Aku Kamelia Safitri, biasa di panggil Milea. Ini adalah kisah bersama suamiku Yudistira Mahesh. Kisah yang membuatku mengerti bahwa awal dari kebahagiaan itu sakit.
"sudah isi belum nih ... jangan di tunda tunda, nanti malah makin susah jadi repot sendiri."
"coba ikut program hamil ke dokter A."
Atau
"coba minum ini."
"coba makan itu."
"coba pijat kesini."
Sebuah pertanyaan dan saran yang membuat hatiku bagai di tusuk ribuan pisau.
"kalau kamu merasa gak nyaman, kita bisa pergi sekarang,"
Itulah kata Mas Yudis yang ia bisikkan pada ku. Saat kami menghadiri undangan makan malam dengan beberapa rekan bisnisnya, di sebuah restoran ternama di kotaku.
Aku menggeleng lalu tersenyum padanya. Mungkin, karena sudah terbiasa menghadapi pertanyaan seperti itu dari para istri rekan bisnis Mas Yudis. Lalu ia menggenggam tanganku yang bertaut di bawah meja.
"kita tidak akan pulang sebelum acara selesai," jawabku berbisik di telinganya.
Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu. Bagaimana tidak, di usia pernikahan kami yang sudah berjalan tujuh tahun ini, kami belum di karuniai seorang anak.
Bukan tidak bisa, tapi lebih karena keadaan ku yang mengidap penyakit autoimun. Penyakit yang membuat sistem kekebalan tubuh menyerang sel sel normal di dalam tubuhku.
Akibatnya, jaringan sehat pun jadi rusak. Termasuk pada jaringan reproduksi. Saat itu terjadi, maka peluang untuk hamil akan menurun.
Namun, bukan tidak mungkin aku akan hamil di kemudian hari. Masih ada harapan bukan?
Kami sudah pernah melakukan pengobatan serta program hamil. Namun, usaha kami belum membuahkan hasil. Aku sudah lelah dengan semua prosedur yang harus dilakukan selama empat tahun terakhir ini. Aku memilih menyerah dan tak lagi melanjutkan pengobatan itu.
"kamu yakin mau berhenti? kita sudah setengah jalan," tanya Mas Yudis, saat aku mengeluh padanya.
"kalau itu kemauan mu, aku tidak akan memaksa. Sebesar apapun usaha kita, jika Allah belum mengizinkan juga tidak akan terjadi."
Dialah Yudistira ku, tak pernah memaksakan keinginannya dalam mengambil keputusan. Terutama dalam hal ini, selalu mengutamakan kenyamanan ku.
"apa Mas Yudis, tidak masalah dengan semua ini?" aku menatapnya dengan penuh harap.
"apa yang kamu katakan?" Ia menautkan kedua alisnya menatapku, "apa selama ini aku permasalahkan itu?"
"aku lelah menjawab pertanyaan yang selalu sama. Seandainya mampu, aku tak akan pernah mau di tempatkan pada keadaan seperti ini," ku sandarkan kepala di bahunya.
"kita tidak pernah tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan. Sebagai hambanya kita hanya bisa pasrah." aku mengangguk.
"kapanpun kamu bertemu orang yang menghujani mu dengan pertanyaan yang sama, yakinlah mereka hanya ingin yang terbaik untuk kita,"
Aku tersenyum lalu memeluk lengannya.
Mas Yudis, akan menjadi tameng terdepan saat aku di hadapkan pada pertanyaan yang sama. Dia akan menjawab dengan sopan atau hanya tersenyum serta mengucapkan terimakasih. Seperti saat ini.
"coba istrimu di bawa ke tukang pijat tetangga tante. Kemaren orang dari kota sebelah datang ke sana. Mereka sudah sepuluh tahun menikah belum punya anak. Setelah beberapa kali di pijat oleh tetangga tante, langsung hamil," kata salah satu bibi Mas Yudis, saat kami menghadiri arisan keluarga.
Apa mereka sudah lupa siapa yang memberi keturunan? Apa tukang pijat itu? Tentu saja bukan.
"iya, coba saja Dis, kali aja rezeki kamu,"
Hanya senyum yang terbit di bibir Mas Yudis, mewakili jawaban dari pertanyaan mereka.
"iya, saya akan coba. Terimakasih sarannya tante. Do'akan saja semoga kami segera di beri kepercayaan itu."
Aku sangat beruntung karena Mas Yudis selalu berada di samping untuk melindungi dan memberi kekuatan padaku.
Tidak hanya sampai disitu, ada juga yang menyarankan kami mengadopsi anak. Memancing agar aku bisa cepat hamil.
Aku sempat berpikir untuk melakukannya. Kalaupun tidak hamil, setidaknya akan ada suara anak kecil di dalam rumah yang memanggil kami Ayah dan Bunda.
"buat apa, kamu bukan gak bisa hamil. Hanya saja kamu belum sembuh saja. Saat kamu sudah sembuh, aku yakin kamu akan hamil dan kita akan punya anak," jawabannya selalu seperti itu, saat aku mengutarakan niat untuk mengadopsi anak.
"dan pada saat itu tiba, kita akan menjadi orang tua yang paling bahagia di dunia." Mas Yudis menarik ju dalam pelukannya lalu mengecup keningku.
Seperti mendapat kekuatan, perlakuan hangat yang selalu dia berikan padaku, berhasil menepis keputus asaan yang menyerang.
Jujur saja, aku merasa tak pantas bersanding dengannya karena kekurangan ku.
Kata orang, karena keberuntungan saja aku bisa menikah dengan Mas Yudis.
Kadang aku juga risih, ketika ada perempuan yang terang terangan mendekatinya. Mungkin mereka berpikir, karena ketidak sempurnaan ku Mas Yudis, akan menceraikan ku. Lalu menikah dengan wanita lain demi mendapatkan keturunan.
Jika memang benar begitu, aku akan sangat ikhlas melepas asal dia bahagia.
Bukanya tak tau diri, aku pun juga tak pernah tahu jika ini akan menimpaku.
Seandainya aku tahu keadaan ini sebelum menikah dengan mas Yudis, tentu saja aku tidak akan menikah dengannya.
Jika tahu akan mengecewakannya di kemudian hari. maka aku akan mundur dengan senang hati.
Aku juga tahu Nas Yudis, sangat menginginkan hadirnya seorang anak. Walaupun ia tak pernah mengatakannya. Mungkin ia tak ingin menyakiti perasaanku. Hatinya akan sangat terluka jika melihatku menangis. Begitu katanya.
"aku mencintaimu apa adanya," dia membelai rambutku dengan lembut.
"dengan segala kekurangan ku?" Aku menatapnya.
"iya, dengan segala kekurangan mu. Karena aku yakin bisa melengkapi kekurangan mu." mataku berkaca-kaca mendengar nya mengatakan itu.
Yudistira, dia lah suami yang selalu mendukung dan akan menjadi garda terdepan untuk melindungiku.
Lalu untuk apa harus terpuruk dengan keadaan ini? Kalau suamiku saja tak permasalahkan keadaan yang hingga saat ini tak kunjung menemukan jalan keluar.
Yudistira Mahesh, kamu memang luar biasa. aku wanita yang sangat beruntung memilikimu seorang diri.
Aku berharap, di kemudian hari akan di beri kepercayaan untuk memiliki anak. Entahlah, kapan waktu itu akan tiba. Atau aku hanya akan menjadi orang yang berharap dengan ketidak pastian ini.
...****************...
Tak hanya Yudis, ibu mertua ku pun akan membela jika aku di hadapkan dengan pertanyaan yang sama.
Nasibku memang sangat beruntung , selain memiliki suami yang baik, aku juga memiliki ibu mertua yang perhatian. Tidak pernah menganggapku sebagai anak mantu. beliau memperlakukan aku selayaknya putri sendiri.
Sudah lama aku dan mas Yudis tak berkunjung ke rumah ibu, entah kenapa rasa rindu tiba tiba saja muncul.
Rindu rasa masakannya, rindu petuahnya, dan rindu berkebun dengannya.
Ibu dan kami, tinggal terpisah. Beliau, selalu menolak jika kami mengajak tinggal bersama. Walaupun jarak tempat tinggal kami hanya berbeda kecamatan.
Sepeninggal bapak, ibu tinggal di rumah sendiri karena mas Yudis anak tunggal.
"Tidak usah, ibu lebih nyaman tinggal disini. Lagian ibu, tidak punya saudara di sana gak ada yang kenal."
"Bakal susah mau kemana mana, gak bisa jalan kaki jadi ngerepotin kalian."
Itulah alasan ibu, saat kami membujuk nya agar mau tinggal bersama.
"Kami tidak tega ninggalin ibu sendiri di sini," bujuk Mas Yudis, kala itu.
"Ibu, sudah nyaman tinggal di sini. Bisa berkebun, mau kemana mana bisa jalan kaki. Ibu juga bisa sering sering nengok makam bapak."
Baru sekitar satu jam yang lalu aku berada di dapur ruko. Iya ruko, aku mengelola usaha kecil sebuah toko roti di pinggiran kota.
Tempatnya terbilang strategis, karena itu tokoku tak pernah sepi pengunjung.
"mbak milea, handphonenya bunyi nih," teriak Sari memanggilku.
"Iya, sebentar tanggung."
setelah selesai memasukkan adonan ke dalam oven, aku mengambil handphone yang berada di meja ujung dapur.
Dahi ku mengkerut melihat nama dilayar handphone 'ada apa mas Yudis telpon'
"Iya, mas ada apa?"
"kamu pulang ya ibu, ada di rumah sekarang,"
"Ibu?" aku sempat bingung dengan apa yang katakan Mas Yudis, karena baru saja aku sampai di toko, "loh, sama siapa kenapa gak ngabarin mau kesini."
"sama tukang ojek, kamu pulang dulu temenin ibu."
"Iya Mas, aku pulang."
Aku mengemasi barang barang kemudian mengecek pekerjaan anak anak di dapur. Setelah memastikan pekerjaan aman, aku berpamitan pada jaswin, sahabat yang bekerja denganku.
"Win, titip ya. Aku pulang dulu ada mertua di rumah." Jaswin, mengangguk lalu mengangkat jempolnya.
Setibanya di rumah kulihat ibu, tengah berbaring di sofa depan tv. Aku berjalan pelan menuju dapur tak ingin membangunkan beliau yang sedang terlelap.
"sudah pulang?"
Suara ibu, mengagetkanku yang sedang menata roti di atas piring.
"Eh ibu, kenapa gak istirahat di kamar?"
Setelah membuatkan teh aku dan ibu duduk di sofa depan tv di temani sepiring roti yang tadi ku bawa dari toko.
Seperti biasa kami berbincang tentang kabar dan sedikit basa basi seputar kebun ibu.
"ada yang ingin ibu bicarakan sama kamu."
Aku melihat raut wajah serius ibu kali ini.
"katakan saja siapa tahu saya bisa bantu." Aku tersenyum menggenggam tangan ibu.
"Ibu, minta maaf jika yang ibu, katakan nanti melukai hatimu," ibu, menatapku sendu.
"ibu,sudah tua ibu, hanya ingin melihat kalian bahagia."
"Apa maksud ibu, sampai saat ini kami tetap bahagia,"
" Ibu, ingin punya cucu,"
Wajah ku yang tadi ceria kini berubah mendung. aku tau, cepat atau lambat ini akan terjadi. Dan inilah saat yang tak bisa di hindari.
"maaf bukan maksud ibu, menyakiti perasaan mu. Ibu, hanya ingin Yudis merasakan jadi seorang ayah."
"Iya Bu, saya tahu. Tapi ibu, juga tahu saya tidak mungkin bisa mewujudkannya," aku berusaha tersenyum di tengah pilunya hati.
"Ibu, mengerti maka dari itu nikahkan lah Yudis, dengan wanita lain,"
Dua hari yang lalu ibu, kembali ke desanya di antar oleh Mas Yudis. Namun ucapan ibu, masih tertinggal di dalam otakku.
Apa yang harusku lakukan? Aku sama sekali belum bisa mengambil keputusan.
Berkutat di dapur ruko membuat roti dan mencoba menu baru hingga pulang larut malam. Mungkin itu cara terbaik saat ini, untuk mengalihkan sejenak ucapan ibu, tempo hari.
"ada masalah apa, kayaknya serius banget,"
Sepintar apapun aku menutupi dari semua orang, tidak akan bisa kututupi dari Jaswin sahabatku.
"siapa yang punya masalah." jawabku sambil terus mengaduk adonan.
"kamu bisa sembunyikan dari semua orang, tapi tidak dariku." kata jaswin menatapku.
"Apa ini ada hubungannya dengan kedatangan mertuamu kemarin?"
Aku menghentikan gerakan tangan sejenak lalu melanjutkan lagi tanpa menjawab pertanyaan Jaswin.
"Dan, apa bom waktu sudah meledak." Aku masih pura pura tak mendengar ucapan jaswin.
Masih sibuk dengan aktivitas tanganku. Membentuk adonan lalu memasukkan nya kedalam oven.
"Baiklah, mungkin kamu butuh waktu. Jika kamu sudah siap, aku akan menjadi pendengar yang setia." Jaswin membuang napas lalu berbalik meninggalkanku.
"Apa aku akan menjadi orang yang sangat egois jika tidak mengabulkan permintaan seorang ibu,"
Jaswin menghentikan langkahnya kemudian berbalik kearahku.
"Apa aku akan menjadi istri durhaka jika menyembunyikan ini dari suamiku?" aku pejamkan mata sebelum melanjutkan ucapanku, "Katakan! Apa yang akan kamu lakukan jika berada di posisiku saat ini."
"Tidak adakah kesempatanku untuk memilih?" Aku mengatakan seolah jaswin orang yang bersalah saat ini.
"Apa yang kamu katakan Mil, aku tidak mengerti."
"Ibu, memintaku menikahkan mas Yudis, dengan wanita lain." Jaswin membulatkan mata menatapku.
...****************...
Ada untungnya juga aku meluapkan kemarahan pada jaswin, tadi pagi. Dadaku terasa lebih lega walaupun belum sepenuhnya yakin dengan keputusan yang ku ambil.
Jaswin, maaf aku janji akan berikan bonus padamu jika berhasil membujuk suamiku.
Yup! Telah aku putuskan untuk mengabulkan permintaan ibu, sudah cukup bagiku memiliki mas Yudis, seorang diri.
Saatnya aku harus mengalah dan membagi cinta untuk wanita lain. Apa aku benar-benar telah merelakannya? Entahlah, aku pun masih bimbang, aku berjanji akan menerima wanita manapun yang akan menikah dengan mas Yudis.
Aku berjalan mondar-mandir sambil melirik jam yang menempel di dinding kamarku. Kenapa waktu terasa begitu lambat, aku tak bisa menutupi kegugupan untuk mengatakan pada mas Yudis.
Harus memulai dari mana? Atau, apa yang akan aku katakan terlebih dahulu agar mas Yudis, setuju untuk menikah lagi.
Aku terlonjak dan hampir teriak saat seseorang memelukku dari belakang.
"Iiih, Bikin kaget saja," Ku pukul lengan mas Yudis, yang memelukku, dia tertawa lalu membalikkan tubuhku menghadap nya.
" Kamu jadi sering ngelamun akhir akhir ini, sampai gak sadar aku masuk,"
Aku cemberut lalu mengulurkan tangan untuk Salim padanya.
"Aku kan gak lihat ke pintu, mana tahu kamu sudah pulang," mas Yudis tersenyum lalu mengecup kening ku.
"Cepat mandi ada yang mau aku bicarakan."
" Bicara sekarang saja,"
" Gak bisa, harus mandi dulu Biar gak panas. Hawa panas suka bikin emosi," Ku dorong tubuhnya agar masuk ke kamar mandi. Dia terkekeh sambil berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Belum bicara saja badan sudah terasa panas dingin. semoga saja nanti aku gak nangis dan rencana berjalan lancar.
Aku pergi ke dapur membuat teh dan mengambil roti yang ku bawa dari toko.
Saat aku kembali masuk ke dalam kamar mas Yudis, sudah duduk di atas kasur sambil memainkan handphone.
"Resep baru mau coba?"
Dia menerima roti yang ku berikan lalu memakannya dengan gigitan besar.
"Bagaimana?"
"Seperti biasa, enak." Aku tersenyum lalu duduk di samping nya.
Aku duduk di sampingnya lalu membuang nafas sebelum mulai bicara.
"Kemarin ibu, ngomong pengen punya cucu,"
"Terus kamu jawab apa."
"Seperti biasa," mas Yudis mengangguk angguk.
"Ibu, pengen sebelum di panggil sang pencipta bisa melihat anak mas Yudis."
"Ibu sudah tahu jawabannya bukan?"
Dia masih santai sama sekali tak terusik dengan ucapan ku.
"Ibu, minta ku menikahkan mas Yudis, dengan wanita lain."
Dia menghentikan kunyahan nya lalu menatap ku, "Menikah bagaimana maksud nya?"
Ku genggam tangannya, lalu ku tatap bola matanya.
"Menikahlah dengan wanita yang bisa memberikan keturunan," dia menghempaskan tangan dari genggaman ku.
"Apa kamu sudah gila! Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan?"
"Iya sadar, sangat sadar. itu sebabnya aku meminta mu menikah lagi, "mata ku berkaca-kaca, "Maaf kan aku yang tak sempurna ini, aku akan sangat bahagia jika kamu mau mengabulkan permintaan ku."
Mas Yudis memegang kedua bahu ku, lalu menghapus air mataku yang sudah mengalir sejak tadi.
"Jika ke tidak sempurnaan itu ada padaku, apa kamu akan melakukan hal yang sama," aku menggeleng dengan air mata yang masih mengalir.
"Itulah yang aku lakukan padamu saat ini, menerima kamu apa adanya. jika kamu tidak bisa memberikan keturunan aku tidak akan menuntut itu dari mu," Ia menarikku dalam pelukannya, "Aku akan tetap menjadi pelengkap untuk menutupi kekurangan-kekurangan mu."
Lidah ku terasa mencekat sulit untuk melanjutkan ucapan ku saat ini. Ku puaskan menangis di pelukannya sebelum melanjutkan ucapan ku lagi, "Aku ingin melihat mu bahagia,"
"Apa kamu pikir kebahagiaan ku hanya ada pada seorang anak?" Ia longgarkan pelukannya, "Cukup dengan kau barada di sisiku, itu sudah membuat aku bahagia." lalu kembali memelukku erat.
"Aku mohon, turuti lah permintaan ku kali ini." Aku masih Keukeh memaksa hingga dia melepaskan pelukannya pada ku kemudian berbaring membelakangi ku yang masih duduk di samping nya dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Hingga esok pagi dia masih mendiamkan ku. menjawab pertanyaan ku hanya dengan 'iya' dan 'tidak' walaupun sudah ku tanyakan banyak hal pada nya. Seperti nya dia benar benar marah padaku.
Dan hari ini aku tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Aku membolak balikkan handphone berharap mas Yudis, membalas pesan chat dari ku.
Tapi pesan chat dari ku tak ada satupun yang di baca.
Oh, ayolah Yudistira Mahesh, ini bukan kau. Suamiku tidak pernah melakukan ini. Ku hembuskan nafas panjang lalu ku rebahkan kepala bertumpu pada lengan kiri.
"Ada apa?" Jaswin mengusap bahuku dari belakang lalu duduk di kursi sebelah ku.
"Dia mendiamkan ku sejak semalam,"
Jaswin menghembuskan nafas, "Dia butuh waktu Yudis, orang yang bijak. dia tidak akan mengambil keputusan yang salah,"
Aku mengangguk setuju dengan ucapan jaswin, Benar mungkin dia memang butuh waktu. Lagian mana mungkin dia langsung memberikan jawaban atas permintaan yang bahkan aku sendiri pun tak ingin meminta dari nya.
kucoba mengirimkan pesan chat lagi padanya.
"Maaf kan aku, apa kamu masih marah padaku?"
"Jangan diamkan aku seperti ini, aku tak sanggup."
mataku melotot melihat layar handphone yang menandakan beberapa pesan masuk.
"Aku tidak pernah marah padamu, aku hanya ingin kamu memikirkan kembali ucapan mu,"
Cukup lama aku diam tak membalas pesan dari nya, aku masih berpikir jawaban apa yang akan ku berikan padanya. Setelah kurasa menemukan jawaban yang tepat, lalu ku balas pesan dari nya.
"Aku hanya ingin kamu bahagia."
"Cukup dengan berada di sisiku, sudah membuat ku bahagia. Jangan pedulikan permintaan ibu, anggap beliau tak pernah mengatakan apapun padamu,"
"Aku tidak bisa melakukannya, aku mohon kali ini saja. Jangan bersikap sebagai suami bersikap lah sebagai anak yang berbakti,"
Ku hapus air mata yang mengalir.
"Kenapa kamu keras kepala sekali."
"Aku mohon, kalini saja. Kabulkan permintaan ku, menikahlah dengan wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Jadikan aku orang pertama yang akan mendengar kabar bahagia itu."
Entah kekuatan dari mana aku mengatakan itu pada nya.
"Baiklah jika kamu memaksa, aku akan menikah dengan wanita manapun yang kau pilihkan untukku."
"Tapi aku tidak janji bisa mengabulkan keinginan mu dan ibu,"
Aku tersenyum bersama air mata yang mengalir di pipi.
Bahagia kah? Atau aku harus bersedih dan menangis sepanjang hari? Karena kenyataannya aku akan membagi cinta dengan wanita lain.
Aku bisa sedikit bernafas lega sekarang karena mas Yudis, menyetujui permintaan ku. Tapi yang jadi masalah saat ini adalah, dimana harus mencari wanita untuk nya? Atau siapa wanita yang tepat untuk nya?
Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu. Karena selama ini aku belum pernah melihat mas Yudis dekat dengan seseorang ataupun memiliki teman dekat. Kebanyakan orang yang bersamanya hanya berstatus rekan kerja dan karyawan saja.
Aku menghela nafas sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan.
"Kenapa lagi," tanya jaswin, tanpa menoleh pada ku.
"Giliran udah setuju malah suruh cariin,"
"Lah, bagus malah. Kamu bisa seleksi dari yang baik sampai yang terbaik." jawab jaswin, lalu duduk di depan ku.
Saat ini kami berada di dapur toko ada meja berbentuk bundar di sudut ruangan dengan empat kursi yang mengelilingi.
Disini lah aku, menumpahkan kekesalan maupun kegembiraan selama ini. Dengan bertemankan mikser dan oven yang akan mengubah emosi menjadi kudapan yang nikmat dan minati banyak orang.
Dan tak lupa temanku jaswin, yang selalu menjadi sasaran omelan saat kesal.
So sorry jaswin, tidak akan ku lupakan semua jasamu. Kamu memang pahlawan tanpa tanda jasa. Hehehe.
"Masalah nya, aku gak punya kandidat sama sekali,"
"Jangan terburu buru pikirkan baik-baik Ini bukan untuk satu atau dua tahun, tapi selamanya."
Jaswin menekankan kata 'selamanya', " Dan selama itu pula kamu harus siap melihat suamimu disisi wanita itu," Jaswin, menggenggam tanganku yang ada di atas meja.
Benar kata jaswin, Ini untuk selamanya. Aku terdiam beberapa saat memikirkan kemungkinan kemungkinan yang bahkan belum terjadi.
Apa nantinya aku dan maduku akan menjadi saingan, sahabat, atau saudara. Aaarrggghhh! Aku menjerit keras dalam hati.
Berbekal ucapan jaswin, aku benar benar hati hati dalam memilih pasangan untuk mas Yudis.
Aku membuka media sosial milik mas Yudis, dia tak pernah memberi password di handphone miliknya jadi, sangat mudah untuk keluar masuk media sosial nya.
Tak ada yang aneh di media sosial nya, bahkan seperti sudah lama tak di buka. Hanya ada beberapa foto yang di unggah beberapa bulan yang lalu saat peninjauan proyek di lapangan.
Itupun dia hanya di tandai yang membuat ku tertarik adalah wanita yang selalu berdiri di samping mas Yudis. cantik, kesan pertama yang ku lihat pakaiannya juga sopan. Di beberapa foto yang dia unggah tak pernah terlihat dia mengenakan pakaian yang terbuka.
Sepertinya dia gadis baik baik dan, siapa tadi namanya Inggrid? Yah, betul Inggrid.
Aku mengangguk angguk lalu meletakkan handphone mas Yudis di atas nakas.
"Ada apa," tanya mas Yudis, aneh mungkin melihat tingkah ku.
Aku tersenyum lalu menggeleng.
"Tidur sudah malam,"
Mas Yudis menutup buku yang sejak tadi dia baca kemudian berbaring di sebelahku.
Esoknya aku putuskan datang ke kantor mas Yudis, yang terletak di pusat kota. Aku datang saat jam istirahat siang jadi suasana kantor tampak sepi tanpa lalu lalang karyawan.
"Selamat siang ibu, ada yang bisa saya bantu," sapa seorang resepsionis yang sudah mengenalku. Lalu aku mendekati mejanya.
"Bapak ada?"
"Bapak makan siang dengan klien, baru saja keluar." Aku mengangguk, "kalau Inggrid?"
"Ada Bu, di ruangan nya silahkan," kata resepsionis mempersilahkan aku masuk dengan isyarat tangannya.
Aku melangkah memasuki lift lalu menekan tombol nomor delapan dimana ruangan mas Yudis dan Ingrid berada. Ku usap dadaku yang tiba tiba saja berdetak kencang.
Ku hembuskan nafas sebelum melangkah keluar dari lift yang sudah terbuka. Dari pintu lift aku berjalan lurus menyusuri lorong panjang dan berhenti di depan ruangan suamiku.
Tok tok tok
Ku ketuk pintu ruangan Inggrid dengan dada yang bergemuruh.
"Masuk," terdengar suara dari dalam ruangan Lalu ku buka pintu dan melangkah masuk.
"Bu Milea, ada yang bisa saya bantu," Inggrid langsung berdiri saat melihat aku berdiri di balik pintu.
"Bisa kita bicara sebentar," tanyaku tanpa basa-basi. Dahi Inggrid mengernyit lalu mengangguk.
Saat ini kami berada di cafe yang letaknya tepat di depan gedung kantor. Hanya menyebrang jalan raya kami sudah sampai di kafe.
kami duduk berhadapan bertemakan kopi pesan kami. belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami.
"Ehhem, ada yang bisa saya bantu,"
Aku tersenyum lalu mengangkat cangkir kopi meminumnya sedikit sebelum mulai bicara.
"Kamu tahu aku dan mas Yudis, sudah lama menikah dan kami belum di karuniai seorang anak," Inggrid, mengangguk. mungkin dia merasa iba. sungguh miris sekali nasibku.
"Setiap pasangan pasti menginginkan hadirnya buah hati di antara mereka begitu juga dengan kami. tapi sayang nya sampai saat ini kami belum di berikan kepercayaan itu. yang kami lakukan hanya menunggu tanpa adanya kepastian,"
Aku terus saja bercerita, tak peduli pendapat Ingrid tentang ku nanti nya.
"Sebagai wanita pastinya kita ingin melihat pasangan kita bahagia. namun karena keterbatasan diri kita tak bisa mewujudkannya. sebagai sesama wanita apa yang kamu lakukan jika berada di posisi ku?"
"Hahaha ibu, ada ada saja. Mana saya tahu saya kan belum menikah. Menurut saya pernikahan bukanlah hanya tujuan untuk mendapatkan keturunan. Mencintai dan menerima pasangan apa adanya dengan menutupi kekurangan pasangan masing-masing itu paling utama. Dan saya bisa lihat semua itu dari pak Yudis dan ibu Milea,"
"Apa menurut mu kami seperti itu," Inggrid mengangguk.
" Aku tahu kamu orang baik. Kamu bisa mendampingi dan memberikan apa yang laki laki inginkan,"
"Maksud ibu, apa? Saya sama sekali tidak mengerti," Inggrid mengangkat cangkir kopi lalu meminumnya.
"Menikahlah dengan mas Yudis,"
Inggrid tersedak kopi yang dia minum hingga wajahnya merah dan matanya berair. Dia menatap ku tanpa mengatakan apapun.
"Aku yakin kamu bisa berikan apa yang tidak bisa ku berikan pada mas Yudis,"
"Hanya untuk alasan itu?" sahut Inggrid, aku menggeleng, "Tidak, bukan hanya itu. Ada banyak sekali alasan dan aku yakin kamu adalah orang yang tepat untuk alasan itu,"
Masa yang paling sulit untukku adalah, harus berperang dengan hati sendiri. harus mengalah demi hati yang lain demi mencapai tujuan yang sama.
"Ibu, aneh mana ada istri meminta wanita lain menikah dengan suaminya," kata Inggrid, masih dengan ter batuk batuk.
"Mungkin bagi kamu memang aneh tapi inilah Kenyataan," ku genggam tangannya lalu aku tersenyum, "Aku mohon menikahlah dengan mas Yudis, aku akan sangat berterimakasih padamu,"
ku ambil kartu nama di dalam tas lalu menyodorkan pada Inggrid, "aku mohon bantuan mu kali ini. Pikirkan baik baik Hubungi aku jika kamu sudah punya jawabannya. Aku harap jawaban mu sama seperti yang aku inginkan," kemudian aku pergi meninggalkan Ingrid yang masih menatap ku bingung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!