"Berbagai Cinta" Maaf Aku Tak Sempurna
Aku Kamelia Safitri, biasa di panggil Milea. Ini adalah kisah bersama suamiku Yudistira Mahesh. Kisah yang membuatku mengerti bahwa awal dari kebahagiaan itu sakit.
"sudah isi belum nih ... jangan di tunda tunda, nanti malah makin susah jadi repot sendiri."
"coba ikut program hamil ke dokter A."
Atau
"coba minum ini."
"coba makan itu."
"coba pijat kesini."
Sebuah pertanyaan dan saran yang membuat hatiku bagai di tusuk ribuan pisau.
"kalau kamu merasa gak nyaman, kita bisa pergi sekarang,"
Itulah kata Mas Yudis yang ia bisikkan pada ku. Saat kami menghadiri undangan makan malam dengan beberapa rekan bisnisnya, di sebuah restoran ternama di kotaku.
Aku menggeleng lalu tersenyum padanya. Mungkin, karena sudah terbiasa menghadapi pertanyaan seperti itu dari para istri rekan bisnis Mas Yudis. Lalu ia menggenggam tanganku yang bertaut di bawah meja.
"kita tidak akan pulang sebelum acara selesai," jawabku berbisik di telinganya.
Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu. Bagaimana tidak, di usia pernikahan kami yang sudah berjalan tujuh tahun ini, kami belum di karuniai seorang anak.
Bukan tidak bisa, tapi lebih karena keadaan ku yang mengidap penyakit autoimun. Penyakit yang membuat sistem kekebalan tubuh menyerang sel sel normal di dalam tubuhku.
Akibatnya, jaringan sehat pun jadi rusak. Termasuk pada jaringan reproduksi. Saat itu terjadi, maka peluang untuk hamil akan menurun.
Namun, bukan tidak mungkin aku akan hamil di kemudian hari. Masih ada harapan bukan?
Kami sudah pernah melakukan pengobatan serta program hamil. Namun, usaha kami belum membuahkan hasil. Aku sudah lelah dengan semua prosedur yang harus dilakukan selama empat tahun terakhir ini. Aku memilih menyerah dan tak lagi melanjutkan pengobatan itu.
"kamu yakin mau berhenti? kita sudah setengah jalan," tanya Mas Yudis, saat aku mengeluh padanya.
"kalau itu kemauan mu, aku tidak akan memaksa. Sebesar apapun usaha kita, jika Allah belum mengizinkan juga tidak akan terjadi."
Dialah Yudistira ku, tak pernah memaksakan keinginannya dalam mengambil keputusan. Terutama dalam hal ini, selalu mengutamakan kenyamanan ku.
"apa Mas Yudis, tidak masalah dengan semua ini?" aku menatapnya dengan penuh harap.
"apa yang kamu katakan?" Ia menautkan kedua alisnya menatapku, "apa selama ini aku permasalahkan itu?"
"aku lelah menjawab pertanyaan yang selalu sama. Seandainya mampu, aku tak akan pernah mau di tempatkan pada keadaan seperti ini," ku sandarkan kepala di bahunya.
"kita tidak pernah tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan. Sebagai hambanya kita hanya bisa pasrah." aku mengangguk.
"kapanpun kamu bertemu orang yang menghujani mu dengan pertanyaan yang sama, yakinlah mereka hanya ingin yang terbaik untuk kita,"
Aku tersenyum lalu memeluk lengannya.
Mas Yudis, akan menjadi tameng terdepan saat aku di hadapkan pada pertanyaan yang sama. Dia akan menjawab dengan sopan atau hanya tersenyum serta mengucapkan terimakasih. Seperti saat ini.
"coba istrimu di bawa ke tukang pijat tetangga tante. Kemaren orang dari kota sebelah datang ke sana. Mereka sudah sepuluh tahun menikah belum punya anak. Setelah beberapa kali di pijat oleh tetangga tante, langsung hamil," kata salah satu bibi Mas Yudis, saat kami menghadiri arisan keluarga.
Apa mereka sudah lupa siapa yang memberi keturunan? Apa tukang pijat itu? Tentu saja bukan.
"iya, coba saja Dis, kali aja rezeki kamu,"
Hanya senyum yang terbit di bibir Mas Yudis, mewakili jawaban dari pertanyaan mereka.
"iya, saya akan coba. Terimakasih sarannya tante. Do'akan saja semoga kami segera di beri kepercayaan itu."
Aku sangat beruntung karena Mas Yudis selalu berada di samping untuk melindungi dan memberi kekuatan padaku.
Tidak hanya sampai disitu, ada juga yang menyarankan kami mengadopsi anak. Memancing agar aku bisa cepat hamil.
Aku sempat berpikir untuk melakukannya. Kalaupun tidak hamil, setidaknya akan ada suara anak kecil di dalam rumah yang memanggil kami Ayah dan Bunda.
"buat apa, kamu bukan gak bisa hamil. Hanya saja kamu belum sembuh saja. Saat kamu sudah sembuh, aku yakin kamu akan hamil dan kita akan punya anak," jawabannya selalu seperti itu, saat aku mengutarakan niat untuk mengadopsi anak.
"dan pada saat itu tiba, kita akan menjadi orang tua yang paling bahagia di dunia." Mas Yudis menarik ju dalam pelukannya lalu mengecup keningku.
Seperti mendapat kekuatan, perlakuan hangat yang selalu dia berikan padaku, berhasil menepis keputus asaan yang menyerang.
Jujur saja, aku merasa tak pantas bersanding dengannya karena kekurangan ku.
Kata orang, karena keberuntungan saja aku bisa menikah dengan Mas Yudis.
Kadang aku juga risih, ketika ada perempuan yang terang terangan mendekatinya. Mungkin mereka berpikir, karena ketidak sempurnaan ku Mas Yudis, akan menceraikan ku. Lalu menikah dengan wanita lain demi mendapatkan keturunan.
Jika memang benar begitu, aku akan sangat ikhlas melepas asal dia bahagia.
Bukanya tak tau diri, aku pun juga tak pernah tahu jika ini akan menimpaku.
Seandainya aku tahu keadaan ini sebelum menikah dengan mas Yudis, tentu saja aku tidak akan menikah dengannya.
Jika tahu akan mengecewakannya di kemudian hari. maka aku akan mundur dengan senang hati.
Aku juga tahu Nas Yudis, sangat menginginkan hadirnya seorang anak. Walaupun ia tak pernah mengatakannya. Mungkin ia tak ingin menyakiti perasaanku. Hatinya akan sangat terluka jika melihatku menangis. Begitu katanya.
"aku mencintaimu apa adanya," dia membelai rambutku dengan lembut.
"dengan segala kekurangan ku?" Aku menatapnya.
"iya, dengan segala kekurangan mu. Karena aku yakin bisa melengkapi kekurangan mu." mataku berkaca-kaca mendengar nya mengatakan itu.
Yudistira, dia lah suami yang selalu mendukung dan akan menjadi garda terdepan untuk melindungiku.
Lalu untuk apa harus terpuruk dengan keadaan ini? Kalau suamiku saja tak permasalahkan keadaan yang hingga saat ini tak kunjung menemukan jalan keluar.
Yudistira Mahesh, kamu memang luar biasa. aku wanita yang sangat beruntung memilikimu seorang diri.
Aku berharap, di kemudian hari akan di beri kepercayaan untuk memiliki anak. Entahlah, kapan waktu itu akan tiba. Atau aku hanya akan menjadi orang yang berharap dengan ketidak pastian ini.
...****************...
Tak hanya Yudis, ibu mertua ku pun akan membela jika aku di hadapkan dengan pertanyaan yang sama.
Nasibku memang sangat beruntung , selain memiliki suami yang baik, aku juga memiliki ibu mertua yang perhatian. Tidak pernah menganggapku sebagai anak mantu. beliau memperlakukan aku selayaknya putri sendiri.
Sudah lama aku dan mas Yudis tak berkunjung ke rumah ibu, entah kenapa rasa rindu tiba tiba saja muncul.
Rindu rasa masakannya, rindu petuahnya, dan rindu berkebun dengannya.
Ibu dan kami, tinggal terpisah. Beliau, selalu menolak jika kami mengajak tinggal bersama. Walaupun jarak tempat tinggal kami hanya berbeda kecamatan.
Sepeninggal bapak, ibu tinggal di rumah sendiri karena mas Yudis anak tunggal.
"Tidak usah, ibu lebih nyaman tinggal disini. Lagian ibu, tidak punya saudara di sana gak ada yang kenal."
"Bakal susah mau kemana mana, gak bisa jalan kaki jadi ngerepotin kalian."
Itulah alasan ibu, saat kami membujuk nya agar mau tinggal bersama.
"Kami tidak tega ninggalin ibu sendiri di sini," bujuk Mas Yudis, kala itu.
"Ibu, sudah nyaman tinggal di sini. Bisa berkebun, mau kemana mana bisa jalan kaki. Ibu juga bisa sering sering nengok makam bapak."
Baru sekitar satu jam yang lalu aku berada di dapur ruko. Iya ruko, aku mengelola usaha kecil sebuah toko roti di pinggiran kota.
Tempatnya terbilang strategis, karena itu tokoku tak pernah sepi pengunjung.
"mbak milea, handphonenya bunyi nih," teriak Sari memanggilku.
"Iya, sebentar tanggung."
setelah selesai memasukkan adonan ke dalam oven, aku mengambil handphone yang berada di meja ujung dapur.
Dahi ku mengkerut melihat nama dilayar handphone 'ada apa mas Yudis telpon'
"Iya, mas ada apa?"
"kamu pulang ya ibu, ada di rumah sekarang,"
"Ibu?" aku sempat bingung dengan apa yang katakan Mas Yudis, karena baru saja aku sampai di toko, "loh, sama siapa kenapa gak ngabarin mau kesini."
"sama tukang ojek, kamu pulang dulu temenin ibu."
"Iya Mas, aku pulang."
Aku mengemasi barang barang kemudian mengecek pekerjaan anak anak di dapur. Setelah memastikan pekerjaan aman, aku berpamitan pada jaswin, sahabat yang bekerja denganku.
"Win, titip ya. Aku pulang dulu ada mertua di rumah." Jaswin, mengangguk lalu mengangkat jempolnya.
Setibanya di rumah kulihat ibu, tengah berbaring di sofa depan tv. Aku berjalan pelan menuju dapur tak ingin membangunkan beliau yang sedang terlelap.
"sudah pulang?"
Suara ibu, mengagetkanku yang sedang menata roti di atas piring.
"Eh ibu, kenapa gak istirahat di kamar?"
Setelah membuatkan teh aku dan ibu duduk di sofa depan tv di temani sepiring roti yang tadi ku bawa dari toko.
Seperti biasa kami berbincang tentang kabar dan sedikit basa basi seputar kebun ibu.
"ada yang ingin ibu bicarakan sama kamu."
Aku melihat raut wajah serius ibu kali ini.
"katakan saja siapa tahu saya bisa bantu." Aku tersenyum menggenggam tangan ibu.
"Ibu, minta maaf jika yang ibu, katakan nanti melukai hatimu," ibu, menatapku sendu.
"ibu,sudah tua ibu, hanya ingin melihat kalian bahagia."
"Apa maksud ibu, sampai saat ini kami tetap bahagia,"
" Ibu, ingin punya cucu,"
Wajah ku yang tadi ceria kini berubah mendung. aku tau, cepat atau lambat ini akan terjadi. Dan inilah saat yang tak bisa di hindari.
"maaf bukan maksud ibu, menyakiti perasaan mu. Ibu, hanya ingin Yudis merasakan jadi seorang ayah."
"Iya Bu, saya tahu. Tapi ibu, juga tahu saya tidak mungkin bisa mewujudkannya," aku berusaha tersenyum di tengah pilunya hati.
"Ibu, mengerti maka dari itu nikahkan lah Yudis, dengan wanita lain,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Soraya
Assalamu'alaikum numpang duduk dl ya kak
2023-05-10
0
sagitarius_ndutz
klo ak pgn hamil lg dr suami yg skrg....tp btolak belakang,dia yg mau pny anak lg dipernikahan ke 2 nya..kecewa pasti lah ...
2022-05-26
1
Elen Situmorang
aku mampir
2022-04-18
0