakukan? Apa kau mencuri nomor teleponku?" Ann menatap Ben.
"Bukalah pesan yang kukirim padamu." Ben tersenyum tipis.
Mata Ann terbelalak saat membuka pesan yang dikirimkan oleh Ben. Dia tidak menyangka akan mendapatkan foto istri pimpinan dengan selingkuhannya. Foto-foto itu sangat jelas terlihat seperti diambil oleh seseorang yang benar-benar profesional. Ann berpaling dan menatap pria disampingnya yang terlihat tenang.
"Pak sopir, kau benar-benar hebat. Darimana kau mendapatkan foto-foto ini?" Ann bertepuk tangan kecil ke arah Ben.
"Sekarang mana bayaranku?" Ben menadahkan tangannya tanpa menjawab pertanyaan Ann.
"Sudah kubilang aku tidak membawa uang saat ini." Ann mengernyitkan dahinya.
"Kenapa kau tidak bilang dari awal? jika tahu aku takkan membantumu."
"Tolonglah, aku akan segera mentransfer uangnya kepadamu setelah memberikan foto ini kepada pimpinan."
"Oh, ada satu hal yang perlu kau tahu, Ann." Ben menyeringai.
"Apa itu?"
"Saat ini kau berada dalam situasi antara hidup dan mati."
"Apa maksudmu?"
"Jika foto sampai ditangan pimpinan, maka hidupmu berada dalam bahaya."
"Kenapa?"
"Kau lihat pria selingkuhan istri pimpinanmu itu?" Ben menunjuk foto yang ada di ponsel Ann.
"Kenapa dengannya?"
"Dia adalah salah satu anggota mafia, dia akan mencari orang yang telah mengambil foto ini."
"Apakah dia akan mengejarku?"
"Tentu saja, kau memiliki foto itu sekarang."
"Bagaimana bisa dia mengetahui tentangku?"
"Kau tidak tahu cara kerja para mafia?"
"Tidak." Ann menggeleng.
"Mereka bergerak dengan sangat halus dan kejam." Ben menyeringai.
"Jadi, aku harus apa sekarang? Jika aku tidak memberikan foto ini maka aku akan kehilangan pekerjaanku. Jika aku memberikan foto ini maka hidupku akan terancam." Ann memegang pelipisnya yang terasa nyeri.
"Sudah kubilang kau berada di antara hidup dan mati." Ben mengeringai.
"Kenapa ini harus terjadi padaku?" Ann mendengus kesal.
"Kau sebaiknya segera memilih, kau memilih nyawamu atau kau memilih pekerjaanmu." Ben terkekeh.
"Itu pilihan yang sangat berat untukku, jika bisa aku tak ingin kehilangan kedua-duanya?" Ann menghembuskan nafasnya kesal.
"Apa yang akan kau pilih jika berada di posisiku?" Ann menatap foto di ponselnya.
"Jika aku jadi kau jelas saja aku lebih memilih nyawa."
"Hei, hei, ada apa dengan ponselku?" Ann menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip dan kemudian berubah menjadi hitam. Ann panik, dia berusaha menyalakan ponselnya kembali namun sia-sia.
"Kenapa?" Ben menatap ponsel yang terlihat sudah tak berfungsi lagi.
"Aku tidak tahu." Ann merasa sangat panik.
"Sepertinya ponselmu telah disadap." Ben berbicara dengan tenang.
"Si..siapa yang melakukannya?" Ann terbata-bata.
"Entahlah." Ben mengedikkan kedua bahunya
"Apakah ini ulah para mafia itu?"
"Kurasa bukan, ponselku tidak bermasalah, jika para mafia itu yang melakukannya maka ponselku akan bernasib sama dengan milikmu." Ben memperlihatkan ponselnya yang terlihat baik-baik saja.
"Lalu siapa?" Wajah Ann terlihat pucat.
"Sepertinya ponselmu sudah di sadap dari awal, apakah kau ingat siapa yang terakhir kali meminjam ponselmu?"
"Kau!" Ann menunjuk wajah Ben.
"Sebelum aku, bodoh!" Ben terlihat kesal
"Mmm, sepertinya pimpinan, saat itu dia memasukkan nomornya ke ponselku." Ann berusaha mengingat-ingat.
"Sepertinya dialah pelakunya."
"Pimpinan?"
"Ya." Ben mengangguk.
"Bagaimana ini, foto itu?" Ann semakin pucat.
"Sepertinya kau terlambat, foto itu telah sampai di tangan pimpinanmu, matilah kau Ann."
"Hei, jangan bicara begitu, kau membuatku merinding." Ann berusaha menenangkan dirinya.
"Kau harus siap-siap bertemu malaikat maut."
"Haruskah aku berakhir seperti ini?" Ann memegang kembali pelipisnya.
"Sebaiknya kau pulang dan menyiapkan diri." Ben terlihat menyeringai.
"Aku akan ke kantor sekarang, aku akan menemui pimpinan, bagaimanapun aku harus menghadapinya. Tolong antar aku ke kantor, aku akan menunjukkan jalannya kepadamu." Ann terlihat putus asa.
"Baiklah." Ben memutar mobilnya dan kembali melajukan mobilnya dijalanan menuju kantor Ann.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Virushe Aira
aq rasa ben adalah ketua mafia.
2022-03-31
0